You are on page 1of 11

PEREKONOMIAN INDONESIA

“DIMENSI INTERNASIONAL”

DOSEN PEMBIMBING:

Ariusni, SE, M.Si

Kelompok 3
Esa Rahmadona (15059009)
Jefri Mulana (15059011)
Nauffal Navarone (15059059)
Rahma Yona (15059154)

MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2016
DIMENSI INTERNASIONAL

A. Alasan pentingnya mengkaji Dimensi Internasional

1. Terdapat isu analitis yang menarik dan berkaitan dengan penyesuaian


Indonesia terhadap kejutan harga minyak. Hal ini termasuk adaptasi
terhadap perubahan harga relative yang dipengaruhi oleh fluktuasi yang besar
selama periode tersebut dan penyesuaian terhadap peningkatan hutang
eksternal setelah tahun 1985.
2. Reformasi kebijakansanaan utama Indonesia tidak sesuai dengan teori
yang ada dalam literatur. Menurut pandangan ini account capital
internasional sebaiknya “terakhir kali” yaitu setelah reformasi fiskal dan
moneter diperkenalkan dan current account (rekening lancar)
dibuka.pembukaan capital account menyebabkan dislokasi yang sangat kecil.
3. Pola perdagangan menunjukkan perubahan yang penting di dalam
struktur ekonomi dan orientasi regional sepanjang seperempat abad
yang lalu. Sejak tahun 1980an dua perubahan secara khusus tampak
menonjol. Perubahan tersebut adalah peningkatan integrasi ekonomi
Indonesia ke dalam dinamika kawasan Asia Timur dan pertumbuhan barang
ekspor yang cepat.

B. Neraca Pembayaran
Terdapat kontinuitas dan diskontinuitas pada neraca pembayaran Indonesia sejak
tahun 1969 :

1. Pembiayaan ekspor minyak dan gas yang terutama merupakan transaksi


current account, defisit hampir setiap tahun dan pemasukan modal resmi
yang besar.

Ekspor mulai naik dengan tajam dari akhir tahun 1960-an sebesar empat kali
lipat sepanjang periode 1969-1972 sebagai respon terhadap pemakaian rezim kurs
yang realistis dan melimpah, khususnya saat bom kayu. Peningkatan paling dramatis
terjadi pada tahun 1974, dimana nilai nominal minyak menurun tajam dari puncak
tahun 1980 membentuk puncak masa stabil selama tiga tahun hingga 1984. Namun
keadaan ini kembali jatuh pada tahun 1986 menjadi kurang dari seperempat nilai
nominal pada tahun 1980. Keadaan ini kembali pulih pada tahun 1986 namun tetap
dalam keadaan yang mendatar jika dibandingkan dengan peningkatan sementara
tahun 1990. Sepanjang periode itu variasi harga merupakan faktor utama dalam
menentukan fluktuasi dalam nilai ekspor minyak.

2. Transaksi current account non-minyak pada dasarnya disesuaikan


secara lamban dengan laju ekspor minyak sampai pertengahan tahun
1980an.

Jaringan impor non-minyak meningkat tajam pada pertengahan tahun 1970-


an, empat kali lipat dari tahun 1972 hingga 1985 dan terulang kembali dari akhir
tahun 1970an, tapi menurun dengan tajam setelah tahun 1982. Pada tahun 1986 nilai
nominal non minyak dan total impor barang perdagangan turun sekitar dua pertiga
dari puncaknya pada tahun 1982. Kemudia nilai itu jatuh secara terus menerus dan
cepat sepanjang periode ini yang jelas menjadi bukti atas tanggapan pemerintah yang
tepat dan efektif untuk menurunkan harga minyak.

Meskipun dibayang-bayangi oleh minyak, ekspor non minyak tumbuh


dengan kuat selama beberapa periode di tahun 1970an sebagai respon atas harga
komoditas internasional yang cukup baik. Namun demikian sebagian besar harga
komoditi tetap suram pada tahun 1980an yang mengakibatkan ekspor nonminyak
menurun dari tahun 1979 sampai 1983.

Peningkatan yang tiba-tiba pada harga minyak tahun 1979, devaluasi pada
akhir tahun 1978, dan perhatia fiskal setelah krisis pertamina tahun 1975-76
semuanya bergabung untuk menghasilkan surplus untuk pertama kalinya di tahun
1979 dan 1980.

