You are on page 1of 8

Faktor Resiko Asma

Beberapa faktor resiko timbulnya asma bronkial telah diketahui


secara pasti, antara lain: riwayat keluarga, tingkat sosial ekonomi rendah, etnis,
daerah perkotaan, letak geografi tempat tinggal, memelihara anjing atau kucing
dalam rumah, terpapar asap rokok.
Secara umum faktor risiko asma dibagi kedalam dua kelompok
besar, faktor resiko yang berhubungan dengan terjadinya atau
berkembangnya asma dan resiko yang berhubungan dengan terjadinya
eksaserbasi atau serangan asma yang disebut trigger faktor atau faktor pencetus
(GINA,2006). Adapun faktor resiko pencetus asma bronkial antara lain :
A. Asap Rokok
B. Tungau Debu Rumah
C. Jenis Kelamin
D. Binatang Piaraan
E. Jenis Makanan
F. Perabot Rumah Tangga
G. Perubahan Cuaca
H. Riwayat Penyakit Keluarga
A. Asap Rokok
Asap rokok dapat menyebabkan asma, baik pada perokok itu sendiri
maupun orang-orang yang terkena asap rokok. Suatu penelitian di Finlandia
menunjukkan bahwa orang dewasa yang terkena asap rokok berpeluang
menderita asma dua kali lipat dibandingkan orang yang tidak terkena asap
rokok (Jaakkola et al, 2003). Studi lain menunjukkan bahwa seseorang
penderita asma yang terkena asap rokok selama satu jam, maka akan
mengalami sekitar 20% kerusakan fungsi paru. (Dahms et al, 1998).
Pada anak-anak, asap rokok akan memberikan efek lebih parah
dibandingkan orang dewasa, ini disebabkan lebar saluran pernafasan anak lebih
sempit, sehingga jumlah nafas anak akan lebih cepat dari orang dewasa.
Akibatnya, jumlah asap rokok yang masuk ke dalam saluran pernapasan
menjadi lebih banyak dibanding berat badannya. Selain itu, karena sistem
pertahanan tubuh yang belum berkembang, munculnya gejala asma pada
anak-anak jauh lebih cepat dibanding orang dewasa (Ramaiah, 2006).
Hasil analisis 4.000 orang anak berumur 0-5 tahun menunjukkan
bahwa anak-anak yang orang tuanya merokok 10 batang perhari,
menyebabkan peningkatan jumlah kasus asma serta mempercepat
munculnya gejala asma pada anak-anaknya. Begitu juga anak yang
kembali dari rumah sakit setelah perawatan asma akut, penyembuhan akan
terganggu karena orang tua yang merokok (Abulhosn et al, 1997).
Efek asap rokok ini tidak hanya memberikan efek negatif pada
anak-anak yang telah lahir, tapi juga pada janin yang masih ada di dalam rahim.
Karena itu, di negara maju seperti Jepang, diseluruh rumah sakit bersalin
tidak tersedia tempat yang bisa merokok. Ini karena mereka benar-benar
mengerti akan bahaya rokok tersebut. Bayi yang akan dilahirkan dari
seorang ibu yang merokok selama dalam masa kehamilan akan lebih sering
mengalami penyakit saluran pernafasan termasuk asma bronkial pada masa
anak-anak (Ramaiah, 2006).
Pembakaran tembakau sebagai sumber zat iritan dalam rumah yang
menghasilkan campuran gas yang komplek dan partikel-partikel berbahaya.
Lebih dari 4500 jenis kontaminan telah dideteksi dalam tembakau,
diantaranya hidrokarbon polisiklik, karbon monoksida, karbon dioksida, nitrit
oksida, nikotin, dan akrolein (GINA,2006).
Bahan kimia yang terkandung dalam rokok
Secara umum, tipe perokok dibagi menjadi dua, yaitu (Aula, 2010):
a. Perokok aktif (active smoker)
Seseorang yang benar-benar memiliki kebiasaan merokok. Merokok
sudah menjadi bagian hidupnya, sehingga tidak enak bila sehari saja tidak
merokok. Merokok dapat menaikkan risiko berkembangnya asma walaupun
sedikit bukti-bukti bahwa merokok aktif merupakan faktor risiko
berkembangnya asma secara umum ataupun karena pekerjaan pada pekerja
yang terpapar dengan beberapa sensitisasi di tempat bekerja (Danusaputro,
2000).
b. Perokok pasif (passive smoker)
Seseorang yang tidak memiliki kebiasaan merokok, namun terpaksa
harus mengisap asap rokok yang dihembuskan oleh orang lain yang
kebetulan didekatnya. Anak-anak secara bermakna terpapar asap rokok. Sisi
aliran asap yang terbakar lebih panas dan lebih toksik dari pada asap yang
dihirup perokok, terutama dalam mengiritasi mukosa jalan nafas. Paparan
asap tembakau pasif berakibat lebih berbahaya gejala penyakit saluran nafas
bawah (batuk, lendir dan mengi) dan naiknya risiko asma dan serangan asma
(Danusaputro, 2000).
B. Tungau Debu Rumah
Tungau debu adalah penyebab paling umum diseluruh dunia. Alergi
tungau lebih sering terjadi di kota dan Negara berkembang. Hal ini terjadi
karena rumah modern dan penggunaan teknik insulasi memuningkankan
tungau hidup lebih baik (Ramaniah, 2005).
Asma bronkial dikaitkan oleh masuknya suatu alergen misalnya
tungau debu. Tungau debu akan mengeluarkan feses yang dilapisi protein pada
setiap butir partikelnya. yang menyebabkan reaksi alergi bagi penderita
asma apabila masuk ke dalam saluran nafas. Ketika tungau ini mati, tubuhnya
yang membusuk bercampur dengan debu rumah tangga (Ramaiah, 2006).
Tungau debu rumah memiliki ukuran 0,1 - 0,3 mm dan lebar 0,2 mm biasanya
terdapat di tempat-tempat atau benda-benda yang banyak mengandung debu
(Vitahealth, 2006). Misalnya debu yang berasal dari karpet dan jok kursi,
terutama yang berbulu tebal dan lama tidak dibersihkan, juga dari tumpukan
koran,buku, pakaian lama (Danusaputro, 2000).

