You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN

Sampai sekarang belum ada kesepakatan tentang definisi asma yang dapat

diterima semua ahli. Definisi yang banya dianut saat ini adalah yang dikemukakan oleh

The American Thoracic Societyyaitu asma adalah suatu penyakit dengan cirri

meningatnya respon trakhea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan

manifestasi adanya penyempitan jalan napas yang luas dan derajatnya dapat berubah-

ubah baik secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan. 1,2

Prevalensi asma terjadi pada 4-8% populasi umum. Pada kehamilan prevalensinya
3,4,5
1-4%. Di Indonesia prevalensi asma berkisar 5-7 %. Kepustakaan lain menyatakan

asma berpengaruh pada 1-9% wanita atau pada 200.000 - 376.000 kehamilan di Amerika

setiap tahunnya. Rata - rata morbiditas dan mortalitas pada wanita hamil sebanding

dengan populasi umum. Rata - rata mobilitas asma di Amerika adalah 2,1 per 100.000. 3

1
BAB II
BORANG PORTOFOLIO

1. BORANG PORTOFOLIO
Nama peserta : dr. Winda Indriati
Nama wahana : RS Marinir Cilandak
Topik : Asma Bronkiale
Tanggal kunjungan : 14 Desember 2016
Nama pasien : Ny. AA, 33 th No RM : 393232
Tanggal presentasi : Nama pendamping : dr. Arief Eko
Wibowo
Tempat presentasi : RSAL Marinir Cilandak
Objektif presentasi
 Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran  Tinjauan
pustaka
 Diagnostik  Manajemen  Masalah Istimewa
 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja  Dewasa  Lansia
 Deskripsi :
Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat RSAL Marini Cilandak dengan keluhan
sesak nafas sejak kurang lebih 2 bulan lalu, namun hari ini sesak dirasa makin parah.
Sesak nafas mengeluarkan bunyi “ngik”, serangan terjadi sekitar kurang lebih 10 menit.
Sesak kambuh dipengaruhi oleh cuaca. Pasien mengeluh batuk sejak kurang 2 bulan yang
lalu. Dada terasa ngilu. Namun nyeri dada menjalar disangkal oleh paien. Batuk berdahak
berwarna kuning, tidak terdapat darah. Namun pasien mengaku pernah batuk
mengeluarkan darah pada bulan Juli sampai dengan bulan Oktober 2016. Sejak 2 minggu
terakhir pasien dirasa semakin kurus. Sejak 2 hari alu pasen tidak mau makan dan tidak
enak tidur. Pasein menyangkal adanya demam. Pasien menyangkal adanya gangguan
dalam buang air besar dan buang air kecil.
Pasien memiliki riwayat asma sejak usia 14 tahun dan riwayat pengobatan
Tuberculosis 9 bulan sebelumnya pada tahun 2010. Namun setelah 9 bulan pengobatan
pasien tidak dilakukan cek sputum lagi, melainkan hanya dilakukan foto thorax dan
dinyatakan paru-paru nya bersih. Sebelum datang ke IGD RSAL Marini Cilandak, pasien
sudah berobat dan diberikan terapi berupa uap menggunakan kombinasi fentolin,

2
bisolvon, serta NaCl dan mengkonsumsi amoxicillin, ambroxol serta racikan yang tidak
diketahui isinya oleh pasien. Tidak ada obat rutin yang diminum setiap hari untuk asma.
Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan kesadaran compos mentis, dengan TD
90/70, Pernafasan 32 x/mnt, Nadi 128 x/mnt, Suhu 36,0 0Celcius, Sp02 92%. Hasil
pemeriksaan fisik didapatkan ronkhi dan wheezing pada kedua lapang paru. Ditemukan
adanya nyeri epigastrium pada pemeriksaan palpasi abdomen. Hasil foto thorax tampak
infiltrate pada apex paru kanan dan bercak kalsifikasi pada kedua lapang paru.
Penatalaksanaan berdasarkan hasil konsul pada pasien ini berupa nebulisasi
menggunakan kombinasi combivent, pulmicort, dan NaCl setiap 20 menit dilakukan 2-
3x. Bila keadaaan pasien membaik setelah nebulisasi, nebulisasi dilakukan per 1 jam, jika
keadaan pasien kembali membaik, nebulisasi bisa dilakukan per 2 jam. Selain itu
diberikan infuse RL 10 tpm, injeksi dexamethason 2x1 ampul, injeksi omeprazole
1x40mg dan pemberial azitromisin 1x500mg per oral.
Pasien dirawat di RSMC ruang Cempaka Atas selama 2 hari. Kondisi pasien
membaik selama perawatan di RSMC.
 Tujuan `: Mendiagnosis Kelainan Pasien, penatalaksaan awal dan lanjut pada
pasien, menentukan prognosis pasien, edukasi pasien dan keluarganya.
Bahan bahasan
 Tinjauan pustaka  Riset  Kasus  Audit
Cara membahas
 Presentasi & diskusi  Diskusi  Email  Pos
Data utama untuk bahan diskusi
Subjektif
Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat RSAL Marini Cilandak dengan keluhan
sesak nafas sejak kurang lebih 2 bulan lalu, namun hari ini sesak dirasa makin parah.
Sesak nafas mengeluarkan bunyi “ngik”, serangan terjadi sekitar kurang lebih 10 menit.
Sesak kambuh dipengaruhi oleh cuaca. Pasien mengeluh batuk sejak kurang 2 bulan
yang lalu. Dada terasa ngilu. Namun nyeri dada menjalar disangkal oleh paien. Batuk
berdahak berwarna kuning, tidak terdapat darah. Namun pasien mengaku pernah batuk
mengeluarkan darah pada bulan Juli sampai dengan bulan Oktober 2016. Sejak 2 minggu
terakhir pasien dirasa semakin kurus. Sejak 2 hari alu pasen tidak mau makan dan tidak
enak tidur. Pasein menyangkal adanya demam. Pasien menyangkal adanya gangguan
dalam buang air besar dan buang air kecil.