3. Selama tahun 1970-an, amortisasi hutang relativ kecil.

Hutang dari era Soekarno dijadwalkan kembali, sejumlah pinjaman baru


yang berisi periode kelonggaran waktu sebelum pembayaran ulang dimulai dan
perekonomian tumbuh dengan cepat, bahkan kenaikan pembayaran hutang absolut
merupakan penurunan persentase GDP dan ekspor. Peningkatan pertama yang
signifikan pada amortisasi hutang terjadi pada tahun 1977, namun pembayaran
mengalami masa stabil selama empat tahun kedepannya. Pembayaran kewajiban
hutang mulai meningkat dengan tajam hanya setelah tahun 1983, bertepatan dengan
penurunan harga minyak. Seperti hal nya harga ekspor minyak yang lain, Indonesia
juga menghadapai masalah hutang eksternal yang paling hebat.

Berkenaan dengan pembukaan account capital internasionalnya maka


estimasi sektor hutang eksternal swasta sangat kasar. Namun hingga akhir tahun
1980an hutang sektor publik kemungkinan dihitung dengan baik melebihi 80% dari
keseluruhan, mulai saat ini hutang luar negeri sektor swasta meningkat dengan cepat.

Reaksi Indonesia terhadap goncangan eksogen di tahun 1970an dan 1980an


adalah penting untuk memahami kinerja ekonomi bangsa yang bagus selama
seperempat abad yang lalu. Beberapa factor member kontribusi terhadap hasil yang
bagus tersebut dan berguna untuk memeriksanya secara terpisah dalam lima bagian
berikut: manajemen hutang luar negeri, kebijaksanaan tingkat kurs valuta asing,
rezim investasi asing, dan hubungan dengan kelompok donor serta reformasi
makroekonomi yang dimulai tahun 1985.

C. Hutang Luar Negeri

a. Penurunan harga minyak pada pertengahan pertama tahun 1980an


menyebabkan akumulasi hutang yang cepat.

Rasio pembayaran hutang meningkat lebih tajam dan hamper tiga kali lipat.
Profil maturitas hutang lebih menimbulkan ketegangan dalam neraca pembayaran,
sedangkan arus sumber daya bersih terus membesar dan positif, sedangkan transfer
bersih masih negatif. Bisa dikatakan bahwa periode yang paling sulit dari manajemen
hutang adalah tahun 1986-87, ketika current account yang besar mengalami defisit.

b. Rasio pembayaran hutang tahun 1988 sebagian besar berkaitan dengan


pinjaman sektor swasta.

Rasio pembayaran hutang masih terus meningkat pada tahun 1988, tapi
kemudia menurun karena pertumbuhan ekspor yang dicapai naik dengan cepat. Total
hutang semakin meningkat dari tahun 1989 hingga 1992, karena sebagian besar
berkaitan dengan peningkatan substansial pinjaman dalam pinjaman sektor swasta,
sekali lagi meningkatkan hutang. Tetapi manajemen defisit current account tetap
ketat, rasio pembayaran hutang benar-benar berada di bawah tahun-tahun yang sulit
tersebut.

c. Sepanjang periode 1980-1992 kinerja manajemen hutan Indonesia lebih


baik dibandingkan dalam perspektif internasional.

Pada tahun 1980an Negara mulai berada pada posisi yang sama dengan
eksporter minyak yang lain dan kelompok hutang moderat yang diklasifikasikan oleh
Bank dunia. Berbagai rasio hutangnya diterima lebih tinggi daripada Nigeria
sedangkan rasio pembayaran hutangnya lebih rendah ketimbangan Meksiko.
Perbedaan yang muncul ada pada proporsi hutang Indonesia dalam bentuk
konsesional, yang secara konsisten tetap jauh lebih tinggi daripada Nigeria dan
Meksiko. Indonesia juga mampu menghindari restructuring painful debt yang
berlangsung lama di Nigeria, Meksiko dan Negara-negara lainnya.

D. Manajemen Nilai Tukar

a. Penyusunan dan liberasi nilai tukar pada awal tahun rezim Orde Baru
cepat dan efektif.

