You are on page 1of 21

REFERAT

“DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA EMPIEMA


THORACIS”

Disusun Oleh:
Cut Meurah Intan (107103001775)
Feri Fadillah (107103001605)
Ratna Eka Puspita Sari (107103002412)
Rustandi Pratama (107103000170)

Pembimbing:
dr. Alvin Kosasih, Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK SMF PULMONOLOGI


RSP DR. M. GOENAWAN PARTOWIDIGDO CISARUA BOGOR
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011

KATA PENGANTAR
1
Bismillahirahmanirahim.
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan Inayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas ini. Shalawat dan salam marilah senantiasa kita junjungkan
kehadirat Nabi Muhammad SAW.
Kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pengajar, fasilitator
dan narasumber SMF Pulmonolgi RSP Dr. M. Goenawan Partowidigdo khususnya dr. Alvin
Kosasih, Sp.P selaku pembimbing referat kami.
Kami sadari referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi kesempurnaannya.
Demikian yang dapat kami sampaikan, Insya Allah laporan praktikum faal ini dapat
bermanfaat khususnya bagi kami yang sedang menempuh pendidikan..
“Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Maka bila kamu telah selesai
(dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dan hanya
kepada tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Q.S. Al Insyirah:6-7)”

Jakarta, 23 September 2011

Penyusun

DAFTAR ISI

2
COVER..................................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR............................................................................................... 2
DAFTAR ISI............................................................................................................. 3

BAB 1
Pendahuluan.........................……….…………………………………....……........ 4
BAB 2
Tinjauan Pustaka
2.1. Anatomi dan Fisiologi Pleura ……............…...…………….………................ 6
2.2. Definisi................................................................................................................. 8
2.3. Epidemiologi........................................................................................................ 8
2.4. Etiologi................................................................................................................. 9
2.5. Patofisiologi..........................................................................….………....…….. 11
2.6. Manifestasi klinis............................................…..…………………………...… 13
2.7. Pemeriksaan Fisik................................................................................................ 14
2.8. Pemeriksaan Penunjang....................................................................................... 15
2.9. Metode Diagnosis Empiema................................................................................ 16
2.10. Penatalaksanaan................................................................................................... 17
2.11. Algoritma Penatalaksanaan Empiema................................................................ 18

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 20

BAB 1

3
PENDAHULUAN

Pada tahun 600 sebelum masehi, Hippocarates mendefinisikan empiema thoracis

sebagai kumpulan nanah dalam rongga pleura dan menganjurkan drainase terbuka sebagai

pengobatannya. Sejak itu tata laksana kondisi ini telah menimbulkan tantangan bagi dokter

dan ahli bedah1.

Tube thoracostomy, image directed catheters, thoracoscopic drainage,

trombolitik intrapleural, dekortikations dan drainase terbuka semuanya telah digunakan

dengan tingkat keberhasilan mulai dari 10 sampai 90% . Variabel tingkat keberhasilan dari

prosedur ini dapat dipengaruhi, sebagian, untuk tahapan empiema. Pada tahap awal eksudatif,

sebuah bentuk efusi eksudatif terbentuk selama 72 jam pertama, yang biasanya akan berakhir

dengan pneumonia. Pada tahap ini antibiotik thoracentesis biasanya menghasilkan

penyembuhan. Pada tahap kedua akan terbentuk fibrino-purulen, antibiotik dengan

positioned chest tube drainage dapat menyelesaikan thoracis empiema. Kegagalan biasanya

disebabkan oleh posisi tabung yang salah, atau viskositas fluida meningkat. Kegagalan

dikelola dengan reseksi tulang rusuk, trombolitik intrapleural, thoraco-scopic drainase dan

decortications1.

Empyemas yang telah mencapai tahap organisasi ditandai dengan adanya penebalan

pleura dengan berbagai derajat yang menyebabkan parenkim paru terjebak. Biasanya, reseksi

tulang rusuk telah diperlukan untuk mengelola empyemas lanjut. Thoracoplasty Limited dan

rotasi flap otot juga dibutuhkan dalam beberapa kasus untuk melenyapkan masalah ruang

pleura1.

4
Karena banyak dari infeksi yang menyebabkan empiema merupakan infeksi yang

indolen , pasien baru datang setelah empiema telah mencapai tahap fibrino-purulen atau tahap

organisasi. Pasien-pasien ini ditujukan untuk menjalani berbagai prosedur bedah dan

perawatan di rumah sakit jangka panjang sebelum empiema yang berhasil diobati1.

