You are on page 1of 17

DIC

(DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION)

A. DEFINISI
Disseminated Intravascular Coagulation adalah gangguan dimana terjadi koagulasi atau
fibrinolisis (destruksi bekuan). DIC dapat terjadi pada sembarang malignansi, tetapi yang
paling umum berkaitan dengan malignansi hematologi seperti leukemia dan kanker
prostat, traktus GI dn paru-paru. Proses penyakit tertentu yang umumnya tampak pada
pasien kanker dapat juga mencetuskan DIC termasuk sepsis, gagal hepar dan anfilaksis. (
Brunner & Suddarth, 2002)
Disseminated Intavascular Coagulation (DIG) didefinisikan sebagai kelainan atau
gangguan kompleks pembekuan darah akibat stirnulasi yang berlebihan pada mekanisme
prokoagulan dan anti koagulan sebagai respon terhadap jejas/injury (Yan Efrata
Sembiring, Paul Tahalele)
Jadi Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah suatu keadaan dimana bekuan-
bekuan darah kecil tersebar di seluruh aliran darah, menyebabkan penyumbatan pada
pembuluh darah kecil dan berkurangnya faktor pembekuan yang diperlukan untuk
mengendalikan perdarahan

B. EPIDEMIOLOGI
Kondisi ini lebih terjadi sebagai respon terhadap factor lain dibandingkan sebagai kondisi
primer. Tidak ditemukan factor predisposisi yang berhubungan dengan umur, jenis
kelamin, ataupun ras. (Hewish, 2005)

C. ETIOLOGI
Perdarahan terjadi karena :
1. Hipofibrinogemia
2. Trombositopenia
3. Beredarnya antikoagulan dalam sirkulasi darah (hasil perombakan fibrinogen)
4. Fibrinolisis berlebihan
DIC dapat terjadi pada penyakit-penyakit :
1. Infeksi (DHF, sepsis, meningitis, pneumonia berat, malaria tropika, infeksi oleh
beberapa jenis riketsia)
2. Komplikasi kehamilan (solusio plasenta, kematian janin intrauterin, emboli cairan
amnion)
3. Setelah operasi (operasi baru, by pass cardiopulmonal, lobektomi, gastrektomi,
splenektomi)
4. Keganasan (karsinoma prostat, karsinoma paru, leukemia akut)
(Hewish, 2005; Kellicker, 2005)

D. KLASIFIKASI
Ada sumber yang menyebutkan bahwa DIC dibedakan menjadi dua bentuk klinis, yakni
DIC akut dan DIC kronik.
 DIC akut adalah kelainan perdarahan yang memiliki karakteristik timbulnya
memar atau lebam (ekimosis), perdarahan dari mukosa (seperti pada mukosa bibir
atau genital), dan penurunan jumlah trombosit dan factor pembekuan di dalam
darah. Purpura Fulminan adalah bentuk fatal yang terjadi cepat dan berbahaya
dari DIC akut.
 DIC kronik mempengaruhi formasi bekuan darah di pembuluh darah
(tromboembolism). Faktor pembekuan dan trombosit dapat berada pada nilai
normal, meningkat, atau bahkan sedikit menurun pada DIC kronik. (Ngan, 2005)
Sumber lainnya membagi DIC menjadi DIC subakut dan DIC akut.
1. DIC subakut berhubungan dengan komplikasi tromboembolik seperti DVT dan
PE seperti terjadinya pada katup jantung.
2. DIC akut
a. Trombositopenia dan penurunan factor koagulasi mengarah pada
kecenderungan terjadinya perdarahan
b. Diperburuk dengan meningkatnya degradasi fibrin sampai produk
pemecah fibrin yang akan mengganggu terhadap polimerasi fibrin dan
juga terhadap fungsi trombosit.
c. Endapan fibrin pada pembuluh darah kecil mempengaruhi terjadinya
iskemia jaringan. Organ yang paling mudah terpengaruh adalah ginjal,
dimana endapan fibrin dapat menyebabkan terjadinya acute renal failure.
d. Hemolisis dapat terjadi karena adanya kerusakan mekanis pada sel darah
merah sebagai akibat secunder dari deposit fibrin.
e. Pasien dapat mengalami fenomena neurologik karena adanya serangan
iskemia pada otak. (Anonym, 2005)

E. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinis bergantung pada penyakit dasar, akut atau kronik, dan proses patologis
yang mana lebih utama,apakah akibat thrombosis mikrovaskular atau diathesis
hemoragik. Kedua proses patologis ini menimbulkan gejala klinis yang berbeda dan dapat
ditemukan dalam waktu yang bersamaan.
Perdarahan dapat terjadi pada semua tempat. Dapat terlihat sebagai petekie,
ekimosis,perdarahan gusi,hemoptisis,dan kesadaran yang menurun sampai koma akibat
perdarahan otak. Gejala akibat thrombosis mikrovaskular dapat berupa kesadaran
menurun sampai koma,gagal ginjal akut,gagal napas akut dan iskemia fokal,dan gangrene
pada kulit.
Mengatasi perdarahan pada Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) sering lebih
mudah daripada mengobati akibat thrombosis pada mikrovaskular yang menyababkan
gangguan aliran darah,iskemia dan berakhir dengan kerusakan organ yang menyebabkan
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) sering berhubungan langsung dengan
kondisi penyebabnya, adanya riwayat perdarahan dan hipovolume seperti perdarahan
gastro intestinal dan gejala dan tanda trombosis pada pembuluh darah yang besar seperti
DVT dan trombosis mikrovaskuler seperti gagal ginjal, perdarahan dari setidaknya 3
daerah yang tidak berhubungan langsung dengan DIC seperti :
 Epistaksis
 Perdarahan gusi
 Perdarahan Mukosal
 Batuk
 Dyspnea
 Bingung, disorientasi
 Demam
Kondisi yang dapat terjadi DIC antara lain :
1. Sepsis atau infeksi yang berat
2. Trauma ( Polytrauma, neurotrauma, emboli lemak )
3. Kerusakan organ ( Pankreatitis berat )
4. Malignancy ( Penyakit yang kondisinya buruk )
 Tumor padat
 Myeloproliferative/ lymphoproliferatif maligna
5. Kehamilan yang sulit - Emboli caitran amniotik, Plasenta abrupsio
6. Kelainan Vaskuler (Kasaback-mereritt syndrom, Aneurisma vaskuler yang besar)
7. Kerusakan hepar berat
8. Reaksi toxic atau imunologi yang berat (Digigit ular, Penggunaan obat-obatan
terlarang, Reaksi transfusi, Kegagalan tranplantasi)