C. Jenis Kelamin
Jumlah kejadian asma pada anak laki-laki lebih banyak dibandingkan
dengan anak perempuan (Sundaru, 2006). Perbedaan jenis kelamin pada
insidensi penyakit asma bervariasi, tergantung usia dan perbedaan karakter
biologi. Insidensi penyakit asma pada anak laki-laki usia 2-5 tahun ternyata
2 kali lebih sering dibandingkan anak perempuan sedangkan pada usia 14
tahun risiko asma anak laki- laki 4 kali lebih sering. Kunjungan ke rumah
sakit 3 kali lebih sering dibanding anak perempuan pada usia tersebut, tetapi
pada usia 20 tahun kekerapan asma pada laki-laki merupakan kebalikan dari
insiden ini (Yunus, 2006).
Peningkatan resiko pada anak laki-laki disebabkan semakin sempitnya
saluran pernapasan, perubahan pada pita suara, dan mungkin terjadi
peningkatan IgE pada laki-laki yang cenderung membatasi respon bernapas
(Sundaru, 2006)
Didukung lagi oleh adanya hipotesis dari observasi yang
menunjukkan tidak ada perbedaan ratio diameter saluran pernafasam laki-laki
dan perempuan setelah berumur 10 tahun, kemungkinan disebabkan perubahan
ukuran rongga dada yang terjadi pada masa puber laki-laki dan tidak pada
perempuan. Predisposisi perempuan yang mengalami asma lebih tinggi
pada laki-laki mulai ketika masa puber, sehingga prevalensi asma pada
anak yang semula laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan mengalami
perubahan dimana nilai prevalensi pada perempuan lebih tinggi dari pada
laki-laki (GINA, 2006).

