You are on page 1of 6

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perubahan iklim merupakan salah satu isu yang sangat populer diperbincangkan
pada lingkup dunia. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh World Meteorological
Organization (WMO) menyebutkan bahwa pada tahun 2016 suhu atmosfer bumi
tercatat sebesar 1,10C, angka ini mengalami kenaikan sebesar 0,060C dari tahun
sebelumnya (WMO, 2017). Perubahan iklim memberikan ancaman yang sangat serius
bagi makhluk hidup seperti bencana akibat peningkatan suhu dan naiknya muka air
laut, ancaman terhadap ketersediaan pangan, bahkan pada tingkat yang serius akan
menyebabkan kematian karena makhluk hidup memiliki batas maksimum kenaikan
temperatur atmosfer untuk dapat bertahan hidup dengan baik dan aman. Batas kenaikan
temperatur atmosfer untuk memungkinkan makhluk hidup dapat bertahan di bumi
adalah sebesar 20C (Sukadri, 2012).
Karbon dioksida (CO2) adalah gas yang paling berperan terhadap perubahan
iklim. Ancaman serius yang ditimbulkan oleh perubahan iklim menjadi latar belakang
terlahirnya beberapa kesepakatan negara dalam perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
untuk membahas penurunan emisi karbon dunia seperti Protokol Kyoto. Berbagai
rezim internasional yang dibentuk terkait isu perubahan iklim akibat pemanasan global
menegaskan bahwa isu tersebut memang bukan hanya permasalahan nasional
melainkan dunia yang memerlukan solusi yang tepat. Tahun 2007 lahir mekanisme
baru yang disingkat REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest
Degradation) yaitu sebuah skema untuk mengurangi emisi karbon berlandaskan pada
deforestasi, degradasi hutan, Sustainable forest management (SFM), konservasi,
aforestasi, dan reforestasi (Parker et al., 2008:18). Pembentukan skema REDD+
menunjukan bahwa salah satu pengendali dalam peningkatan emisi karbon adalah
keberadaan vegetasi. Mekanisme ini melibatkan peran aktif negara-negara pemilik
hutan tropis untuk dapat menjaga dan melestarikan hutan, serta peran dari negara maju
agar mampu menekan emisi karbon nasionalnya.
Sebagai paru-paru dunia, Indonesia menduduki peringkat ke tiga negara yang
memiliki hutan topis terluas yaitu 463.000 mil2 setelah Brazil dan Republik
Demokratik Kongo (FAO, 2007). Sebanyak 60% dari total luas Indonesia merupakan
area hutan, dengan keanekaragaman hayati yang tinggi memiliki banyak jenis
ekosistem hutan salah satunya adalah ekosistem hutan mangrove. Sebagai sebuah
ekosistem, mangrove menjadi tempat hidup bagi berbagai jenis biota. Selain itu, fungsi
hutan mangrove lainnya adalah sebagai penyedia jasa lingkungan karena merupakan
blue carbon sink yang paling efektif. Vegetasi mangrove mampu berperan menjadi
pengikat karbon akibat dari adanya proses fotosintesis yang berlangsung dan akan
menyimpannya dalam biomassa tegakan hutan. Keberadaan kawasan hutan mangrove
yang mampu men-sekuester karbon lebih tinggi daripada kawasan hutan lainnya sangat
berpotensi dalam upaya menekan emisi karbon di atmosfer. Berbagai penelitian telah
membuktikan bahwa mangrove mampu menyerap CO2 dalam jumlah yang paling besar
jika dibandingkan dengan jenis hutan tropis lainnya yaitu sekitar 1023 Mg C per hektar
(Donato, 2011).
Informasi tentang emisi karbon dan kemampuan serapan karbon menjadi sangat
penting dalam era pemanasan global bukan hanya pada tingkat nasional melainkan
pada tingkat internasional. Menghitung seberapa banyak karbon yang dihasilkan oleh
berbagai kegiatan dan seberapa besar kemampuan lahan seperti tanah dan vegetasi
dalam menyerap karbon merupakan langkah awal yang sedang dilakukan oleh banyak
negara untuk dapat memahami cara terbaik dalam upaya menekan kenaikan kandungan
CO2 di atmosfer. Taman nasional Karimunjawa memiliki tutupan vegetasi mangrove
yang tersebar dibeberapa pulau. Pulau kemujan dan Pulau Karimunjawa merupakan
pulau yang memiliki luasan hutan mangrove lebih besar daripada pulau lainnya dengan
luas kurang lebih 396,90 Ha (BTNKJ, 2012). Dengan luas tersebut, tentu hutan
mangrove di kedua pulau tersebut memiliki potensi kemampuan men-sekuester karbon
yang besar. Untuk mengetahui seberapa besar cadangan karbon yang tersimpan di
hutan mangrove maka harus adanya proses pengukuran.
