Ipnh

You might also like

You are on page 1of 11

PENGOLAHAN JERAMI

Pakan kasar masih menjadi pakan utama ternak ruminansia di Indonesia. Salah satu pakan
kasar yang tersedia melimpah adalah jerami, terutama jerami padi. Hal ini karena jerami padi
merupakan limbah pertanian tanaman pangan sebagian besar penduduk Indonesia.
Produksi jerami padi dapat mencapai 12-15 ton/hektar tiap panen tergantung lokasi dan
varietasnya. Jerami ini bisa digunakan untuk pakan kasar 2-3 ekor sapi dewasa sepanjang
tahun.
Penggunaan jerami untuk pakan baru berkisar 31-39% dan 7-16% untuk industri.Dari
keseluruhan produksi jerami, sebagian besar masih dibakar dan dikembalikan ke tanah. Efek
negatif dari pembakaran adalah polusi lingkungan, mempengaruhi ekologi tanah dan
hilangnya bahan organik
Komposisi kimia jerami padi meliputi bahan kering 71,2%, protein kasar 3,9%, lemak kasar
1,8%, serat kasar 28,8%, BETN 37,1% dan TDN 40,2%. Kandungan lignin jerami berkisar
6-7% dan silikatnya 13%. Ternak yang hanya mendapatkan jerami saja sebagai pakannya
akan memiliki produktivitas rendah.
Untuk digunakan sebagai pakan, jerami sebaiknya diolah lebih dahulu. Pengolahan jerami
bisa berupa amoniasi, hidrolisis dengan alkali maupun dengan fermentasi menggunakan
mikrobia tertentu.
1. Amoniasi Jerami
a. Pengertian
Amoniasi merupakan cara pengolahan kimia dengan menggunakan amonia untuk
meningkatkan daya cerna bahan pakan berserat sekaligus meningkatkan kadar N
(proteinnya).
Amoniasi biasanya dilakukan pada bahan pakan asal limbah pertanian seperti
berbagai jenis jerami dan bahkan juga pada kulit kopi, tergantung pada potensi daerahnya.
b. Tujuan
Pembuatan amoniasi bertujuan meningkatkan kualitas jerami yang rendah kandungan
nutrisinya, menjadi jerami yang kandungan nutrisinya memadai dan daya cernanya tinggi.
c. Proses
Jerami merupakan bagian tanaman yang telah tua yang memiliki kandungan lignin
dan silikat yang menyebabkan daya cerna ternak ruminansia terhadap jerami rendah.
Amoniasi jerami padi adalah proses pengolahan jerami padi menggunakan amonia
(misalnya urea) sebagai sumber amonia dengan pemeraman pada kondisi anaerob. Proses ini
merubah tekstur jerami menjadi lunak dan rapuh sehingga mudah dicerna. Peningkatan
kandungan protein juga terjadi pada jerami amoniasi karena peresapan nitrogen dari urea.
Proses ini juga menghilangkan aflatoksin/ jamur dalam jerami.
Amonia dapat menyebabkan perubahan komposisi dan struktur dinding sel sehingga
membebaskan ikatan antara lignin dengan selulosa dan hemiselulosa sehingga bisa dicerna
oleh mikrobia rumen. Amonia akan terserap dan berikatan dengan gugus asetil dari bahan
pakan dan bisa dimanfaatkan oleh mikrobia rumen.
Penggunaan urea dibatasi 4-6% karena pada penggunaan <3% amonia tidak mampu
memecah ikatan lignin. Pada penggunaan > 6% amonia akan terbuang karena jerami tidak
sanggup menyerapnya jadi secara ekonomi tidak menguntungkan.
Proses amoniasi bisa dilakukan dengan cara basah dan cara kering. Proses dengan
cara basah menggunakan larutan urea sedangkan cara kering urea langsung ditaburkan pada
jerami. Dengan cara kering 3-4 kg urea digunakan untuk 100 kg jerami. Pada pembuatan
skala besar, jerami dimampatkan kotak kotak cetakan . Selanjutnya jerami dimasukkan dalam
wadahnya (sejenis dengan silo) sambil ditaburi urea atau larutannya.
Penggunaan urea didasari pertimbangan ekonomis dan juga lebih ramah lingkungan.
Sebenarnya sumber amonia lain seperti gas amonia bisa digunakan. Disini jerami yang telah
dimasukkan ke dalam wadah tertutup disemprot dengan gas amonia.
d. Kualitas
Untuk menghasilkan jerami amoniasi yang berkualitas, maka dibutuhkan bahan yang
berkualitas pula. Bahan dasar dari pembuatan jerami amoniasi ini adalah jerami padi yang
tersisa setelah pemanenan. Jerami padi yang akan diamoniasi harus memenuhi beberapa
kriteria yaitu jerami harus dalam kondisi kering, tidak boleh terendam air sawah atau pun air
hujan, dan harus dalam keadaan baik (tidak busuk atau rusak).
Jerami yang telah diamoniasi memiliki tekstur lunak dan rapuh, berwarna coklat tua,
berbau amonia dan tidak berjamur. Jika dilakukan analisa proksimat maka kandungan
protein kasarnya lebih dari 6%.