3
Riwayat pengobatan
o Riwayat pengobatan Tuberculosis 9 bulan sebelumnya pada tahun 2010
o Sebelumnya OS sudah berobat dan diberikan terapi berupa uap menggunakan
kombinasi fentolin, bisolvon, serta NaCl dan mengkonsumsi amoxicillin, ambroxol
serta racikan yang tidak diketahui isinya oleh pasien. Tidak ada obat rutin yang
diminum setiap hari untuk asma.
Riwayat kesehatan :
Riwayat Penyakit Sekarang
o Rasa sesak sejak kurang lebih 2 bulan SMRS dan hari ini dirasa semakin parah
o Batuk berdahak berwarna putih sejak kurang lebih 2 bulan lalu
Riwayat Penyakit Dahulu
o Riwayat batuk darah pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2016
o Riwayat pengobatan TB pada tahun 2010, Riwayat Asma (+)
Riwayat Atopi
o Tidak diketahui
Riwayat keluarga
o Tidak ada
Riwayat sosial
o Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga
Objektif
 Kesadaran : Composmentis (GCS = E4V5M6)
 Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
 Tekanan darah : 90/70
 Nadi : 128 x/menit
 Suhu : 36oC
 Pernapasan : 32 x/menit
 Mata : Konjungtiva anemis -/- , Sklera ikterik -/-, Isokor 3mm/3mm,
Refleks cahaya langsung/tidak langsung +/+
 THT : Tidak ada kelainan
 Leher : Pembesaran KGB (-)
 Jantung : Bunyi jantung 1 & 2 reguler, Gallop (-), Murmur (-)
 Paru : Nafas vesikuler +/+, Rhonki +/+, Wheezing +/+
 Abdomen : Datar, distensi (-), supel, nyeri tekan + epigastrium, bising
usus (+) normal
 Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, edema tungkai -/-
 Berat Badan : 54 kg
 Tinggi Badan : 160 cm

4
Pemeriksaan Penunjang
 Darah Rutin :
o Hb : 13.7 g/dL
o Ht : 39 %
o Leukosit : 17.100 /mcL
o Trombosit : 325.000 /mcL
o LED : 42
o Diff count :
Basofil :0
Eosinofil :0( )
Netrofil batang : 3
Netrofil segmen : 77 ( )
Limfosit : 15 ( )
Monosit :5

5
 Rontgen Thorax PA

Gambar 1. Rontgen Thorax PA

Interpretasi:
Cor: ukuran jantung membesar (CTR: 43%). Cephalisasi (-)
Paru: tampak infiltrat pada apex paru kanan. Corakan bronkovaskular normal.
Tampak bercak kalsfikasi pada kedua lapang paru. Tidak terdapat pelebaran sela iga.
Hilus kanan dan kiri tidak melebar
Sinus costophrenicus dan diafragma baik
Tulang-tulang intak

Kesan:
 TB Paru lama
 Tidak tampak cardimegali atau kelainan spesifik jantung
Assesment :
- Asma Bronkiale
- TB Paru Lama
Planning :
Terapi awal:

6
- O2 2-3 lpm
- IVFD RL 10 tpm
- Inj. Dexamethasone 2x1 amp
Konsul dr. Abdurrahman, Sp.P:
- Nebulisasi menggunakan kombinasi combivent, pulmicort, dan NaCl setiap 20
menit dilakukan 2-3x. Bila keadaaan pasien membaik setelah nebulisasi,
nebulisasi dilakukan per 1 jam, jika keadaan pasien kembali membaik, nebulisasi
bisa dilakukan per 2 jam.
- IVFD RL 10 tpm
- Injeksi dexamethason 2x1 ampul
- Injeksi omeprazole 1x40mg
- Azitromisin 1x500mg per oral.