5
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI PLEURA

Paru kanan normalnya terdiri dari tiga lobus (atas, tengah, dan bawah) dan merupakan

55% bagian paru. Paru kiri normalnya terdiri dari dua lobus (atas dan bawah). Pada lobus atas

paru kiri pada bagian bawahnya terdapat lingula yang merupakan analog dari lobus tengah

paru kanan. Paru mengalami perkembangan yang hebat, saat lahir, bayi memiliki 25 juta

alveoli ; jumlah ini bertambah menjadi 300 juta setelah dewasa. Pertumbuhan paling sering

terjadi saat usia 8 tahun. Pertumbuhan tercepat pada usia 3 – 4 tahun. Pleura adalah membran

tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura viseralis dan parietalis. Secara histologis kedua lapisan

ini terdiri dari sel mesotelial, jaringan ikat, dan dalam keadaan normal, berisikan lapisan

cairan yang sangat tipis. Membran serosa yang membungkus parekim paru disebut pleura

viseralis, sedangkan membran serosa yang melapisi dinding toraks, diafragma, dan

mediastinum disebut pleura parietalis. Rongga pleura terletak antara paru dan dinding

thoraks. Rongga pleura dengan lapisan cairan yang tipis ini berfungsi sebagai pelumas antara

6
kedua pleura. Kedua lapisan pleura ini bersatu pada hilus paru. Dalam hal ini, terdapat

perbedaan antara pleura viseralis dan parietalis, diantaranya pleura viseralis memiliki ciri ciri

permukaan luarnya terdiri dari selapis sel mesotelial yang tipis < 30mm, diantara celah-celah

sel ini terdapat sel limfosit, di bawah sel-sel mesotelial ini terdapat endopleura yang berisi

fibrosit dan histiosit, di bawahnya terdapat lapisan tengah berupa jaringan kolagen dan serat-

serat elastik, lapisan terbawah terdapat jaringan interstitial subpleura yang banyak

mengandung pembuluh darah kapiler dari a. pulmonalis dan a. brakhialis serta pembuluh

limfa, menempel kuat pada jaringan paru, fungsinya untuk mengabsorbsi cairan pleura.

Pleura parietalis jaringannya lebih tebal terdiri dari sel-sel mesotelial dan jaringan ikat

(kolagen dan elastis), dalam jaringan ikat tersebut banyak mengandung kapiler dari a.

intercostalis dan a. mamaria interna, pembuluh limfa dan banyak reseptor saraf sensoris yang

peka terhadap rasa sakit dan perbedaan temperatur. Keseluruhan berasal n. intercostalis

dinding dada dan alirannya sesuai dengan dermatom dada, mudah menempel dan lepas dari

dinding dada di atasnya, berfungsi untuk memproduksi cairan pleura2.

Volume cairan pleura selalu konstan, dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik sebesar 9

mmHg , diproduksi oleh pleura parietalis, serta tekanan koloid osmotik sebesar 10 mmHg

yang selanjutnya akan diabsorbsi oleh pleura viseralis. Penyebab akumulasi cairan pleura

adalah sebagai berikut :

1. Menurunnya tekanan koloid osmotik (hipolbuminemia)

2.Meningkatnya permeabilitas kapiler (radang, neoplasma)

3.Meningkatnya tekanan hidrostatik (gagal jantung)

4. Meningkatnya tekanan negatif intrapleura (atelektasis)

7
2.2. DEFINISI

Empiema adalah kumpulan nanah dalam rongga antara paru-paru dan membran yang

mengelilinginya (rongga pleura). Empiema disebabkan oleh infeksi yang menyebar dari paru-

paru dan menyebabkan akumulasi nanah dalam rongga pleura2

2.3. EPIDEMIOLOGI

Empiema merupakan salah satu penyakit yang sudah lama ditemukan dan berat. Saat

ini terdapat 6500 penderita di USA dan UK yang menderita empiema dan efusi

parapneumonia tiap tahun, dengan mortalitas sebanyak 20% dan menghabiskan dana rumah

sakit sebesar 500 juta dolar. Di India terdapat 5 – 10% kasus anak dengan empiema toraks3.