F. PATOFISIOLOGI
Hemostasis dan pembekuan adalah serangkaian kompleks reaksi yang mengakibatkan
pengendalian perdarahan melalui pembentukan bekuan trombosit dan fibrin pada tempat
cedera. Pembekuan disusul oleh resolusi atau lisis bekuan dan regenerasi endotel. Pada
keadaan homeostasis, homeostasis dan pembekuan melindungi individu dari perdarahan
masif sekunder akibat trauma. Dalam keadaan abnormal, dapat terjadi perdarahan atau
trombosis, dan penyumbatan cabang-abang vaskuler, yang dapat mengancam nyawa.
Pada saat cedera, ada tiga proses utama yang bertanggung jawab atas hemostasis dan
pembekuan :
1. vasokonstriksi sementara
2. reaksi trombosit yang terdiri dari adhesi, reaksi pelepasan dan agregasi trombosit,
dan
3. pengaktifan faktor-faktor pembekuan
langkah-langkah permulaan terjadi pada permukaan jaringan yang cedera, dan reaksi-
reaksi selanjutnya terjadi pada permukaan fosfolipid trombosit yang mengalami agregasi.
(Price, 1995)
Trombosit
Trombosit atau platelet bukan merupakan sel, melainkan pecahan granular sel, berbentuk
piringan dan tidak berinti. Trombosit adalah bagian terkecil dari unsur selular sumsum
tulang dan sangat penting peranannya dalam hemostasis dan pembekuan. Trombosit
berasal dari sel induk pluripotensial yang tidak terikat, yang bila dibutuhkan dan dengan
adanya faktor perangsang trombosit (Mk-CSF [megakaryocyte Colony- Stimulating
Factor] berdiferensiasi menjadi kelompok sel induk yang terikat untuk membentuk
megakarioblas. Sel ini, melalui serangkaian proses pematangan menjadi megakariosit
raksasa. Tidak seperti unsur sel lainnya, megakariosit mengalami endomitosis, dimana
terjadi pembelahan inti dalam sel, tetapi sel itu sendiri tidak membelah. Sel dapat
membesar karena sintesis DNA meningkat. Sitoplasma sel akhirnya memisahkan diri
menjadi trombosit-trombosit. (Price, 1995)
Faktor-faktor pembekuan plasma
I. Fibrinogen : prekursor fibrin (protein polimer)
II. Protombin : prekursor dari trombin enzim porteolitik dan mungkin akselerator-
akselerator dari konversi protombin lain
III. Tromboplastin : suatu lipoprotein jaringan aktivator dari protombin
IV. Kalsium : diperlukan untuk pengaktifan protombin dan pembentukan fibrin
V. Plasma ekselerator globulin : suatu faktor plasma yang mempercepat perubahan
protombin menjadi trombin
VI. –
VII. akselerator konversi protombin serum : suatu faktor serum yang mempercepat
perubahan protombin
VIII. globulin antihemolitik (AHG) : suatu faktor plasma yang berkaitan dengan faktor
III trombosit dan faktor christmas (IX) mengaktifkan protombin
IX. faktor christmas : faktor serum yang berkaitan dengan faktor III trombosit dan
VIIIAHG; mengaktifkan protombin
X. faktor Stuart-Power : suatu faktor plasma dan serum; akselerator konversi
protombin
XI. plasma tromboplastin antecedent (PTA) : suatu faktor plasma yang diaktifkan
oleh faktor Hageman (XII); akselerator pembentukan trombin
XII. Faktor Hageman : suatu faktor plasma; mengaktifkan PTA (XI)
XIII. Faktor yang menstabilkan fibrin : faktor plasma; menimbulkan bekuan fibrin yang
lebih kuat yang tidak larut dalam urea.
 Faktor Fletcher (prekalikrein) : faktor pengaktivasi kontak
 Faktor Fitzgerald (kininogen berat molekul tinggi) : faktor pengaktivasi
kontak
Faktor-faktor Pembekuan
Faktor-faktor pembekuan, kecuali faktor III (tromboplastin jaringan) dan faktor IV (ion
kalsium), merupakan protein plasma. Faktor-faktor ini bersirkulasi dalam darah sebagai
molekul-molekul yang tidak aktif. Prekalikrein dan kininogen berat molekul tinggi,
bersama-sama dengan faktor XI dan XII dinamakan faktor-faktor kontak. Pada saat
cedera faktor-faktor kontak akan diaktifkan karena terjadi kontak pada permukaan
jaringan. Setelah mereka terbentuk, mereka juga berperan dalam melarutkan bekuan.
(Price, 1995)
Pengaktifan faktor-faktor pembekuan diduga terjadi karena enzim memecahkan fragmen
bentuk prekursor yang tidak aktif, oleh karena itu dinamakan prokoagulan. Tiap faktor
yang sudah diaktifkan, kecuali V, VIII, dan XIII, serta I (fibrinogen), adalah enzim
pemecah protein (protease serin), sehingga mengaktifkan prokoagulan berikutnya. (Price,
1995)
Hati adalah tempat sintesis semua faktor pembekuan kecuali faktor VIII dan mungkin XI
dan XIII. Vitamin K perlu untuk mempertahankan kadar normal dari faktor-faktor
protombin darah atau sintesis faktor-faktor protombin (II, VII, IX, dan X). Bukti yang
ada menunjukkan bahwa faktor VIII benar-benar merupakan molekul kompleks yang
terdiri dari tiga subunit yang berbeda :
1. bagian prokoagulan, mengandung faktor antihemofilia, VIIIAHG yang tidak
dimiliki oleh penderita hemofilia klasik
2. subunit lain mengandung tempat antigenik
3. faktor Von Willebrand, VIIIVWF, yang diperlukan untuk adhesi pada dinding
pembuluh. (Price, 1995)

Fase-fase pembekuan
Pembekuan diawali oleh cedera vaskular dalam keadaan hemostasis. Vasokonstriksi
adalh respon langsung terhadap cedera, yang diikuti oleh adhesi trombosit pada kolagen
dinding pembuluh yang terkena cedera. ADP (adenosin difosfat) dilepaskan oleh
trombosit, yang menyebabkan mereka mengalami agregasi. Sejumlah kecil trombin juga
merangsang agregasi trombosit yang berguna untuk mempercepat reaksi. Faktor III
trombosit, dari membran trombosit, juga mempercepat pembekuan plasma. Dengan cara
ini, terbentuklah sumbat trombosit, yang kemudian segera diperkuat oleh protein
filamentosa yang dikenal sebagai fibrin. (Price, 1995)