Hasil Pembelajaran:
1. Definisi Asma Bronkiale
2. Mekanisme Asma Bronkiale
3. Manifestasi klinis dan Diagnosa Asma Bronkiale
4. Penatalaksanaan Asma Bronkiale

7
2. RANGKUMAN HASIL PEMBELAJARAN PORTOFOLIO

SUBJEKTIF
Keluhan Utama: sesak sejak kurang lebih 2 bulan SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang:
o Rasa sesak sejak kurang lebih 2 bulan SMRS dan hari ini dirasa semakin parah
o Batuk berdahak berwarna putih sejak kurang lebih 2 bulan lalu
OBJEKTIF
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : Composmentis (GCS = E3V5M6)
Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
Tekanan darah : 90/70
Nadi : 128 x/menit
Suhu : 36oC
Pernapasan : 32 x/menit
Mata : Dalam Batas Normal
THT : Tidak ada kelainan
Leher : Dalam Batas Normal
Jantung : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : SN ves +/+, Rh +/+, Wh +/+
Abdomen : BU (+) normal, supel. NT(+) epigastrium
Ekstremitas : CRT <2”, akral hangat.

Pemeriksaan Penunjang
 Darah Lengkap : leukositosis
 Foto thorax : TB Paru lama
ASSESSMENT : Asma Bronkiale
PLANING
1. Tatalaksana Awal:
a. O2 2-3 lpm
b. IVFD RL 10 tpm
c. Inj. Dexamethasone 2x1 amp
2. Rencana Terapi:
Konsul DPJP (Sp. P)
a. Nebulisasi menggunakan kombinasi combivent, pulmicort, dan NaCl

8
setiap 20 menit dilakukan 2-3x. Bila keadaaan pasien membaik setelah
nebulisasi, nebulisasi dilakukan per 1 jam, jika keadaan pasien kembali
membaik, nebulisasi bisa dilakukan per 2 jam.
b. IVFD RL 10 tpm
c. Injeksi dexamethason 2x1 ampul
d. Injeksi omeprazole 1x40mg
e. Azitromisin 1x500mg per oral.
3. Rencana Edukasi
a. Penjelasan mengenai penyakit dan rencana terapi yang akan diberikan dalam
hal ini mengenai asma bronkiale serta pencegahan kekambuhan.

BAB III
PEMBAHASAN DIAGNOSTIK DAN TATALAKSANA

ASMA BRONKIALE
Pada anamnesis didapatkan keluhan sesak nafas sejak kurang lebih 2 bulan lalu,
namun hari ini sesak dirasa makin parah. Sesak nafas mengeluarkan bunyi “ngik”,

9
serangan terjadi sekitar kurang lebih 10 menit. Sesak kambuh dipengaruhi oleh cuaca.
Pasien mengeluh batuk sejak kurang 2 bulan yang lalu. Dada terasa ngilu. Namun nyeri
dada menjalar disangkal oleh paien. Batuk berdahak berwarna kuning, tidak terdapat
darah. Namun pasien mengaku pernah batuk mengeluarkan darah pada bulan Juli sampai
dengan bulan Oktober 2016. Sejak 2 minggu terakhir pasien dirasa semakin
kurus.Sebelum datang ke IGD RSAL Marini Cilandak, pasien sudah berobat dan
diberikan terapi berupa uap menggunakan kombinasi fentolin, bisolvon, serta NaCl dan
mengkonsumsi amoxicillin, ambroxol serta racikan yang tidak diketahui isinya oleh
pasien. Tidak ada obat rutin yang diminum setiap hari untuk asma.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan takipneu, tanpa tanda-tanda sianosis dan suhu
yang afebris. Pada pemeriksaan paru-paru didapatkan bunyi napas vesikuler dengan
rongki dan wheezing di kedua lapang paru. Pemeriksaan jantung dalam batas normal,
terdapat nyeri tekan epigastrium. Pada ekstremitas perfusi perifer dinilai cukup. Oleh
karena itu, didiagnosis asma bronkial. Pada pemeriksaan penunjang darah lengkap
ditemukan penurunan nilai eosinofil, peningkatan nilai netrofil segmen dan leukositosis,
sedangkan pada foto paru di temukan kesan TB Paru Lama.
Asma bronkial adalah penyakit inflamasi kronik saluran pernapasan yang ditandai
dengan peningkatan respon oleh berbagai pencetus pada traktus trakeobronkial. 1
Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan
gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk
terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan
napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan. Gejala-gejala tersebut dialami oleh pasien ini. namun batuk yang
engeluarkan darah perlu dicurigai dikarenakan oleh penyebab lagi. Riwyat pengobatan
TB 9 bulan pada pasien ini menambah kecurigaan bahwa batuk darah terebut
kemungkinan bisa disebabkan karena TB lama ataupun TB yang kambuh lagi.
Dianjurkan agar pasien dilakukan pemeriksaan TB lebih lanjut.
Mekanisme utama dari patofisiologi asma adalah berkurangnya diameter dari
saluran napas akibat dari: Bronkokonstriksi, Kongesti vaskular, Edema dinding bronkial,
Hipersekresi bronkus. Berbagai sel inflamasi berperan dalam proses inflamasi asma
terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, dan sel epitel. Faktor lingkungan

