You are on page 1of 34

LAPORAN KASUS

Dermatitis Kontak Alergik

Pembimbing:

dr. Ika Soelistina, SpKK

Disusun oleh:

Candy Novia Agustini (112016034)

Andreas Yoga Kharisma (112016001)

Batrisyia Binti Basir (112016184)

Alvan Aresto Djari (112016070)

Timy Christian Tahun (112016078)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOTERAN UNUVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

PERIODE 14 MEI 2018-16 JUNI 2018

RUMAH SAKIT BHAYANGKARA H.S SAMSOERI MERTOJOSO


Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala cinta
kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
Dermatitis Kontak Alergik ini dengan baik. Referat ini disusun selama menjalani
kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin pada Rumah Sakit Bhayangkara
Surabaya, sebagai salah tugas dalam menjalankan kepaniteraan.
Terima kasih sebesar-besarnya kepada dr. Ika Soelistina, Sp.KK atas bimbingan,
bantuan, dan perhatiannya selama penulis menjalankan kepaniteran klinik di Rumah Sakit
Bhayangkara Surabaya dan tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu-persatu atas bantuan yang telah diberikan
kepada penulis sehingga penulis dapat menjalankan dan menyelesaikan laporan kasus ini
dengan baik.
Dengan segala keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki, penulis
menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan
kritik yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi kelengkapan dan
kesempurnaan tugas ini di masa yang akan datang.
Akhir kata, semoga laporan kasus ini dapat berguna bagi siapa saja yang telah
membacanya. Terima kasih dan semoga Tuhan memberkati.

Surabaya, Mei 2018

Penulis
BAB I
Tinjauan Pustaka
A. Pendahuluan
Dermatitis atau eczema merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan adanya proses
inflamasi pada kulit, dimana pada fase akut ditandai dengan timbulnya eritema dan vesikel
sedangkan pada fase kronik ditandai dengan kulit yang kering, terbentuknya likenifikasi dan
fisura. (1,2,3)
Dermatitis kontak adalah suatu inflamasi yang terjadi pada permukaan kulit akibat
(1,3,4)
adanya paparan baik terhadap zat yang bersifat iritan atau yang bersifat sebagai alergen.
Dermatitis kontak alergika (DKA) adalah inflamasi pada kulit melalui mekanisme imunologik
(reaksi hipersensitivitas tipe IV), disebabkan karena adanya paparan alergen spesifik (hapten)
pada kulit yang telah tersensitisasi sebelumnya. (5,6,7)
Prevalensi dermatitis di Inggris diperkirakan sebesar 20% dengan dermatitis atopik
(1)
sebagai kasus yang terbanyak. Sedangkan kontak dermatitis diperkirakan sekitar 10% dari
(3)
seluruh kasus pasien dengan gangguan kulit. Dermatitis kontak iritan (DKI) lebih sering
terjadi dibandingkan dengan dermatitis kontak alergika, dengan angka kejadian DKI mencakup
(1,8)
80% dari seluruh kasus dermatitis kontak. Angka kejadian dermatitis kontak alergika
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti usia, jenis kelamin, etnik dan pekerjaan.
Prevalensi DKA pada populasi umum diperkirakan berkisar antara 26-40% pada orang
(9)
dewasa dan 21-36% pada anak-anak. Angka kejadian DKA meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. (4) Prevalensi DKA lebih rendah pada anak-anak dipengaruhi oleh paparan
alergen yang lebih sedikit dibandingkan dengan orang dewasa. (3) Individu yang lebih muda (18
sampai 25 tahun) memiliki onset lebih cepat dan resolusi cepat terhadap suatu dermatitis
dibandingkan orang yang lebih tua. Insidensi DKA pada usia lebih dari 70 tahun lebih rendah
dibandingkan dengan usia yang lebih muda. (10)
Pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap kejadian DKA belum diketahui secara jelas,
namun secara epidemiologi perempuan lebih sering mengalami DKA dibandingkan dengan laki-
(8,9) (8)
laki. Secara keseluruhan diperkirakan 74% pasien dengan DKA adalah perempuan.
Tingginya angka kejadian DKA pada perempuan didukung oleh penelitian yang dilakukan
dengan menggunakan 10 alergen tersering penyebab DKA ditemukan perempuan lebih mudah

3
tersensitisasi terhadap alergen (7 dari 10 alergen yang diujikan). Pada penelitian lebih lanjut
dengan menggunakan alergen dengan konsentrasi yang berbeda ditemukan perempuan lebih
sensitif dibandingkan dengan laki-laki terhadap alergen dengan konsentrasi yang lebih rendah.
(10)

(10)
Perbedaan angka kejadian DKA berkaitan dengan ras masih kontroversi. Namun
ditemukan individu yang berasal dari ras berkulit hitam (Afrika) lebih sedikit mengalami DKA
dibandingkan ras berkulit putih (Caucasian). Hal ini diduga berkaitan dengan perbedaan partikel-
partikel kulit pada kelompok ini. (3,10) Pekerjaan berpengaruh terhadap angka kejadian DKA. Hal
ini terbukti dari angka kejadian dermatitis kontak yang berkaitan dengan pekerjaan mencakup
90%. (3,11) Sedangkan DKA mencakup 20% dari seluruh kasus dermatitis kontak yang berkaitan
(11)
dengan pekerjaan. Hal ini terjadi terutama di negara-negara berkembang dimana pekerja
industri tidak selalu dilengkapi dengan perlengkapan perlindungan diri saat bekerja. (3)

B. Definisi Dermatitis Kontak Alergika


Dermatitis atau eczema merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan adanya proses
inflamasi pada kulit, dimana pada fase akut ditandai dengan timbulnya eritema dan vesikel
sedangkan pada fase kronik ditandai dengan kulit yang kering, terbentuknya likenifikasi dan
fisura. (1,2,3) Dermatitis kontak adalah suatu inflamasi yang terjadi pada permukaan kulit akibat
(1,3,4)
adanya paparan baik terhadap zat yang bersifat iritan atau yang bersifat sebagai alergen.
Dermatitis kontak alergika (DKA) adalah inflamasi pada kulit melalui mekanisme imunologik
(reaksi hipersensitivitas tipe IV), disebabkan karena adanya paparan alergen spesifik (hapten)
pada kulit yang telah tersensitisasi sebelumnya. (5,6,7)

C. Epidemiologi Dermatitis Kontak Alergika


Prevalensi dermatitis di Inggris diperkirakan sebesar 20% dengan dermatitis atopik
(1)
sebagai kasus yang terbanyak. Sedangkan kontak dermatitis diperkirakan sekitar 10% dari
(3)
seluruh kasus pasien dengan gangguan kulit. Dermatitis kontak iritan (DKI) lebih sering
terjadi dibandingkan dengan dermatitis kontak alergika, dengan angka kejadian DKI mencakup
(1,8)
80% dari seluruh kasus dermatitis kontak. Angka kejadian dermatitis kontak alergika
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti usia, jenis kelamin, etnik dan pekerjaan.

