You are on page 1of 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit tetanus masih sering ditemui di seluruh dunia dan merupakan penyakit
endemik di 90 negara berkembang. Bentuk yang paling sering pada anak adalah tetanus
neonatorum yang menyebabkan kematian sekitar 500.000 bayi tiap tahun karena para ibu
tidak diimunisasi. Sedangkan tetanus pada anak yang lebih besar berhubungan dengan luka,
sering karena luka tusuk akibat objek yang kotor walaupun ada juga kasus tanpa riwayat
trauma tetapi sangat jarang, terutama pada tetanus dengan masa inkubasi yang lama. Spora
Clostridium tetani dapat ditemukan dalam tanah dan pada lingkungan yang hangat, terutama
di daerah rural dan penyakit ini menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di negara
berkembang.

Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia masih tinggi. Indonesia
merupakan negara ke-5 diantara 10 negara berkembang yang angka kematian tetanus
neonatorumnya tinggi. Pada tahun 1988 jumlah kematian neonatus 54633 dan pada tahun
1992 berjumlah 33264 sedangkan angka kematian tetanus neonatorum pada tahun 1988
sebesar 10,9 ‰ dan tahun 1992 sebesar 7,3 ‰. Angka tersebut cukup tinggi bila
dibandingkan dengan negara tetangga yakni Vietnam dengan jumlah kematian karena tetanus
neonatorum tahun 1988 sebanyak 9598 dan tahun 1992 berjumlah 85550 dan angka kematian
tahun 1988 dan 1992 adalah 4.8 ‰ dan 4,2 ‰ secara berurutan.

Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan penatalaksanaan yang tepat
dan dilakukan secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus mempunyai case fatality rate
yang tinggi (70-90%) sehingga bila tetanus dapat didiagnosis secara dini dan ditangani
dengan baik maka dapat lebih menurunkan angka kematian.

Penatalaksanaan yang baik ditentukan antara lain oleh pemahaman yang tepat
mengenai patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, komplikasi, penatalaksanaan dan
prognosis dari penyakit tetanus.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari tetanus ?
2. Apa yang menjadi etiologi dari tetanus ?
3. Apa patofisiologi dari tetanus ?
4. Bagaimana tanda dan gejala tetanus ?
5. Bagaimana penatalaksanaan pada tetanus ?
6. Bagaimana penatalaksanaan medis dan perawatan pada tetanus ?
7. Bagaimana melakukan pencegahan pada tetanus ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian tetanus
2. Untuk mengetahui etiologi tetanus
3. Untuk mengetahui patofisiologi tetanus
4. Untuk mengetahui tanda dan gejala tetanus
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada tetanus
6. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan medis dan perawatan pada tetanus.
7. Untuk mengetahui pencegahan pada tetanus
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Defenisi

Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini
ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka,
sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan
respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan
dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem
saraf perifer atau otot.

Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif,


bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 μm. Mikroorganisme ini menghasilkan spora pada
salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.
Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap desinfektan kimia, pemanasan dan
pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam tanah, debu jalan dan pada kotoran
hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam suasana anaerobik.
Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin.
Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam patogenesis tetanus dan menyebabkan
hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung saraf otot dan sistem saraf
pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang.

2.2 Karakteristik
Clostridium tetani adalah berbentuk batang, obligat anaerob Gram positif. Selama
pertumbuhan vegetatif, organisme tidak dapat bertahan di hadapan oksigen, sangat sensitif
terhadap panas dan memiliki flagela yang memberikan mobilitas terbatas. Sebagai bakteri
matang, ia mengembangkan terminal spora, yang memberikan penampilan yang khas
organisme. Spora C. tetani sangat kuat, dan tahan terhadap panas dan paling antiseptik. spora
tersebar secara luas dalam pupuk kandang-tanah diperlakukan, dan juga dapat ditemukan
pada kulit manusia yang terkontaminasi.
2.3 Patofisiologi

Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka dalam bentuk
spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif yang menghasilkan
tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau berkurangnya
potensi oksigen.

Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka. Beratnya
penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta jumlah
toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut selain ditentukan oleh
kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium tetani. Pengetahuan tentang
patofisiologi penyakit tetanus telah menarik perhatian para ahli dalam 20 tahun terakhir ini,
namun kebanyakan penelitian berdasarkan atas percobaan pada hewan.

2.4 Nama Lain : Lockjaw

Tetanus atau Lockjaw merupakan penyakit akut yang menyerang susunan saraf pusat
yang disebabkan oleh racun tetanospasmin yang dihasilkan oleh Clostridium Tetani. Penyakit
ini timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan serangga, infeksi
gigi, infeksi telinga, bekas suntikan dan pemotongan tali pusat. Dalam tubuh kuman ini akan
berkembang biak dan menghasilkan eksotoksin antara lain tetanospasmin yang secara umum
menyebabkan kekakuan, spasme dari otot bergaris.

Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka kematian dari
penyakit tetanus masih cukup tinggi. Oleh karena itu tetanus masih merupakan masalah
kesehatan. Akhir–akhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi di seluruh
dunia, maka angka kesakitan dan angka kematian telah menurun secara drastis.

2.4 SEJARAH

Penyakit ini telah dikenal sejak zaman Hipocrates. Pada abad II Areanus the
Cappadocian melaporkan gambaran klinis tetanus, kemudian selama berabad– abad penyakit
ini jarang disebutkan. Pada tahun 1884, Carle dan Rattone menggambarkan transmisi tetanus
pada kelinci Percobaan.
Kitasato (1889) pertama kali mengisolasi Clostridium Tetani. Setahun kemudian
bersama dengan von Behring melaporkan adanya anti–toksin spesifik pada serum binatang
yang telah disuntikkan dengan toksin tetanus. Pada tahun 1926, mulai dikembangkan toksoid
yang dapat merangsang pembentukan imunitas.

2.6 ETIOLOGI

Kuman tetanus yang dikenal sebagai Clostridium Tetani; berbentuk batang yang
langsing dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um, termasuk gram positif dan
bersifat anaerob. Clostridium Tetani dapat dibedakan dari tipe lain berdasarkan flagella
antigen. Kuman tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan ujung yang
butat, khas seperti batang korek api (drum stick) Sifat spora ini tahan dalam air mendidih
selama 4 jam, obat antiseptik tetapi mati dalam autoclaf bila dipanaskan selama 15–20 menit
pada suhu 121°C. Bila tidak kena cahaya, maka spora dapat hidup di tanah berbulan–bulan
bahkan sampai tahunan. Juga dapat merupakanflora usus normal dari kuda, sapi, babi,
domba, anjing, kucing, tikus, ayam dan manusia. Spora akan berubah menjadi bentuk
vegetatif dalam anaerob dan kemudian berkembang biak.

Bentuk vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptik Kuman tetanus
tumbuh subur pads suhu 17°C dalam media kaldu daging dan media agar darah. Demikian
pula dalam media bebas gula karena kuman tetanus tidak dapat mengfermentasikan glukosa.

Kuman tetanus tidak invasif. tetapi kuman ini memproduksi 2 macam eksotoksin yaitu