10
dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas
pada penderita asma.6
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain
alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut yang terdiri dari
reaksi asma tipe cepat dan rekasi asma tipe lambat. Pada pasien ini, kemungkinan
pencetus asma adalah karena cuaca. Karena sesak kambuh dipengaruhi oleh cuaca
sekitarnya. Reaksi asma tipe cepat terjadi akibat terikatnya alergen pada IgE yang
menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut
mengeluarkan preformed mediator seperti histamin, protease, dda newly generated
mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot
polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi. Reaksi fase lambat timbul antara 6-9 jam
setelah provokasi yang melibatkan aktivasi eosinofil sel T CD4+, neutrofil dan
makrofag.6,7
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik seperti sel T, eosinofil,
makrofag, sel mast, sel epitel dan otot polos bronkus. Proses inflamasi kronik pada asma
akan menimbulkan kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses
penyembuhan yang menghasilkan perbaikan dan pergantian sel mati dengan sel yang
baru. Proses penyembuhan akan melibatkan pergantian sel jaringan yang rusak dengan
sel parenkim jenis yang sama dan jaringan penyambung atau skar. Hal ini menyebabkan
perubahan struktur yang mempunyai mekanisme sangat kompleks yang disebut dengan
airway remodelling.
Diagnosis asma tergantung dari perpaduan riwayat penderita, pemeriksaan
jasmani dan pemeriksaan laboratorium. Asma ditandai dengan sesak, mengi atau batuk.
Serangan kerap terjadi di waktu malam atau pagi hari, berhubungan dengan produksi
kadar kortikosteroid yang periodik rendah. Pemicu yang relevan dapat berupa infeksi
virus, alergen lingkungan, bakan obat-obatan tertentu. Pada pemeriksaan jasmani
biasanya ditemukan mengi dan fase ekspirasi memanjang. Namun, pada penderita
asimtomatik, pemeriksaan jasmani dapat normal. 5
Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan
hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi pasien bernapas
pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Tanda

11
klinisnya berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan yang sangat berat
terdapat gejala tambahan seperti sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi,
dan penggunaan otot bantu napas. Sedangkan pada serangan ringan, mengi hanya dapat
terdengar pada ekspirasi paksa.
Pemeriksaan laboratorium terpenting ialah pemeriksaan fungsi paru atau Peak
5
Expiratory Flow, sebelum dan sesudah terapi dengan bronkodilator. Asma dianggap
sebagai penyakit saluran napas reversibel. Pemberian bronkodilator yang memberikan
perbaikan FEV1 ≥ 15% adalah diagnostik untuk asma. Pada penderita dengan faal paru
normal, mungkin diperlukan tes provokasi dengan metakolin/histamin. Pada asma akibat
latihan jasmani dilakukan uji dengan latihan jasmani sebagai pengganti
metakolin/histamin. Pemeriksaan laboratorium lainnya adalah pemeriksaan darah
lengkap, differential count untuk melihat jumlah eosinofil, dan tes terhadap aeroalergen.
Pasa pasien ini didapatkan penurunan nilai eosnofil dan limfosit, pada serangan
pertama pada asma, nilai ini biasanya meningkta, namun mengingat serangan sudah
berkali-kali dan lama terjadi, maka nilai eosinofil dan limfosit dapat menurun, ditambah
pada pasien ini telah terjadi infeksi sekunder, ditandai dengan peningkatan leukosit dan
neutrofil segmen.