4
a. Usia
Prevalensi DKA pada populasi umum diperkirakan berkisar antara 26-40% pada
orang dewasa dan 21-36% pada anak-anak. (9) Angka kejadian DKA meningkat seiring
dengan bertambahnya usia. (4) Prevalensi DKA lebih rendah pada anak-anak dipengaruhi
oleh paparan alergen yang lebih sedikit dibandingkan dengan orang dewasa. (3) Individu
yang lebih muda (18 sampai 25 tahun) memiliki onset lebih cepat dan resolusi cepat
terhadap suatu dermatitis dibandingkan orang yang lebih tua. Insidensi DKA pada usia
lebih dari 70 tahun lebih rendah dibandingkan dengan usia yang lebih muda. (10)
b. Jenis Kelamin
Pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap kejadian DKA belum diketahui secara
jelas, namun secara epidemiologi perempuan lebih sering mengalami DKA dibandingkan
dengan laki-laki. (8,9) Secara keseluruhan diperkirakan 74% pasien dengan DKA adalah
perempuan. (8) Tingginya angka kejadian DKA pada perempuan didukung oleh penelitian
yang dilakukan dengan menggunakan 10 alergen tersering penyebab DKA ditemukan
perempuan lebih mudah tersensitisasi terhadap alergen (7 dari 10 alergen yang diujikan).
Pada penelitian lebih lanjut dengan menggunakan alergen dengan konsentrasi yang
berbeda ditemukan perempuan lebih sensitif dibandingkan dengan laki-laki terhadap
alergen dengan konsentrasi yang lebih rendah. (10)
c. Ras
(10)
Perbedaan angka kejadian DKA berkaitan dengan ras masih kontroversi.
Namun ditemukan individu yang berasal dari ras berkulit hitam (Afrika) lebih sedikit
mengalami DKA dibandingkan ras berkulit putih (Caucasian). Hal ini diduga berkaitan
dengan perbedaan partikel-partikel kulit pada kelompok ini. (3,10)
d. Pekerjaan
Pekerjaan berpengaruh terhadap angka kejadian DKA. Hal ini terbukti dari angka
(3,11)
kejadian dermatitis kontak yang berkaitan dengan pekerjaan mencakup 90%.
Sedangkan DKA mencakup 20% dari seluruh kasus dermatitis kontak yang berkaitan
(11)
dengan pekerjaan. Hal ini terjadi terutama di negara-negara berkembang dimana
pekerja industri tidak selalu dilengkapi dengan perlengkapan perlindungan diri saat
bekerja. (3)

5
D. Etiologi Dermatitis Kontak Alergika
Dermatitis kontak alergika (DKA) merupakan inflamasi pada kulit yang terjadi melalui
mekanisme imunologik (reaksi hipersensitivitas tipe IV), disebabkan karena adanya paparan
alergen spesifik (hapten) pada kulit yang telah tersensitisasi sebelumnya. (5,6,7)
Terdapat lebih dari 3700 alergen yang dilaporkan dapat memicu reaksi DKA. (3,10) Berikut
beberapa alergen tersebut: (10)

Table 2.1 Penyebab Tersering DKA

Allergen Principal Sources of Contact

Nickel sulfate Metals, metals in clothing, jewelry, catalyzing


agents

Neomycin sulfate Usually contained in creams, ointments

Balsam of Peru Topical medications

Fragrance mix Fragrances, cosmetics

Thimerosal Antiseptics

Sodium gold thiosulfate Medication

Formaldehyde Disinfectant, curing agents, plastics

Quaternium-15 Disinfectant

Cobalt chloride Cement, galvanization, industrial oils, cooling


agents, eyeshades

Bacitracin Ointments, powder

Methyldibromoglutaronitrile, Preservatives, cosmetics


phenoxylethanol

Carba mix Rubber, latex

Ethyleneurea melamine-formaldehyde Textile additives


resin

6
Thiuram Rubber

p-Phenylene diamine Black or dark dyes of textiles, printer's ink

Parahydroxybenzoic acid ester Conserving agent in foodstuffs

Propylene glycol Preservatives, cosmetics

Procaine, benzocaine Local anesthetics

Sulfonamides Medication

Turpentine Solvents, shoe polish, printer's ink

Mercury salts Disinfectant, impregnation

Chromates Cement, antioxidants, industrial oils, matches,


leather

Cinnamic aldehyde Fragrance, perfume

E. Imunopatogenesis pada Dermatitis Kontak Alergika


DKA merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai imunitas seluler
(5,6,7,8)
(hipersensitivitas tipe 4). Patogenesis DKA diklasifikasikan menjadi 2 bagian, yaitu fase
induksi (fase sensitisasi atau fase aferen) dan fase elisitasi (fase eferen). Fase sensitisasi dimulai
pada saat kulit penderita pertama kalinya terpapar dengan alergen kontak sampai pada saat
penderita tersensitisasi, artinya jika terjadi paparan ulang terhadap alergen yang sama akan dapat
memicu terjadinya reaksi DKA. Fase efektor dimulai dari paparan ulang alergen kontak yang
sama sampai waktu terjadinya manifestasi klinik DKA, seperti eritema, edema dan munculnya
vesikel. Reaksi inflamasi yang timbul pada DKA dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti
frekuensi dan durasi paparan alergen. (3,4,5,7,8,10,11)

(3,4,5,7,8,10,11)
F. Tahapan imunopatologi pada DKA meliputi :
a. Fase Aferen (Fase Sensitisasi)
Bahan-bahan eksogen sebagian besar merupakan bahan-bahan yang tidak dapat
menembus stratum korneum kulit manusia. Bahan yang terpapar pada kulit dapat
berpenetrasi melalui stratum korneum bila berat molekul bahan tersebut < 500
7
Daltons, yang disebut sebagai hapten. Hapten dapat menjadi alergen kontak bila telah
berikatan dengan protein kulit, sehingga berat molekulnya minimal 5000 Daltons,
dinamakan hapten-protein complex. Hapten-protein complex ditangkap sel penyaji
antigen (antigen precenting cells / APC) yaitu sel Langerhans (SL) dan atau sel
dendritik dermal, kemudian diproses dan diekspresikan pada permukaan SL sebagai
molekul HLA DR .
Sel Langerhans sangat berperan pada patogenesis DKA. Alergen akan dikenalkan
oleh SL kepada limfosit. Setelah alergen penetrasi ke kulit, alergen akan berikatan
dengan molekul MHC class I yang berikatan dengan sel TCD8+ pada kelenjar limfe.
Alergen juga dapat berikatan dengan MHC class II yang kemudian akan berikatan
dengan sel TCD4+. MHC class I/II terdapat pada permukaan SL. Di epidermis hapten
yang bersifat lipofilik berikatan dengan MHC class I, sedangkan hapten yang
hidrofilik misalnya ion nikel lebih mudah berikatan dengan MHC II. Sehingga jenis
hapten menentukan macam sel T yang akan diaktifkan (sel TCD4+ atau sel TCD8+)
SL setelah berikatan dengan hapten akan menjadi aktif dan migrasi dari epidermis
ke kelenjar limfe melalui pembuluh limfe. Setelah kulit terpapar dengan bahan
alergen kontak, SL mengeluarkan IL-1β (Interleukin-1β) yang kemudian merangsang
keratinosit untuk menghasilkan TNF-α (tumor necrosis factor-α) dan granulocyte-
macrophag colony stimulating factor (GM –CSF). Ketiga sitokin tersebut berperan
dalam proses migrasi SL dari epidermis ke kelenjar limfe. Dalam waktu 24 jam
setelah alergen terpapar pada kulit maka SL akan bermigrasi ke kelenjar limfe. IL-1β
dan TNF-α juga menurunkan ekspresi E-chaderin, sehingga melepaskan ikatan antara
SL dengan jaringan sekitarnya.
Enzim metalloproteinase-3 (MMP-3) dan MMP-9 merusak makromolekul
dermoepidermal dan matriks ekstraseluler sehingga mempermudah SL melewati
stratum basalis. Ketika SL tiba di dermis, SL akan migrasi kearah pembuluh limfe
dengan tuntunan SLC (secondary limphoid tissue). Setelah SL aktif, SL akan
menurunkan ekspresi beberapa reseptor kemokin (CCR12,5 dan CCR6), sedangkan
CCR4,7 dan CXCR4 meningkat. CCR7 berperan dalam pematangan SL selama proses
migrasi SL ke kelenjar limfe. Aktivasi dan proliferasi sel T oleh SL membutuhkan
stimulasi TCR (T cell reseptor) yang dikenal dengan signal 1, juga membutuhkan

