You are on page 1of 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberculosis Paru atau yang lebih sering dikenal dengan TB Paru, yaitu
penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
Tuberculosis, sebagian besar bakteri Mycobacterium Tuberculosis lebih sering
menyerang paru-paru dan dapat juga menginfeksi organ tubuh yang lainnya.
Penularan penyakit Tuberculosis Paru ini dikeluarkan melalui droplet di udara
sewaktu penderita Tuberculosis Paru bersin, batuk, atau berbicara (WHO,
2017). Penyakit Tuberculosis Paru ini bila tidak diobati atau pengobatannya
tidak tuntas dapat menyebabkan komplikasi berbahaya hingga kematian (Info
Datin Kemenkes RI, 2016).
World Health Organization (WHO) melaporkan 9 juta penduduk dunia
telah terinfeksi kuman Tuberculosis di tahun 2013. Pada tahun 2014 terdapat
9,6 juta penduduk dunia terinfeksi kuman Tuberculosis dan menyebabkan 1,2
juta kematian. Pada tahun 2016, penderita Tuberculosis Paru meningkat pesat,
WHO melaporkan sebanyak 10,4 juta penduduk dunia telah terinfeksi kuman
Tuberculosis atau 142 kasus per 100.000 populasi, dengan 90% penderita
Tuberculosis Paru diderita oleh orang dewasa, 65% penderitanya adalah laki
laki, 10% penderitanya yang juga terjangkit HIV dan sebesar 56% kasus baru
tuberculosis terjadi di enam negara yaitu India, Indonesia, China, Filipina,
Pakistan dan Afrika Selatan. Kematian akibat Tuberculosis Paru dilaporkan
sebanyak 1,3 juta kematian pada tahun 2016 (WHO, Global Tuberculosis
Report, 2017).
Indonesia merupakan negara penyumbang kasus Tuberculosis Paru
terbesar kedua dunia setelah India dan berada pada peringkat kelima negara
dengan kasus Tuberculosis Paru tertinggi di dunia pada tahun 2016. Kasus
penyakit Tuberculosis mengalami peningkatan setiap tahunnya yang terjadi di
Indonesia. Pada tahun 2014 ditemukan jumlah kasus Tuberculosis Paru
sebanyak 324.539 kasus. Pada tahun 2015 ditemukan jumlah kasus
Tuberculosis sebanyak 330.729 kasus. Pada tahun 2016, kasus Tuberculosis
mengalami peningkatan sebesar 351.893 kasus. Berdasarkan Angka
Notifikasi Kasus / CNR (case notification rate), angka notifikasi kasus
Tuberculosis Paru terkonfirmasi bakteriologi pada tahun 2014 sebesar 129 per
100.000 penduduk dan pada tahun 2015 sebesar 130 per 100.000 penduduk.
Sedangkan pada tahun 2016 angka notifiksasi kasus Tuberculosis Paru
meningkat sebesar 136 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2017).
Prevalensi penyakit Tuberculosis di Indonesia melalui pengukuran CNR
per 100.000 penduduk di setiap provinsinya. Provinsi dengan angka CNR
kasus Tuberculosis tertinggi di Indonesia yaitu DKI Jakarta (269 per
100.000), Papua (260 per 100.000), Maluku (223 per 100.000), Sulawesi
Utara (219 per 100.000) dan Papua Barat (210 per 100.000). Meskipun
Sumatra Selatan tidak termasuk dalam provinsi kasus Tuberculosis tertinggi
namun prevalensi penyakit Tuberculosis Paru di Sumatera Selatan pada tahun
2016 mencapai 114 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2017). Hal ini
menunjukan bahwa Sumatera Selatan masih tergolong tinggi resiko terhadap
penularan penyakit Tuberculosis Paru.
Kota Palembang sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Selatan merupakan
salah satu Kabupaten / Kota yang menyumbang angka kejadian Tuberculosis
Paru yang cukup tinggi. Jumlah angka CNR Tuberculosis Paru di Kota
Palembang, pada tahun 2015 sebanyak 89,8 per 100.000 penduduk dan pada
tahun 2016 sebanyak 85,1 per 100.000 penduduk (Dinkes Kota Palembang,
2016).
Kasus Tuberculosis Paru yang telah ditemukan, selanjutnya akan
mendapatkan layanan pengobatan selama enam bulan. Dari fase tersebut,
terdapat dua indikator utama untuk mengevaluasi keberhasilan pengobatan,
yaitu angka kesembuhan dan angka keberhasilan. Agar mencapai tingkat
kesembuhan yang tinggi, pengobatan pasien Tuberculosis Paru membutuhkan
penggunaan obat Tuberculosis secara rasional oleh tenaga kesehatan dan
dukungan yang memadai dari berbagai pihak terhadap penderita Tuberculosis
Paru dan pengawas minum obat (PMO) (Info Datin Kemenkes RI, 2016).
Angka keberhasilan pengobatan Tuberculosis di Indonesia mengalami
penurunan pada tahun 2015 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada
tahun 2014, angka keberhasilan pengobatan sebesar 87% sedangkan pada
tahun 2015 angka keberhasilan pengobatan sebesar 84,0%. Pada tahun 2016,
angka keberhasilan pengobatan mengalami peningkatan yaitu sebesar 85%
(Kemenkes RI, 2017).
Hasil Penelitian Ardayuni (2016) mengatakan bahwa angka
keberhasilan pengobatan yang rendah disebabkan karena banyak terjadinya
resisten obat pada penderita Tuberculosis Paru, Hal ini dikarenakan
ketidakpatuhan penderita dalam menjalani pengobatan. Pasien tidak datang
berobat (drop out) pada fase intensif karena rendahnya motivasi, dukungan
keluarga dan kurangnya informasi tentang penyakit yang dideritanya.
Hasil penelitian Oktavia dkk. (2016) mengatakan bahwa 54,5 %
penderita kasus Tuberculosis dengan pengetahuan rendah dan 45,5 % dengan
pengetahuan tinggi. Dan hasil penelitian Octovianus dkk. (2015) mengatakan
bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian drop out
diketahui tingkat pengetahuan kurang lebih banyak (58,0%) dibanding
dengan pengetahuan baik (42,0%). Dan juga terlihat ada hubungan antara
dukungan PMO dengan kejadian drop out diketahui bahwa peran dukungan
PMO baik lebih besar (53,0%) dibanding yang kurang (47,0%).
Fenomena Tuberculosis Paru dari uraian diatas, diperlukan perhatian
khusus dan penatalaksan yang serius mengenai penyakit Tuberculosis Paru,
karena masih tingginya kematian yang diakibatkan penyakit Tuberculosis
Paru, menurunnya angka keberhasilan pengobatan dan prevalensi penyakit
Tuberculosis Paru di Palembang yang masih cukup tinggi sehingga sangat
beresiko terhadap terjadinya penularan Tuberculosis Paru.
Mata rantai penularan diputuskan dengan menggunakan obat yang
rasional untuk mencegah putus obat Tuberculosis di masyarakat dengan cara
mengawasi menelan obat setiap hari oleh Pengawas Menelan Obat (PMO)
serta beberapa strategi yang diterapkan antara lain pembentukan Kelompok
Puskesmas Pelaksana (KPP) (Nalya, 2015).
Perawat komunitas sebagai perawat profesional mempunyai peran
penting dalam penatalaksaannya. Peran perawat komunitas terhadap penderita
Tuberculosis paru maupun keluarganya adalah sebagai pendidik, perawatan,
konselor, pengawasan, dan fasilitator kepada penderita Tuberculosis Paru dan
keluarga dengan intervensi perubahan prilaku.
Melalui asuhan keperawatan keluarga kita dapat melaksanakan
pelayanan kesehatan secara menyeluruh pada keluarga. Untuk mencegah
terjadinya putus obat akibat adanya ketidakteraturan berobat atau bosannya
penderita Tuberculosis Paru dalam mengkonsumsi obat. Untuk mengatasi
masalah kesehatan tersebut dengan memberikan penyuluhan tentang
Tuberculosis dan mengajak keluarga untuk memahami pentingnya fungsi
keluarga dalam pengobatan penderita TB, dan akan menunjuk satu anggota
keluarga untuk diberi tanggung jawab dalam pengawasan menelan obat
(PMO). PMO ini lah yang akan berperan penting dalam pengobatan penderita
Tuberculosis Paru dan mencegah agar penderita tidak mengalami putus obat.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk menulis Laporan
Tugas Akhir berjudul “Implementasi Keperawatan Keluarga pada Penderita
Tuberculosis Paru dengan defisiensi pengetahuan tentang TBC di wilayah
kerja Puskesmas 11 Ilir Palembang tahun 2018.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah studi kasus di atas adalah bagaimanakah