Klasifikasi Asma Bronkiale


Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Harus dibedakan berat/ringannya asma dengan derajat beratnya
serangan asma akut. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan tatalaksana jangka panjang. Dan menentukan beratnya serangan asma
merupakan langkah pertama pengobatan. Menurut GINA (Global Initiative for Asthma)
klasifikasi beratnya asma dibedakan menjadi 4 golongan yaitu asma ringan intermitten,
asma persisten ringan, sedang dan berat.5
Tabel 1. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (sebelum
pengobatan)

Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru

Intermiten Bulanan APE ≥80%

12
Gejala <1X/minggu ≤ 2 kali VEP1≥80% nilai
sebulan prediksi

Tanpa gejala di luar serangan APE ≥80% nilai terbaik

Serangan singkat Variabilitas APE <20%

Persisten Mingguan APE >80%


Ringan

Gejala >1X/minggu >2 kali sebulan VEP1≥80% nilai


prediksi

Serangan dapat mengganggu aktivitas dan APE ≥80% nilai terbaik


tidur

Variabilitas APE 20-


30%

Persisten Harian APE 60-80%


Sedang

Gejala setiap hari > 1X/minggu VEP160-80% nilai


prediksi

Serangan mengganggu aktivitas dan tidur APE 60-80% nilai


terbaik

Membutuhkan bronkodilator setiap hari Variabilitas APE >30%

Persisten Berat Kontinyu APE ≤60%

Gejala terus menerus Sering VEP1≤60% nilai


prediksi

Sering kambuh APE ≤60% nilai terbaik

Aktivitas fisik terbatas Variabilitas APE >30%

Tabel 2. Klasifikasi berat serangan asma akut2,3,6

Gejala dan tanda Berat Serangan Akut Keadaan


Mengancam Jiwa
Ringan Sedang Berat

Sesak nafas Berjalan Berbicara Istirahat

Posisi Dapat tidur Duduk Duduk


terlentang membungkuk

Cara berbicara Satu kalimat Beberapa kata Kata demi kata

Kesadaran Mungkin gelisah Gelisah Gelisah Mengantuk, gelisah,

13
kesadaran menurun

Frekuensi nafas <20x/menit 20-30x/menit >30x/menit

Frekuensi nadi <100x/menit 100-120x/menit >120x/menit Bradikardia

Pulsus paradoksus (-) 10 mmHg (+)/(-) 10-20 (+) 25 mmHg


mmHg

Otot bantu nafas (-) (+) (+) Kelelahan otot


dan retraksi
suprasternal Torakoabdominal
paradoksal

Mengi Akhir ekspirasi Akhir ekspirasi Inspirasi dan Silent chest


paksa ekspirasi

APE >80% 60-80% <60%

PaO2 >80 mmHg 80-60 mmHg <60 mmHg

PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg

SaO2 >95% 91-95% <90%

Penatalaksanaan
Seperti telah disebutkan di atas bahwa serangan asma secara potensial dapat
mengancam nyawa. Oleh karena itu pengobatan dan penilaian keadaaan penderita harus
akurat dan tempat yang ideal adalah di rumah sakit. Meskipun pengelolaan serangan
asma sebaiknya dilakukan di rumah sakit, tetapi yang paling penting dalam strategi
5
pengobatan serangan asma adalah adanya pengobatan dini. Terutama pada para
penderita asma yang memiliki faktor resiko yang memiliki resiko besar untuk mengalami
kematian.
Secara garis besar tujuan penatalaksanaan asma adalah sebagai berikut:
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma

14
Pada dasarnya penatalaksanaan farmakologis pada asma dibagi menjadi dua
golongan yaitu, obat pencegah (controller) dan pelega ( reliever). Obat pencegah dipakai
terus menerus meskipun tidak ada gejala. Obat pencegah utama adalah kortikosteroid
inhalasi karena asma adalah penyakit yang didasari oleh proses inflamasi. Kortikosteroid
inhalasi dapat mengurangi gejala asma, menekan rekativitas bronkus dan mungkin dapat
mencegah remodelling saluran napas karena proses inflamasi kronis. Pengobatan dini
golongan kortikosteroid inhalasi dapat memperbaiki fungsi paru, mengurangi pemakaian
agonis beta dan perawatan inap di rumah sakit. Dosis kortikosteroid inhalasi bervariasi
tergantung derajat beratnya asma. Dosis steroid dapat diturunkan sampai dosis minimal
yang dapat menurunkan gejala asma. Penghentian kortikosteroid inhalasi dapat dicoba
pada pasien yang menggunakan dosis steroid inhalasi kurang dari 200-400 mg setara
budesonid, setelah pasien memakai obat pada dosis tersebut beberapa bulan dan gejala
penyakit minimal serta fungsi paru normal. Pada asma intermitten tidak perlu diberikan
pengobatan pencegah (controller). Pemakaian kortikosteroid sistemik pada asma akut
memegang peranan yang sangat penting. Pada serangan asma akut umumnya prednison
atau prednisolon oral diberikan 1-2 mg/kg BB dalam dosis terbagi selama 3-5 hari
Besarnya dosis, lama pengobatan dan penurunan dosis tergantung kepada beratnya
serangan dan riwayat respon penderita. Pemakaian dosis tunggal pagi hari dapat
mengurangi supresi aksis Hipotalamus Pituitari Adrenal. Pemakaian prednisolon lebih
disukai dibanding prednison karena prednison untuk menjadi prednisolon harus diubah
dahulu di hati. Setelah itu dilanjutkan dengan tappering off.5
Dalam penatalaksanaan asma tetap diperlukan suatu edukasi tentang bagaimana
menghindari faktor pencetus. Karena sebaik apapun obat antiasma yang diberikan tidak
akan memberikan hasil jika tidak ada kerjasama dengan pasien. Edukasi yang baik akan
menurunkan morbiditi dan mortaliti serta meningkat Quality of Life penderita. Mungkin
saja pasien berobat teratur namun tidak menggunakan obat sesuai dengan yang
dikehendaki karena pasien tidak mengetahui baik tujuan pengobatan maupun cara
menggunakan obat. Oleh karena itu penyuluhan kepada pasien harus dilakukan setiap kali
kunjungan ke dokter. Beberapa topik yang sebaiknya diketahui pasien antara lain:
 Mengenal asma dan dampaknya
 Mengenal pencetus asma dan cara menghindari

