You are on page 1of 13

LAPORAN PRAKTIK LAPANGAN PEMERIKSAAN KETOMBE

BLOK TROPICAL MEDICINE

Disusun oleh:
Kelompok 14
Herthyaning Prasetyo G1A013067
Dyah Ratnasih K G1A013068
Sofyan Hardi G1A013069
Yulinar Firdaus Y G1A013070
Husnan Mujiburrahman G1A013071

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2016
KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum Wr. Wb.


Alhamdulillah, segala puji dan syukur kami haturkan ke hadirat Allah
swt. karena atas segala berkahNya kami dapat menyelesaikan laporan praktik
lapangan kami yang berjudul “Pemeriksaan Ketombe” pada blok Tropical
Medicine. Laporan ini kami susun dalam rangka memenuhi tugas blok Tropical
Medicine. Kami mengucapkan terimakasih pada dr. Lieza Dwianasari M.Kes, dr.
Galuh, dr. Octavia Permata Sari, Pak Wahyu, Mbak Wahyu, Mas Dian, Mbak Sinta
dan Mbak Citra yang bersedia membimbing kami dari awal hingga akhir praktik
lapangan ini. Tak lupa, kami mengucapkan terimakasih kepada SDN Ciberem dan
orangtua siswa yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membantu
prosedur pemeriksaan feses ini. Kami menyadari masih ada kekurangan pada
laporan ini, baik dari segi substansial maupun redaksional. Oleh karena itu, kami
memohon saran dan kritik agar kami dapat memperbaiki laporan ini menjadi lebih
baik ke depannya. Terimakasih.
Wassalammu’alaikum Wr. Wb.

Purwokerto, 29 September 2016

Penyusun
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ketombe merupakan istilah dalam bahasa Indonesia yang umum
digunakan yang dalam bahasa kedokteran lazim disebut dandruff atau Ptyriasis
capitis (Manuel, 2010). Ketombe merupakan pengelupasan kulit mati yang
berlebihan di kulit kepala. Berbagai kondisi memudahkan seseorang
berketombe, baik faktor genetik, hiperproliferasi epidermis, keaktifan kelenjar
sebasea, stres, kelelahan, kelainan neurologi, serta kontak dengan jamur
penyebab ketombe.
Pityrosporum ovale merupakan flora normal dari genus Malassezia
yang terdapat di lapisan atas stratum korneum yang dapat berasosiasi pada
keadaan ketombe dan dermatitis seboroik (Jang et al., 2009). Ketombe ini
hampir didapatkan di seluruh dunia dengan prevalensi yang berbeda-beda
sekitar 18-26 %. Tingkat keparahan ketombe dipengaruhi oleh usia, terutama di
masa pubertas dan usia menengah dan menurun saat lansia serta relatif jarang
pada anak-anak (Ranganathan dan Mukhopadhyay, 2010).
Ketombe membuat penderitanya merasa sangat terganggu. Oleh karena
itu perlu dilakukan upaya untuk mencegah timbulnya ketombe. Upaya
pencegahan yang dilakukan seperti keramas menggunakan sampo yang lembut
untuk mengurangi kadar minyak berlebih. Manajemen pengobatan ketombe
memerlukan jangka panjang, pilihan perawatan akan tergantung pada
kemudahan dan frekuensi administrasi, biaya, dan efek samping profil agen
terapeutik (Satchell et al., 2002). Ketika penggunaan sampo biasa tidak dapat
mengatasi masalah ketombe maka perlu penggunaan sampo anti ketomebe yang
mengandung bahan-bahan seperti zink, asam salisilat, selenium sulfida dan
ketokonazol.