Perhitungan karbon dilakukan dengan pendekatan nilai biomassa vegetasi.
Terdapat berbagai metode dalam menghitung biomassa, yaitu metode terestris
Destructive sampling, Non-destructive sampling, dan pendataan hutan secara in situ
yang mengharuskan adanya pengukuran secara langsung di lapangan. Metode terestris
akan menghasilkan akurasi perhitungan yang tinggi sehingga metode tersebut sangat
efektif untuk perhitungan cadangan karbon hutan, namun metode terestris sangat
kurang efisien. Pada hutan yang relatif luas, pengukuran secara terestris ini akan
membutuhkan banyak plot sehingga menghabiskan banyak biaya, membutuhkan
banyak tenaga pengukur dan membutuhkan waktu yang lama. Survei lapangan di
kawasan hutan mangrove tidak semudah yang dilakukan di hutan daratan sehingga
waktu yang dibutuhkan untuk membuat plot akan lebih lama. Di sisi lain, IPCC
menyatakan bahwa pengukuran karbon harus dilakukan secara lengkap, representative,
konsisten terhadap waktu dan juga transparan (IPCC, 2003).
Teknik penginderaan jauh yang diyakini merupakan metode paling efisien dan
efektif dalam mengukur biomassa pada area hutan yang luas (Hudaya, 2014). Telah
banyak penelitian yang menggunakan teknologi penginderaan jauh dalam menghitung
karbon vegetasi khususnya hutan mangrove dengan menggunakan sistem optik yaitu
penginderaan jauh sistem pasif seperti citra multispektral dengan berbagai transformasi
citra dan indeks vegetasi yang digunakan, seperti Wicaksono (2017) dan Candra
(2016). Namun, penggunaan citra optik hanya mampu menggambarkan kondisi kanopi
vegetasinya, kelemahan lainnya penggunaan citra optik di beberapa daerah sering
mendapat gangguan dari tutupan awan sehingga menyebabkan penurunan kualitas
informasi yang dapat diperoleh.
Penggunaan citra penginderaan jauh sistem aktif yaitu Radar dilakukan untuk
mengatasi kelemahan dari penggunaan citra sistem pasif karena radar memiliki
kemampuan untuk menembus awan dan tidak terbatas oleh waktu pemotretan siang
dan malam. Citra dengan karakteristik tersebut salah satunya adalah Sentinel-1 dengan
menggunakan gelombang mikro band C. Band C memiliki kemampuan untuk
melakukan penetrasi bukan hanya di atas permukaan kanopi tetapi pada kanopi dan
tajuk pohon, hal ini memungkinkan untuk dimanfaatkan dalam perhitungan karbon
vegetasi. Dengan demikian penginderaan jauh aktif sangat penting dikembangkan
mengingat Indonesia terletak di daerah ekuator sehingga data citra optik sering
mengalami gangguan yang diakibatkan oleh cuaca. Berdasarkan keadaan tersebut,
maka penelitian ini bertujuan untuk mencoba menunjukan sejauh mana penginderaan
jauh aktif mampu dimanfaatkan dalam pemetaan cadangan carbon mangrove.
1.2 Permasalahan Penelitian
Pulau Kemujan Taman Nasional Karimunjawa adalah salahsatu pulau yang
memiliki hutan mangrove yang luas dengan keanekaragaman spesies mangrove.
Berdasarkan kondisi tersebut, Pulau Kemujan sangat berpotensi untuk men-sekuester
karbon yang ada di atmosfer dalam jumlah yang besar. Informasi tentang cadangan
karbon secara spasial sangat penting dalam era global warming karena dapat digunakan
sebagai panduan dalam menentukan berbagai kebijakan di masa yang akan dating.
Namun, di Taman Nasional Karimunjawa masih belum terdapat informasi cadangan
karbon dari hutan mangrove khususnya secara spasial. Hal tersebut diakibatkan oleh
sulitnya menghitung cadangan karbon terestris dari hutan mangrove karena
membutuhkan waktu dan biaya yang besar.