8
signal 2 (co-stimulation) oleh IL1, molekul adhesi yang terdapat dipermukaan SL dan
sel T. Setelah sel Tspesifik menjadi aktif, maka sel T menghasilkan beberapa sitokin
misanya IL2.
SL yang sudah matang (IDC/interdigitating cell) mengenalkan alergen ke sel T
melalui dendrit-dendritnya sehingga sel T naif dalam beberapa hari akan
berdiferensiasi menjadi sel T tipe-0, sel tipe-1, dan tipe-3 dengan menghasilkan sitokin
yang berbeda. Sel Th1 menghasilkan IFN-γ dan IL-18, sehingga menghambat aktivasi
sel T tipe-2. Sel T tipe-1 merupakan sel T efektor yang berperan pada terjadinya
DKA. Sel T tipe-2 menghasilkan IL-4 dan atau IL-10, yang sering teraktivasi bila
mukosa terpapar alergen. Sel T tipe-3 menghasilkan TGF-β (transforming growth
factor-β) secara interaktif mengatur aktivasi sel T tipe lainnya sehingga dapat
mengkontrol respon imun. SL akan mengenalkan alergen yang terdapat pada MHC
class I/II kepada sel Tnaif sehingga sel T naif berubah menjadi sel T spesifik, yaitu sel
T yang sudah mengenal alergen kontak tertentu (sensitisized lymphocyte).
IL-1 yang dihasilkan SL mengaktivasi sel T, sehingga sel T yang aktif akan
melepaskan growth factor misalnya IL-2 yang bersifat autocrine yaitu mengaktifkan
reseptor IL-2 sehingga menyebabkan sel T berdiferensiasi menjadi limfoblast.
Sel T yang aktif melalui pembuluh limfe menuju sirkulasi darah. Pada sel T
terdapat reseptor beberapa molekul sehingga memungkinkan sel T bermigrasi ke
jaringan. Seandainya kulit tidak kontak dengan bahan alergen yang sama, jumlah sel T
spesifik akan menurun dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan. Keadaan inilah
yang menyebabkan sel T memiliki nilai ambang yang lebih rendah untuk teraktivasi
jika terpapar ulang dengan alergen yang sama, sehingga beberapa sel radang mudah
datang dan terjadilah reaksi radang.

b. Fase Eferen (Fase Elisitasi)


Paparan ulang kulit dengan alergen kontak yang sama menandakan
dimulainya fase efektor. Proses untuk terjadinya DKA memerlukan waktu 18-48
jam. Terpapar ulang kulit dengan alergen yang sama menginduksi aktivasi dan
migrasi SL, sedangkan pada endotel terjadi peningkatan molekul adhesi, yang
memudahkan ekstravasasi sel T spesifik. Terikatnya hapten dengan sel T

9
menyebabkan peningkatan mediator inflamasi sehingga reaksi radang di epidermis
meningkat, ditandai dengan infiltrasi, edema, spongiosis (kemerahan, edema, papul,
vesikel, dan pada palpasi teraba hangat). Akhirnya derajat reaksi radang menurun
perlahan, walaupun masih didapatkan beberapa sel T spesifik sehingga memudahkan
timbulnya DKA jika kulit terpapar ulang dengan alergen yang sama.
Pengetahuan terbaru terhadap patogenesis DKA, menyatakan bahwa
imunitas alamiah memainkan peranan utama pada proses sensitisasi, sehingga T
regulatory (Treg) cell dianggap sebagai sel yang mengendalikan reaksi inflamasi
pada DKA. Kekurangan Treg dapat menyebabkan DKA kronis. Keratinosit juga
memainkan peranan penting dalam DKA, dari fase inisiasi saat mereka
memproduksi TNFα sampai antigen memodulasi migrasi APC dan T cell trafficking;
serta menghasilkan IL-10 dan IL-16 yang merekrut Treg.

Gambar 2.1 Anatomi Kulit

10
Gambar 2.2 Imunopatologi DKA

G. Kriteria Diagnostik Dermatitis Kontak Alergika


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
1. Anamnesis
Ada beberapa yang harus diperhatikan pada anamnesis berkaitan dengan kasus DKA,
yaitu adanya keluhan gatal pada kulit, riwayat paparan terhadap bahan alergen sebelumnya,
munculnya keluhan pada kulit terjadi setelah paparan terhadap alergen yang sama, mulai muncul
(2)
48-96 jam setelah paparan ulang, dan sering berulang selama beberapa tahun. Selain hal
tersebut, ada beberapa hal yang juga perlu diketahui dari anamnesis yaitu data demografi pasien
termasuk pekerjaan dan hobi, riwayat penyakit dahulu dan pengobatan dan riwayat penyakit
keluarga. (10)
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan efloresensi DKA polimorf, batas tegas, dimana
alergen kuat selalu menyebabkan pembentukan vesikel, sedangkan alergen yang lemah ditandai
dengan adanya papula. Pada fase akut ditandai dengan gejala pruritus, edema, makula
eritematous batas tegas dan vesikel hanya pada area terpapar (lokalisata). Lesi subakut dapat
berupa : eritema, papula, dan skuama. Bila kontak dengan alergen berulang, maka dapat
11
ditemukan gejala dan tanda DKA kronik, berupa plak eritematosa batas tidak tegas, pada
permukaan lesi bisa didapatkan skuama, fissura, likenifikasi; dan lesi dapat meluas melewati area
(1,2,3)
yang terpapar (diseminata).