15
 Mengetahui cara pemakaian obat dengan benar
 Mengetahui cara memantau penyakitnya dan tahu kapan harus ke Rumah Sakit

Penatalaksanaan Serangan Asma di Rumah Sakit


Sewaktu pasien datang ke Gawat Darurat dengan serangan eksaserbasi asma akut
maka harus segera ditangani. Gejala yang terdapat adalah sesak napas, dada terasa berat
dan mengi. Gejala-gejala diatas juga ada terdapat pada penyebab lain seperti
pneumotorak, emboli paru, PPOK, udem paru, dan bronkiolitis. Sehingga perlu juga
didapatkan suatu tanda objektif yaitu evaluasi dari pengukuran ulang FEV 1 pasien.
Setelah itu dapat diteliti lanjut dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang menunjang ke
arah riwayat asma sebelumnya.
Terapi utama di ruang gawat darurat terdiri dari oksigen, agonis beta 2 hirup, dan
kortikosteroid sistemik. Oksigen diberikan bila terjadi hipoksemia yang nyata dan pada
pasien yang mempunyai FEV1 kurang dari 50%. Obat untuk asma akut terdiri dari: 3,5
1. Oksigen
Dianjurkan untuk penderita sampai saturasi oksigen mencapat >90%. Pemantauan
saturasi oksigen diperlukan sampai terdapat respon yang nyata terhadap
bronkodilator.
2. Agonis beta2 hirup
Dianjurkan untuk setiap penderita. Diberikan inhalasi setiap 20 menit sampai 3 kali.
Pemberian selanjutnya tergantung respon terapi awal. Umumnya diberikan secara
nebulizer.
3. Antikolinergik
Pemberian ipratropium bromida 250-500 mg pada cairan yang telah mengandung
agonis beta 2 dapat menambah bronkodilatasi terutama pada penderita dengan
obstruksi yang berat. Diberikan setiap 4-6 jam
4. Kortikosteroid sistemik
Terutama diberikan pada penderita yang tidak respon dengan beta 2 agonis. Dosis oral
40-60 mg perharai, dosis parenteral berkisar 4 kali 40 mg metilprednisolon sampai 4
kali 125 mg perhari. Terapi parenteral berlangsung selama 2-3 hari, selanjutnya

16
dilanjutkan dengan terapi oral. Dan tidak perlu taperring off jika pemberian kurang
dari 1 minggu
5. Epinefrin
Baru dapat diberikan jika agonis beta 2 hirup baik suntikan tidak tersedia. Dengan
dosis 0,3 cc subkutan dapat diberikansetiap 20 menit sampai 3 kali
6. Obat-obat lain
Dapat diberikan antibiotik jika terdapat infeksi sekunder

Penilaian ulang dilakukan setlah pemberianterapi awal selesai (60-90 menit)


setelah terapi awal dimulai.3 Respon terapi awal di ruang gawat darurat menentukan
apakah penderita dirawat atau tidak. Kebutuhan merawat penderita diambil berdasrkan
lama dan beratnya serangan asma, beratnya obstruksi saluran napas, riwayat berat dan
perjalan serangan sebelumnyam obat-obat yang dipakai sekarang, fasilitas perawatan,
dukungan keluarga, situasi rumah serata adanya gangguan psikiatrik. Prinsip perawatan
di ruang rawat adalah pemberian oksigen, bronkodilator kortikosteroid sistemik dan
penilaian yang lebih sering terhadap gejala, kelelahan ataupun fungsi paru.