e. Penggunaan
Hasil amoniasi harus diangin-anginkan terlebih dahulu sebelum diberikan pada
ternak. Tujuannya adalah untuk menghilangkan amoniak dalam jerami. Untuk disimpan
dalam jangka waktu yang lama, jerami amoniasi harus dijemur atau dikeringkan 2-3 hari.
Setelah kering jerami dapat disimpan dibawah tempat teduh atau atap. Jangan sampai terkena
air hujan karena akan mengakibatkan pembusukkan. Jerami yang sudah kering dapat
disimpan selama selama 6 – 12 bulan tanpa penurunan kualitas.
Bila cuaca tidak memungkinkan untuk penjemuran, jerami amoniasi tidak perlu
dikeluarkan dari wadahnya. Keluarkan sesuai kebutuhan dan angin anginkan sebelum
diberikan pada ternak.
Jerami amoniasi merupakan pakan yang miskin mineral. Ada baiknya pemberiannya
disertai dengan pemberian mineral secara teratur.
2. Hidrolisis Jerami

Perlakuan lain untuk memperbaiki kualitas jerami dilakukan dengan hidrolisis


dengan larutan basa. Larutan basa bisa dibuat dengan NaOH atau CaO.
Apabila jerami direndam dalam larutan alkali, maka ikatan antara lignin dan selulosa
dan hemiselulosa dinding sel akan terhidrolisa sehingga karbohidrat akan lebih tersedia bagi
microorganisme dalam rumen. Perlakuan dengan alkali juga meningkatkan tingkat konsumsi.
Awalnya proses ini dilakukan di Jerman saat perang dunia I, jerami direndam selama
1 hingga 2 hari dalam larutan NaOH (kaustik soda/soda api) 15-30 g/l dan kemudian dicuci
untuk menghilangkan residu alkalinya.
Proses ini meningkatkan daya cerna jerami tetapi sebagian nutrien larut saat
pencucian. Kemudian dikembangkan metode kering dengan kandungan NaOH 10-40g/l.
Daya cerna jerami meningkat, dari 0,4 menjadi 0,5-0,7.
Alkali lain yang juga efisiennya adalah kapur ( CaO 60% dan MgO 1.3%). Kapur
sebanyak 40 gram dilarutkan dalam 10 liter air digunakan untuk merendam 1 kg jerami
selama kurang lebih 48 jam (2 hari). Kemudian jerami dicuci dengan 5 liter air dan
dikeringkan dengan sinar matahari. Hasil penelitian Saadullah dkk (1981) ini meningkatkan
kecernaan bahan kering jerami dari 38 menjadi 49%. Jika pemberiannya pada domba disertai
10% molasses dan 2% urea dalam ransum, maka kecernaan ransum menjadi 54%.
3. Fermentasi Jerami

Selain proses kimia, degradasi ikatan kimia pada jerami juga bisa dilakukan dengan
fermentasi. Fermentasi adalah suatu cara pengawetan yang menggunakan mikrobia tertentu
untuk menghasilkan asam atau komponen lainnya yang dapat menghambat mikrobia perusak
lainnya.
Cara melakukan fermentasi adalah dengan menambahkan bahan yang mengandung
mikrobia proteolitik, lignolitik, selulolitik, lipolitik dan bersifat fiksasi nitrogen non
simbiotik. Mikrobia tersebut kita kenal dengan sebutan probiotik. Campuran berbagai mikro
organisme tersebut berguna untuk mempercepat proses pemecahan serat jerami padi,
sehingga mudah dicerna oleh ternak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi jerami yang telah difermentasi
dengan mikrobia secara umum menunjukkan peningkatan kualitas. Protein meningkat dari
4,23% menjadi 8,14% dan juga disertai penurunan serat kasar.