Gambar 2.3 DKA akut (kiri), DKA subakut (tengah) dan DKA kronis (kanan)

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang sebagai Gold Standard untuk menegakkan diagnosa DKA adalah
(8,10)
uji tempel (patch test). Uji tempel (patch test) dengan menggunakan bahan standar atau
bahan yang dicurigai menyebabkan timbulnya DKA. Adapun indikasi dilakukannya uji tempel
yaitu pada kasus dermatitis yang bersifat kronik dan/atau adanya gatal yang selalu berulang,
adanya likenifikasi, dan pada kecurigaan adanya DKA sebagai penyebab atau komplikasi dari
keluhan tersebut. Sedangkan kontraindikasi uji tempel yaitu imunodefisiensi, mengkonsumsi
obat-obatan yang menekan respon imun dan penyakit autoimun. (9)
Konsentrasi zat allergen pada uji tempel sangat berpengaruh terhadap interpretasi hasil uji
tempel karena konsentrasi yang terlalu rendah dapat menimbulkan hasil negatif palsu, sedangkan
(2)
konsentrasi yang terlalu tinggi dapat menimbulkan hasil positif palsu. Pembacaan dan
interpretasi hasil uji tempel dilakukan setelah 24 jam, 72 jam dan setelah 7 hari.(8,9,11) Pembacaan
pada hari ke 7 dapat membantu menilai hasil positif yang muncul lebih lambat (lebih dari 4 hari)
yang pada pemeriksaan 24 jam serta 72 jam bernilai negatif, misal untuk zat allergen seperti
neomisin, tixocortol pivalate dan nikel.(9) Adapun interpretasi uji tempel berdasarkan
International Contact Dermatitis Research Group (ICDRG) adalah sebagai berikut: (9.11)

12
Tabel 2.2 Interpretasi Pembacaan Hasil Uji Tempel

Gambar 2.4 Hasil Uji Tempel

13
Diagnosis Banding Dermatitis Kontak Alergika
Berikut adalah diagnosis banding pada DKA dan perbedaannya: (10)
Tabel 2.1 Diagnosis Banding pada DKA
DKI DKA
Perjalanan klinis Muncul setelah paparan pertama Perlu disensitisasi, paparan
berikutnya baru muncul lesi
Menit-beberapa jam setelah paparan, 24-72 jam setelah paparan
namun dapat juga delayed reaction terakhir, dapat pula 5-7 jam
setelah paparan
Decrescendo phenomenon Crescendo phenomenon

Morfologi Akut: eritema, edema, kadang vesikel, Akut : bercak eritematosa,


atau bula, pustule-pustula. berbatas tegas, kemudian diikuti
Nekrosis dan ulserasi pada materiala edema, papulovesikel, vesikel
korosif. atau bula. Vesikel atau bula
pecah menyebabkan erosi dan
Subakut/kronis: hiperkeratoris , fisura, eksudasi (basah)
skuamosa.
Kronis: kulit kering, berskuama,
Lesi di tandai dengan tepi berbatas papul, lekenifikasi, fisura,
tegas, biasanya tidak ada lesi yang berbatas tidak tegas.
jauh dari area kontak
Dapat meluas ke tempat lain
dengan cara autosensitisasi
Gejala Panas, perih, nyeri pada kulit, dapat gatal
disertai gatal
etiologi Pajanan dengan bahan yang bersifat Bahan kimia yang berat molekul
iritan rendah (<1000dalton)
patofisiologi Non imunologis Imunologis

14
Komplikasi Dermatitis Kontak Alergika
Komplikasi yang dapat terjadi berupa infeksi sekunder, selain itu jika pada pasien
dilakukan uji tempel dapat juga menimbulkan komplikasi dari uji tempel tersebut adalah timbul
hiperpigmentasi atau hipopigmentasi post inflamasi pada uji tempel yang positif. (10)

Penatalaksanaan Dermatitis Kontak Alergika


A. Non Medikamentosa
Edukasi pasien untuk menghindari kontak dengan bahan-bahan yang dicurigai memicu
terjadinya DKA (bahan yang bersifat alergen), bila perlu gunakan alat pelindung diri
terhadap paparan alergen. (10)

B. Medikamentosa
Pengobatan Sistemik (12)
1. Kortikosteroid, hanya untuk kasus yang berat dan digunakan dalam waktu singkat.
- Prednison, dosis dewasa 5-10 mg/dosis, 2-3 kali/24 jam, dosis anak 1 mg/kgBB/hari
- Deksametason, dosis dewasa 0,5-1 mg/dosis, 2-3 kali/24 jam, dosis anak 0,1
mg/kgBB/hari
- Triamsinolon, dosis dewasa 4-8 mg/dosis, 2-3 kali/24 jam, dosis anak 1 mg/kgBB/hari
2. Antihistamin
- Klorfeniramin maleat, dosis dewasa 3-4 mg/dosis, 2-3 kali/24 jam, dosis anak 0,09
mg/kgBB/dosis, 3 kali dalam 24 jam
- Cetirizin, dosis dewasa 10 mg/dosis, 1-2kali/24 jam, dosis anak 5 mg/dosis/24 jam
- Difenhidramin, dosis dewasa 10-20 mg/dosis intramuscular 1-2 kali/24 jam, dosis anak
0,5 mg/kgBB/dosis, 1-2 kali/24 jam
- Loratadin, dosis dewasa 10 mg/dosis/24 jam, dosis anak 5mg/dosis/24 jam
Pengobatan Topikal (12)
1. Bentuk akut dan eksudatif diberi kompres larutan garam faal (NaCl 0,9%)
2. Kortikosteroid potensi sesuai derajat inflamasi. (hidrokortison 2,5% krim, ointment ;
difluokortolon valerat 0,1% krim; momethason furoat 0,1% krim,ointment;
desoksimethason 0,25%, krim, ointment;klobetasol propionat 0,1% krim, ointment, gel.
3. Emolien (petrolatum based) untuk memperbaiki kulit kering dan likenifikasi

15
4. Calcineurin inhibitor (pimekrolimus 1.0% ; tacrolimus 0,03%, 1.0% cream )
5. Antibiotik diberikan jika dicurigai terdapat infkeksi sekunder.
Prognosis Dermatitis Kontak Alergika
Prognosis DKA sulit dinilai karena tidak ada standard baku untuk mengevaluasi
prognosis pasien DKA. Sebagian besar data yang diperoleh berkaitan dengan prognosis
dermatitis kontak yang berkaitan dengan pekerjaan yaitu relatif buruk, hanya 30-50% pasien
yang menunjukkan adanya perbaikan, namun pada dermatitis yang mendapatkan yang cepat dan
tepat sebanyak 75% dapat sembuh tanpa adanya gangguan yang menetap.(10)

Dermatitis Kontak Iritan

I. EPIDEMIOLOGI
Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur,
ras, dan jenis kelamin. Data epidemiologi penderita dermatitis kontak iritan sulit didapat. Jumlah
penderita dermatitis kontak iritan diperkirakan cukup banyak, namun sulit untuk diketahui
jumlahnya. Hal ini disebabkan antara lain oleh banyak penderita yang tidak datang berobat
dengan kelainan ringan.6
Dari data yang didapatkan dari U.S. Bureau of Labour Statistic menunjukkan bahwa
249.000 kasus penyakit akupasional nonfatal pada tahun 2004 untuk kedua jenis kelamin, 15,6%
(38.900 kasus) adalah penyakit kulit yang merupakan penyebab kedua terbesar untuk semua
penyakit okupational. Juga berdasarkan survey tahunan dari institusi yang sama, bahwa incident
rate untuk penyakit okupasional pada populasi pekerja di Amerika, menunjukkan 90-95% dari
penyakit okupasional adalah dermatitis kontak, dan 80% dari penyakit didalamnya adalah
dermatitis kontak iritan.1,7
Sebuah kusioner penelitian diantara 20.000 orang yang dipilih secara acak di Sweden
melaporkan bahwa 25% memiliki perkembangan gejala selama tahun sebelumnya. Orang yang
bekerja pada industri berat, mereka yang bekerja bersentuhan dengan bahan kimia keras yang
memiliki potensial merusak kulit dan mereka yang diterima untuk mengerjakan pekerjaan basah

