You are on page 1of 5

Nama: I Made Dwi Permana

NIM: 1605521085

Resume Materi Arsitektur Bali 3

Seiring dengan perkembangan jaman, menyebabkan terjadinya perubahan yang


terjadi di berbagai aspek kehidupan. Arsitektur tidak lepas dari pengaruh perubahan
jaman. Khususnya Arsitektur Tradisional Bali (ATB) yang menjadi salah satu kearifan
lokal yang menjadi salah satu identitas yang dimiliki oleh bali. Bahkan satu-satunya di
Indonesia yang memiliki ilmu/ materi yang dapat dipelajari. Untuk saat ini dapat
dipelajari di Universitas Udayana, tepatnya di program studi arsitektur. Seperti yang
telah dikenal luas, Arsitektur Tradisional Bali memiliki ciri khas tersendiri. Ciri yang
dimilikinya antara lain memiliki masa bangunan yang banyak, yaitu bale daja, bale
dangin, bale dauh, paon, jineng, maupun sanggah.

Masing-masing masa bangunan ditempatkan pada posisi tertentu di dalam lahan


rumah, sesuai dengan arah kaja-kangin. Dengan pola yang sedemikian rupa, Arsitektur
Tradisional Bali membutuhkan lahan yang cukup luas. Tidaklah mengherankan bila
semakin berkembangnya jaman, jumlah lahan yang tersedia-khususnya di Bali-
semakin sedikit. Hal ini tentu berdampak besar terhadap Arsitektur Tradisional Bali.
Terbatasnya lahan bukanlah menjadi halangan bagi arsitektur tradisional bali untuk
berkembang. Dengan lahan yang terbatas, membuat bangunan rumah tinggal di Bali
kebanyakan tidak lagi banyak massa, namun monolit. Meski jumlah massa bangunan
dikurangi, unsur tradisional bali masih tetap dapat dilihat dengan menggunakan
kekarangan/patra pada beberapa sudut bangunan di rumah tinggal.

Tidak hanya penggunaan kekarangan/patra, Arsitektur Tradisional Bali juga


bercirikan penggunaan material-material bangunan yang berasal dari alam. Material
tersebut dapat berupa bebatuan, batu bata, batu paras, kayu, maupun alang-
alang/genting. Bebatuan, paras, biasa digunakan sebagai elemen penyusun ruang
bagian bawah, atau lebih dikenal sebagai bataran. Material kayu biasa digunakan untuk
membuat saka, pintu, jendela, bale, dan rangka atap. Material batu bata biasa
digunakan sebagai bahan penyusun elemen samping, yaitu dinding. Dan material
alang-alang/genting biasa digunakan untuk bahan penutup atap. Dengan penggunaan
dari material-material alam, nuansa dari Arsitektur Tradisional Bali akan semakin kuat
terasa. Dengan adanya perkembangan material bahan bangunan, membuat terjadi
penggunaan material-material baru pada Arsitektur Tradisional Bali. Seperti
penggunaan lantai keramik pada bagian atas bataran, ataupun melapisi dinding batu
bata dengan menggunakan spesi, plamir, dan cat.

Namun tidak sedikit perkembangan jaman ini menimbulkan beberapa


pergeseran terhadap bagian dari unsur Arsitektur Tradisional Bali ini. Salah satunya
adalah adanya murda yang kini tampil dengan bentuk yang berbeda, atau dapat disebut
dengan ‘murda masa kini’. Murda maka kini ini secara umum penampilannya lebih
‘mewah’ dibandungkan dengan murda-murda jenis lain. Salah satu perbedaan yang
mencolok dari murda ini adalah dengan ditambahkannya kekarangan, yaitu karang
gajah, pada empat sudut bagian bawah murda. Karang gajah ini nampak jelas seperti
karang gajah pada umunya yang memiliki bentuk menyerupai kepala gajah dan
memiliki belalai. Namun belalai pada karang gajah murda ini seolah terangkat ke atas.
Tidak seperti belalai karang gajah pada umumnya yang menekuk dan mengarah ke
bawah. Penggunaan murda ini mengundang tanya. Seperti yang telah diketahui, makna
dari Gajah/Asti itu sendiri adalah ‘berat’, ‘kokoh’.