Pembuatan fermentasi jerami dilakukan pada tempat yang terlindung dari hujan dan
sinar matahari langsung. Dimana untuk kapasitas 10 ton dapat dibuat bangunan dengan
ukuran 4 x 5 m. Lantai dasar dapat dibuat dari semen atau tanah yang dipadatkan dan
ditinggikan dari tempat sekitarnya, tanpa dinding. Bahan bangunan menggunakan kayu atau
bambu. Untuk atap dapat berupa seng atau bahan yang tersedia di tempat. Jarak lantai ke atap
3 m.
Hasil fermentasi jerami yang baik ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
 Baunya khas
 Warnanya kuning agak kecoklatan
 Teksturnya lemas(tidak kaku)
 Tidak busuk dan tidak berjamur
Fermentasi bisa juga dipadukan dengan amoniasi. Starter yang digunakan urea dan
probiotik.
Jerami yang telah difermentasi bisa diberikan sebagai pakan kasar bagi ternak sapi 6-8
kg/ekor/hari dengan penambahan konsentrat 1% dari berat badan ternak. Hasil penelitian di
Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa pertambahan berat badan sapi bali yang diberi jerami
fermentasi lebih tinggi dibandingkan sapi yang diberi rumput lapangan.
Administrator, 2010. Fermentasi Jerami untuk Pakan Sapi. BPPT Sumatera Barat.
http://sumbar.litbang.deptan.go.id diunduh 4 Maret 2012

Anonimous, 2012. Determine The Characteristics of Good Silage and The Steps in Producing It.
http://forages.oregonestate.edu/nfgc/eo/onlineforagecurriculum
/instructurmaterials/availabletopics/mechaninalharvest/silage

Cullison, A.E. & Lowrey, R. S. 1987. Feeds and Feeding. Fourth Edition. A Resto Book Prentice
Hall. Englewood Cliffs.

Drake, D.J. Nader, G., Forero, L. 2011. Feeding Rice Straw to Cattle. University of California.

Ensminger, M.E. 1990. Animal Science. 8th Ed. Interstate Publisher, Inc. Dannville
Kartasudjana, D. 2001. Mengawetkan Hijauan Pakan Ternak. Modul Keahlian Budidaya Ternak.
Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan.

McDonald, P, et al. 1987. Animal Nutrition. Fourth edition. Longman Group,LTd.

Nista, D. dkk. 2007. Teknologi Pengolahan Pakan: UMB, fermentasi jerami,amoniasi jerami,
silage, hay. http://bptu_sembawa.net/VI/data/download/20090816160949.pdf.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminant. UI Press. Jakarta.

Saribuang, M dkk. 2000. Pemanfaatan Probiotik dalam Fermentasi Jerami Sebagai Pakan Sapi Bali
Di Musim Kemarau. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Gowa. Gowa
Diposkan oleh hariyatun di 02.58 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest

PEMBUATAN SILASE

Salah satu kendala pada peternakan ruminansia adalah ketersediaan pakan kasar.
Ketersediaan pakan kasar berkualitas bagi ternak ruminansia di Indonesia sangatlah
fluktuatif. Pada musim hujan, hijauan berproduksi tinggi sehingga melimpah. Sedangkan
pada musim kemarau, hijauan merupakan pakan yang sulit didapat. Salah satu cara untuk
mengawetkan hijauan adalah dengan membuat silase.
a. Pengertian
Silase adalah pakan yang berbahan baku hijauan, hasil samping pertanian atau bijian berkadar
air tertentu yang telah diawetkan dengan cara disimpan dalam tempat kedap udara selama
kurang lebih tiga minggu. Penyimpanan pada kondisi kedap udara tersebut menyebabkan
terjadinya fermentasi pada bahan silase.
Tempat penyimpanannya disebut silo. Silo bisa berbentuk horisontal ataupun vertical.
Pada peternakan skala besar, silo biasanya permanen. Bisa berbahan logam berbentuk silinder
ataupun lubang dalam tanah (kolam beton). Tetapi silo juga bisa dibuat dari drum atau
bahkan dari plastik . Prinsipnya, silo memungkinkan untuk memberikan kondisi anaerob
pada bahan agar terjadi proses fermentasi.
Bahan untuk pembuatan silase bisa berupa hijauan atau bagian bagian lain dari
tumbuhan yang disukai ternak ruminansia, seperti rumput, legume, biji bijian, tongkol
jagung, pucuk tebu, batang nenas dan lain-lain. Kadar air bahan yang optimal untuk dibuat
silase adalah 65-75% . Kadar air tinggi menyebabkan pembusukan dan kadar air terlalu
rendah sering menyebabkan terbentuknya jamur . Kadar air yang rendah juga meningkatkan
suhu silo dan meningkatkan resiko kebakaran.
Jika dibandingkan dengan pembuatan hay, pembuatan silase memiliki kelebihan
yaitu:
 Hijauan tidak mudah rusak oleh hujan pada waktu dipanen
 Tidak banyak daun yang terbuang
 Silase umunya lebih mudah dicerna dibandingkan hay
 Karoten dalam hijauan lebih terjaga dengan dibuat silase dibanding hay
Sedangkan kelemahan pembuatan silase adalah perlunya ongkos panen, perlunya
mengisi silo dan biaya pembuatan silo sebagai tempat penyimpanan
b. Tujuan
Tujuan pembuatan silase adalah untuk mengawetkan hijauan atau bijian yang
berlimpah untuk digunakan pada saat kesulitan untuk mendapatkan hijauan tersebut. Di
negara yang memiliki 4 musim silase sangat popular bagi peternak ruminansia karena
tanaman hanya berproduksi pada musim tertentu. Jadi silase bisa menjadi cadangan pakan
untuk ternak mereka.
Di Indonesia, hijauan melimpah pada musim hujan dan kurang pada musim kemarau.
Tetapi pengawetan hijauan seperti dengan pembuatan silase belum banyak dilakukan oleh
peternak skala kecil di negara kita. Akibatnya peternak kita sering mengalami kesulitan
penyediaan pakan bagi ternaknya.
Di Kalimantan Selatan, salah satu tanaman yang banyak dibudidayakan dan bisa
digunakan sebagai pakan tetapi belum banyak pemanfaatannya adalah kelapa sawit.
Penggunaan daun dan pelepah kelapa sawit sudah banyak diteliti oleh para ahli. Kita bisa
membuatnya menjadi silase.
c. Proses Ensilase
Agar berhasil membuat silase, kita harus memahami proses ensilase. Proses ensilase
yaitu proses selama pembuatan silase. Proses ini memerlukan waktu 2-3 minggu.
Setelah suatu produk pertanian dipanen, misalnya rumput dipotong, proses respirasi
akan tetap terjadi sampai sel sel tanaman mati. Respirasi merupakan pengubahan karbohidrat
menjadi energi maka apabila berjalan lama akan menurunkan kandungan karbohidrat pakan.
Proses respirasi memerlukan oksigen sehingga untuk menghentikan proses ini dapat
dilakukan dengan menempatkan bahan pada kondisi anaerob. Oleh karena itu kita
memampatkan bahan silase dan menutup rapat silo agar proses respirasi tidak berlangsung
lama.
Hijauan biasanya dipotong 3-5 cm sebelum dibuat silase. Tujuannya agar lebih mudah
memampatkannya. Apabila pemampatan maksimal, maka oksigen dalam silo akan rendah
sehingga respirasi cepat terhenti.
Setelah respirasi terhenti, proses yang terjadi selanjutnya adalah fermentasi. Proses
ini menyebabkan turunnya pH (derajat keasaman) bahan baku silase hingga tidak ada lagi
organisme yang bisa tumbuh. Proses fermentasi bisa terjadi karena adanya bakteri pembentuk
asam laktat yang mengkonsumsi karbohidrat dan menghasilkan asam laktat. Asam laktat
akan terus diproduksi hingga tercapai pH yang rendah (<5) yang tidak memungkinkan bakteri
beraktifitas lagi dan tidak ada lagi perubahan . Keadaan inilah yang disebut keadaan
terfermentasi, dimana bahan dalam keadaan tetap atau awet. Pada kondisi anaerob silase
dapat disimpan bertahun-tahun.
Contoh bakteri asam laktat diantaranya adalah Streptococcus thermophillus,
Streptococcus lactis, Lactobacillus lactis, Leuconostoc mesenteroides .
Selain bakteri pembentuk asam laktat, dalam bahan baku silase terdapat juga bakteri
Clostridia. Bakteri ini mengkonsumsi karbohidrat, protein dan asam laktat sebagai sumber
energi dan memproduksi asam butirat. Bakteri ini merugikan karena menguraikan asam
amino (menurunkan kandungan protein dan menghasilkan ammonia) sehingga menyebabkan
pembusukan silase. Keadaan yang mendukung pertumbuhan bakteri Clostridia adalah
tingginya kadar air, terlalu lamanya proses respirasi, kurangnya bakteri asam laktat dan
rendahnya karbohidrat. Inilah yang menyebabkan perlunya pelayuan bila kadar air bahan
lebih dari 75% dan bahan tambahan dalam pembuatan silase hijauan.
Bahan tambahan untuk pembuatan silase dibedakan menjadi 2 jenis yaitu stimulant
dan inhibitor. Bahan yang masuk kategori stimulant adalah bahan pakan sumber karbohidrat
seperti molasses, onggok, dedak halus atau ampas sagu. Molasses dan onggok bisa
ditambahkan sebanyak 2,5 % dari berat hijauan. Sedangkan kalau dedak halus sebanyak 5%
dan kalau menggunakan ampas sagu diperlukan 7% dari berat hijauan. Urea juga bisa
ditambahkan untuk meningkatkan kandungan protein silase berbahan baku jagung. Bahan
stimulant lain yang juga bisa dipakai adalah enzim atau mikrobia yang biasa dijual di
pasaran.
Sedangkan bahan yang masuk kategori inhibitor diantaranya asam format, asam
klorida, antibiotik, asam sulfat dan formalin. Penambahan inhibitor bermanfaat untuk proses
ensilase tetapi masih asing bagi petani kita. Bahan stimulant lebih mudah didapatkan,
harganya juga lebih murah dan lebih ramah lingkungan.
Jadi prinsip pembuatan silase yang utama adalah:
 Menghentikan pernapasan dan penguapan sel sel tanaman
 Mengubah karbohidrat menjadi asam laktat melalui proses fermentasi kedap udara
 Menahan aktivitas enzim dan bakteri pembusuk
 Mencapai dan mempercepat keadaan hampa udara (anaerob)