16
secara rutin memiliki faktor resiko. Mereka termasuk : muda, kuat, laki-laki yang dipekerjakan
sebagai pekerja metal, pekerja karet, terapist kecantikan, dan tukang roti.8

II. ETIOLOGI

Dermatitis kontak iritan adalah penyakit multifaktor dimana faktor eksogen (iritan dan
lingkungan) dan faktor endogen sangat berperan.1,9

Faktor Eksogen

Selain dengan asam dan basa kuat, tidak mungkin untuk memprediksi potensial iritan
sebuah bahan kimia berdasarkan struktur molekulnya. Potensial iritan bentuk senyawa mungkin
lebih sulit untuk diprediksi. Faktor-faktor yang dimaksudkan termasuk : (1) Sifat kimia bahan
iritan: pH, kondisi fisik, konsentrasi, ukuran molekul, jumlah, polarisasi, ionisasi, bahan dasar,
kelarutan ; (2) Sifat dari pajanan: jumlah, konsentrasi, lamanya pajanan dan jenis kontak, pajanan
serentak dengan bahan iritan lain dan jaraknya setelah pajanan sebelumnya ; (3) Faktor
lingkungan: lokalisasi tubuh yang terpajan dan suhu, dan faktor mekanik seperti tekanan,
gesekan atau goresan. Kelembapan lingkunan yang rendah dan suhu dingin menurunkan kadar
air pada stratum korneum yang menyebabkan kulit lebih rentan pada bahn iritan.1

Faktor Endogen

a. Faktor genetik
Ada hipotesa yang mengungkapkan bahwa kemampuan individu untuk mengeluarkan
radikal bebas, untuk mengubah level enzym antioksidan, dan kemampuan untuk
membentuk perlindungan heat shock protein semuanya dibawah kontrol genetik. Faktor
tersebut juga menentukan keberagaman respon tubuh terhadap bahan-bahan ititan. Selain
itu, predisposisi genetik terhadap kerentanan bahan iritan berbeda untuk setiap bahan
iritan.1 Pada penelitian, diduga bahwa faktor genetik mungkin mempengaruhi kerentanan
terhadap bahan iritan. TNF-α polimorfis telah dinyatakan sebagai marker untuk
kerentanan terhadap kontak iritan.10
b. Jenis Kelamin
Gambaran klinik dermatitis kontak iritan paling banyak pada tangan, dan wanita
dilaporkan paling banyak dari semua pasien. Dari hubungan antara jenis kelamin dengan

17
dengan kerentanan kulit, wanita lebih banyak terpajan oleh bahan iritan, kerja basah dan
lebih suka perawatan daripada laki-laki. Tidak ada pembedaan jenis kelamin untuk
dermatitis kontak iritan yang ditetapkan berdasarkan penelitian.1,9,10
c. Umur
Anak-anak dibawah 8 tahun lebih muda menyerap reaksi-reaksi bahan-bahan kimia dan
bahan iritan lewat kulit. Banyak studi yang menunjukkan bahwa tidak ada kecurigaan
pada peningkatan pertahanan kulit dengan meningkatnya umur. Data pengaruh umur
pada percobaan iritasi kulit sangat berlawanan. Iritasi kulit yang kelihatan (eritema)
menurun pada orang tua sementara iritasi kulit yang tidak kelihatan (kerusakan
pertahanan) meningkat pada orang muda.1 Reaksi terhadap beberapa bahan iritan
berkurang pada usia lanjut. Terdapat penurunan respon inflamasi dan TEWL, dimana
menunjukkan penurunan potensial penetrasi perkutaneus.10
d. Suku
Tidak ada penelitian yang mengatakan bahwa jenis kulit mempengaruhi berkembangnya
dermatitis kontak iritan secara signifikan. Karena eritema sulit diamati pada kulit gelap,
penelitian terbaru menggunakan eritema sebagai satu-satunya parameter untuk mengukur
iritasi yang mungkin sudah sampai pada kesalahan interpretasi bahwa kulit hitam lebih
resisten terhadap bahan iritan daripada kulit putih.1
e. Lokasi kulit
Ada perbedaan sisi kulit yang signifikan dalam hal fungsi pertahanan, sehingga kulit
wajah, leher, skrotum, dan bagian dorsal tangan lebih rentan terhadap dermatitis kontak
iritan. Telapak tangan dan kaki jika dibandingkan lebih resisten.1,10
f. Riwayat Atopi
Adanya riwayat atopi diketahui sebagai faktor predisposisi pada dermatitis iritan pada
tangan. Riwayat dermatitis atopi kelihatannya berhubungan dengan peningkatan
kerentanan terhadap dermatitis iritan karena rendahnya ambang iritasi kulit, lemahnya
fungsi pertahanan, dan lambatnya proses penyembuhan.1 Pada pasien dengan dermatitis
atopi misalnya, menunjukkan peningkatan reaktivitas ketika terpajan oleh bahan iritan.11

18
III. PATOGENESIS

Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja
kimiawi atau fisis. Ada empat mekanisme yang dihubungkan dengan dermatitis kontak iritan,
yaitu:1,6

1. Hilangnya substansi daya ikat air dan lemak permukaan


2. Jejas pada membran sel
3. Denaturasi keratin epidermis
4. Efek sitotoksik langsung

19
Gambar 1 : (a-d) mekanisme imunologis terjadinya dermatitis kontak iritan (DKI). (a) bahan iritan fisik dan kimia
memicu pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya yang disebut sinyal bahaya. (b) sel epidermis dan dermis
merespon sinyal bahaya tersebut. (c) setelah itu, sitokin inflamasi dikeluarkan dari sel residen dan sel inflamasi
yang sudah terinfiltrasi. Sitokin utama pada proses ini adalah CXCL 8 (bentuk yang dikelan adalah IL-8) (d) sebagai
akibatnya, dari produksi sitokin inflamasi, banyak sel inflamasi termasuk neutrofil diserang dan dibawa pengaruh
picuan inflamasi mengeluarkan mediator inflamasi. Hasilnya dapat dilihat secara klinis pada DKI. Dikutip dari
kepustakaan [12]

Pada respon iritan, terdapat komponen menyerupai respon imunologis yang dapat
didemonstrasikan dengan jelas, dimana hal tersebut ditandai oleh pelepasan mediator radang,
khususnya sitokin dari sel kulit yang non-imun (keratinosit) yang mendapat rangsangan kimia.
Proses ini tidaklah membutuhkan sensitasi sebelumnya. Kerusakan sawar kulit menyebabkan
pelepasan sitokin-sitokin seperti Interleukin-1α (IL-1α), IL-1β, tumor necrosis factor- α (TNF-
α). Pada dermatitis kontak iritan, diamati peningkatan TNF-α hingga sepuluh kali lipat dan
granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) dan IL-2 hingga tiga kali lipat.
TNF- α adalah salah satu sitokin utama yang berperan dalam dermatitis iritan, yang
menyebabkan peningkatan ekspresi Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II dan
intracelluler adhesin molecul-I pada keratinosit.1