1. Tetanospasmin
Tetanospasmis merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam
air labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. tetapi stabil dalam
bentuk murni dan kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin ini
melalui beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala
berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejang–kejang.
2. Tetanolisin.
Tetanolisin menyebabkan lisis dari sel–sel darah merah.
2.7 EPIDEMIOLOGI
Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat, tetanus sudah sangat jarang
dijumpai, karena imunisasi aktif telah dilaksanakan dengan baik di samping sanitasi
lingkungan yang bersih, akan tetapi di negara sedang berkembang termasuk Indonesia
penyakit ini masih banyak dijumpai, hal ini disebabkan karena tingkat kebersihan masih
sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi, perawatan luka kurang diperhatikan,
kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap
tetanus.
Penyakit ini dapat mengenai semua umur. Di Amerika Serikat pada tahun 1915
dilaporkan bahwa kasus tetanus yang terbanyak pada umur 1:5 tahun, sesuai dengan yang
dilaporkan di Manado (1987) dan surabaya (1987) ternyata insiden tertinggi pada anak di
atas umur 5 tahun. Perkiraan angka kejadian umur rata–rata pertahun sangat meningkat
sesuai kelompok umur, peningkatan 7 kali lipat pada kelompok umur 5–19 tahun dan 20–
29 tahun, sedangkan peningkatan 9 kali lipat pada kelompok umur 30–39 tahun dan umur
lebih 60 tahun. Beberapa peneliti melaporkan bahwa angka kejadian lebih banyak
dijumpa pada anak laki–laki; dengan perbandingan 3:1.
2.8 PATOGENESIS
Chlostridium Tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang
terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Cara masuknya spora ini
melalui luka yang terkontaminasi antara lain luka tusuk (oleh besi: kaleng), luka bakar,
luka lecet, otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus, tali pusat, kadang–
kadang luka tersebut hampir tak terlihat.
Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi hipaerob
sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrotis, lekosit yang mati, benda–benda
asing maka spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian berkembang. Kuman ini
tidak invasif. Bila dinding sel kuman lisis maka dilepaskan eksotoksin, yaitu
tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmin sangat mudah mudah diikat oleh saraf dan
akan mencapai saraf melalui dua cara.
1. Secara lokal: diabsorbsi melalui mioneural junction pada ujung–ujung saraf perifer
atau motorik melalui axis silindrik kecornu anterior susunan saraf pusat dan susunan
saraf perifer.
2. Toksin diabsorbsi melalui pembuluh limfe lalu ke sirkulasi darah untuk seterusnya
susunan saraf pusat.
Aktivitas tetanospamin pada motor end plate akan menghambat pelepasan
asetilkolin, tetapi tidak menghambat alfa dan gamma motor neuron sehingga tonus otot
meningkat dan terjadi kontraksi otot berupa spasme otot. Tetanospamin juga
mempengaruhi sistem saraf simpatis pada kasus yang berat, sehingga terjadi overaktivitas
simpatis berupa hipertensi yang labil, takikardi, keringat yang berlebihan dan
meningkatnya ekskresi katekolamin dalam urine. Tetanospamin yang terikat pada
jaringan saraf sudah tidak dapat dinetralisir lagi oleh antitoksin tetanus.
2.9 MANIFESTASI KLINIK
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3–21 hari, namun dapat singkat hanya 1–2
hari dan kadang–kadang lebih dari 1 bulan. Makin pendek masa inkubasi makin jelek
prognosanya. Terdapat hubungan antara jarak tempat invasi Clostridium Tetani dengan
susunan saraf pusat dan interval antara luka dan permulaan penyakit, dimana makin jauh
tempat invasi maka inkubasi makin panjang.
Secara klinis tetanus ada 3 macam :
1. Tetanus umum
Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai. Terjadinya
bentuk ini berhubungan dengan luas dan dalamnya luka seperti luka bakar yang luas, luka
tusuk yang dalam
Biasanya tetanus timbul secara mendadak berupa kekakuan otot baik bersifat
menyeluruh ataupun hanya sekelompok otot. Kekakuan otot terutama pada rahang
(trismus) dan leher (kuduk kaku). Lima puluh persen penderita tetanus umum akan
menuunjukkan trismus., furunkulosis, ekstraksi gigi, ulkus dekubitus dan suntikan
hipodermis.
Dalam 24–48 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai ke ekstremitas.