Oleh karena demikian karang gajah merupakan elemen/ bagian yang terletak di
bagian paling bawah suatu bangunan. Si pembuat dari murda ini mengatakan bahwa
selama proses dari pembuatan murda ini, ia menempatkan karang gajah itu pada bagian
bawah dari murda tersebut. Dengan demikian tidaklah salah bahwa si pembuat murda
tersebut menempatkan karang gajah pada murda. Namun di sisi lain, ketika murda itu
terpasang pada bagian puncak suatu bangunan, tentu menimbulkan ketidakserasian
nilai.
Dengan segala perkembangan yang sekarang, dapat dikatakan bahwa arsitektur
dengan perkembangan ini adalah Arsitektur Masa Kini (AMK). Arsitektur masa kini,
atau dapat dikatakan sebagai arsitektur jaman now, dapat dengan mudah dilihat di Bali.
Meski tak banyak unsur ukiran yang terapkan pada suatu rumah tinggal, bangunan
tersebut dapat tetap dikatakan sebagai Arsitektur Masa Kini. Hal ini disebabkan karena
bangunan ini memang ada pada masa kini, dimana berbagai bidang ilmu mengalami
perkembangan global yang pesat. Berbagai pengaruh datang dari luar Bali, yang
berpengaruh bagi setiap elemen Arsitektur Masa Kini. Pengaruh tersebut dapat berupa
material-material baru yang terus bermunculan, ataupun gaya-gaya arsitektur dari luar
Indonesia.

Arsitektur Masa Kini yang tersebar di berbagai wilayah di Bali tak haya sebatas
rumah tinggal. Nilai-nilai arsitektur tradisional bali juga terapkan pada berbagai
banguna-bangunan dengan fungsi yang lebih komplek. Gaya-gaya Arsitektur Bali
Masa Kini dapat dilihat pada bangunan-bangunan pemerintahan di Bali, seperti Kantor
Gubernur Bali, maupun Pusat Pemerintahan (Puspem) Kabupaten Badung. Dapat
dilihat pada Puspem Badung, setiap gedung yang ada pada areal Puspem Badung
mencerminkan Arsitektur Masa Kini yang kental dengan nuansa Arsitektur Tradisional
Bali. Nuansa tradisional bali dapat terlihat dari penggunaan kekarangan yang cukup
besar pada bangunan, seperti karang gajah dan karang goak.

Kekarangan ini ditempatkan sesuai dengan maknanya masing-masing. Karang


gajah terletak di bagian bawah dari bangunan, ditempatkan pada tiap-tiap ujung
bangunan. Sedangkan karang goak diletakkan pada bagian atas bangunan, dimana
karang goak (gagak) itu sendiri bermakna sebagai burung gagak. Diletakkan di bagian
atas bangunan karena ia merupakan seekor burung, yang selalu terbang di udara.
Dipilihnya burung gagak sebagai bentuk kekarangan tradisional Bali sampai sekarang
masih belum diketahui. Kita sebagai mahasiswa arsitektur baiknya menerimanya apa
adanya penggunaan goak ini sebagai bagian dari kekarangan.
Bangunan ini juga menggunakan material finishing berupa material-material
alami seperti batu bata dan batu paras. Memang dengan menggunakan kekarangan dan
pengaplikasian dari material alami, bangunan ini tampak nuansa Bali. Namun
munculah pertanyaan dari orang dari luar Bali: apakah dengan sebatas menggunakan
material batu bata dan penggunaan kekarangan seperti karang goak dan karang gajah,
suatu bangunan dapat dikatakan sebagai Arsitektur Tradisional Bali?