Pada tahun 1970an semua sisa berbagai sistem nilai tukar yang usang telah
dibuang seluruhnya dan tingkat “market consistent” telah ditetapkan.
Dikombinasikan dengan kebijakan fiskal yang ketat dan penurunan inflasi yang
tajam, semua hal ini menjadi pencapaian utama dalam pembuatan kebijaksanaan
ekonomi selama 4 tahun pertama rezim Orde Baru. Setelah devaluasi yang lebih jauh
terjadi pada bulan Agustus 1972 Rupiah kemudian diikat dengan dolar AS selama 7
tahun, menghantarkan periode stabilitas nilai tukar yang sangat baik. Dimana aliran
dana yang besar dari minyak dan bantuan yang pertama kali di dalam sejarah
kemerdekaan Indonesia memberikan keseimbangan pembayaran.

b. Devaluasi, fase utama pada kebijaksanaan tingkat pertukaran yang


membawa “sial”.
Kurang dari 12 bulan setelah perselisihan irak dan iran mengakibatkan
perputaran peningkatan harga minyak dalam jumlah yang besar untuk kedua kalinya.
Devaluasi dimotivasi dengan kecendrungan untuk meningkatkan ekspor non-minyak,
yang telah ditekan dengan apresiasi rupiah yang efektif setelah tahun 1973. Devaluasi
dikuti dengan periode inflasi yang rendah dan dibarengi dengan kbijaksanaan
moneter dan fiskal yang ketat. Terdapat berbagai kecendrungan yang tidak berhasil
untuk membekukan dan menderegulasikan harga setelah devaluasi yang akhirnya
mengarah pada ekspansi moneter yang cepat.

Keadaan ini membawa Indonesia kepada periode bom post-minyak tahun


1980an saat manajemen nilai tukar benar-benar efektif. Terdapat devaluasi yang besar
pada bulan Maret 1983 dan September 1986 dan depresiasi nominal yang perlahan-
lahan pada sebagian besar periode itu. Kedua devaluasi itu mempunyai pengaruh
inflasi yang kecil. Devaluasi tersebut macet akibat pertumbuhan money supply yang
sangat rendah, akibat penurunan harga minyak yang sangat tajam.

c. Kebijaksanaan Managed Float dan gerakan “keranjang mata uang”.

Setelah devaluasi tahun 1986, bank sentral menggunakan kebijaksanaan


managed float yang bertujuan untuk mempertahankan nilai tukar efektif riil yang
konstan dan sedikit member inflasi diterjemahkan ke dalam depresiasi kira-kira
sebesar 5% terhadap dollar.

Meskipun keseluruhan dampak gerakan nilai tukar cukup jelas, namun


besarnya perubahan tersebut tidak jelas.

E. Investasi Asing

a. Jumlah investasi asing meningkat dengan cepat pada periode 1960an-


1980an.

Investasi asing memberikan kontribusi yang penting terhadap pemulihan


perekonomian dan pertumbuhan ekspor pada tahun 1960an hingga 1980an.
Pertumbuhan investasi yang cepat dari akhir tahun 1960an dipicu oleh kebijakan
fiskal liberal dan rezim peraturan baru, prospek proyek substitusi impor yang
menguntungkan dan meningkatkan harga minyak. Namun angka actual menjadi
negative pada tahun 1974, karena diterapkannya peraturan yang lebih ketat
mempengaruhi sektor minyak dan nonminyak. Setelah tahun 1974 perusahaan asing
yang masuk ke sejumlah sektor mengalami hambatan berupa tekanan bagi lokalisasi
dan prosedur birokratik yang menghabiskan waktu dan bertele-tele. Lompatan yang
tajam tercatat pada tahun 1975 di saat kepercayaan investor asing kembali dan proyek
Asahan (yang merupakan investasi tunggal terbesar sepanjang sejarah nasional).

b. Tiga observasi tambahan secara relevan berhubungan dengan investor


asing.

1. Izin domestik telah melampaui perusahaan asing secara keseluruhan.

2. Kelompok-kelompok investor telah merespon pada lingkungan dan


kebijakan perdagangan dengan cara serupa.

Pada tingkat agregat, hal ini mengungkap fakta bahwa komposisi sektoral
investasi asing dan domestik di dalam sektor BKPM (tidak termasuk minyak,LNG,
dan keuangan) adalah sama. Investasi di sektor jasa oleh kedua kelompok meningkat
tajam pada tahun 1980an dengan keterlibatan perusahaan asing dalam jasa perhotelan,
real estate, dan jasa perdagangan.

3. Disamping keterbukaan Indonesia terhadap investasi asing sejak tahun


1967, terutama periode dari tahun 1967 hingga 1974 dan setelah 1986, arus
kas masuk tidak pernah terlihat besar.

Dalam perspektif intersional komparatif, Indonesia belum menjadi tujuan


investasi asing yang besar.

F. Bantuan Asing

a. Kesuksesan Bantuan asing pada tahun 1960an.