Kekakuan otot rahang terutama masseter menyebabkan mulut sukar dibuka, sehingga
penyakit ini juga disebut 'Lock Jaw'. Selain kekakuan otot masseter, pada muka juga
terjadi kekakuan otot muka sehingga muka menyerupai muka meringis kesakitan yang
disebut 'Rhisus Sardonicus' (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke
bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), akibat kekakuan otot–otot leher bagian belakang
menyebabkan nyeri waktu melakukan fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan gejala
kuduk kaku sampai opisthotonus.
Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik baik secara
spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan, sinar dan bunyi). Kejang
menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal kuat dan kaki dalam posisi
ekstensi.
Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta ketakutan yang
menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah terangsang. Spasme otot–otot
laring dan otot pernapasan dapat menyebabkan gangguan menelan, asfiksia dan sianosis.
Retensi urine sering terjadi karena spasme sphincter kandung kemih. Kenaikan
temperatur badan umumnya tidak tinggi tetapi dapat disertai panas yang tinggi sehingga
harus hati–hati terhadap komplikasi atau toksin menyebar luas dan mengganggu pusat
pengatur suhu. Pada kasus yang berat mudah terjadi overaktivitas simpatis berupa
takikardi, hipertensi yang labil, berkeringat banyak, panas yang tinggi dan ariunia
jantung.
Menurut berat ringannya tetanus umum dapat dibagi atas:
a. Tetanus ringan: trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umum walaupun
dirangsang.
b. Tetanus sedang: trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang umum bila dirangsang.
c. Tetanus berat: trismus kurang dari 1 cm dan disertai kejang umum yang spontan.
Pembagian tetanus umum :
1. Grade 1: ringan
 Masa inkubasi lebih dari 14 hari
 Period of onset > 6 hari
 Trismus positif tetapi tidak berat
 Sukar makan dan minum tetapi disfagia tidak ada.
Lokalisasi kekakuan dekat dengan luka berupa spasme disekitar luka dan kekakuan
umum terjadi beberapa jam atau hari.
2. Grade II: sedang
 Masa inkubasi 10–14 hari
 Period of onset 3 had atau kurang
 Trismus ada dan disfagia ada.
Kekakuan umum terjadi dalam beberapa hari tetapi dispnoe dan sianosis tidak ada.
3. Grade III: berat
 Masa inkubasi < 10 hari
 Period of onset 3 hari atau kurang
 Trismus berat
 Disfagia berat.
Kekakuan umum dan gangguan pernapasan asfiksia, ketakutan, keringat banyak dan
takikardia.
2. Tetanus lokal
Bentuk ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang dipertimbangkan karena gambaran
klinis tidak khas. Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan otot–otot pada bagian
proksimal dari tempat luka. Tetanus lokal adalah bentuk ringan dengan angka kematian
1%, kadang–kadang bentuk ini dapat berkembang menjadi tetanus umum.
3. Tetanus cephalic.
Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka mengenai
daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, leper, otitis media kronis dan jarang akibat
tonsilectomi. Gejala berupa disfungsi saraf loanial antara lain: n. III, IV, VII, IX, X, XI,
dapat berupa gangguan sendiri–sendiri maupun kombinasi danmenetap dalam beberapa
hari bahkan berbulan–bulan. Tetanus cephalic dapat berkembang menjadi tetanus umum.
Pada umumnya prognosa bentuk tetanus cephalic jelek.
2.10 DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan :
- Riwayat adanya luka yang sesuai dengan masa inkubasi
- Gejala klinis; dan
- Penderita biasanya belum mendapatkan imunisasi.
Pemeriksaan laboratorium kurang menunjang dalam diagnosis. Pada
pemeriksaan darah rutin tidak ditemukan nilai–nilai yang spesifik; lekosit dapat
normal atau dapat meningkat. Pemeriksaan mikrobiologi, bahan diambil dari luka
berupa pus atau jaringan nekrotis kemudian dibiakkan pada kultur agar darah atau
kaldu daging. Tetapi pemeriksaan mikrobiologi hanya pada 30% kasus ditemukan
Clostridium Tetani.
Pemeriksaan cairan serebrospinalis dalam batas normal, walaupun kadang–
kadang didapatkan tekanan meningkat akibat kontraksi otot. Pemeriksaan
elektroensefalogram adalah normal dan pada pemeriksaan elektromiografi hasilnya
tidak spesifik.
2.11 DIAGNOSIS BANDING
1) Meningitis bakterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya menurun.
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, di mana adanya kelainan
cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan
glukosa menurun.
2) Poliomielitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus.
Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukkan lekositosis. Virus polio diisolasi
dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibodi meningkat.
3) Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang
ditemukan, kejang bersifat klonik.
4) Keracunan strichnine
Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.
5) Tetani
Timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium dan fosfat
dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot adalah karpopedal spasme
dan biasanya diikuti laringospasme, jarang dijumpai trismus.
6) Retropharingeal abses
Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada.
7) Tonsilitis berat
Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tetapi trismus ada.
8) Efek samping fenotiasin
Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa sindrom ekstrapiramidal.
Adanya reaksi distonik akut, torsicolis dan kekakuan otot,
9) Kuduk kaku juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas, miositis
leher dan spondilitis leher.
2.12 KOMPLIKASI
1. Pada saluran pernapasan
Oleh karena spasme otot–otot pernapasan dan spasme otot laring dan seringnya
kejang menyebabkan terjadi asfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva serta sukarnya
menelan air liur dan makanan atau minuman sehingga sering terjadi aspirasi
pneumoni, atelektasis akibat obstruksi oleh sekret. Pneumotoraks dan mediastinal
emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.
2. Pada kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa takikardia,
hiperrtensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.
3. Pada tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot.
Pada tulang dapat terjadi fraktura columna vertebralis akibat kejang yang terus–
menerus terutama pada anak dan orang dewasa. Beberapa peneliti melaporkan juga
dapat terjadi miositis ossifikans sirkumskripta.
4. Komplikasi yang lain:
- Laserasi lidah akibat kejang;
- Dekubitus karena penderita berbaring dalam satu posisi saja
- Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan
mengganggu pusat pengatur suhu. Penyebab kematian penderita tetanus akibat
komplikasi yaitu: Bronkopneumonia, cardiac arrest, septikemia dan
pneumotoraks.
2.12 PROGNOSA
Dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1. Masa inkubasi
Makin panjang masa inkubasi biasanya penyakit makin ringan, sebaliknya makin
pendek masa inkubasi penyakit makin berat. Pada umumnya bila inkubasi kurang dari
7 hari maka tergolong berat.
2. Umur
Makin muda umur penderita seperti pada neonatus maka prognosanya makin jelek.
3. Period of onset
Period of onset adalah waktu antara timbulnya gejala tetanus, misalnya trismus
sampai terjadi kejang umum. Kurang dari 48 jam, prognosa jelek.
4. Panas
Pada tetanus febris tidak selalu ada. Adanya hiperpireksia maka prognosanya jelek.
5. Pengobatan
Pengobatan yang terlambat prognosa jelek.
6. Ada tidaknya komplikasi
7. Frekuensi kejang
Semakin sering kejang semakin jelek prognosanya.
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari, namun dapat singkat 1-2
hari dan kadang lebih satu bulan; makin pendek masa inkubasi makin buruk
prognosis. Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani
dengan susunan saraf pusat, dengan interval antara terjadinya luka dengan permulaan
penyakit; makin jauh tempat invasi, masa inkubasi makin panjang.
Tetanus tak segera dapat terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini
berlangsung hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada
masa inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya. Gejala penyakit tetanus bisa dibagi
dalam tiga tahap, yaitu :
a) Tahap awal
Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan
gejala awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa
penderita juga mengalami kesulitan menelan. Gangguan terus dialami penderita
selama infeksi tetanus masih berlangsung.
b) Tahap kedua
Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah
(Trismus). Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang
meningkat sampai gigi mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka sama
sekali. Kekakuan ini bisa menjalar ke otot-otot wajah, sehingga wajah penderita
akan terlihat menyeringai (Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-otot di
sudut mulut.

selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri.
Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan tertarik ke
belakang. (Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami luka.

Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat
dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita mengalami
tekanan di daerah dada, suara berubah karena berbicara melalui mulut atau gigi yang
terkatub erat, dan gerakan dari langit-langit mulut menjadi terbatas.
c) Tahap ketiga

Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah kejang
refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot. Kejang otot
ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula karena adanya rangsangan
dari luar. Misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan sebagainya. Pada awalnya,
kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi semakin lama akan berlangsung lebih lama dan
dengan frekuensi yang lebih sering. Selain dapat menyebabkan radang otot jantung
(mycarditis), tetanus dapat menyebabkan sulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan
lidah, bahkan patah tulang belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot hebat.
Pernafasan pun juga dapat terhenti karena kejang otot ini, sehingga beresiko kematian.
Hal ini disebabkan karena sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas,
sehingga refleks batuk tidak memadai, dan penderita tidak dapat menelan. Secara klinis,
tetanus dibedakan atas :

a. Tetanus lokal

Ditandai dengan rasa nyeri dan spasmus otot di bagian proksimal luka; gejala ini
dapat terjadi selama beberapa minggu dan menghilang tanpa gejala sisa. Bentuk ini dapat
berkembang menjadi bentuk umum; kasus fatal kira-kira 1%.

b. Tetanus umum

Merupakan bentuk tetanus yang paling banyak dijumpai, dapat timbul mendadak,
trismus merupakan gejala awal yang paling sering dijumpai. Spasmus otot maseter dapat
terjadi bersamaan dengan kekakuan otot leher dan kesukaran menelan, biasanya disertai
kegelisahan dan iritabilitas. Trismus yang menetap menyebabkan ekspresi wajah yang
karakteristik berupa risus sardonicus. Kontraksi otot meluas, pada otot-otot perut
menyebabkan perut papan dan kontraksi otot punggung yang menetap menyebabkan
opistotonus; dapat timbul kejang tetani bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan
dan ekstensi ekstremitas bawah. Selama periode ini penderita berada dalam kesadaran
penuh.

c. Tetanus sefalik
Jenis ini jarang dijumpai; masa inkubasi 1-2 hari, biasanya setelah luka di kepala,
wajah atau otitis media; banyak kasus berkembang menjadi tipe umum. Tetanus tipe ini
mempunyai prognosis buruk.

2.5 Gambaran Umum yang Khas pada Tetanus


1. Badan kaku dengan epistotonus
2. Tungkai dalam ekstensi
3. Lengan kaku dan tangan mengepal
4. Biasanya keasadaran tetap baik
5. Serangan timbul proksimal dan dapat dicetuskan oleh karena :
a. Rangsang suara, rangsang cahaya, rangsang sentuhan, spontan.
b. Karena kontriksi sangat kuat dapat terjadi aspiksia, sianosis, retensi urine, fraktur
vertebralis (pada anak-anak), demam ringan dengan stadium akhir. Pada saat
kejang suhu dapat naik 2-4 derakat celsius dari normal, diaphoresis, takikardia dan
sulit menelan.
2.6 Pemeriksaan diagnostik pada Tetanus
1. Pemeriksaan fisik : adanya luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada rahang
2. Pemeriksaan darah leukosit 8.000-12.000 m/L, peninggian tekanan otak, deteksi
kuman sulit
3. Pemeriksaan ECG dapat terlihat gambaran aritmia ventrikuler

2.7 Komplikasi pada Tetanus


1. Bronkopneumoni
2. Asfiksia dan sianosis

2.8 Prognosa

Sangat buruk bila ada OMP (Otitis Media Purulenta), luka pada kulit kepala. Tetanus
memiliki angka kematian sampai 50%. Kematian biasanya terjadi pada penderita yang sangat
muda, sangat tua dan pemakai obat suntik. Jika gejalanya memburuk dengan segera atau jika
pengobatan tertunda, maka prognosisnya buruk. Dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat
memperburuk keadaan yaitu :

1. Masa Inkubasi yang pendek (kurang dari 7 hari).


2. Neonatus dan usia tua (lebih dari 5tahun).
3. Frekuensi kejang yang sering.
4. Kenaikan suhu badan yang tinggi.
5. Pengobatan terlambat.
6. Periode trismus dan kejang yang semakin sering.
7. Adanya penyulit spasme otot pernafasan dan obstruksi jalan nafas.