Pada dermatitis kontak iritan akut, mekanisme imunologisnya mirip dengan dermatitis
kontal alergi akut. Namun, perbedaan yang mendasar dari keduanya adalah keterlibatan dari
spesisif sel-T pada dermatitis kontak alergi akut.12

Rentetan kejadian tersebut menimbulkan peradangan klasik di tempat terjadinya kontak


dikulit berupa eritema, edema, panas, dan nyeri bila iritan kuat. Ada dua jenis bahan iritan yaitu
iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan menyebabkan kelainan kulit pada pajanan pertama
pada hampir semua orang, sedangkan iritan lemah akan menimbulkan kelainan kulit setelah
berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh karena depilasi yang
menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel
di bawahnya oleh iritan.6

20
V. GAMBARAN KLINIS

Dermatitis kontak iritan dibagi tergantung sifat iritan. Iritan kuat memberikan gejala akut,
sedang iritan lemah memberi gejala kronis. Selain itu juga banyak hal yang mempengaruhi
sebagaimana yang disebutkan sebelumnya.6 Berdasarkan penyebab tersebut dan pengaruh faktor
tersebut, dermatitis kontak iritan dibagi menjadi sepuluh macam, yaitu:

1. Dermatitis Kontak Iritan Akut


Pada DKI, kulit terasa pedih atau panas, eritema, vesikel atau bulla. Luas kelainanya
sebatas daerah yang terkena dan berbatas tegas.1,7 Pada beberapa individu, gejala
subyektif (rasa terbakar, rasa tersengat) mungkin hanya satu-satunya manifestasi. Rasa
sakit dapat terjadi dalam beberapa detik dari pajanan. Spektrum perubahan kulit berupa
eritma hingga vesikel dan bahan pajanan bahan yang dapat membakar kulit dapat
menyebabkan nekrosis.1,6 Secara klasik, pembentukan dermatitis akut biasanya sembuh
segera setelah pajanan, dengan asumsi tidak ada pajanan ulang – hal ini dikenal sebagai
“decrescendo phenomenon”. Pada beberapa kasus tidak biasa, dermatitis kontak iritan
dapat timbul beberapa bulan setelah pajanan, diikuti dengan resolusi lengkap.2 Bentuk
DKI Akut seringkali menyerupai luka bakar akibat bahan kimia, bulla besar atau lepuhan.
DKI ini jarang timbul dengan gambaran eksematousa yang sering timbul pada dermatitis
kontak.9

Gambar 2 : DKI akut akibat penggunaan pelarut industri. Dikutip


dari kepustakaan [7]

21
2. Dermatitis Kontak Iritan Lambat (Delayed ICD)
Pada dermatitis kontak iritan akut lambat, gejala obyektif tidak muncul hingga 8-
24 jam atau lebih setelah pajanan.1,6,7 Sebaliknya, gambaran kliniknya mirip dengan
dermatitis kontak iritan akut.1 Contohnya adalah dermatitis yang disebabkan oleh
serangga yang terbang pada malam hari, dimana gejalanya muncul keesokan harinya
berupa eritema yang kemudian dapat menjadi vesikel atau bahkan nekrosis.6
3. Dermatitis Kontak Iritan Kronis (DKI Kumulatif)
Juga disebut dermatitis kontak iritan kumulatif. Disebabkan oleh iritan lemah
(seperti air, sabun, detergen, dll) dengan pajanan yang berulang-ulang, biasanya lebih
sering terkena pada tangan.1,6,7 Kelainan kulit baru muncul setelah beberapa hari, minggu,
bulan, bahkan tahun. Sehingga waktu dan rentetan pajanan merupakan faktor yang paling
penting. Dermatitis kontak iritan kronis ini merupakan dermatitis kontak iritan yang
paling sering ditemukan. Gejala berupa kulit kering, eritema, skuama, dan lambat laun
akan menjadi hiperkertosis dan dapat terbentuk fisura jika kontak terus berlangsung.1,6

Gambar 3 : DKI kronis akibat efek korosif dari semen Dikutip dari
kepustakaan [7]

Distirbusi penyakit ini biasanya pada tangan. Pada dermatitis kontak iritan
kumulatif, biasanya dimulai dari sela jari tangan dan kemudian menyebar ke bagian
dorsal dan telapak tangan. Pada ibu rumah tangga, biasanya dimulai dari ujung jari
(pulpitis).7 DKI kumulatif sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu lebih

22
banyak ditemukan pada tangan dibandingkan dengan bagian lain dari tubuh (contohnya:
tukang cuci, kuli bangunan, montir bengkel, juru masak, tukang kebun, penata rambut).6

4. Reaksi Iritan
Secara klinis menunjukkan reaksi akut monomorfik yang dapat berupa skuama,
eritema, vesikel, pustul, serta erosi, dan biasanya terlokalisasi di dorsum dari tangan dan
jari. Biasanya hal ini terjadi pada orang yang terpajan dengan pekerjaan basah. Reaksi
iritasi dapat sembuh, menimbulkan penebalan kulit atau dapat menjadi DKI kumulatif.1,6,7

Gambar 4 : Reaksi Iritan. Dikutip dari kepustakaan [20]

5. Reaksi Traumatik (DKI Traumatik)


Reaksi traumatik dapat terbentuk setelah tauma akut pada kulit seperti panas atau
laserasi. Biasanya terjadi pada tangan dan penyembuhan sekitar 6 minggu atau lebih
lama.1,6 Pada proses penyembuhan, akan terjadi eritema, skuama, papul dan vesikel.
Secara klinik gejala mirip dengan dermatitis numular.1,2

6. Dermatitis Kontak Iritan Noneritematous


Juga disebut reaksi suberitematous. Pada tingkat awal dari iritasi kulit, kerusakan
kulit terjadi tanpa adanya inflamasi, namun perubahan kulit terlihat secara histologi.1,2
Gejala umum yang dirasakan penderita adalah rasa terbakar, gatal, atau rasa tersengat.
Iritasi suberitematous ini dihubungkan dengan penggunaan produk dengan jumlah
surfaktan yang tinggi.1 Penyakit ini ditandai dengan perubahan sawar stratum korneum
tanpa tanda klinis (DKI subklinis).6

23
7. Dermatitis Kontak Iritan Subyektif (Sensory ICD)
Kelainan kulit tidak terlihat, namun penderita mengeluh gatal, rasa tersengat, rasa
terbakar, beberapa menit setelah terpajan dengan iritan. Biasanya terjadi di daerah wajah,
kepala dan leher. Asam laktat biasanya menjadi iritan yang paling sering menyebabkan
penyakit ini.1,2,6

8. Dermatitis Kontak Iritan Gesekan (Friction ICD)


Terjadi iritasi mekanis yang merupakan hasil dari mikrotrauma atau gesekan yang
berulang.1,2 DKI Gesekan berkembang dari respon pada gesekan yang lemah, dimana
secara klinis dapat berupa eritema, skuama, fisura, dan gatal pada daerah yang terkena
gesekan.2 DKI Gesekan dapat hanya mengenai telapak tangan dan seringkali terlihat
menyerupai psoriasis dengan plakat merah menebal dan bersisik, tetapi tidak gatal.
Secara klinis, DKI Gesekan dapat hanya mengenai pinggiran-pinggiran dan ujung jemari
tergantung oleh tekanan mekanik yang terjadi.9