Empiema toraks didefinisikan sebagai suatu infeksi pada ruang pleura yang

berhubungan dengan pembentukan cairan yang kental dan purulen baik terlokalisasi atau

bebas dalam ruang pleura yang disebabkan karena adanya dead space, media biakan pada

cairan pleura dan inokulasi bakteri. Empiema adalah akumulasi pus diantara paru dan

membran yang menyelimutinya (ruang pleura) yang dapat terjadi bilamana suatu paru

terinfeksi. Pus ini berisi sel sel darah putih yang berperan untuk melawan agen infeksi (sel sel

polimorfonuklear) dan juga berisi protein darah yang berperan dalam pembekuan (fibrin).

Ketika pus terkumpul dalam ruang pleura maka terjadi peningkatan tekanan pada paru

sehingga pernapasan menjadi sulit dan terasa nyeri. Seiring dengan berlanjutnya perjalanan

penyakit maka fibrin-fibrin tersebut akan memisahkan pleura menjadi kantong kantong

(lokulasi). Pembentukan jaringan parut dapat membuat sebagian paru tertarik dan akhirnya

mengakibatkan kerusakan yang permanen. Empiema biasanya merupakan komplikasi dari

infeksi paru (pneumonia) atau kantong kantong pus yang terlokalisasi (abses) dalam paru3.

8
Empiema dapat juga terjadi akibat infeksi setelah pembedahan dada, trauma tembus

dada, atau karena prosedur medis seperti torakosentesis atau karena pemasangan chest tube.

Pus yang berasal dari rongga abdomen yang berada tepat di bawah paru (abses subfrenikus)

juga dapat meluas ke rongga pleura dan menyebabkan empiema. Demam tinggi sering

ditemui, sama seperti gejala pneumonia yang berupa batuk, nyeri dada karena pleuritis, dan

kelemahan. Empiema juga dapat terjadi akibat dari keadaan keadaan seperti septikemia,

sepsis, tromboflebitis, pneumotoraks spontan, mediastinitis, atau ruptur esofagus.

Infeksi ruang pleura turut mengambil peran pada terjadinya empiema sejak jaman kuno.

Aristoteles menemukan peningkatan angka kesakitan dan kematian berhubungan dengan

empiema dan menggambarkan adanya drainase cairan pleura setelah dilakukan insisi.

sebagian dari terapi empiema masih diterapkan dalam pengobatan modern. Dalam tulisan

yang dibuat pada tahun 1901 yang berjudul The Principles and Practice of Medicine, William

Osler,mengemukakan bahwa sebaiknya empiema ditangani selayaknya abses pada umumnya

yakni insisi dan penyaliran3.

2.4. ETIOLOGI

Stafilokokus aureus merupakan bakteri penyebab empiema yang paling sering

ditemukan dlaam isolasi mikrobiologi, selebihnya adalah bakteri gram negatif. Sering

ditemukannya bakteri gram negatif pada biakan terjadi diantaranya karena tingginya insidensi

resisten karena pemberian antibiotik pada fase awal pneumonia. Streptokokus jarang

menyebabkan empiema. Penyebab empiema polimikrobial juga pernah dilaporkan, untuk

menanganinya diperlukan antibiotik kombinasi. Pemberian antibiotik spesifik untuk

stafilokosus aureus yang dikombinasikan dengan antibiotik lainnya dapat melawan bakteri

gram negatif. Namun telah diketahui bahwa aminoglikosida memiliki kekuatan penetrasi ke

dalam ruang pleura yang jelek. Namun pemberian aminoglikosida dapat diberikan dengan

9
indikasi untuk mengatasi pneumonia. Selain itu pemberian aminoglikosida dimaksudkan

karena alasan biaya. Untuk penderita dengan sosial ekonomi yang rendah dan tidak mampu

untuk membeli sefalosporin. Tuberkulosis juga menyebabkan empiema terutama pada

masyarakat India. Mycobacterium tuberculosis sulit diisolasi pada pasien empiema. Namun

pada negara barat justru ditemukan mikrobakterium tuberkulosis yang tinggi. Fenomena yang

jelas ini membutuhkan penelitian yang lebih lanjut. Cairan pleura yang purulen (empiema)

hampir selalu disebabkan oleh bakterial pneumonia. Efusi pleura yang berhubungan dengan

peumonia bakterial, abses paru, atau bronkoektasis disebut efusi parapneumonia. Sebelum

antibiotika tersedia, pneumokokus atau beta-hemolitik streptokokus merupakan penyebab

tersering terjadinya empiema. Beberapa masa sesudahnya, Stafilokokus aureus menjadi

penyebab terbanyak, namun pada tahun tahun terakhir ini S. pneumoniae kembali menonjol.