Produksi fibrin dimulai dengan perubahan faktor X menjadi Xa, sebagai bentuk aktif
faktor X. Faktor X dapat diaktifkan melalui dua rangkaian reaksi. Rangkaian yang
pertama memerlukan faktor jaringan, atau tromboplastin jaringan, yang dilepaskan oleh
endotel pembuluh waktu cedera. Karena faktor jaringan tidak terdapat dalam darah, maka
ia termasuk faktor ekstrinsik pembekuan, dari sini didapat nama jaras ekstrinsik bagi
rangkaian ini. (Price, 1995)

Rangkaian lainnya yang mengaktifkan faktor X adalah jaras intrinsik, diberi nama tersebt
sebab ia menggunakan faktor-faktor yang terdapat dalam sistem vaskular atau plasma.
Dalam rangkaian ini terdapat reaksi ”air terjun”, pengaktifan salah satu prokoagulan akan
mengaktifkan pengaktifan bentuk penerusnya. Jalan intrinsik diawali oleh keluarnya
plasma atau kolagen melalui pembuluh yang rusak dan mengenai kulit. Faktor jaringan
tidak diperlukan, tetapi trombosit yang melekat pada kolagen, sekali lagi memainkan
peran. Faktor XII, XI dan IX harus diaktifkan secara berurutan, dan faktor VIII harus
dilibatkan sebelum faktor X dapat diaktifkan. Zat prekalikrein dan kininogen berat
molekul tinggi juga ikut serta, dan diperlukan ion kalsium. (Price, 1995)

Dari titik ini pembekuan berjalan sepanjang apa yang dinamakan jaras bersama.
Pengaktifan faktor X terjadi sebagai akibat reaksi jaras ekstrinsik atau intrinsik.
Pengalaman klinik menunjukkan bahwa kedua jalan tersebut ikut berperan pada
hemostasis. (Price, 1995)
Langkah berikutnya yang menuju ke pembentukan fibrin berlangsung bila faktor Xa,
dibantu oleh fosfolipid dari trombosit yang sudah diaktifkan memecahkan protombin,
membentuk trombin. Selanjutnya trombin memecahkan fibrinogen membentuk fibrin
(sejumlah kecil trombin nampaknya dicadangkan untuk memperbesar agregasi
trombosit). Fibrin ini, yang mula-mula merupakan jeli yang dapat larut, distabilkan oleh
faktor XIIIa dan mengalami polimerasi menjadi jaringan fibrin yang kuat, trombosit, dan
menjerat sel-sel darah. Untaian fibrin kemudian memendek (retraksi bekuan),
mendekatkan pinggir-pinggir dinding pembuluh yang cedera dan menutup daerah
tersebut. (Price, 1995)