Gambar 5 : DKI Gesekan. Dikutip dari kepustakaan [9]

9. Dermatitis Kontak Iritan Akneiform


Disebut juga reaksi pustular atau reaksi akneiform. Biasanya dilihat setelah
pajanan okupasional, seperti oli, metal, halogen, serta setelah penggunaan beberapa
kosmetik. Reaksi ini memiliki lesi pustular yang steril dan transien, dan dapat
berkembang beberapa hari setelah pajanan. Tipe ini dapat dilihat pada pasien dermatitis
atopy maupun pasien dermatitis seboroik.1,2

24
Gambar 6: DKI Akneiform. Dikutip dari
kepustakaan [21]

10. Dermatitis Asteatotik


Biasanya terjadi pada pasien-pasien usia lanjut yang sering mandi tanpa
menggunakan pelembab pada kulit. Gatal yang hebat, kulit kering, dan skuama
ikhtiosiform merupakan gambaran klinik dari reaksi ini.1,2

Gambar 7: DKI Asteatotik. Dikutip dari


kepustakaan [22]

VI. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan dari dermatitis kontak iritan dapat dilakukan dengan melakukan dengan
memproteksi atau menghindakan kulit dari bahan iritan. Selain itu, prinsip pengobatan penyakit
ini adalah dengan menghindari bahan iritan, melakukan proteksi (seperti penggunaan sarung
tangan), dan melakukan substitusi dalam hal ini, mengganti bahan-bahan iritan dengan bahan
lain.1,4,5,6,9,16

25
Selain itu, beberapa strategi pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita dermatitis
kontak iritan adalah sebagai berikut:

1. Kompres dingin dengan Burrow’s solution


Kompres dingin dilakukan untuk mengurangi pembentukan vesikel dan membantu
mengurangi pertumbuhan bakteri.5,17 Kompres ini diganti setiap 2-3 jam.5
2. Glukokortikoid topikal
Efek topical dari glukokortikoid pada penderita DKI akut masih kontrofersional karena efek
yang ditimbulkan, namun pada penggunaan yang lama dari corticosteroid dapat
menimbulkan kerusakan kulit pada stratum korneum.17 Pada pengobatan untuk DKI akut
yang berat, mungkin dianjurkan pemberian prednison pada 2 minggu pertama, 60 mg dosis
inisial, dan di tappering 10mg.7
3. Antibiotik dan antihistamin
Ketika pertahanan kulit rusak, hal tersebut berpotensial untuk terjadinya infeksi sekunder
oleh bakteri. Perubahan pH kulit dan mekanisme antimikroba yang telah dimiliki kulit,
mungkin memiliki peranan yang penting dalam evolusi, persisten, dan resolusi dari
dermatitis akibat iritan, tapi hal ini masih dipelajari. Secara klinis, infeksi diobati dengan
menggunakan antibiotik oral untuk mencegah perkembangan selulit dan untuk mempercepat
penyembuhan. Secara bersamaan, glukokortikoid topikal, emolien, dan antiseptik juga
digunakan. Sedangkan antihistamin mungkin dapat mengurangi pruritus yang disebabkan
oleh dermatitis akibat iritan. Terdapat percobaan klinis secara acak mengenai efisiensi
antihistamin untuk dermatitis kontak iritan, dan secara klinis antihistamin biasanya
diresepkan untuk mengobati beberapa gejala simptomatis.5
4. Anastesi dan Garam Srontium (Iritasi sensoris)
Lidokain, prokain, dan beberapa anastesi lokal yang lain berguna untuk menurunkan sensasi
terbakar dan rasa gatal pada kulit yang dihubungkan dengan dermatitis iritan oleh karena
penekanan nosiseptor, dan mungkin dapat menjadi pengobatan yang potensial untuk
dermatitis kontak iritan.5 Garam strontium juga dilaporkan dapat menekan depolarisasi
neural pada hewan, dan setelah dilakuan studi, garam ini berpotensi dalam mengurangi
sensasi iritasi yang dihubungkan dengan DKI.5
5. Kationik Surfaktan

26
Surfaktan kationik benzalklonium klorida yang iritatif dapat meringankan gejala dalam
penatalaksanaan iritasi akibat anion kimia.5
6. Emolien
Pelembab yang digunakan 3-4 kali sehari adalah tatalaksana yang sangat berguna.
Menggunakan emolien ketika kulit masih lembab dapat meningkatkan efek emolien.
Emolien dengan perbandingan lipofilik : hidrofilik yang tinggi diduga paling efektif karena
dapat menghidrasi kulit lebih baik.5
7. Imunosupresi Oral
Pada penatalaksanaan iritasi akut yang berat, glukokortikoid kerja singkat seperti
prednisolon, dapat membantu mengurangi respon inflamasi jika dikombinasikan dengan
kortikosteroid topikal dan emolien. Tetapi, tidak boleh digunakan untuk waktu yang lama
karena efek sampingnya. Oleh karena itu, pada penyakit kronik, imunosupresan yang lain
mungkin lebih berguna. Obat yang sering digunakan adalah siklosporin oral dan
azadtrioprim.5
8. Fototerapi dan Radioterapi Superfisial
Fototerapi telah berhasil digunakan untuk tatalaksana dermatitis kontak iritan, khususnya
pada tangan. Modalitas yang tersedia adalah fototerapi photochemotherapy ultraviolet A
(PUVA) dan ultraviolet B, dimana penyinaran dilakukan bersamaan dengan penggunaan
fotosensitizer (soralen oral atau topical). Sedangkan radioterapi superfisial dengan sinar
Grentz juga dapat digunakan untuk menangani dermatitis pada tangan yang kronis.
Penalataksanaan ini jarang digunakan pada praktek terbaru, hal ini mungkin disebabkan oleh
ketakutan terhadap kanker karena radioterapi.5

VII. PROGNOSIS

Prognosisnya kurang baik jika bahan iritan penyebab dermatitis tersebut tidak dapat
disingkirkan dengan sempurna. Keadaan ini sering terjadi pada DKI kronis yang penyebabnya
multifaktor, juga pada penderita atopi.1,6

27
KEPANITERAAN KLINIK

STATUS ILMY PENYAKIT KULIT KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

Hari/ Tanggal ujian/ Presentasi Kasus: Rabu, 16 Mei 2019

SMF KULIT KELAMIN

RUMAH SAKIT: BHAYANGKARA H.S SAMSOERI MERTOJOSO

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. RA
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 22 tahun
No RM : 420810
B. ANAMNESA

Anamnesa dilakukan pada tanggal 15 Mei 2018, di poliklinik Kulit RS


Bhayangkara H.S Samsoeri Mertojoso secara autoanamnesa.