Presentase penderita dengan pneumonia pneumokokal yang mengalami efusi paraneumonik

tidaklah tinggi seperti yang terlihat pada penderita dengan empiema yang disebabkan oleh S.

aureus (sekitar 80% anak yang mengalami pnemonia dengan penyebab S. aureus); selain itu

juga dapat disebabkan oleh infeksi streptokokus grup A , jarang oleh F. tularensis, H.

influenzae tipe b, dan bakteri usus gram negatif seperti Pseudomonas atau Salmonela.

Streptokokus dan difteroid (flora normal mulut) merupakan penyebab pneumonia aspirasi,

khususnya pada dewasa. Pasteurela multosida juga penyebab empiema pada anak yang

menderita pneumonia dan terekspos dengan binatang. Nokardia jarang menyebabkan efusi

pleura, khas pada penderita yang sistem imunnya tertekan. Penyebab tidak lazim lainnya

adalah Yersinia, klamidia trakomatis, dan Liseria. Spesies bakteroides atau klostridium,

aktinomises anaerob, dan streptokokus anaerob kadang juga menyebabkan empiema

(terutama pada usia dewasa), sehingga cairan dibutuhkan kultur secara anaerob.

Blastomikosis, histoplasmosis, dan koksidioidomikosis berhubungan dengan efusi pleua

purulenta ringan sampai sedang. fungi tersebut dan kriptokokus merupakan suatu agen yang

10
menjadi risiko penyebab infeksi pada penderita dengan imunodefisiensi. Namun, penyakit

paru yang masif kadang juga menyerang penderita dengan status imunologi yang normal

yang banyak terpajan dengan fungi. Empiema juga dapat disebabkan oleh parasit seperti

paragonimiasis (pada imigran timur jauh) dan amebiasis3.

2.5. PATOFISIOLOGI

Ada tiga stadium empiema toraks pada anak yaitu :

Stadium 1 disebut juga stadium eksudatif atau stadium akut, yang terjadi pada hari-hari

pertama saat efusi. Inflamasi pleura menyebabkan peningkatan permeabilitas dan terjadi

penimbunan cairan pleura namun masih sedikit. Cairan yang dihasilkan mengandung elemen

seluler yang kebanyakan terdiri atas netrofil. Stadium ini terjadi selama 24-72 jam dan

kemudian berkembang menjadi stadium fibropurulen. Cairan pleura mengalir bebas dan

dikarakterisasi dengan jumlah darah putih yang rendah dan enzim laktat dehidrogenase

(LDH) yang rendah serta glukosa dan pH yang normal, drainase yang dilakukan sedini

mungkin dapat mempercepat perbaikan3.

Stadium 2 disebut juga dengan stadium fibropurulen atau stadium transisional yang

dikarakterisasi dengan inflamasi pleura yang meluas dan bertambahnya kekentalan dan

kekeruhan cairan. Cairan dapat berisi banyak leukosit polimorfonuklear, bakteri, dan debris

selular. Akumulasi protein dan fibrin disertai pembentukan membran fibrin, yang membentuk

bagian atau lokulasi dalam ruang pleura. Saat stadium ini berlanjut, pH cairan pleura dan

glukosa menjadi rendah sedangkan LDH meningkat. Stadium ini berakhir setelah 7-10 hari

dan sering membutuhkan penanganan yang lanjut seperti torakostomi dan pemasangan tube3.

Stadium 3 disebut juga stadium organisasi (kronik). Terjadi pembentukan kulit

fibrinosa pada membran pleura, membentuk jaringan yang mencegah ekspansi pleura dan
11
membentuk lokulasi intrapleura yang menghalangi jalannya tuba torakostomi untuk drainase.

Kulit pleura yang kental terbentuk dari resorpsi cairan dan merupakan hasil dari proliferasi

fibroblas. Parenkim paru menjadi terperangkap dan terjadi pembentukan fibrotoraks. Stadium

ini biasanya terjadi selama 2 – 4 minggu setelah gejala awal3.