D. Binatang Peliharaan
Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing, hamster, burung
dapat menjadi sumber alergen inhalan. Sumber penyebab asma adalah
alergen protein yang ditemukan pada bulu binatang di bagian muka dan
ekskresi. Alergen tersebut memiliki ukuran yang sangat kecil (sekitar 3-4
mikron) dan dapat terbang di udara sehingga menyebabkan serangan asma,
terutama dari burung dan hewan menyusui karena bulu akan rontok dan terbang
mengikuti udara (Sundaru, 2006).

E. Jenis Makanan
Alergi makanan seringkali tidak terdiagnosis sebagai salah satu
pencetus asma meskipun penelitian membuktikan alergi makanan sebagai
pencetus bronkokontriksi pada 2% - 5% anak dengan asma (Ramaiah,
2006).
Meskipun hubungan antara sensitivitas terhadap makanan tertentu dan
perkembangan asma masih diperdebatkan, tetapi bayi dan anak-anak yang
sensitif terhadap makanan tertentu atau menderita enteropathy atau colitis
karena alergi makanan tertentu akan cenderung menderita asma. (GINA,
2006).
Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu sapi, ikan
laut, kacang, berbagai buah-buahan seperti tomat, strawberry, mangga,
durian berperan menjadi pencetus seranga asma (Handayani, 2004).
Makanan produk industri dengan pewarna buatan (misal: tartazine),
pengawet (metabisulfit), vetsin (monosodium glutamat-MSG) juga bisa
memicu serangan asma. Makanan yang terutama sering mengakibatkan
reaksi yang fatal adalah kacang, ikan laut dan telor (Handayani, 2004).
Penelitian di Arab Saudi membandingkan makanan pengidap asma
dengan tidak asma. Anak Arab Saudi yang tinggal di daerah perkotaan
banyak menunjukkan gejala nafas berbunyi atau mengi. Anak-anak ini
sering bersantap di gerai-gerai makanan cepat saji dan secara signifikan
kurang mendapatkan asupan makanan tradisional, termasuk sayuran, susu,
makanan yang kaya serat, vitamin dan mineral (Sundaru, 2006).

F. Perabot Rumah Tangga.


Bahan polutan indoor dalam ruangan meliputi bahan pencemar
biologis (virus, bakteri, jamur), formadehyde, volatile organic coumpounds
(VOC), combustion products (CO1, NO2, SO2) yang biasanya berasal dari
asap rokok dan asap dapur. Sumber polutan VOC berasal dari semprotan
serangga, cat, pembersih, kosmetik, Hairspray, deodorant, pewangi
ruangan, segala sesuatu yang disemprotkan dengan aerosol sebagai propelan
dan pengencer (solvent) seperti thinner. Sumber formaldehid dalam ruangan
adalah bahan bangunan, insulasi, furnitur, karpet (Ramaiah, 2006).
Paparan polutan formaldehid dapat mengakibatkan terjadinya iritasi
pada mata dan saluran pernapasan bagian atas. Partikel debu, khususnya
respilable dust disamping menyebabkan ketidak nyamanan juga dapat
menyebabkan reaksi peradangan paru (Handayani, 2004).
G. Perubahan Cuaca
Kondisi cuaca seperti temperatur dingin, tingginya kelembaban dapat
menyebabkan asma lebih parah, epidemik yang dapat membuat asma
menjadi lebih parah berhubungan dengan badai dan meningkatnya
konsentrasi partikel alergenik (Ramaiah, 2006).
Dimana partikel tersebut dapat menyapu pollen sehingga terbawa oleh air
dan udara. Perubahan tekanan atmosfer dan suhu memperburuk asma
sesak nafas dan pengeluaran lendir yang berlebihan. Ini umum terjadi
ketika kelembaban tinggi, hujan, badai selama musim dingin. Udara yang
kering dan dingin menyebabkan sesak di saluran pernafasan (Ramaiah,
2006).
Menurut Linacre (1999) asma berhubungan dengan iklim, Kota besar
seperti Auckland, Brisbane, Hongkong dan New Orleans yang mempunyai
suhu panas >24 o C dan rata rata curah hujan tahunan >100cm, mempunyai
prevalensi asma yang tinggi.
RS Cipto menunjukkan penderita dengan perubahan udara
kemungkinan akan mengalami asma 31.83 x lebih besar dari penderita
tanpa perubahan cuaca. Hal ini diperkuat dengan penelitian di Amerika
seikat yang membuktikan bahwa ada hubungan antara kunjungan asma
dengan cuaca dingin dan kering pada musim semi (Kalsteinet et al, 1995).