B. Tujuan
Tujuan praktik lapangan ini adalah antara lain sebagai berikut.
1. Mampu melakukan pemeriksaan ketombe untuk mencari jamur
Pityrosporum ovale secara mikroskopis.
2. Mampu mengidentifikasi Pityrosporum ovale yang diamati secara
mikroskopis.
3. Mampu menentukan penatalaksanaan yang tepat bagi pasien sesuai hasil
pemeriksaan ketombe.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Pityriasis capitis atau yang biasa disebut ketombe adalah
pengelupasan kulit mati yang berlebihan di kulit kepala kadang disertai rasa
gatal, walaupun tidak ada atau hanya sedikit disertai tanda radang
(Bramono, 2002). Ketombe terbentuk ketika sel-sel kulit kepala terlalu
cepat menua dan mati, yang berakibat munculnya lapisan keratin yang keras
dan berminyak. Sel-sel rambut akan tumbuh dengan fase teratus, yaitu
setiap 24 hari sekali. Ketika sel-sel itu mencapai kulit kepala dan telah
kering kemudian menjadi sel mati yang berbentuk bintik-bintik putih, maka
sel tersebut akan luruh. Sel-sel mati yang luruh inilah yang biasa dikenal
sebagai ketombe.
Secara periodik kulit kepala yang mati akan dikeluarkan ke
permukaan kulit. Sel kepala yang mati selanjutnya akan lepas dengan
sendirinya, namun karena kondisi tertentu pelepasan ini tidak terjadi
sehinggga sel–sel mati menumpuk di permukaan kulit kepala, inilah yang
disebut sebagai ketombe (Naturakos-BPOM RI, 2009). Umumnya ketombe
dianggap sebagai bentuk paling ringan dari dermatits seboroik yang ditandai
dengan skuama halus sampai kasar yang berwarna putih kekuningan
berjumlah banyak (Djuanda , 2007).
.
B. Epidemiologi
Hampir semua penduduk di setiap wilayah geografis mengalami
permasalahan ketombe dalam kehidupan mereka (Ranganathan dan
Mukhopadhyay, 2010). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh
Procter dan Gamble Beauty (P&G Beauty) ditemukan bahwa ketombe
banyak ditemukan pada lebih dari 50% orang Kaukasia dan 80% orang
Afrika. Wanita Afrika lebih berpotensi terkena ketombe sedangkan wanita
China beresiko paling kecil mengalami ketombe (Kit, 2004). Di daerah
tropis dan bertemperatur tinggi dan udara lembab seperti Indonesia juga
banyak menderita ketombe namun angka insidensinya belum diketahui
secara pasti (Wolff, Klaus dkk. 2005). Ketombe sering dikeluhkan pada
masa remaja dan dewasa serta relatif jarang dan ringan pada anak – anak.
Insiden dan tingkat keparahan mencapai puncak pada usia 20 tahun dan
mulai menurun setelah usia 50 tahun (Wolff, Klaus dkk. 2008).

C. Patomekanisme
Sampai saat ini masih belum ada kesepakatan mengenai teori yang
pasti tentang etiopatogenesis dari ketombe. Menurut hasil penelitian yang
dilakukan Ro dan Dawson (2005) ada tiga faktor utama penyebab ketombe
yaitu : aktivitas kelenjar sebasea, peranan jamur Malessezia, dan daya tahan
tubuh seseorang.
Produksi sebum oleh kelenjar sebasea merupakan faktor penting
bagi pertumbuhan P. ovale yang besifat lipofilik atau lipid-dependent.
Menurut penelitian ulang yang dihasilkan oleh Dawson (2007), sekresi
sebum mulai meningkat dari usia remaja sampai dewasa. Pada laki – laki
sekresi ini akan menurun perlahan sesuai dengan bertambahnya usia,
sedangkan pada perempuan sangat menurun setelah usia 50 tahun. Hal ini
disebabkan karena kelenjar sebasea dirangsang oleh androgen yang berasal
dari testis, ovarium dan kelenjar adrenal. Pada keadaan normal, sebum yang
dihasilkan berfungsi sebagai perlindungan kulit epidermis dari sinar UV,
transportasi antioksidan pada kulit dan beberapa fungsi lain. Jumlah sebum
yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya penumpukan lemak dan
beresiko untuk terjadinya ketombe.
Malassezia furfur merupakan jamur lipofilik, dimorfik yang terdapat
pada kulit manusia sebagai patogen oportunistik, menyebabkan penyakit
seperti ketombe, panu (Pityriasis versicolar), dermatitis seboroik, dll.
Organisme ini mengkonsumsi sebum yang nantinya akan menghasilkan
lipase yang memungkinkan untuk mengurangi sebum trigliserida yang
berfungsi untuk membebaskan asam lemak, asam lemak yang jenuh hasil
hidrolisis akan digunakan oleh Malassezia untuk berkembang biak sehingga
nantinya terjadi peradangan atau iritasi kulit yang pada gilirannya
menyebabkan sel kulit cepat mati dan terjadilah pengelupasan lapisan kulit
(Ketombe). Kekebalan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan jamur Malassezia di kulit kepala. Semakin rentan atau
buruknya kekebalan tubuh manusia, maka akan semakin mudah terinfeksi
jamur Malassezia.