d. Kualitas Silase
Silase yang baik biasanya berasal dari pemotongan hijauan tepat waktu (menjelang
berbunga), pemasukan ke dalam silo dilakukan dengan cepat, pemotongan hijauan dengan
ukuran yang memungkinkannya untuk dimampatkan, penutupan silo secara rapat
(tercapainya kondisi anaerob secepatnya) dan tidak sering dibuka.
Silase yang baik beraroma dan berasa asam, tidak berbau busuk. Silase hijauan yang
baik berwarna hijau kekuning-kuningan. Apabila dipegang terasa lembut dan empuk tetapi
tidak basah (berlendir) . Silase yang baik juga tidak menggumpal dan tidak berjamur. Bila
dilakukan analisa lebih lanjut, kadar keasamanya (pH) 3,2-4,5.
Apabila terlihat adanya jamur, warna kehitaman, berair dan aroma tidak sedap berarti
silase berkualitas rendah.

e. Penggunaan Silase
Silase bisa digunakan sebagai salah satu atau satu satunya pakan kasar dalam ransum
sapi potong . Pemberian pada sapi perah sebaiknya dibatasi tidak lebih 2/3 dari jumlah pakan
kasar. Silase juga merupakan pakan yang bagus bagi domba tetapi tidak bagus untuk kuda
maupun babi. Silase merupakan pakan yang disukai ternak terutama bila cuaca panas.
Apabila ternak kita belum terbiasa mengkonsumsi silase, maka pemberiannya sedikit
demi sedikit dicampur dengan hijauan yang biasa dimakan.
Anonimous, 2012. Determine The Characteristics of Good Silage and The Steps in Producing It.
http://forages.oregonestate.edu/nfgc/eo/onlineforagecurriculum
/instructurmaterials/availabletopics/mechaninalharvest/silage

Cullison, A.E. & Lowrey, R. S. 1987. Feeds and Feeding. Fourth Edition. (Page 234-245) A Resto
Book Prentice Hall. Englewood Cliffs.