H. Riwayat Penyakit Keluarga


Telah dibuktikan oleh banyak peneliti bahwa bila kedua orang tua
menderita penyakit alergi, maka kemungkinan 60% anaknya akan
menderita penyakit alergi, baik asma, rhinitis, dermatitis atopi atau bentuk
alergi lainnya. Bila salah satu orang tua menderita penyakit alergi, maka
kemungkinan 40% anak mereka akan menderita alergi. Apabila kedua
duanya tidak terkena penyakit alergi, maka kemungkinan 15% menderita
penyakit alergi (Ramaiah, 2006).
Lebih kurang 25% penderita penyakit asma, keluarga dekatnya juga
menderita asma, meskipun asmanya tidak aktif lagi, diantara keluarga penderita
asma 2/3 memperlihatkan test alergi positif ( Sundaru, 2006).
Resiko orang tua dengan asma mempunyai anak dengan asma adalah
tiga kali lipat lebih tinggi jika riwayat keluarga dengan asma disertai
dengan salah satu riwayat atopi. Predisposisi keluarga untuk mendapatkan
penyakit asma yaitu kalau anak dengan satu orangtua yang terkena mempunyai
risiko menderita asma 25%, risiko bertambah menjadi sekitar 50% jika kedua
orang tua asmatisk. Asma tidak selalu ada pada kembar monozigot,
tingkat stabilitas bronkokontriksi pada olahraga ada pada kembar identik,
tetapi tidak pada kembar dizigot (Sundaru, 2006) Orang tua asma
kemungkinan 8-16 kali menurunkan asma dibandingkan dengan orang tua yang
tidak asma, terlebih lagi bila anak alergi terhadap tungau debu rumah (Ramaiah,
2006).

DAFTAR PUSTAKA
Aula LE. 2010. Stop Merokok. Garailmu. Jogjakarta.
Danusaputro, H. 2000. Ilmu Penyakit Paru. ; 197 – 209.
GINA (Global Initiative for Asthma); Pocket Guide for Asthma Management
and Prevension In Children. www. Ginaasthma. Org. 2006.
Handayani D, Wiyono WH, Faisal Y. 2004. Penatalaksanaan Alergi Makanan.
J Respir Indo. Vol 24(3): 133-144.
Jaakola,S.M., Piipari, R., Jaakola, N. Jaakkola, K.J.J. 2003. Environmental
Tobacco Smoke and Adult Onset Asthma: A Population Based Incident
Case Control Study. American Journal of Public Health. Vol 93: 12, hal
2055-60.
Ramaiah, S. 2006. Asma mengetahui penyebab, gejala, dan cara
penanggulangannya. Bhuana Ilmu Populer, Gramedia. Jakarta.
Sundaru, Heru, Sukamto. 2006. Asma Bronkial, Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta juni 2006 ;
247. In : Sudoyo, Aru W., Setiyohadi, Bambang, Alwi, Idrus, Marcellus
S. K., Setiati, Siwi. (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
Vita Health. 2005, Asma Informasi Lengkap untuk Penderita dan Keluarganya,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

You might also like