Empiema adalah adanya pus dalam rongga pleura. Penderita dengan efusi

parapneumonia yang tanpa disertai komplikasi ditangani dengan antibiotika, cairan pleura

dan fagosit akan resorbsi melalui sistem limfa di subpleura, sedangkan membran mesotelial

akan mengalami perbaikan. Jika tidak ditangani dengan antibiotika, respons inflamasi dini

tidak cukup untuk mencegah penyebaran bakteri, dan efusi parapneumonia dapat terus

berkembang menjadi empiema dan berakhir ke stadium kronik. Selama empiema terus

berlanjut, akan terjadi perkembangan fibrosis pada ruang pleura. Adanya fibrosis dalam ruang

pleura menggambarkan suatu keadaan yang paling menyebabkan kelemahan pada penderita

empiema toraks. Bila fibrosis pleura terus berlanjut akhirnya akan terjadi fibrotoraks.

Mekanisme yang pasti terjadinya fibrosis belum sepenuhnya dimengerti.

Membran pleura menghasilkan cairan pleura yang kemudian diserap oleh saluran limfa yang

terletak pada kedua lapisan pleura. Peningkatan produksi cairan atau penurunan resorpsi

cairan akan menyebabkan akumulasi cairan yang patologis pada ruang pleura. Cairan pleura

dapat berupa transudat, transudat serofibrin, hemoragik, atau kilosa. Dengan pemeriksaan

radiografi mungkin bisa membedakan jenis-jenis cairan pleura. Pleurosentesis dapat

dilakukan dibawah petunjuk teknik pencitraan. Transudat pleura biasanya berwarna jernih,

kekuningan dan biasanya bilateral. Penyebab tersering adalah gagal jantung. Penyebab

lainnya dapat karena gagal ginjal, hipoproteinemia atau overtransfusi. Eksudat dapat

berwarna kuning kecoklatan atau purulen, dapat disebabkan oleh tuberkulosis, infeksi paru

atau pleura lainnya atau karena abses subfrenikus. Penyebab lainnya adalah kanker paru dan

penyakit jaringan ikat sistemik seperti lupus eritematous sistemik atau rheumatoid arthritis.
12
Pada posisi tegak lurus, sedikit cairan akan berkumpul di sudut kostofrenikus, pertama kali ke

arah posterior kemudian ke lateral. Sepanjang diafragma dan dada terisi dengan gambaran

opak. Dimana selama volume cairan terus bertambah maka secara bertahap akan semakin

luas dan paru mengalami perselubungan. jika tidak ditemukan kepastian antara cairan atau

sisa infeksi pleura yang mengalami pengentalan maka dapat diperjelas dengan pengambilan

film tambahan, yakni penderita dalam posisi dekubitus lateral, bila cairan maka akan

mengalir ke bawah mengikuti gravitasi. Cairan pleura dapat terkumpul dalam kantong

tertutup ( lokuli ) yang dibentuk oleh proses infeksi aktif dan menghasilkan pus dalam jumlah

yang besar, cairan pleura tidak hanya mengalir secara pasif sepanjang dada pada batas

cembung medial tapi juga menuju batas cekung medial. Hal ini mengarah kecurigaan pada

empiema dimana dapat terjadi hubungan antara pneumoni dengan abses paru. Empiema dapat

menembus pleura viseral dan terhubung dengan jaringan paru yang mengandung udara dan

cabang bronkial. Hubungan seperti ini dapat juga terjadi ketika suatu infeksi pada paru

menembus pleura3.

2.6. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis empiema hampir sama dengan penderita pneumonia bakteria,

gejalanya antara lain adalah panas akut, nyeri dada (pleuritic chest pain), batuk, sesak, dan

dapa juga sianosis. Inflamasi pada ruang pleura dapat menyebabkan nyeri abdomen dan

muntah. Gejala dapat terlihat tidak jelas dan panas mungkin tidak dialami penderita dengan

sistem imun yang tertekan2.

Gejala dan Tanda Empiema biasanya adalah: Batuk, Pekak Pada Perkusi Dada, Dispneu,

Menurunnya Suara Pernapasan, Demam, Pleural Rub (pada fase awal), Ortopneu,

Menurunnya vokal fremitus, Nyeri Dada, Menyempitnya ruangan interkosta, Nyeri

Abdomen, Daerah mediastinal bergeser pada sisi yang sehat, Muntah2


13
2.7. PEMERIKSAAN FISIK

Kualitas suara pernafasan yang dapat ditemukan adalah suara pernapasan bronkial,

normalnya didengar di trakea, yang pada auskultasi inspirasi dan ekspirasi jelas terlihat.