Resolusi Bekuan
Sistem fibrinolitik adalah rangakaian dimana fibrin dipecahkan oleh plasmin (juga
dinamakan fibrinolisin) menjadi produk degradasi fibrin, mengakibatkan lisis bekuan.
Diperlukan beberapa interaksi untuk mengubah protein plasma spesifik inaktif dalam
sirkulasi menjadi enzim fibrinolitik aktif plasmin. Protein yang bersirkulasi, yang dikenal
sebagai proaktivator plasminogen, dengan adanya kinase seperti streptokinase,
stafilokinase, kinase jaringan, serta faktor XIIa, dikatalisasi menjadi aktivator
plasminogen. Dengan adanya enzim-enzim lain seperti urokinase, maka aktivator-
aktivator mengubah plasminogen, protein plasma yang sudah bergabung dalam bekuan
fibrin, menjadi palsmin. Kemudian plasmin memecahkan fibrin dan fibrinogen menjadi
fragmen-fragmen (produk degradasi fibrin-fibrinogen) yang mengganggu aktivitas
trombin, fungsi trombosit, dan polimerisasi fibrin, mengakibatkan bekuan larut. Sistem
monosit-makrofag dan leukosit juga memegang peranan pada fibrinolisis melalui
aktivitas fagositiknya. (Price, 1995)
Patofisiologi dari DIC meliputi dimulainya proses koagulasi melalui perlukaan pada
endotel atau karena perlukaan jaringan yang kemudian menghasilkan materi prokoagulan
dalam bentuk sitokin dan faktor jaringan. Interleukin 6 dan faktor nekrosis tumor
merupakan hal yang paling mempengaruhi masuknya sitokin ke dalam proses koagulasi
dengan melalui faktor jaringan, dan merupakan faktor yang paling bertanggung jawab
dalam hal kerusakan end organ yang mungkin terjadi. Lebih jauh lagi, pada sepsis,
neutrofil dan produk yang dikeluarkan dapat menaikkan media trombosit pada formasi
fibrin. (Furlong, 2006).
Dua enzim proteolitik, yakni trombin dan plasmin, bereaksi aktif secara sistemik.
Keseimbangannya menentukan terjadinya perdarahan atau kecenderungan terjadi
trombosis. Trombin memecah fibrinogen menjadi fibrin monomer. Trombin akhirnya
memungkinkan aliran koagulasi dan menyebabkan trombosis pada pembuluh darah kecil
dan sedang, yang hasilnya menyebabkan iskemik organ atau bahkan kerusakan organ.
Mekanisme pengatur dari aliran koagulasi antara lain tissue factor pathway inhibitor
(TFPI), antithrombin III, dan protein C aktif menyebabkan kerusakan yang luas. Plasmin,
salah satu komponen sistem fibrinolitik, mampu menurunkan fibrin dalam produk
degradasi yang terukur. Plasmin juga merupakan komplemen aktivasi. Plasmin dan
trombin mempengaruhi secara kualitatif dan kuantitatif abnormalitas trombosit. (Furlong,
2006).
DIC akut memiliki karakteristik adanya perdarahan secara menyeluruh, yang dapat
berupa petekiae hingga perdarahan eksangunasi atau trombosis mikrosirkulasi dan
makrosirkulasi. Hal ini memacu terjadinya hipoperfusi, infark, dan kerusakan end organ.
Pada kasus yang berat, pasien dapat mengalami demam dan memiliki gejala seperti syok
yang ditandai dengan takikardi, takipneu, dan hipotensi. DIC kronik memiliki
karakteristik adanya perdarahan subakut dan trombosis yang difus. DIC lokal dicirikan
dengan perdarahan atau trombosis yang membatasi suatu lokasi anatomis spesifik. Ini
berhubungan dengan adanya aneurisma aorta, giant hemangioma, dan hiperakut renal
allograft rejection (Furlong, 2006).
Defisiensi factor plasma didapat dikaitkan dengan menurunnya pembentukan factor-
faktor pembekuan, seperti yang ditemukan pada penyakit hati atau defisiensi vitamin K,
atau peningkatan penggunaan pada DIC atau fibrinolisis. (Price, 1995)

Karena hati merupakan tempat utama sintesis factor-faktor II, V, VII, IX, dan X, maka
kerusakan hati yang berat yaitu sirosis akan merubah respon hemostasis. Terdapat juga
penurunan pembersihan hati dari faktor-faktor pembekuan yang sudah diaktifkan. Selain
itu, terdapat gangguan sintesis faktor-faktor koagulasi yang bergantung pada vitamin K.
Hipertensi portal pada penyakit hati mengakibatkan splenomegali kongestif yang disertai
trombositopenia dan varises esofagus. Keadaan ini, bersama-sama dengan gangguan
pembekuan dapat mengakibatkan perdarahan masif. PT, PTT, dan masa perdarahan
semuanya memanjang. (Price, 1995)

Vitamin K yang diperoleh dari diet dan sintesis bakterial, diperlukan untuk sintesis
faktor-faktor II, VII, IX, dan X. Pada kasus malnutrisi, malabsorpsi, atau sterilisasi
saluran cerna oleh antibiotika, vitamin K berkurang secara nyata dengan akibat
penurunan aktivitas biologis faktor-faktor pembekuan. Terapi perdarahan berat
memerlukan penggantian faktor-faktor pembekuan dengan plasma beku segar (yang
memberikan faktor-faktor II, VII, IX, dan X), vitamin K parenteral, dan penyembuhan
proses penyakit yang mendasarinya. (Price, 1995)

