Professional Documents
Culture Documents
Dimensi Internasional
Dimensi Internasional
“DIMENSI INTERNASIONAL”
DOSEN PEMBIMBING:
Kelompok 3
Esa Rahmadona (15059009)
Jefri Mulana (15059011)
Nauffal Navarone (15059059)
Rahma Yona (15059154)
MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2016
DIMENSI INTERNASIONAL
B. Neraca Pembayaran
Terdapat kontinuitas dan diskontinuitas pada neraca pembayaran Indonesia sejak
tahun 1969 :
Ekspor mulai naik dengan tajam dari akhir tahun 1960-an sebesar empat kali
lipat sepanjang periode 1969-1972 sebagai respon terhadap pemakaian rezim kurs
yang realistis dan melimpah, khususnya saat bom kayu. Peningkatan paling dramatis
terjadi pada tahun 1974, dimana nilai nominal minyak menurun tajam dari puncak
tahun 1980 membentuk puncak masa stabil selama tiga tahun hingga 1984. Namun
keadaan ini kembali jatuh pada tahun 1986 menjadi kurang dari seperempat nilai
nominal pada tahun 1980. Keadaan ini kembali pulih pada tahun 1986 namun tetap
dalam keadaan yang mendatar jika dibandingkan dengan peningkatan sementara
tahun 1990. Sepanjang periode itu variasi harga merupakan faktor utama dalam
menentukan fluktuasi dalam nilai ekspor minyak.
Peningkatan yang tiba-tiba pada harga minyak tahun 1979, devaluasi pada
akhir tahun 1978, dan perhatia fiskal setelah krisis pertamina tahun 1975-76
semuanya bergabung untuk menghasilkan surplus untuk pertama kalinya di tahun
1979 dan 1980.
Rasio pembayaran hutang meningkat lebih tajam dan hamper tiga kali lipat.
Profil maturitas hutang lebih menimbulkan ketegangan dalam neraca pembayaran,
sedangkan arus sumber daya bersih terus membesar dan positif, sedangkan transfer
bersih masih negatif. Bisa dikatakan bahwa periode yang paling sulit dari manajemen
hutang adalah tahun 1986-87, ketika current account yang besar mengalami defisit.
Rasio pembayaran hutang masih terus meningkat pada tahun 1988, tapi
kemudia menurun karena pertumbuhan ekspor yang dicapai naik dengan cepat. Total
hutang semakin meningkat dari tahun 1989 hingga 1992, karena sebagian besar
berkaitan dengan peningkatan substansial pinjaman dalam pinjaman sektor swasta,
sekali lagi meningkatkan hutang. Tetapi manajemen defisit current account tetap
ketat, rasio pembayaran hutang benar-benar berada di bawah tahun-tahun yang sulit
tersebut.
Pada tahun 1980an Negara mulai berada pada posisi yang sama dengan
eksporter minyak yang lain dan kelompok hutang moderat yang diklasifikasikan oleh
Bank dunia. Berbagai rasio hutangnya diterima lebih tinggi daripada Nigeria
sedangkan rasio pembayaran hutangnya lebih rendah ketimbangan Meksiko.
Perbedaan yang muncul ada pada proporsi hutang Indonesia dalam bentuk
konsesional, yang secara konsisten tetap jauh lebih tinggi daripada Nigeria dan
Meksiko. Indonesia juga mampu menghindari restructuring painful debt yang
berlangsung lama di Nigeria, Meksiko dan Negara-negara lainnya.
a. Penyusunan dan liberasi nilai tukar pada awal tahun rezim Orde Baru
cepat dan efektif.
Pada tahun 1970an semua sisa berbagai sistem nilai tukar yang usang telah
dibuang seluruhnya dan tingkat “market consistent” telah ditetapkan.
Dikombinasikan dengan kebijakan fiskal yang ketat dan penurunan inflasi yang
tajam, semua hal ini menjadi pencapaian utama dalam pembuatan kebijaksanaan
ekonomi selama 4 tahun pertama rezim Orde Baru. Setelah devaluasi yang lebih jauh
terjadi pada bulan Agustus 1972 Rupiah kemudian diikat dengan dolar AS selama 7
tahun, menghantarkan periode stabilitas nilai tukar yang sangat baik. Dimana aliran
dana yang besar dari minyak dan bantuan yang pertama kali di dalam sejarah
kemerdekaan Indonesia memberikan keseimbangan pembayaran.
E. Investasi Asing
Pada tingkat agregat, hal ini mengungkap fakta bahwa komposisi sektoral
investasi asing dan domestik di dalam sektor BKPM (tidak termasuk minyak,LNG,
dan keuangan) adalah sama. Investasi di sektor jasa oleh kedua kelompok meningkat
tajam pada tahun 1980an dengan keterlibatan perusahaan asing dalam jasa perhotelan,
real estate, dan jasa perdagangan.
F. Bantuan Asing
Pada tahun 1966 indonesia dengan cepat membentuk kerjasama yang erat
dengan donor internasional. Hubungan ini benar-benar penting di dalam periode yang
sulit dari tahun 1966 sampai dengan 1968 saat bantuan bersifat darurat, terutama
dalam bentuk program bantuan dan disalurkan melalui skema BE (Bonus Ekspor).
Pada tahun 1969 untuk pertama kalinya perkembangan anggaran dibiayai sebagian
besar oleh sumber internasional.
Selama periode bom minyak, arus bantuan resmi masih dapat dihitung.
Tetapi bantuan menjadi kurang penting karena sumber pendapatan pemerintah dan
proporsi anggaran pembangunan pemerintah yang lebih tinggi mulai dibiayai dengan
sumber sendiri. Pergeseran dari program bantuan yang pernah dominan sampai tahun
1972 untuk proyek bantuan mencerminkan posisi neraca pembayaran Indonesia yang
lebih aman dan merefleksikan peningkatan kapsitas birokrasinya untuk mengajukan,
menerapkan dan mengevaluasi proyek pembangunan. meskipun begitu pada tahun
1980an bantuan mendadak kembali menjadi penting dan selama periode yang singkat,
situasi kembali sama dengan awal 1970an.
Pada awal tahun 1970an dan 1980an pada saat kondisi bom minyak
berkembang, arus swasta mengambil alih angka resmi, selama beberapa tahun
melampaui arus asing dengan margin yang besar. Tetapi pada akhir tahun 1970an
dan pada pertengahan 1980an ketika harga minyak jatuh, arus swasta menguap. Di
dalam hubungan yang dekat dengan donor, arus bantuan lebih konsisten dan
menyediakan basis di mana pemerintah dapat merencanakan proyek investasi jangka
panjang.
Reorientasi kepada jepang dan pertumbuhan Asia Timur lebih terlihat dalam
kasus investasi, bantuan dan jasa. Jepan telah menjadi investor utama di sektor
“BKPM” sebesar lebih dari 30% dari total realisasi periode 1967 hingga 1992. Saat
investasi jepang berangsur berkurang pada tahun 1980an, NIEs dengan cepat menjadi
pendorong utama dan pada tahun 1980an total kombinasinya benar-benar melampaui
jepang. Hongkong menjadi investor yang penting bagi Indonesia.
AS telah menjadi investor yang penting di dalam sektor BKPM baik selama
substitusi impor maupun selama fase industrialisasi orientasi ekspor. Namun
penurunan proporsi minyak di dalam total investasi asing setelah tahun 1985
berakibat pada hilangnya kehadiran investasi AS.
d. Adanya kecenderungan menuju integrasi ekonomi yang lebih besar di
Asia Timur.