Implementasi Keperawatan Keluarga pada Penderita Tuberculosis Paru
dengan defisiensi pengetahuan tentang terapi atau pengobatan TB di wilayah
kerja Puskesmas 11 Ilir Palembang tahun 2018.

1.3 Tujuan Studi Kasus

Adapun tujuan dari penulisan Laporan Tugas Akhir ini adalah sebagai
berikut:

1.3.1 Tujuan Umum


Mampu melaksanakan Implementasi Keperawatan Keluarga pada
Penderita Tuberculosis Paru dengan defisiensi pengetahuan tentang
TBC di wilayah kerja Puskesmas 11 Ilir Palembang tahun 2018.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mampu memberikan penjelasan kepada klien penderita
Tuberculosis Paru dan keluarga nya mengenai penyakit
Tuberculosis,
b. Mampu melakukan pengkajian pada keluarga Tn. S dan keluarga Tn.
N dengan masalah nyeri kepala pada penderita hipertensi di wilayah
kerja Puskesmas Padang Selasa Palembang Tahun 2017.
c. Mampu menentukan diagnosa keperawatan pada keluarga Tn. S dan
keluarga Tn. N dengan masalah nyeri kepala pada penderita
hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Padang Selasa Palembang
Tahun 2017.
d. Mampu merencanakan tindakan keperawatan pada keluarga Tn. S
dan keluarga Tn. N dengan masalah nyeri kepala pada penderita
hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Padang Selasa Palembang
Tahun 2017.
e. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada keluarga Tn. S
dan keluarga Tn. N dengan masalah nyeri kepala pada penderita
hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Padang Selasa Palembang
Tahun 2017.
f. Mampu melaksanakan evaluasi keberhasilan dan implementasi yang
dilakukan pada keluarga Tn. S dan keluarga Tn. N dengan masalah
nyeri kepala pada penderita hipertensi di wilayah kerja Puskesmas
Padang Selasa Palembang Tahun 2017.

You might also like