Suara pernafasan perifer lainnya yang dapat terdengar adalah suara pernapasan vesikular,

yakni rasio inspirasi yang terdengar lebih panjang dari ekspirasi. Suara pernapasan bronkial

yang terdengar pada paru perifer diperkirakan terjadi konsolidasi atau adanya efusi pleura.

Menurunnya suara pernafasan saat usaha bernapas merupakan alasan yang cukup untuk

mencurigai adanya atelektasis, konsolidasi lobaris (pneumonia) atau efusi pleura. Temuan

yang didapatkan dari pemeriksaan fisik, dipadukan dengan inspeksi yang terlihat adanya

deviasi trakea dengan jantung, pergerakan dinding dada, perkusi, fremitus, suara pernafasan,

dan melemah sampai menghilangnya suara pernafasan, dapat membantu menemukan patologi

intratoraks. Bentuk torak bayi lebih melengkung daripada anak anak dan dewasa. Selain itu

dinding dada bayi tipis dengan otot otot yang kecil sehingga suara paru dan jantung

diteruskan lebih jelas. Tulang dan tulang rawannya masih sangat lemah dan elastis. Ujung

dari prosesus xifoid sering terlihat menonjol ke depan di kulit pada apeks lengkung iga. Pada

bayi yang sehat, iga tidak banyak bergerak saat bayi bernapas biasa, iga bergerak keluar

karena diafragma turun dan menekan isi abdomen. Pergerakan dada yang asimetris dapat

disebabkan oleh space-occupying lesion seperti efusi pleura. Pada pemeriksaan pernapasan

yang harus dinilai : keadaan umum, laju pernapasan, warna, pernapasan cuping hidung, suara

pernapasan yang terdengar, dan usaha bernapas. Pernapasan didominasi oleh gerak diafragma

dengan sedikit bantuan dari otot otot dada. Selain melihat gerak pernapasan, juga penting

untuk menilai adakah retraksi ( chest indrawing ) yang merupakan indikator adanya penyakit

paru pada bayi kurang dari 2 tahun oleh WHO. Tipe tipe retraksi : supraklavikular, interkosta,

dan subkosta. Perkusi tidak banyak membantu pemeriksaan karena pada bayi memang

hiperesonansi dan sulit untuk melacak abnormalitas dari perkusi. Selanjutnya dilakukan
14
auskultasi, telah dikatakan sebelumnya bahwa suara akan diteruskan menjadi lebih keras dan

lebih kasar daripada pada dewasa. Selain itu, sulit untuk dibedakan dengan suara dari saluran

napas atas yang diteruskan ke dada. Untuk membedakannya terdapat beberapa petunjuk yang

berguna, suara napas dari saluran napas atas cenderung kuat dan diteruskan simetris ke kedua

dada dan semakin menguat saat stetoskop digerakkan ke atas, biasanya saat inspirasi,

terdengar kasar. Suara pernapasan saluran napas bawah akan terdengarlebih kuat pada daerah

yang patologis dan sering asimetris, sering terdengar saat fase ekspirasi5.

2.8. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Empiema merupakan perkembangan penyakit atau stadium dari efusi parapneumonia.

Drainase sulit dilakukan karena cairan yang bersifat kental dan adanya lokulasi fibrin dalam

ruang pleura. Meskipun beberapa penelitian menemukan adanya cara efektif mendapatkan

keparahan penyakit, memperkirakan prognosis dan merencanakan penanganan anak yang

menderita empiema dengan ultrasonik, terdapat ketidaksesuaian pada hasil penelitian

tersebut, karena setelah pemberian urokinase intrapleura secara acak pada anak dengan

empiema, ternyata hasil ultrasonik masih tidak berpengaruh. Selain itu ultrasonik kurang

spesifik dalam membedakan daerah kistik yang padat pada ruang pleura dan menentukan
15
apakah cairan pleura sudah terinfeksi atau belum. Walaupun gambaran ultrasund anak dengan

empiema biasanya ekogenik homogen, efusi hemoragik dan kilotoraks juga memiliki

gambaran yang sama. Ekogenitas cairan pleura disebabkan karena elemen-elemen sel seperti

eritrosit, sel-sel radang, droplet-droplet lemak atau gelembung udara, dan uultrasonik tidak

dapat membedakan elemen-elemen tersebut5.