Pada tahun 1966 indonesia dengan cepat membentuk kerjasama yang erat
dengan donor internasional. Hubungan ini benar-benar penting di dalam periode yang
sulit dari tahun 1966 sampai dengan 1968 saat bantuan bersifat darurat, terutama
dalam bentuk program bantuan dan disalurkan melalui skema BE (Bonus Ekspor).
Pada tahun 1969 untuk pertama kalinya perkembangan anggaran dibiayai sebagian
besar oleh sumber internasional.

b. Stabilitas arus bantuan asing yang berlawanan dengan arus swasta


yang mudah berubah pada periode bom minyak (1970an – 1980an)

Selama periode bom minyak, arus bantuan resmi masih dapat dihitung.
Tetapi bantuan menjadi kurang penting karena sumber pendapatan pemerintah dan
proporsi anggaran pembangunan pemerintah yang lebih tinggi mulai dibiayai dengan
sumber sendiri. Pergeseran dari program bantuan yang pernah dominan sampai tahun
1972 untuk proyek bantuan mencerminkan posisi neraca pembayaran Indonesia yang
lebih aman dan merefleksikan peningkatan kapsitas birokrasinya untuk mengajukan,
menerapkan dan mengevaluasi proyek pembangunan. meskipun begitu pada tahun
1980an bantuan mendadak kembali menjadi penting dan selama periode yang singkat,
situasi kembali sama dengan awal 1970an.

Pada awal tahun 1970an dan 1980an pada saat kondisi bom minyak
berkembang, arus swasta mengambil alih angka resmi, selama beberapa tahun
melampaui arus asing dengan margin yang besar. Tetapi pada akhir tahun 1970an
dan pada pertengahan 1980an ketika harga minyak jatuh, arus swasta menguap. Di
dalam hubungan yang dekat dengan donor, arus bantuan lebih konsisten dan
menyediakan basis di mana pemerintah dapat merencanakan proyek investasi jangka
panjang.

Selain neraca pembayaran dan dukungan anggaran, bantuan telah


memfasilitasi transfer teknologi yang besar, terutama di sektor publik. Minyak dan
bom bantuan pada tahun 1970an juga berperan dalam kelambanan kebijakan fiskal,
seperti yang diindikasikan pada contoh dalam catatan buruk Indonesia dalam hal
pendapatan kelompok non-minyak. Indonesia sibuk dalam melawan kejatuhan dalam
jebakan sindrom “ketergantungan bantuan” dan pemerintah selalu menggunakan
parameter kebijaksanaan ekonomi.

G. Penyesuaian Struktural Dan Bom Ekspor Tahun 1985 Sampai


Saat Ini.
a. Bom ekspor manufaktur mengalami rata-rata ekspansi yang sangat
lancar pada tahun 1980an.

Sejumlah faktor menjelaskan mengapa perubahan yang tiba-tiba terhadap


liberalisme setelah tahun 1985 memberikan tambahan yang efektif, terutama dalam
bidang manufaktur.

Bom ekspor manufaktur dihasilkan oleh perubahan kebijaksanaan yang


bahkan mengejutkan para pendukung reformasi. Indonesia mulai menyama
tetangganya dalam hal keberhasilan ekspor dramatis dan benar-benar merupakan
perubahan yang cepat di dalam komposisi ekspor. Pada tahun 1987 nilai ekspor
manufaktur mengambil alih kelompok bahan bakar, mineral dan logam. Ekspor
manufaktur terus meningkat tajam sepanjang dekade tersebut, meskipun terdapat
penurunan yang tajam pada tahun 1993. Nilai riil ekspor pertanian dan bahan bakar
berfluktuasi secara tajam, terutama dalam merespon harga komoditas internasional.

b. Indonesia selalu menunjukkan spesialisasi yang kuat dalam barang-


barang berbasis sumber daya alam.

Indeks pengungkapan keuntungan komparatif untuk manufaktur berbasis


sumber alam mulai meningkat dengan tajam pada awal tahun 1980an, terutama
sebagai respon larangan ekspor kayu gelondongan. Ketika pertumbuhan ekspor
manufaktur padat tenaga kerja juga meningkat dengan cepat dan untuk pertama
kalinya melampaui angka 1 pada tahun 1990.

Larangan ekspor kayu gelondongan menyebabkan peningkatan, sementara


tripleks menyumbangkan sebesar 40-50% dari total manufaktur. Pertumbuhan yang
cepat bertahan sepanjang tahun 1980an dan awal tahun 1990an.

