You are on page 1of 9

45

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Analisa data

secara deskriptif kuantitatif dilakukan terhadap data dan informasi yang

bersifat deskriptif seperti luas daerah yang sesuai dengan pemanfaatan ruang

RTRW 2010-2030. Dalam menentukan implementasi tata ruang dilakukan

analisis kuantitatif.

B. Bahan dan Alat Penelitian

Adapun alat alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Laptop

2. software argis 10.1 untuk menganalisis kesesuaian penggunaan lahan

3. GPS untuk menentukan posisi lintang dan bujur, koordinat geografi

4. Alat tulis untuk mencatat

Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

5. Peta RTRW Kota Padang tahun 2010 - 2030

6. Citra google earth tahun 2018 Kecamatan Pauh Kota Padang

C.Data penelitian

1.Data sekunder

Data sekunder adalah data yang didapat dari instansi terkait dengan penelitian. Adapun

data sekunder dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:

No Data Sumber data


1. Peta RTRW Kota Padang Tahun 2010 – 2030 BAPPEDA Kota Padang
2. Penggunaan Lahan skala 1:50.000 Tahun 2016 Citra google earth tahun

2016
46

Citra quickbird tahun 2016

D. Teknik Pengumpulan Data

1. Kesesuaian RTRW 2010-2030 dengan kondisi eksisting Kecamatan Pauh

Kota Padang

Data dikumpulkan melalui observasi dan pengambilan data sekunder

berupa peta RTRW Kota Padang tahun 2010-2030 ke Dinas Rencana Tata Ruang

Kota Padang
2. Implementasi penataan ruang di Kecamatan Pauh Kota Padang

Pengumpulan data untuk implementasi penataan ruang dilakukan secara

kualitatif dengan wawancara mendalam dengan perwakilan pemerintah, sawasta,

dan masyarakat.

E. Teknik Analisis Data

1. Menganalisis Evaluasi Kesesuaian Pemanfaatan Ruang dengan


RTRW 2010-2030 di Kecamatan Pauh Kota Padang
Analisis kesesuaian pemanfaatan kesesuain ruang yang dilakukan

dalam penelitian ini meliputi analisis kesesuaian untuk kawasan lindung

seperti hutan lindung, sempadan pantai, sempadan sungai, sempadan mata

air, dan sempadan situ, sedangkan kawasan budidaya yang dianalisis

adalah hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, sawah, dan

pemukiman.

Penentuan kawasan lindung menggunakan Kepres No 32 tahun

1990 dan penentuan fungsi hutan menggunakan SK Menteri Pertanian No

837/kpts/UM/II/1980.

1. Kriteria penentuan kawasan lindung (Kepres No 32 tahun 1990)


47

o Kawasan hutan lindung

 Kawasan hutan dengan faktor-faktor lereng, jenis tanah, curah

hujan dengan skor ≥ 175.

 Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan ≥ 40 %.

 Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian ≥ 2000 m diatas

permukaan laut.

o Sempadan pantai

 Daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan

bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 m dari titik pasang

tertinggi ke arah darat.

o Sempadan sungai

 Sekurang-kurangnya 100 meter dari kiri kanan sungai besar

dan 50 meter di kiri kanan anak sungai yang berada di luar

pemukiman.

 Untuk sungai di kawasan permukiman berupa sempadan sungai

yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara

10 – 15 meter.

o Sempadan situ

 Daratan sepanjang tepian situ yang lebarnya proporsional

dengan bentuk dan kondisi fisik situ antara 50 – 100 m dari

titik pasang tertinggi ke arah darat.

o Sempadan mata air


48

 Sekurang-kurangnya radius 200 m sekitar mata air.

2. Kriteria penentuan kawasan budidaya

 Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi Tetap (SK Mentan

No 837/kpts/UM/II/1980)

o Kawasan hutan dengan faktor lereng, jenis tanah, curah hujan

dengan skor 124 – 175 untuk hutan produksi terbatas dan

jumlah skor < 124 untuk hutan produksi tetap. ƒ

o Sawah tadah hujan tanpa irigasi (PPT, 1983 dalam Sitorus,

1998)

 Terletak pada kemiringan/kelerengan < 3 %. - Terletak

pada ketinggian < 500 m. - Drainase terhambat -

Kedalaman efektif tanah > 75 cm. ƒ

o Pemukiman (USDA, 1971 dalam Masri, 2005)

- Terletak pada kemiringan/kelerengan 0 - 15 %.

- Drainase baik - agak baik

- Kedalaman efektif tanah sangat dangkal (< 25 cm) –

dangkal (25 – 50 cm).

Analisis untuk sempadan sungai, sempadan pantai, sempadan

situ, dan sempadan mata air dilakukan dengan membuat buffer

sesuai Keppres No 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan


49

lindung. Sempadan sungai dibuat dengan buffer 100 m kiri kanan

sungai (sungai besar), sempadan pantai dibuat dengan buffer 100 m

dari titik pasang tertinggi ke arah darat, sempadan situ/danau dibuat

dengan buffer 50 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat yang

lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik situ/danau

dengan asumsi bentuk dan kondisi fisiknya seragama dan sempadan

mata air dibuat dengan buffer jari-jari 200 m sekitar mata air.

Analisis kesesuaian lahan untuk fungsi hutan menggunakan

scoring, tumpang susun (overlay), sedangkan untuk sawah tadah hujan

tanpa irigasi dan pemukiman menggunakan teknik tumpang susun

(overlay). Pengharkatan (scoring) untuk fungsi hutan dan pengkelasan

untuk sawah tadah hujan tanpa irigasi dan pemukiman berturut-turut

tertera pada Lampiran 1, 2, dan 3.