Terdapat dua jenis karbon yang tersimpan di hutan yaitu karbon di atas
permukaan (Above Ground Carbon) maupun dibawah permukaan (Below Ground
Carbon). Below Ground Carbon (BGC) merupakan karbon yang berasal dari bagian-
bagian dibawah permukaan tanah seperti akar dan tanahnya itu sendiri. Sedangkan
Above Ground Carbon (AGC) merupakan karbon yang berasal dari bagian-bagian di
atas permukaan tanah seperti kayu, ranting, seresah, pohon mati dan daun.
Penginderaan jauh menjadi teknologi alternatif terbaik yang dapat digunakan untuk
mengatasi kelemahan dalam menghitung karbon secara terestris sehingga lebih efisien
dalam hal waktu, tenaga dan biaya yang digunakan. Perhitungan karbon menggunakan
penginderaan jauh dilakukan pada karbon di atas permukaan (Above Ground Carbon)
dengan memanfaatkan citra Sentinel-1.
Teknologi penginderaan jauh terutama menggunakan citra optik telah banyak
dimanfaatkan untuk melakukan estimasi stok karbon, namun pemanfaatan data SAR
khususnya citra Sentinel-1 masih sangat jarang digunakan dibandingkan data SAR
lainnya seperti citra ALOS PALSAR dengan band L. Metode yang digunakan untuk
melakukan estimasi karbon menggunakan penginderaan jauh aktif pada penelitian ini
menggunakan metode polarimetric¸yaitu memanfaatkan informasi backscatter dari
setiap jenis polarisasi yang dimiliki oleh Sentinel-1. Citra Sentinel-1 memiliki dua
polarisasi yaitu VV dan VH, setiap polarisasi memiliki karakteristik dan nilai
backscatter yang berbeda terhadap setiap objek. Nilai backscatter dipengaruhi oleh
berbagai hal seperti panjang gelombang, jenis polarisasi dan karakteristik objek
termasuk kekasaran permukaan objek dan sifat dielectric objek.
Berdasarkan uraian tersebut maka permasalahan dapat diringkas menjadi :
1. Perlu adanya informasi nilai dan sebaran stok karbon di hutan mangrove Taman
Nasional Karimunjawa untuk dapat digunakan sebagai pedoman dalam
menentukan kebijakan di masa yang akan dating.
2. Setiap polarisasi citra Sentinel-1 memiliki karakteristik nilai backscatter yang
berbeda dengan setiap objek di permukaan bumi sehingga perlu adanya
pengkajian untuk mengetahui polarisasi yang paling baik dalam mengestimasi
karbon diatas permukaan.
3. Citra Sentinel-1 masih sangat jarang digunakan, sehingga perlu adanya penilaian
terhadap kemampuannya dalam mengestimasi stok karbon hutan mangrove.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas terdapat beberapa pertanyaan penelitian,
diantaranya :
1. Bagaimana nilai dan sebaran spasial stok karbon di atas permukaan (Above
Ground Carbon) hutan mangrove Taman Nasional Karimunjawa ?
2. Bagaimana hubungan nilai hamburan balik (backscatter) dari polarisasi citra
Sentinel-1 dengan estimasi stok karbon atas permukaan (Above Ground Carbon)
hutan mangrove ?
3. Bagaimana akurasi citra Sentinel-1 dalam memeroleh nilai stok karbon di atas
permukaan (Above Ground Carbon) hutan mangrove ?
1.4 Tujuan
Terdapat beberapa tujuan dari penelitian ini, diantaranya :
1. Mengestimasi nilai dan memetakan sebaran stok karbon atas permukaan (Above
Ground Carbon) di hutan mangrove Pulau Kemujan Taman Nasional
Karimunjawa.
2. Menganalisis hubungan antara nilai hamburan balik (backscatter) dari polarisasi
citra Sentinel-1 dengan estimasi stok karbon atas permukaan (Above Ground
Carbon) hutan mangrove.
3. Menghitung akurasi citra Sentinel-1 dalam melakukan estimasi karbon stok atas
permukaan (Above Ground Carbon) hutan mangrove.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Menyediakan nilai dan peta distribusi stok karbon di hutan mangrove Pulau
Kemujan Taman Nasional Karimunjawa.
2. Memberikan informasi dan pemahaman perkembangan teknologi penginderaan
jauh aktif khususnya citra Sentinel-1 dalam aplikasinya untuk melakukan
estimasi stok karbon.
3. Menilai kemampuan citra Sentinel-1 dalam melakukan perhitungan stok karbon
di atas permukaan (Above Ground Carbon) hutan mangrove.

You might also like