2.9. METODE DIAGNOSIS EMPIEMA

▪ Foto dada posisi frontal, lateral, dan dekubitus

▪ Kultur darah

▪ Computed tomography/USG

▪ Apusan nasofaringeal/ sampel sputum

▪ Hitung arah lengkap dengan diferensiasi (tidak spesifik namun bisa mencari penyebab

infeksi atau diskrasia darah)

▪ Torakosenstesis jika etiologi efusi tidak diketahui atau tidak dapat ditentukan dari proses

infeksi yang telah dicurigai sebelumnya

▪ Pemeriksaan cairan pleura : Hitung sel darah dan diferensiasi, Protein, laktat dehidrogenase

(LDH), glucosa, dan pH, Kultur bakteri aerob dan anaerob, mikobakteri, fungi, mikoplasma,

dan bila ada indikasi disertai dengan pemeriksaan viral patogen.

Torakosentesis dapat membantu mengetahui penyebab efusi dan menyingkirkan

infeksi. Kekuatan diagnostik yang di ambil dari hasil kultur yang diambil dari torakosentesis

adalah lemah, namun tinggi pada anak dengan infeksi yang jelas dan mendapatkan antibiotika

lebih dalam waktu 24 jam. Tanpa adanya infeksi, normalnya cairan pleura memiliki berat
16
jenis yang rendah (<1.015) dan protein (<2.5 g/dL), kadar laktat dehidrogenase yang rendah

(3 g/dL) dan laktat dehidrogenase yang tinggi (>250 IU/L), pH yang rendah (<7.2), glukosa

yang rendah (<40 mg/dL), dan hitung selular yang tinggi dengan banyaknya leukosit

polimorfonuklear. Diagnosis empiema ditegakkan bila ditemukan cairan pleura yang purulen,

terdeteksi bakteri gram atau adanya hitung sel darah putih lebih dari 5 x 109 sel/l55,6,7.

2.10. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan tergantung dari penyebab efusi dan bertujuan untuk mengurangi

penumpukan cairan. Untuk efusi yang sedikit, khususnya jika jenisnya adalah transudat, tidak

diperlukan drainase. Untuk efusi yang banyak, diperlukan drainase dengan chest tube,

khususnya jika cairannya purulen ( empiema ). Pada kasus yang lain, cairan sering terjadi

pengentalan dan terlokalisasi sehingga membuat proses drainase menjadi sulit. Untuk itu,

chest tube dipasang sedini mungkin setelah dipastikan adanya empiema dari torakosentesis.

Pada kasus empiema dan efusi parapneumonia dimana drainase dipersulit dengan

pengumpulan cairan yang terlokulasi maka video-assisted thoracoscopic surgical débridement

dapat membantu menurunkan morbiditas dan lamanya rawat inap di rumah sakit. Banyak

kasus efusi parapneumonia dapat ditangani secara konservatif dengan pemberian antibiotika

intravena. Anak sehat yang menderita empiema masih dapat berespons dengan pemberian

antibiotika selama 3 – 4 minggu dan drainase dengan chest tube. Pada kebanyakan kasus,

proses penyembuhan dapat dipercepat dengan dilakukan debridemen torakoskopi pada ruang

pleura yang terkena infeksi dan terdapat lapisan fibrin sehingga dapat mencegah penyebaran

menyeluruh pada banyak kasus. Jika penyebabnya sudah berhasil ditangani maka akan

berprognosis baik. Bila seorang anak dengan pneumonia tidak berespons dengan pemberian

antibiotika dalam beberapa hari maka dapat dilakukan radiografi dada posisi dekubitus atau

CT scan untuk membantu penegakan diagnosis8.

17
2.11. ALGORITMA PENATALAKSANAAN EMPIEMA

Stadium 1Drainase dengan torakostomi , antibiotika spektrum luas

Stadium 2  Video-assisted thoracoscopic surgery (VATS) dengan antibiotika spektrum luas,

Drainase dengan torakostomi disertai antibiotika spektrum luas dan terapi fibrinolisis, bila

gagal maka dilakukan VATS.

Stadium 3 VATS dengan torakotomi disertai antibiotika spektrum luas, atau Torakotomi

terbuka dengan antibiotika spektrum luas.

Penanganan dengan antibiotika sebaiknya ditujukan pada stafilokokus yang resisten

penisilin dan S. pneumoniae walaupun hasil pemeriksaan apusan atau kultur menunjukkan

organisme lain sebagai penyebab. Sebagai obat tunggal, sefuroksim memiliki kerja khusus

melawan S. aureus dan pneumokokus, namun tidak untuk organisme lain. Kombinasi

oksasilin (untuk perlindungan terhadap S. aureus) dan sefotaksim (untuk perlindungan

terhadap S. pneumoniae) sering digunakan. Pada daerah dengan insiden bakteri stafilokokus

resisten terhadap metisilin yang tinggi, sebaiknya digunakan vankomisin dan klindamisin.