Perawatan lanjut di rumah sakit


Kriteria rawat rumah sakit :3
1. Respon tidak adekuat terhadap terapi
2. PO2 kurang dari 70 mmHg
3. Penggunaan pengobatan multipel (membutuhkan tiga atau lebih pengobatan
secara bersamaan)
4. Penderita dengan riwayat asma berat yang memerlukan intubasi atau
perawatan ICU dan kondisi transportasi yang kurang baik dan tempat tinggal
ke rumah sakit.
Kriteria rawat ICU :3
1. Kesadaran menurun
2. Terdapatnya aliran udara pernapasan yang kurang
3. Terdapat tanda-tanda kelemahan, keadaan bertambah buruk atau
memerlukan ventilasi mekanik

17
4. APE/VEP1, kurang dari 25% nilai prediksi atau PCO2 lebih dari 35 mmHg.
Perawatan lanjut di luar rumah sakit3
1. Kriteria untuk perawatan di rumah:
 Gejala dan pemeriksaan fisik mengalami perbaikan
 Pasien dapat berjalan tanpa gangguan
 APE/VEP1 lebih dari 70%
2. Disarankan untuk follow - up 2-4 hari dengan berkunjung ke Spesialis Paru

TUBERCULOSIS
Berdasarkan anamnesis terdapat keluhan sesak nafas sejak kurang lebih 2 bulan
lalu, namun hari ini sesak dirasa makin parah. Sesak nafas mengeluarkan bunyi “ngik”,
serangan terjadi sekitar kurang lebih 10 menit. Sesak kambuh dipengaruhi oleh cuaca.
Pasien mengeluh batuk sejak kurang 2 bulan yang lalu. Dada terasa ngilu. Namun nyeri
dada menjalar disangkal oleh paien. Batuk berdahak berwarna kuning, tidak terdapat
darah. Namun pasien mengaku pernah batuk mengeluarkan darah pada bulan Juli sampai
dengan bulan Oktober 2016. Sejak 2 minggu terakhir pasien dirasa semakin kurus.
Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan,
saluran pencernaan, dan luka pada kulit.8 Kebanyakan penularan terjadi lewat udara.
M.tuberculosis mengakibatkan reaksi peradangan setelah berada dalam ruang alveolus,
biasanya bagian bawah lobus atas paru atau bagian atas lobus bawah paru. Leukosit
polimorfonuklear1 tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri tersebut tapi
tidak membunuhnya mengingat karakteristik dari M. tuberculosis itu sendiri yaitu tahan
terhadap asam. Sehingga bakteri ini akan berada dalam fagosom dari makrofag dan
berada di dalam granuloma. Granuloma ini sendiri terbentuk bertujuan untuk mencegah
penyebaran bakteri tersebut ke temat lain. Pembentukan granuloma dibantu oleh Th1 sel.
Berawal dari pengaktifan Th1 dengan bantuan danger signal dari makrofag, seperti IL-12.
kemudian Th1 mensekresikan sitokin berua IFN-gamma dan TNF. Sitokin inilah yang
membuat makrofag matur menjadi specialist giant cell dan epiteloid sel. IL-12 dari
makrofag dan IFN-gamma dari Th1 sel lah yang menjaga granuloma tersebut.9
Pada area tengah dari granuloma tersebut akan menjadi nekrosis. Area nekrosis ini
seperti keju sehingga disebut nekrosis kaseosa dan menjadi ciri khas dari infeksi

18
M.tuberculosis. pada area tersebut akan ditemukan kalsium sehingga akan tergambar
pada radiograph.9

Klasifikasi
Penentuan Klasifikasi dan tipe penderita Tuberculosis memerlukan suatu ”Definisi
Kasus” yang memerlukan dan memberikan batasan baku dari setiap klasifikasi dan tipe
penderita. Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan definisi kasus, yaitu:5
1. Organ Tubuh yang sakit: Paru/Ekstra Paru.
2. Hasil pemeriksaan dahak secara Makroskopis langsung: BTA positf /BTA negatif.
3. Riwayat pengobatan sebelumnya: Baru/Sudah perna diobati.
4. Tingkat keparahan penyakit: Ringan/Berat.

Klasifikasi penyakit
1. TBC Paru
Adalah : tuberculosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleora (selaput
paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TBC paru dibagi dalam:
a. TBC Paru BTA positif
b. TBC Paru BTA negatif
2. TBC Ekstra Paru
Adalah: tuberculosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru misalnya: pleura
(selaput paru), selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang,
persendihan, kuilit, usus, ginjal, saluran kemih, alat kelamin, dan lain-lain. Berdasarkan
tingkat kepercayaannya, TBC Ekstra Paru dibagi menjadi 2 yaitu:
a. TBC Ekstra Paru Ringan
Misalnya : TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudative unilateral, tulang (kecuali tulang
belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
b. TBC Ekstra Paru Berat
Misalnya : Meningitis, Perikarditis, peritonitis, TB tulang belakang, TB usus, TB
saluran Kemih dan alat kelamin.