2.9 Pencegahan pada Tetanus

Pencegahan penyakit tetanus meliputi :

1) Anak mendapatkan imunisasi DPT diusia 3-11 Bulan


2) Ibu hamil mendapatkan suntikan TT minimal 2 X
3) Pencegahan terjadinya luka & merawat luka secara adekuat
4) Pemberian anti tetanus serum.

2.10 Penatalaksanaan pada Tetanus


1. Netralisasi toksin dengan injeksi 3000-6000 iu immunoglobulin tetanus disekitar luka
9tidak boleh diberikan IV).
2. Sedativa-terapi relaksan ; Thiopental sodium (Penthotal sodium) 0,4% IV drip;
Phenobarbital (luminal) 3-5 mg/kg BB diberikan secara IM, iV atau PO tiap 3-6 jam,
paraldehyde 9panal) 0,15 mg/kg BB Per-im tiap 4-6 jam.
3. Agen anti cemas ; Diazepam (valium) 0,2 mg/kg BB IM atau IV tiap 3-4 jam, dosis
ditingkatkan dengan beratnya kejang sampai 9,5 mg/kg BB/24 jam untuk dewasa.
4. Beta-adrenergik bolcker; propanolol 9inderal) 0,2 mg aliquots, untuk total dari 2 mg
IV untuk dewasa atau 10 mg tiap 8 jam intragastrik, digunakan untuk pengobatan
sindroma overaktivitas sempatis jantung.
5. Penanggulangan kejang; isolasi penderita pada tempat yang tenang, kurangi
rangsangan yang membuat kejang, kolaborasi pemeberian obat penenang.
6. Pemberian Penisilin G cair 10-20 juta iu (dosis terbagi dapat diganti dengan
tetraciklin atau klinamisin untuk membunuh klostirida vegetatif.
7. Pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit.
8. Diit tKTP melalui oral/ sounde/parenteral
9. Intermittent positive pressure breathing (IPPB) sesuai dengan kondisi klien.
10. Indwelling cateter untuk mengontrol retensi urine.
11. Terapi fisik untuk mencegah kontraktur dan untuk fasilitas kembali fungsi optot dan
ambulasi selama penyembuhan.
12. Problema pernafasan ; Trakeostomi (k/p) dipertahankan beberapa minggu; intubasi
trakeostomi atau laringostomi untuk bantuan nafas.
13. Debridemen atau amputasi pada lokasi infeksi yang tidak terdeteksi.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini
ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka,
sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan
respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan
dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem
saraf perifer atau otot.

Spora Clostridium tetani dapat ditemukan dalam tanah dan pada lingkungan yang
hangat, terutama di daerah rural dan penyakit ini menjadi masalah kesehatan masyarakat
yang utama di negara berkembang.

3.2 Saran

Setelah membaca makalah ini diharapkan agar Mahasiswa dapat lebih memahami
Menganai penyakit TETANUS. Kami sadari dalam makalah ini masih banyak kekurangan
sehingga kami sebagai penyaji memohon saran dan kritik pembangun, sebagai alat pacu
perbaikan kami. Demikianlah penyajian kami atas perhatianya kami sampaikan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA

1. Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam :
Herry Garna, Heda Melinda, Sri Endah Rahayuningsih. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Kesehatan Anak, edisi 3. FKUP/RSHS, Bandung, 2005 ; 209-213.
2. Rauscher LA. Tetanus. Dalam :Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical Neurology.
Edinburg : Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871
3. Behrman, Richard E., MD; Kliegman, Robert M.,MD ; Jenson Hal. B.,MD, Nelson
Textbook of Pediatrics Vol 1” 17th edition W.B. Saunders Company. 2004
4. Udwadia FE, Tetanus. Bombay: Oxford University Press, 1993 : 305
5. Soedarmo, Sumarrno S.Poowo; Garna, Herry; Hadinegoro Sri Rejeki S, Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi pertama, Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
6. WHO News and activities. The Global Eliination of neonatal tetanus : progress to
date, Bull WHO 1994; 72 : 155-157
7. www.emidicine.com/ped/topic3038.htm

You might also like