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Hasil pemeriksaan darah menunjukkan hipofibrigenemia,peningkatan produk hasil
degradasi fibrin (D-dimer yang paling sensitif),trombositopenia dan waktu protrombin
yang memanjang.
Pemeriksaan Hemostasispada DIC
a. MasaProtombin
Masa protrombin bisa abnormal pada DIC, dapat disebabkan beberapa hal. Karena masa
protrombin yang memanjang bisa karena hipofibrinogenemia, gangguan FDP pada
polimerisasi fibrin monomer dan karena plasmin menginduksi lisis faktor V dan faktor
IX. Masa protrombin ditemukan memanjang pada 50-75% pasien DIC sedang pada
kurang 50% pasien bisa dalam batas normal atau memendek. Normal atau memendeknya
masa protrombin ini terjadi karena
1. Beredarnya faktor koagulasi aktif seperti trombin atau F Xa yang dapat
mempercepat pembentukan fibrin,
2. Hasil degradasi awal dapat mempercepat pembekuan oleh thrombin atau sistem
pembekuan gel yang cepat. Masa protrombin umumnya kurang bermanfaat dalam
evaluasi DIC.
b. Partial Thrombin Time (PTT)
PTT diaktifkan seharusnya juga memanjang pada DIC fulminan karena berbagai sebab
sehingga parameter ini lebih berguna pada masa protrombin. Plasmin menginduksi
biodegradasi F V, VIII, IX dan XI, yang seharusnya juga menyebabkan PTT memanjang.
Selain itu sama halnya dengan masa protrombin, PTT juga akan memanjang bila kadar
fibrinogen kurang dari 100 mg%.
PTT juga memanjang pada DIC Karena pada FDP menghambat polimerisasi fibrin
monomer. Namun PTT yang memanjang dapat ditemukan pada 50-60% pasien DIC, dan
oleh sebab itu PTT yang normal tak dapat dipakai menyingkirkan DIC. Mekanisme
terjdinya PTT normal atau memendek pada 40-50% pasien DIC sama seperti pada masa
protrombin.
c. Kadar Faktor Pembekuan
Pemeriksaan kadar faktor pada pembekuan memberikan sedikit informasi yang berarti
pada pasien DIC. Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya pada kebanyakan pasien
DIC fulminan faktor pembekuan yang aktif beredar dalam sirkulasi terutama F Xa, IXa
dan trombin. Pemeriksaan faktor yang didasarkan atas standar PTT dan masa protrombin
dengan teknik menggunakan difisiensi substrat akan memberikan hasil yang tidak dapat
diinterpretasi. Sebagai contoh jika F VIII diperiksa dengan pasien DIC dengan disertai
peningikata F Xa, jelas F VIII yang dicatat akan tinggi karena dalam uji sistem F Xa
melintas kebutuhan F VIII sehingga terjadi perubahan fibrinogen menjadi fibrin dengan
cepat dengan waktu yang dicatat dalam kurva standar pendek, dan ini akan diinterpretasi
sebagai kadar F VIII yang tinggi.
d. FDP
Kadar FDP akan meningkat pada 85-100% kasus DIC. Hasil degradasi ini akibat
biodegradasi fibrinogen atau fibrin oleh plasmin, jadi secara tidak langsung menunjukkan
bahwa jumlah plasmin melebihi jumlah normal dalam darah. Tes protamin sulfat atau
etanol biasanya positif bila dalam sirkulasi darah ada fibrin monomer soluble. Tetapi
sama sepert FDP, tes ini bukan sebagai sarana diagostik, karena fibrin monomer soluble
juga terlihat pada situasi klinis lain, sama seperti pada situasi klinis lain, seperti pada
wanita dengan kontrasepsi oral, pasien dengan emboli paru, pada beberapa pasien infark
miokard, pasien dengan penyakit ginjal tertentu, pasien dengan thrombosis vena atau
arteri, dan pasien dengan tromboemboli.
e. D- Dimer
Suatu test terbaru untuk DIC adalah D-Dimer.D-Dimer merupakan hasil degradasi fibrin
ikat silang yaitu fibrinogen yang diubah menjadi fibrin kemudian diaktifkan oleh factor
XIII. Dari periksaan atau tes yang paling banyak dilakukan untuk menilai KID. D-Dimer
tamapaknya merupakan tes yang paling dapat dipercaya untuk menilai kemungkinan
DIC, Menunjukkan adanya D-Dimer apnormal pada 93% kasus, kadar AT III apnorml
pada 89% kasus, kadar fibri nopeptida apnormal pada 88% kasus, dan titer FDP abnormal
pada 75 % kasus.
Kadang-kadang titer FDP dan reaksi para koagulasi dapat negative pada DIC. Hal ini
disebabkan pada DIC akut jumlah plasmin yang beredar sngat banyak dan fibrinolisis
sekunder mengakibatkan degradasi Fragmen D & E, padahal fragmen inilah yang
dideteksi sebagai FDP. Selain itu penglepasan protease granulosid, kolagenase dan
elastase yang berlebihan dapat juga mengakibatkan dekradasi pada semua sisa fragmen D
& E dan akhirnya memberikan hasil FDP negative. Jadi FDP yang negative belum dapat
menyingkirkan diagnosis DIC. Dengan tersedianya pemeriksaan D-Dimer, pemeriksaan
FDP dan tes protamin sulfat menjadi terbatas perannya dalam mendiagnosis DIC.