Pertanyaan ini rasanya cukup mudah sekaligus cukup sulit untuk dapat
ditanggapi. Karena masyarakat awam di luar Bali tentu tidak memahami betul
bagaimana sejatinya Arsitektur Tradisional Bali. Hal ini dapat dikarenakan kurangnya
pemahaman ataupun ajaran-ajaran terkait Arsitektur Tradisional Bali yang mereka
miliki. Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Seperti yang diketahui, bahwa Arsitektur
Tradisional Bali tidak hanya sebatas material dan kekarangan. Arsitektur Tradisional
Bali tidak dapat lepas dari nilai-nilai budaya dan nilai-nilai agama, khususnya agama
Hindu. Nilai-nilai ini menjadi sangat penting bagi Arsitektur Tradisional Bali.
Meskipun pada Arsitektur Masa Kini, tidak semua dari nilai-nilai tersebut dapat
diterapkan, khususnya pada bangunan-bangunan perkantoran atau dinas. Contohnya
seperti penggunaan tiang-tiang bangunan.

Pada Arsitektur Tradisional Bali di rumah tinggal, ukuran tiang (saka)


bangunan biasanya menggunakan ukuran rai dari si pemilik rumah tersebut. Namun
lain halnya bila bangunan perkantoran atau gedung komersil yang menggunakan
ukuran tiang bangunan yang cukup besar. Tentu dalam pemilihan dimensi tiang ini
tidak lagi menggunakan ukuran rai seseorang. Hal ini juga dikarenakan tuntuan dari
struktur bangunan yang berlantai banyak dan memerlukan struktur yang benar-benar
kokoh. Meski tidak menggunakan ukuran rai, namun di jaman sekarang ini sudah
banyak bangunan-bangunan dinas di Bali, yang tiangnya dihiasi dengan pecira.
Penggunaan pecira ini dapat dilihat di gedung Sewaka Dharma, Denpasar. Penggunaan
pecira ini seperti yang dapat dilihat pada dudukan patung di depan Kori Agung Pura
Satria. Namun dalam penggunaannya, diberikan modifikasi, mengikuti ketinggian dari
tiang-tiang bangunan, sehingga pecira tersebut nampak memanjang dari bawah ke atas.
Melihat lagi penggunaan dari karang gajah dan karang goak yang berukuran
cukup besar dan berat, juga dapat menimbulkan suatu kerugian bagi orang yang berada
di sekitaranya. Seperti halnya bila karang goak yang berukuran besar itu tiba-tiba
terjatuh. Masihlah untuk apabila jatuhnya karang goak itu tidak menimbulkan korban.
Namun bagaimana jika menimbulkan korban? Tentunya kejadian terburuk seperti
demikian perlu diperhitungkan demi kenyamanan dan keselamatan dari orang
pengguna bangunan maupun orang yang ada disekitar.

Dengan demikian, Arsitektur Tradisional Bali yang diimplementasikan ke


Arsitektur Masa Kini tak hanya sebatas yang ‘terlihat’, tetapi juga menyangkut hal-hal
yang ‘tak terlihat’. Dalam Arsitektur Tradisional Bali, hal yang demikian dibagi
menjadi unsur rupa dan unsur nir-rupa. Unsur rupa merupakan unsur-unsur terlihat
pada karya arsitektur, seperti pola massa, orientasi bangunan, bentuk, skala, proporsi,
maupun kekarangan/patra. Sedangkan nilai-nilai inilah yang merupakan unsur nir-
rupa pada Arsitektur Tradisional Bali. Selain nilai budaya dan agama, terdapat pula
nilai filosofi, norma, maupun konsep dan prinsip. Salah satu konsep yang mendasar
adalah Tri Hita Karana. Maka demikian, Arsitektur Tradisional Bali tak dapat diukur
sebatas dari unsur rupa-nya saja, namun harus seimbang pula dengan unsur nir-rupa-
nya. Dengan keseimbangan kedua unsur tersebut, Arsitektur Tradisional Bali yang
diimplementasikan pada Arsitektur Masa Kini pun tidak hanya sekedar saja. Terlepas
dari berbagai perkembangan yang dialami oleh unsur-unsur Arsitektur Tradisional
Bali, kita harus tetap berpegang teguh pada nilai-nilai dan makna yang terkandung di
dalamnya. Sehingga keharmonisan hidup akan dapat diwujudkan, baik antara Tuhan,
manusia, dan lingkungan alam sekitar.

You might also like