Tipe Penderita

19
Tipe penderita ditemukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa
tipe penderita, yaitu:
a. Kasus Baru
Adalah : Penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
b. Kambuh (Relaps)
Adalah : penderita tuberculosis yang sebelumnya pernah mendapatkan pengobatan
tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh/pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi
berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA Positif.
c. Pindahan (Transfer In )
Adalah : penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain dan
kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Pindahan yang menderita tersebut harus
membawa surat rujukan (form TB 09).
d. Kasus Berobat Setelah Lalai (Pengobatan Setelah Default/Drop Out).
Adalah : Penderitaan yang kembali berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
setelah putus berobat (drop out) dua bulan atau lebih.
e. Gagal
Adalah : - Penderitaan BTA yang masi tetap positif atau kembali menjadi positif
pada akhir bulan ke-5 atau lebih.
- Penderitaan BTA rontgen positif yang menjadi BTA pada akhir bulan ke-2
pengobatan.
f. Lain
Semua penderita lain yang tidak memenuhi persyaratan di atas. Termasuk dalam
kelompok ini adalah kasus kronik (adalah penderita yang masi BTA Setelah
menyelesaikan pengobatan ulang dengan kategori dua.)

BAB IV
KESIMPULAN

1. Asma bronkial adalah penyakit inflamasi kronik saluran pernapasan yang ditandai
dengan peningkatan respon oleh berbagai pencetus pada traktus trakeobronkial.

20
2. Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen,
virus, iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut yang terdiri dari reaksi
asma tipe cepat dan rekasi asma tipe lambat
3. Dalam penatalaksanaan asma tetap diperlukan suatu edukasi tentang bagaimana
menghindari faktor pencetus. Karena sebaik apapun obat antiasma yang diberikan
tidak akan memberikan hasil jika tidak ada kerjasama dengan pasien.
4. Terapi utama di ruang gawat darurat terdiri dari oksigen, agonis beta 2 hirup, dan
kortikosteroid sistemik.

5. Respon terapi awal di ruang gawat darurat menentukan apakah penderita dirawat
atau tidak. Kebutuhan merawat penderita diambil berdasrkan lama dan beratnya
serangan asma, beratnya obstruksi saluran napas, riwayat berat dan perjalan
serangan sebelumnyam obat-obat yang dipakai sekarang, fasilitas perawatan,
dukungan keluarga, situasi rumah serata adanya gangguan psikiatrik.
6. Prinsip perawatan di ruang rawat adalah pemberian oksigen, bronkodilator
kortikosteroid sistemik dan penilaian yang lebih sering terhadap gejala, kelelahan
ataupun fungsi paru.

DAFTAR PUSTAKA

1. Krohner RG. Asthma and Pregency. Available from:


http://www..ramanathaus.com/ASTHMA %20 AND PREGENCY.htm.
Accessed on: 27/12/2016
2. Halls G, Crump T. Medical disorder in the pregrant patient. Available from
http://www.thrombosis.consult.com . Accessed on: 27/12/2016
3. Kazzi AA. Pregrency, asthma. Available from
http://www.emedicine.com/linkus.htm. Accessed on: 30/12/2016

21
4. Elkayam U. Pulmonary disease, In: Gleicher N,Gall SA, Sibai BM, Elkayam
U, Galbarth RM, Sarto GE, Eds. Principales and Practice of medical therapy in
pregnancy. 2 nd. California Appleton & Lange; 1992, p 733-56
5. Sundaru H, Asma Bronkial. Dalam: Suyono S, Waspadji S, Lesmana L,Alwi I
Setiani S, Sundaru H, Djojoningrat D, Suhardjono, Sudoyo AW, Bahar A,
Mudjadid E. Eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Edisi 2. Jakarta :
Balai Penerbit UI; 2001. hal. 21-32.
6. price SA, Wilson LM. Patofisiologi vol.1. ed.6. jakarta:EGC, 2005.p.g.182-8;
784-5.
7. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. Ed.8. jakarta: Balai Penerbit
FKUI.2009.p.g 371-2;376-9.
8. Sylvia.A.Price dan Lorraine M. Wilson. Patofisiologi. Ed.6. jakarta: EGC.
2005. 852-3.
9. Mathew Helbert. Flesh and Bones of Immunology. UK. 2006. 62-3

22

You might also like