D. Faktor Risiko
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya ketombe (Naturakos-BPOM
RI, 2009) adalah sebagai berikut :
1. Iklim dan cuaca yang merangsang kegiatan kelenjar kulit
2. Makanan yang berkadar lemak tinggi
3. Stress yang menyebabkan meningkatnya aktifitas kelenjar kulit
4. Genetik atau keturunan tertentu yang mempunyai lemak kulit
berlebih
5. Obat-obatan yang menstimulasi kelenjar minyak
6. Kebersihan kulit yang buruk sehingga menyebabkan flora kulit
meningkat
7. Usia tertentu (remaja mempunyai faktor risiko yang lebih tinggi)
8. Obat-obatan yang dapat menurunkan daya tahan tubuh

E. Penegakan Diagnosis
Diagnosis ketombe umumnya dapat dengan mudah untuk ditegakkan
berdasarkan (Djuanda, 2007) :
1. Gambaran atau gejala klinis yang khas
2. Pemeriksaan laboratorium semikuantitatif, yaitu dengan cara
pewarnaan KOH 10-20% + tinta parker blue black pada spesimen
dari hasil kerokan kulit kepala berambut atau dengan menempelkan
selotip pada daerah kulit kepala yang berketombe dan segera diamati
di mikroskop cahaya pembesaran 1000x. Hasil positif bila di
dapatkan jumlah rerata jamur Malassezia lebih dari atau sama
dengan 10 spora per lapangan pandang besar. Negatif bila tidak
ditemukannya hifa atau blastokonidia.
3. Pemeriksaan lampu Wood : Fluoresen negatif.
F. Penatalaksanaan
Prinsip kosmetik anti ketombe adalah untuk menurunkan kadar
minyak permukaan kulit kepala atau untuk menurunkan jumlah sekresi
sebum, membunuh mikroba penyebab ketombe serta mengurangi gejala
gatal dan rambut rontok. Sediaan anti ketombe dalam kosmetik biasanya
disajikan dalam bentuk sediaan: sampo, hair cream bath atau dapat juga
dalam bentuk tonik (Naturakos-BPOM RI,2009).
Beberapa zat umum yang digunakan untuk anti ketombe adalah :
1. Sulfur
Sulfur memiliki efek anti ketombe karena kemampuannya sebagai
keratolitik. Sulfur dapat digunakan sebagai anti ketombe sampai
dengan kadar 10% dan dapat dikombinasi dengan asam salisilat
untuk meningkatkan efek anti ketombenya.
2. Asam salisilat
Asam salisilat memiliki efek pada kulit sebagai keratolitik, dijadikan
dasar penambahan asam salisilat pada produk sampo perawatan
ketombe. Pada kulit dapat mempercepat regenerasi sel. Dalam
peraturan Ka Badan POM No. HK.00.05.42.1018 kadar asam
salisilat dibatasi 3% untuk produk bilas dan 2% untuk produk
lainnya.
3. Selenium Sulfida
Selenium sulfida dengan kadar 1% dan 2,5% digunakan pada kulit
kepala untuk mengontrol gejala ketombe dan seborrheic dermatitis.
Mekanisme kerjanya sebagai anti ketombe dengan menghambat
pertumbuhan sel baik yang hiperproliferatif atau normal. Efek
samping dari penggunaan selenium sulfida adalah iritasi kulit,
rambut kering atau berminyak, rambut rontok.
4. Seng Pirition
Bekerja sebagai anti mitosis, bakteriostatik dan fungistatik (drugs).
Seng pirition merupakan anti ketombe yang efektif dan bersifat anti
fungi. Dalam peraturan Ka Badan POM No. HK.00.05.42.1018,
kadar Seng pirition sebagai anti ketombe dibatasi 2% untuk produk
dibilas dan 0,1% produk non bilas.
5. Pirokton olamine
Pirokton olamin atau Octopirox adalah suatu senyawa digunakan
sebagai terapi infeksi jamur. Seringkali digunakan sebagai salah satu
komponen sampo anti ketombe sebagai pengganti seng pirition.

G. Komplikasi
Infeksi bakteri sekunder di daerah yang terkena penyakit.
Komplikasi juga bisa timbul dari penggunaan obat-obatan kosmetik
ketombe. Beberapa efek samping yang mungkin ditimbulkan adalah
(Naturakos-BPOM RI , 2009) :
1. Dermatitis yang terjadi pada kulit kepala.
2. Kerusakan rambut seperti kerontokan rambut, berubah warna dan
rambut rentan patah.
3. Efek samping sistemik, walaupun kasusnya jarang.

H. Prognosis
Ketombe adalah penyakit kulit kepala yang dapat disembuhkan
dengan menjaga kulit kepala tetap bersih. Menjaga kesehatan rambut, flora
normal pada kulit kepala akan tetap dalam batas normal sehingga aktifitas
berlebihan flora normal kulit kepala dapat dihindari. Faktor lain seperti
konsumsi makanan, psikologi, dan cuaca juga harus diperhatikan. Pada
beberapa kasus yang mempunyai faktor konstitusi penyakit ini agak sukar
disembuhkan (Djuanda, 2007).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Pada pemeriksaan ketombe dengan pasien,
Nama : An. Gilang R
Usia : 11 tahun
Alamat : Ciberem
Hasil : Tidak ditemukan hifa dan septa