H. Pergeseran Pola Regional Dari Perdagangan Internasional.

a. Perekonomian Indonesia bergeser dari dominasi tradisional menuju


wilayah Pasifik Barat.
Sejak tahun 1966 perekonoman internasional Indonesia telah mengalami
pergeseran dari dominasi tradisional pada pusat komersial belahan bumi utara (AS
dan Eropa) menuju ke wilayah Pasifik Barat terutama Jepang NIEs Asia.

Tiga Faktor yang mendukung :


1. Pertumbuhan wilayah Asia Timur yang cepat;
2. Komplementaritas perekonomian yang lebih kuat antara Indonesia,
dengan gaji rendah namun kaya sumber alam, dengan jepang dan
NIEs yang berkinerja ekonomi tinggi namun miskin sumber daya
alam;
3. Perubahan institusional politik yang perlahan-lahan melemahkan
hubungan lama terutama dengan Eropa.

Di dalam perdagangan jepang dan perekonomian Asia Timur yang


berkembang merupakan aspek penting sepanjang periode sejak tahun 1966. Bagian
Jepang untuk total perdagangan dan ekspor memuncak selama periode bom minyak,
ketika jepang membeli setengah dari ekspor perdagangan Indonesia. Kemudian
bagiannya mulai menurun namun tetap mempertahankan posisi nya sebagai partner
perdagangan yang paling penting. Jepang secara konsisten menjadi pembeli utama
selama beberapa tahun bahkan mencapai 70% dari keseluruhan dan menandaskan
ikatan kedekatan pedagangan yang luar biasa antar Negara.

b. Perdagangan Indonesia dengan Jepang , Singapura, dan Hongkong.

Reorientasi kepada jepang dan pertumbuhan Asia Timur lebih terlihat dalam
kasus investasi, bantuan dan jasa. Jepan telah menjadi investor utama di sektor
“BKPM” sebesar lebih dari 30% dari total realisasi periode 1967 hingga 1992. Saat
investasi jepang berangsur berkurang pada tahun 1980an, NIEs dengan cepat menjadi
pendorong utama dan pada tahun 1980an total kombinasinya benar-benar melampaui
jepang. Hongkong menjadi investor yang penting bagi Indonesia.

c. Perdagangan Indonesia dengan AS

AS telah menjadi investor yang penting di dalam sektor BKPM baik selama
substitusi impor maupun selama fase industrialisasi orientasi ekspor. Namun
penurunan proporsi minyak di dalam total investasi asing setelah tahun 1985
berakibat pada hilangnya kehadiran investasi AS.
d. Adanya kecenderungan menuju integrasi ekonomi yang lebih besar di
Asia Timur.

Meningkatnya apresiasi terhadap arti penting dan potensial untuk


kepentingan nasional secara perlahan-lahan menghilangkan kecurigaan dan
ketidakpercayaan dari institusi dan perjanjian-perjanjian internasional yang selama ini
ada. Hal ini terbukti dengan telah berpartisipasinya Indonesia di forum Asia Pasific
Economic Cooperation (APEC), dan menjadi tuan rumah pertemuan para pemimpin
di bulan November 1994. Jangkauan ekspor barang manufakturnya memperlihatkan
bahwa untuk menjamin kelangsungan akses pasar internasional, Indonesia harus ikut
serta dalam diplomasi perdagangan internasional.

Indonesia juga dipandang sebagai pimpinan grup ASEAN, dimana kerjasama


ekonomi ditingkatkan dengan kuat. Indonesia selalu menjadi pendukung yang kuat
untuk asosiasi ini, walaupun kadang mendua dalam hal inisiatif perdagangan yang
lebih terperinci. Pada putaran pertama liberalisasi perdagangan antar wilayah yang
diikuti oleh pertemuan puncak di Bali tahun 1976, menghasilkan konsesi yang sangat
minor seperti yang dilakukan anggota-anggota lainnya. Indonesia menjadi anggota
dalam pertemuan kedua, yang memformalkan usulan ASEAN Free Trade Area
(AFTA), yang diusulkan pada pertemuan puncak tahun 1992.

Sumbangan ASEAN kepada perdagangan Indonesia tidak mengubah pasar


pada masa Orde Baru, terlepas dari kenaikan yang terjadi pada masa periode bom
minyak,sebagai konsekuensi perdagangan barang Indonesia dengan dan melalui
singapura.

You might also like