H. PENATALAKSANAAN
1. Atasi penyakit primer yang dapat menimbulkan koagulasi intravaskular
desiminata.
2. Pemberian heparin. Heparin dapat diberikan 200 U/kg BB iv tiap 4-6
jam.Kenaikan kadar fibrinogen plasma nyata dalam 6-8 jam,setelah 24-48 jam
sesudah mencapai harga normal.
3. Terapi pengganti.Darah atau packed red cell diberikan untuk mengganti darah
yang keluar.Bila dengan pengobatan yang baik jumlah trombosit tetap rendah
dalam waktu sampai seminggu,berarti tatap mungkin terjadi perdarahan terus atau
ulangan,sehingga dalam keadaan ini perlu diberikan platelet concentrate.
4. Obat penghambat fibrinotitik.Pemakaian Epsilon Amino Caproic Acid (EACA)
atau asam traneksamat untuk menghambat fibrinolisis sama sekali tidak boleh
dilakukan,karena akan menyebabkan trombosis.Bila perlu sekali,baru boleh
deberikan setelah heparin sudah disuntikan.Lama pengobatan tergantung dari
perjalanan penyakit primernya. Bila penyakit primernya dapat diatasi cepat
misalnya komplikasi kehamilan dan sepsis,pengobatan koagulasi intravsakular
desiminata hanya perlu untuk 1-2 hari.Pada keganasan leukimia dan penyakit-
penyakit lain dimana pengobatan tidak efektif,heparin perlu lebih lama
diberikan.Pada keadaan ini sebaiknya diberikan heparin subkutan secara
berkala.Antikoagulan lain jarang diberikan.Sodium warfarin kadang-kadang
memberikan hasil baik.
5. Penghilang faktor pencetus.
6. Dapat diberikan plasma yang mengandung faktor 8,sel darah merah,dan
trombosit.

I. KOMPLIKASI
Bekuan yang banyak terbentuk akan menyebabkan hembatan aliran darah di semua organ
tubuh.Dapat terjadi kegagalan organ yang luas.Angka kematian lebih dari 50%.
1. Solusio placenta
2. Preklamsia dan eklamsia
3. Emboli cairan amniotik
4. Perdarahan obstrektif masif
5. Tertinggalnya janin yang sudah meninggal dalam tubuh ibu.

J. PROGNOSIS
Prognosis dari DIC sangat dipengaruhi oleh kondisi yang mendasari yang menyebabkan
DIC dan juga dipengaruhi seberapa beratnya DIC yang terjadi. (Furlong, 2006)
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Data dasar dan data fokus yang dapat ditemukan meliputi perdarahan abnormal pada
semua sistem dan prosedur invasif, antara lain :
1. Kulit dan membran mukosa  perembesan difusi darah atau plasma, ptekiae,
purpura yang teraba (pada awalnya di dada dan abdomen), bula hemoragi,
hemoragi subkutan, hematoma, luka bakar karena plester, sianosis akral
2. Sistem GI  mual, muntah, uji guaiak positif pada emesis/aspirasi
nasogastrik dan feses, nyeri hebat pada abdomen, peningkatan lingkar
abdomen
3. Sistem urinaria  hematuria, oliguria
4. Sistem pernafasan  dispnea, takipnea, sputum mengadung darah
5. Sistem kardiovaskular  hipotensi meningkat, hipotensi postural, frekwensi
jantung meningkat, nadi perifer tak teraba
6. Sistem syaraf perifer  perubahan tingkat kesadaran, gelisah, ketidastabilan
vasomotor
7. Sistem muskuloskeletal  nyeri otot, sendi dan punggung
8. Perdarahan sampai hemoragi  insisi operasi, uterus postpartum, fundus mata
(perubahan visual)
9. Prosedur invasif  suntikan, iv, kateter arterial dan selang nasogastrik atau
dada, dan lain-lain