Drake, D.J. Nader, G., Forero, L. 2011. Feeding Rice Straw to Cattle. University of California.

Ensminger, M.E. 1990. Animal Science. 8th Ed. Interstate Publisher, Inc. Dannville
Ensminger, M.E., et al. 1992. Feed and Nutrition. Second Edition. The Ensminger Publishing
Company. Clovis. California.

Hanafi, ND. 2008. Teknologi Pengawetan Pakan Ternak. Universitas Sumatera Utara.

Kartasudjana, D. 2001. Mengawetkan Hijauan Pakan Ternak. Modul Keahlian Budidaya Ternak.
Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. http://files.ictpamekasan.nett/materi-
kejuruan/pertanian/budi-daya-ternakruminansia/mengawetkan-hijauan-pakan.pdf

McDonald, P, et al. 1987. Animal Nutrition. Fourth edition. (Page 404-415) Longman Group,LTd.

Nista, D. dkk. 2007. Teknologi Pengolahan Pakan: UMB, fermentasi jerami,amoniasi jerami,
silage, hay. http://bptu_sembawa.net/VI/data/download/20090816160949.pdf.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminant. UI Press. Jakarta.

Rukmana, R. 2005. Budi Daya Rumput Unggul Hijauan Makanan Ternak. (hal 51-57) Kanisius.
Yogyakarta.

Diposkan oleh hariyatun di 02.56 Tidak ada komentar:


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest

Sabtu, 04 Agustus 2012


PEMBUATAN HAY

Produksi hijauan disaat berlimpah hendaknya disimpan dengan berbagai cara


pengawetan antara lain dibuat menjadi hay. Di negara negara maju, hay dibuat dari hijauan
dikeringkan dan lalu digulung dengan menggunakan mesin.
Prinsip dasar dari pengawetan dengan cara dibuat hay adalah dengan mengeringkan
hijauan baik menggunakan sinar matahari maupun menggunakan mesin pengering.
Kandungan air hay ditentukan maksimal sebesar 15-20%, hal ini dimaksud agar hijauan saat
disimpan sebagai hay tidak ditumbuhi jamur. Jamur akan merusak kualitas hay sehingga
tidak disukai ternak dan tidak bisa diberikan pada ternak karena adanya mikotoksin.
Toleransi kandungan air hay tergantung pada kelembaban, kepadatan gulungan dan sirkulasi
udara.
Tujuan pembuatan hay adalah untuk penyediaan hijauan untuk pakan ternak pada saat
ketersediaan hijauan segar berkurang.
Di negara negara sub tropis hay dan silase merupakan pakan yang dapat diperjual
belikan jadi merupakan komoditas yang dapat diperdagangkan. Tetapi hay relatif mudah
untuk pengangkutan dibandingkan silase. Hay tidak memerlukan kondisi anaerob selama
penyimpanan dan pengangkutan.
Proses pengeringan yang berlangsung terlalu lama akan mengakibatkan kehilangan
nutrisi dan memudahkan tumbuhnya jamur. Pengeringan yang berlebihan juga akan
menurunkan kualitas hay karena daun mudah patah. Pada saat pengeringan kandungan
karoten hijauan akan turun dari 150-200 mg/kg pakan menjadi 2-20 mg/kg pakan. Tetapi
pengeringan dengan sinar matahari bermanfaat untuk iradiasi pro vitamin D hijauan.
Kehilangan nutrien mudah larut juga bisa terjadi bila selama pengeringan terjadi hujan.
Pengeringan dengan sinar matahari bisa dengan menghampar hijauan di lahan, dengan
menggunakan para para atau kaki tiga (tripod).
Pemotongan hijauan untuk dibuat hay, yang terbaik adalah saat hijauan menjelang
berbunga. Tetapi untuk pembuatan hay diperlukan sinar matahari sehingga pemotongannya
harus mempertimbangkan keadaan cuaca.
Gambar 4.3. Pembentukan pellet dari hay. Sumber sunhat.com
Pembuatan hay dengan mesin pengering memerlukan biaya besar dan kurang
ekonomis. Di negara maju pembuatan hay dengan mesin pengering dilakukan pada hijauan
tertentu seperti alfalfa. Proses ini dilakukan dengan pemanasan pada suhu 1500C selama 20-
50 menit atau pada suhu 500-1000 0C selama 0,5 -2 menit. Dengan pemanasan tersebut kadar
air produk menjadi 5-10%. Setelah proses pengeringan kemudian bisa dilanjutkan
pembentukan tepung, pellet atau wafer. Produknya bisa diberikan pada unggas, babi maupun
ruminansia.
Semakin cepat proses pengeringan berlangsung hay akan makin baik. Tetapi apabila
tidak tersedia pengering dan cuaca kurang mendukung untuk proses pengeringan, maka
penambahan bahan pengawet mungkin diperlukan. Adapun macam macam pengawet yang
dapat dipakai antara lain garam dapur, asam propionat dan amonia cair.
Garam sebagai pengawet diberikan 1-2% akan dapat mencegah timbulnya panas
karena kandungan uap air, juga dapat mengontrol aktivitas mikroba, serta dapat menekan
pertumbuhan jamur. Asam propionat berfungsi sebagai fungisidal dan fungistalik yaitu
mencegah dan memberantas jamur yang tumbuh serta tidak menambah jumlah jamur yang
tumbuh. Pemberiannya adalah sebanyak 1% dari berat hijauan yang dipak. Amonia cair juga
berfungsi sebagai fungisidal dan pengawet, mencegah timbulnya panas, meningkatkan
kecernaan hijauan tersebut dan memberikan tambahan N bukan protein. Penggunaan
pengawet memungkinkan hay disimpan dalam kadar air yang lebih tinggi.
Setelah dalam penyimpanan, gas amonia juga bisa digunakan untuk memperbaiki
nutrien hay. Caranya sama dengan yang dilakukan untuk yang biasa dilakukan pada jerami.
Hay yang ada di wadah disemprot dengan gas amonia melalui lobang.
mbar 4.4. Hay yang berkualitas tinggi (kiri) dan rendah (kanan) http://en.wiki pedia.org/wiki/hay
Rata rata hay memiliki kandungan serat kasar 25 – 32% dan TDN 45-55%. Hay
yang berkualitas baik memiliki ciri ciri sebagai berikut:

 Warnanya hijau kekuningan dan cerah


 Baunya tidak tengik
 Tekstur/keadaan fisiknya tidak terlalu kering, sehingga tidak mudah patah
 Tidak berjamur atau ada kontaminasi pasir, tanah dll
Jika dibandingkan dengan silase, hay lebih mudah ditangani pada saat penyimpanan
dan pengangkutan karena tidak memerlukan kondisi anaerob. Disamping itu, hay lebih
ringan untuk diangkut karena kadar airnya rendah.
Tetapi bila penanganan tidak tepat, akan lebih banyak daun yang hilang. Hay mudah
terbakar , jika disimpan di gudang yang suhunya diatas 600C, resiko kebakaran lebih tinggi.
Pembuatan hay secara konvensional memerlukan panas matahari sehingga tergantung pada
kondisi cuaca.
Anonimous, 2012. Determine The Characteristics of Good Silage and The Steps in Producing It.
http://forages.oregonestate.edu/nfgc/eo/onlineforagecurriculum
/instructurmaterials/availabletopics/mechaninalharvest/silage

Cullison, A.E. & Lowrey, R. S. 1987. Feeds and Feeding. Fourth Edition. A Resto Book Prentice
Hall. Englewood Cliffs.

Drake, D.J. Nader, G., Forero, L. 2011. Feeding Rice Straw to Cattle. University of California.

Ensminger, M.E. 1990. Animal Science. 8th Ed. Interstate Publisher, Inc. Dannville

Kartasudjana, D. 2001. Mengawetkan Hijauan Pakan Ternak. Modul Keahlian Budidaya Ternak.
Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan.

McDonald, P, et al. 1987. Animal Nutrition. Fourth edition. Longman Group,LTd.

Nista, D. dkk. 2007. Teknologi Pengolahan Pakan: UMB, fermentasi jerami,amoniasi jerami,
silage, hay. http://bptu_sembawa.net/VI/data/download/20090816160949.pdf.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. UI Press. Jakarta.

You might also like