Dalam penelitian ini, kelas kesesuaian dibagi kedalam 5 kelas

(untuk sawah tadah hujan tanpa irigasi dan pemukiman), yakni :

a. Kelas S1: Sangat Sesuai (Highly Suitable)

Lahan tidak mempunyai pembatas yang berat untuk suatu

penggunaan tertentu secara lestari, atau hanya mempunyai pembatas

yang kurang berarti dan tidak b erpengaruh secara nyata terhadap

produksinya serta tidak akan menaikkan masukan dari apa yang telah

biasa diberikan.
50

b. Kelas S2: Sesuai (Suitable)

Lahan yang mempunyai pembatas agak berat untuk suatu

penggunaan tertentu yang lestari. Pembatas tersebut akan mengurangi

produktivitas lahan dan keuntungan yang diperoleh serta

meningkatkan masukan untuk mengusahakan lahan tersebut.

c. Kelas S3: Sesuai Marjinal (Marginally Suitable)

Lahan yang mempunyai pembatas dengan tingkat cukup berat

untuk suatu penggunaan yang lestari. Pembatas akan mengurangi

produktivitas atau keuntungan dan perlu menaikkan masukan yang

diperlukan.

d. Kelas N1: Tidak Sesuai Saat Ini (Currently Not Suitable)

Lahan yang mempunyai pembatas sangat berat tetapi masih

memungkinkan untuk diatasi, hanya tidak dapat diperbaiki dengan

tingkat pengetahuan sekarang ini dengan biaya yang rasional.

e. Kelas N2: Tidak Sesuai Permanen (Permanently Not Suitable)

Lahan yang mempunyai pembatas yang sangat berat sehingga

tidak mungkin untuk digunakan bagi suatu penggunaan yang lestari.

Pengkelasan tersebut (sawah tadah hujan tanpa irigasi dan

pemukiman) kemudian dibagi dua kelas yakni Kelas Sesuai dan Kelas

Tidak Sesuai dimana Kelas S1, Kelas S2, dan Kelas S3


51

dikelompokkan menjadi Kelas Sesuai dan Kelas N1 – N2

dikelompokkan menjadi Kelas Tidak Sesuai.

Tumpang susun (overlay) pada evaluasi lahan untuk fungsi hutan

adalah menggunakan overlay peta, peta lereng, Jenis tanah, intensitas

curah hujan. Tumpang susun (overlay) pada evaluasi lahan untuk Sawah

Tadah Hujan Tanpa Irigasi adalah menggunakan peta lereng, Ketinggian,

kedalaman efektif, drainase. Tumpang susun (overlay) pada evaluasi

Lahan untuk Pemukiman adalah menggunakan peta lereng, kedalaman

efektif, drainase.

Analisis SIG juga digunakan untuk mengetahui penyimpangan

pemanfaatan ruang terhadap rencana tata ruang melalui teknik tumpang

susun (overlay) antara RTRW dengan penggunaan lahan (saat ini).

2. Merumuskan Implementasi kebijakan penataan ruang di Kecamatan


Pauh Kota Padang
Untuk mendapatkan hasil rumusan implementasi kebijakan penataan

ruang di kecamatan pauh kota padang peneliti menggunakan teknik Analytical

Hierarki Prccess (AHP).


Perumusan arahan kebijakan penatan ruang di Kecamatan Pauh Kota

Padang dilakukan secara deskriptif berdasalkan hasil-hasil penelitian yang

telah dilakukan. Perumusan arahan kebijakan tergolong atas beberapa tahap,

yaitu:
1. Menyusun alternatif arahan kebijakan, berdasarkan pengembangan lanjut

data primer dan data sekunder penelitian, berupa uraian tentang hal-hal

yang harus dikembangkan menjadi prioritas kebijakan public.


2. Merumuskan prioritas arahan kebijakan
52

3. Pemilihan prioritas arahan kebijakan dilakukan melalui penyelesian

alternatif kebijakan untuk dijadikan sebagai prioritas arahan kebijakan

penataan ruang dilokasi penelitian dengan metode AHP (Analytical

Hierarki Prccess)
Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis AHP adalah sebagai berikut:
a. Penyusunan hierarki, untuk menguraikan persoalan menjadi unsur-

unsur dalam wujud kriteria dan alternatif yang disusun dalam bentuk

hierarki.
b. Penyusunan kriteria, digunakan untuk membuat keputusan yang

dilengkapi dengan bentuk alternatif yang terkait masing-masing

kriteria tersebut untuk dipilih sebagai keputusan tercantum pada

tingkatan paling bawah.


c. Penilaian kriteria dan alternatif, untuk melihat pengaruh strategis

terhadap pencapaian sasaran yang dinilai melalui perbandingan

berpasangan. Nilai dan defenisi pendapat kualitatif berdasarkan skal

perbandingan (Hermon, 2009), seperti tertera pada tabel 3.1


d. Penentuan prioritas, mrenggunakan teknik perbandingan berpasangan

(pairwise comparisons) untuk setiap kriteria dan alternatif. Nilai-nilai

perbandingan relative tersebut diolah dengan menggunakan manipulasi

matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik untuk

menentukan peringkat relative dari seluruh alternatif yang ada.

Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk melihat konsistensi penilaian

dengan menggunakan perhitungan Inconsistency Ratio.

Tabel 1.1 Kriteria penilaian dalam AHP


Nilai Keterangan
1 A sama penting dengan B
3 A sedikit lebih penting dari B
53

5 A lebih penting dari B


7 A sangat jelas lebih penting dari B
9 A mutlak lebih penting dari B
2,4,6,8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan
Sumber : Marimin (2005) dalam Hermon (2009)

e. Penentuan implementasi dan implikasi kebijakan dilakukan melalui

diskusi dengan pakar dengan tehnik wawancara mendalam.

You might also like