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI


1. Perubahan perfusi jaringan : ginjal, serebral, kardiopulmoner, gastrointestinal
atau perifer berhubungan dengan terganggunya aliran/sirkulasi darah ditandai
dengan perdarahan
Tujuan : perfusi jaringan dapat dipertahankan atau ditingkatkan secara
adekuat dengan kriteria tanda vital stabil, tidak ada tanda perdarahan lanjut
dan sisi bekas pungsi pulih
Rencana tindakan :
 Pertahankan akses vena dengan menggunakan teknik aseptik
 Berikan heparin iv dan plasma segar beku, trombosit dan produk darah
lain sesuai pesanan ; kaji respon/reaksinya
 Observasi terhadap perdarahan pada sisi pungsi vena atau bekuan pada
ujung kateter ; pasang balutan ketat bila diperlukan
 Pantau tekanan arterial dan tanda vital setiap 30-60 menit
 Kaji status neurologi setiap 30-60 menit, laporkan bila ada perubahan
 Auskultasi dada dan jantung serta bunyi nafas setiap jam, laporkan bila
ada perubahan
 Pantau pemeriksaan laboratorium, laporkan keadaan asidosis segera
 Panta efek terapi oksigen bila diberikan
 Kaji peningkatan tekanan darah atau hemoragi
 Ukur masukan dan haluaran, perhatikan balutan
 Ukur lingkar abdomen bila dicurigai terjadi pedarahan GI
 Berikan dengan hati-hati perawatan sesuai dengan kebutuhan
 Lindung klien dari trauma

2. Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan.


Tujuan : nyeri berkurang atau terkontrol dengan kriteria hasil klien
mengatakan merasa nyaman, postur tubuh dan wajah relaks

Rencana tindakan :
 Kaji lokasi, kualitas dan intensitas nyeri (gunakan skala tingkat nyeri)
 Baringkan klien pada posisi yang nyaman
 Bantu dengan memberikan perawatan ketika klien mengalami
perdarahan hebat atau mengalami rasa tidak nyaman
 Pertahankan lingkungan yang tenang
 Berikan waktu istirahat yang cukup
 Bantu klien dengan pilihan tindakan yang nyaman seperti terapi musik,
imajinasi
 Berikan analgesik sesuai pesanan, kaji keefektifannya

3. Ansietas berhubungan dengan ancaman kematian


Tujuan : ansietas berkurang atau terkontrol dengan kriteria hasil klien
mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, berpartisipasi dalam perawatan,
menggunakan tindakan koping positif, gejala ansietas tidak ada

Rencana tindakan :
 Kaji tingkat ketakutan klien dan pemahamannya tentang kondisi
sekarang bila memungkinkan
 Pertahankan lingkungan yang tenang dan tidak menimbulkan stress
 Siapkan keluarga atau orang terdekat untuk mendampingi klien
 Berikan support kepada klien saat sedang ansietas
 Berikan informasi tentang kondisi, prosedur dan
pemeriksaan diagnosa dalam bahasa yang dimengerti oleh
klien
 Berikan dorongan untuk bertanya dan dan jawab dengan jelas sesuai
tingkat pendidikan klien
 Berikan lingkungan yang kondusif
 Anjurkan klien mengungkapkan perasaannya, kekuatiran,
ketakutan dan kehilangan
 Bersikap sensitif terhadap kebutuhan dan perhatikan isyarat non-verbal
 Pertahankan dan bantu dalam strategi koping
DAFTAR PUSTAKA

Price, Sylvia Anderson., Wilson, Lorraine McCarty, 1995, Patofisiologi; konsep klinis proses-
proses penyakit, Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta
Rani, Aziz., Soegondo, Sidartawan., dkk., 2005, Standar Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia., Penerbit PB PAPDI, Jakarta
Tjokronegoro, Arjatmo., Utama, Hendra., 2001, Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II, Edisi
Ketiga, Balai Penerbit FKUI, JAkarta

You might also like