Jika cairan pleura berbau busuk, sebaiknya dipikirkan kemungkinan bakteri anaerob sebagai

penyebabnya dan diberikan terapi dengan klindamisin dan metronidazol. Pemberian

streptokinase intrapleura efektif dan aman dalam menangani empiema stadium 1 dan sadium

2. Selanjutnya akan cenderungan terjadi penurunan drainase dan penurunan gejala demam

dan gejala pernapasan, selain itu penanganan dengan fibrinolitik dapat dijadikan petunjuk

untuk intervensi bedah dini. Penanganan empiema masih kontroversial khususnya pada anak

anak. Pilihan penanganan mencakup pemberian antibiotika sistemik saja, torakosentesis,

torakostomi dengan menggunakan tuba, dengan atau tanpa pemberian obat fibrinolitik.

Teknik invasif lainnya adalah bedah torakoskopi, mini-torakotomi, dan torakotomi standar

18
dengan dekortikasi (menyingkirkan bekuan fibrin dari paru). Bagaimanakah memilih terapi

tersebut dan mengapa kontoversial itu karena beberapa alasan, yang pertama, pengalaman

terapi pada dewasa tidak bisa begitu saja diterapkan dan diramalkan pada anak-anak.

Berlawanan dengan penderita dewasa, kebanyakan anak dengan empiema sebelumnya

terlihat sehat. Yang kedua, faktor prognostik dapat membantu meramalkan terapi invasif pada

pederita dewasa seperti level laktat dehidrogenase (LDH), glukosa, pH cairan pleura, yang

tenyata semuanya tidak terlalu berguna pada anak-anak. Seperti yang diterbitkan akhir akhir

ini oleh British Thoracic Society guidelines for the treatment of pleural space infection in

children merekomendasikan penggunaan agen fibrinolitik untuk menangani efusi

parapneumonia dengan komplikasi (cairan yang kental, gambaran fibrous) atau empiema dan

dengan tindakan bedah pada penderita yang tidak responsif terhadap fibrinolitik.

19
Penyembuhan anak dengan empiema toraks yang berhubungan dengan Streptococcus

pyogenes sering berjalan lambat. Demam, peningkatan laju endap darah dan leukositosis

tetap ada dalam beberapa minggu walaupun sudah diberikan penanganan yang cukup.

Meskipun outcome penderita biasanya baik. Penanganan awal anak dengan empiema adalah

dengan torakostomi dan terapi antibiotika secara empiris yang efektif melawan

Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae, penanganan tambahan meliputi

video-assisted thoracoscopic surgery atau fibrinolisis8.

DAFTAR PUSTAKA

20
1. Asif N, Aamir B, Shahkar AS. Presentation and management of empyema thoracis at lady
reading hospital peshawar. Department of Cardio-thoracic Surgery, Lady Reading Hospital
Peshawar Pakistan, 2008
2. Peter HM et all. Empyema :Epidemiology and Pathophysiology. Associate Professor of
Pediatrics, Division of Pulmonary and Sleep Medicine, Duke University School of
Medicine. Mar 18 2009
3. Peter HM. Empyema Clinical Presentation. Associate Professor of Pediatrics, Division of
Pulmonary and Sleep Medicine, Duke University School of Medicine. Mar 18 2009
4. Peter HM. Empyema Medication. Associate Professor of Pediatrics, Division of
Pulmonary and Sleep Medicine, Duke University School of Medicine. Mar 18 2009
5. Peter HM et all. Empyema : Treatment and Management. Associate Professor of
Pediatrics, Division of Pulmonary and Sleep Medicine, Duke University School of
Medicine. Mar 18 2009
6. Amit B et all. A study of empyema thoracis and role of intrapleural streptokinase in its
management. Department of Medicine, All India Institute of Medical Science, New-
Delhi-110029, India. BMC Infectious Diseases 2004; 4:19
7. Khaled MA. Management of tuberculous empyema. Division of Thoracic Surgery, King
Khalid University Hospital. Eur J Cardiothorac Surg 2000;17:251-254
8. Chest Online. Management of Acute Empyema. American College of Chest Physicians.
Chest. 1992; 102; 1316-1317

21

You might also like