Gambaran mikroskopik responden an. Gilang

Kelompok Hifa Septa


1 Negatif Negatif
2 Positif Positif
3 Negatif Negatif
4 Negatif Negatif
5 Negatif Negatif
6 Positif Positif
7 Positif Positif
8 Negatif Negatif
9 Positif Positif
10 Positif Positif
11 Positif Positif
12 Positif Positif
13 Positif Positif
14 Negatif Negatif
15 Negatif Negatif
16 Negatif Negatif
17 Negatif Negatif
18 Positif Positif
19 Positif Positif
20 Negatif Negatif
21 Positif Positif
22 Positif Positif
23 Negatif Negatif
24 Positif Positif
25 Positif Positif
26 Negatif Negatif
27 Positif Positif

B. Pembahasan
Dalam pengamatan mikroskopik yang sudah dilakukan pada
preparat ketombe yang didapatkan dari siswa SD 1 Ciberem, pada pasien
ini tidak ditemukan adanya hifa bersepta yang menjadi ciri-ciri mikroskopis
dari jamur Pityrosporum ovale. Adapun ciri-ciri lain dari Pityrosporum
ovale adalah berbentuk oval seperti botol, berukuran 1-2 x 2-4 mm, gram
positif, dan memperbanyak diri dengan cara blastospora atau tunas juga
tidak ditemukan dalam preparat ini. Sedangkan pada beberapa kelompok
lain ditemukan adanya gambaran hifa bersepta.
Berdasarkan kuisioner yang kami sebar, responden ini memiliki
faktor risiko yang tinggi untuk menderita ketombe. Sering berkeringat dan
jarang membersihkan rambut menjadi kebiasaan dari responden. Pada
preparat responden ini tidak ditemukan adanya gambaran hifa bersepta bisa
dikarenakan, (1) kesalahan dalam pengambilan sampel; (2) kesalahan dalam
pembuatan preparat; (3) ketidaktelitian dalam mengamati preparat.
IV. KESIMPULAN

1. Pada pemeriksaan mikroskopik dari hasil kerokan kulit kepala tidak


ditemukan gambaran hifa bersepta.
2. Berdasarkan data dari kuisioner, responden memiliki faktor risiko terkena
ketombe.
3. Penegakan ketombe dapat ditegakan apabila responden memiliki gambaran
khas dan pemeriksaan laboratorium dengan tinta parker maupun lampu
wood
4. Pengobatan ketombe yang efektif menggunakan sampo anti ketombe.
DAFTAR PUSTAKA
Bramono, K. 2002. Pitiriasis sika atau ketombe : etiopatogenesis. In : Sjarif
Wasitaatmaja, Sri Linuwih M, Tjut Jacoeb, Sandra Widaty, editor.
Kesehatan dan keindahan rambut. Jakarta: Kelompok Studi Dermatologi
Kosmetik Indonesia.
Dawson, Thomas, dkk, 2005. The Role of Sebaceous Gland Activity and Scalp
Microfloral Metabolism in the Etiology of Seborrheic Dermatitis and
Dandruff. The Society for Investigative Dermatology: USA.
Dawson, Thomas. 2007. Malassezia globosa and restricta: Breakthrough
Understanding of the Etiology and Treatment of Dandruff and Seborrheic
Dermatitis through Whole-Genome Analysis. Journal of Investigative
Dermatology Symposium Proceedings: USA.
Djuanda, A. 2007. Dermatitis Seboroik. Dalam Djuanda Adhi, Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Edisi
Kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Jang, J.S., Lim, S.H., Ko, J.H., Oh, B.H., Kim, S.M. , Song, Y.C., Yim, S.M. , Lee
, Y.W., Choe, Y.B., Ahn, K.J. 2009. The Investigation on the
Distribution of Malassezia Yeasts on the Normal Korean Skin by 26S
rDNA PCRRFLP. Ann Dermatol, 21(1) : 18– 26.
Kit, D. 2004. Seborrheic Dermatitis Dandruff Reasearch Update. Available at:
http://www.pgbeautygroomingscience.com/ assets/ files/
research_update/ Dan % 20 Kit % July% 2028_1.pdf. (Diakses pada 29
September 2016).
Manuel, F. 2010. Is Dandruff a Disease?. Int J Tr ic hology, 2(1) : 68.
Naturakos. 2009. Vol. IV/No. 11. Jakarta : Badan Pengawas Obat dan Makan RI.
Ranganathan, S., Mukhopadhyay, T. 2010. Dandruff: the most commercially
exploited skin disease. India n J Dermatol, 55(2):130-4.
Satchell, A.C. , Bell, S.A., Bametson, R.S. 2002. Treatment of dandruff with 5%
tea tree oil shampoo. f Am Acad Dermatol, 47: 852-5.
Wolff, Klaus dkk. 2008. Seborrheic Dermatitis: dalam Fitzpatrick’s Dermatology
in General Medicine Seventh Edition. USA: Mc Graw Hill Companies.

You might also like