Keluhan utama :

Gatal di kedua tangan sejak 1 minggu SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang

Seorang perempuan berusia 22 tahun datang ke poliklinik RS Bhayangkara H.S


Samsoeri Mertojoso diantar oleh ibunya dengan keluhan gatal pada kedua tangannya,
keluhan sudah dirasakan sejak 1 minggu SMRS. Gatal dirasakan terus menerus di kedua
tangannya, kemudian muncul adanya bintik bintik merah yang dirasakan teraba kasar. Os
mengatakan di bagian tangan yang gatal tidak dirasakan nyeri dan tidak ada rasa seperti
terbakar. Saat pertama kali gatal tersebut muncul pasien tidak ada riwayat digigit oleh
binatang (serangga). Sehari-harinya pasien biasa melakukan kegiatan rumah tangga
berupa mencuci pakaian dengan menggunakan detergen,. Pada saat pasien merasakan

28
gatal yang semakin sering, kemudian pasien menggunakan sarung tangan yang berbahan
karet ketika melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya.

Riwayat penyakit Dahulu

Pasien belum pernah menderita keluhan seperti ini sebelumnya. Tidak ada riwayat
alergi terhadap makanan dan obat-obatan

Riwayat penyakit Keluarga

Tidak ada anggota Keluarga pasien yang menderita keluhan yang sama seperti
pasien. Riwayat penyakit asma, alergi makanan,obat-obatan dan debu disangkal.

C. Status Generalis
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
Tensi : tidak dilakukan
Berat badan :49 kg
Tinggi badan : 160 cm

Pemeriksaan Fisik
Kepala : Normocephal
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Telinga : tidak didapatkan otore, tidak didapatkan rhinore , tonsil
T1-T1
Mulut/gigi : tidak didapatkan karies dentis, atau tanda infeksi gusi

D. Status Dermatologis
a. Lokasi / region : regio ektremitas superior dextra dan sinistra (tangan kanan
dan kiri)
b. Efloresensi : tampak macula eritematous dan pustulae

29
E. Pemeriksaan penunjang (usulan)
Patch test , pemeriksaan IgE
F. Resume
Seorang perempuan berusia 22 tahun , datang ke poliklinik kulit dengan keluhan gatal-
gatal dan adanya bercak merah di tangan kanan dan kiri sejak 1 minggu yang lalu. Sehari
harinya pasien sering mencuci dengan menggunakan detergen. Pada pemeriksaan fisik
status dermatologis tampak macula eritematous dan papule pada region palmar,dorsum
manus, dan digiti dextra dan sinistra.
G. Diagnosa banding
Dermatitis kontak iritan
Dyshidrotic eczema
Dermatitis atopic
H. Diagnosis kerja :
Dermatitis kontak alergi

30
i. Penatalaksanaan
Non medika mentosa :
1. Menerangkan kepada pasien untuk menghindari penyebab timbulnya alergi (detergen)
2. Menerangkan bila setelah mencuci dengan menggunakan detergen tangan harus di
bilas dengan baik dengan air mengalir.
3. Memberitahukan kepada pasien bila ingin melakukan pemeriksaan uji tempel maka
dermatitis harus sudah tenang(sembuh), dilakukan sekurang-kurangnya satu sampai
dengan tiga minggu setelah pemakaian kortikosteroid.
4. Menggunakan pelindung yang bersifat hipoalergik

Medikamentosa

1. Topical : hidrokortison 2,5% cream


2. Sistemik ‘
Loratadine 10 mg (1x1)
Predsnisone 30 mg (1x1)

j. Prognosis :
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam

31
Daftar Pustaka

1. Bourke J, Coulson I, English J. Guidelines for The Management of Contact Dermatitis: An


Update. British Journal of Dermatology. 2009; 160: p. 946-954.

2. Buxton PK. ABC of Dermatology. 4th ed. London: BMJ; 2003.

3. Martins LE, Reis VM. Immunopathology of Allergic Contact Dermatitis. An Bras


Dermatol. 2011; 86(3): p. 419-33.

4. Pigatto P, Martelli A, Fiocchi A. Contact Dermatitis in Children. Italian Journal of


Pediatrics. 2010; 36(2).

5. Kaplan DH, Igyarto BZ, Gaspari AA. Early Immune Events in The Induction of Allergic
Contact Dermatitis. Review. USA: University of Minniesota, Department of Dermatology;
2012.

6. James WD, Elston DM, Berger TG. Andrews Disease of The Skin Clinical Dermatology.
11th ed. USA: Elsivier; 2011.

7. Lehtimaki S. Allergic Skin Disease. Dissertation. Finlandia: University of Helnsinky,


Department of Dermatology, Allergology and Venereology; 2012.

8. Nijhawan RI, Matiz C, Jacob SE. Contact Dermatitis: From Basic to Allergodromes.
Pediatric Annals. 2008; 38(2).

9. Spiewak R. Patch Testing for Contact Allergy and Allergic Contact Dermatitis. The Open
Allergy Journal. 2008; 1: p. 42-51.

10. Cohen DE, Jacob SE. Allergic Contact Dermatitis. In Wolff K, Goldsmith L, Katz S,
Gilchrest B, Paller A, Leffell D. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 7th ed.
USA: The McGraw-Hill Companies; 2008. p. 135-146.

32
11. Sasseville D. Occupational Contact Dermatitis. Allergy, Asthma, and Clinical
Immunology. 2008; 4(2): p. 59-65.

12. Bagian SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 2013. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin.
2nd Ed. Surabaya: Airlangga University Press
13. Hogan D J. Contact Dermatitis, Irritant. [Online] 2009 [cited 2011 January 8]:[4 screens].
Available from: URL: http://emedicine.medscape/ article/1049352-overview.htm
14. Anonim. Contact Dermatitis. [Online] 2009 [cited 2011 January 9]:[1 screen]. Available
from: URL: http://nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article /000869..htm
15. Ale SI and Howard IM, editors. Irritant Contact Dermatitis Versus Allergic Contact
Dermatitis. In: Chew AL and Howard IM, editors. Irritant Dermatitis. Germany: Springer-
Verlag Berlin Heidelberg; 2006.p.11-6
16. Bourke J, Coulson I, and English J. Guidelines For The Managemen Of Contact Dermatitis:
An Update. London: British Journal of Dermatology; 2008.p.946-54
17. Loffer H and Isaak E, editors. Primary Prevention Of Irritant Contact Dermatitis. In: : Chew
AL and Howard IM, editors. Irritant Dermatitis. Germany: Springer-Verlag Berlin
Heidelberg; 2006.p.401-6
18. Ngan Vanessa. Irritant Contact Dermatitis. [Online] 2010 [cited 2011 January 9]:[1 screen].
Available from: URL: http://darmnetnz.org/dermatitis/contact-irritant.htm
19. Budimulja, Unandar. Dermatofitosis. In: Djuanda A, Mochtar H, Aisah S, editors. Ilmu
Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.p.92-
3.
20. Anonim. What Is Causing Skin Rashes. [online] 2009 [cited 2011 January 18]: [1 screen].
Available from: URL: http://bhealthy4life.com/?p=1.htm
21. Desar IME, A Phase I Dose Escalation Study To Evaluate Safety And Tolerability Of
Sorafenib Combined With Sirolimus In Patient With Advance Solid Cancer. [online] 2010
[cited 2011 January 18]:[3 screens]. Available from: URL:
http://nature.com/bjc/journal/v103/n11/fig_tab/6605777f2.html
22. Anderson CK, Asteatotil Eczema. [online] 2009 [cited 2011 January 18]:[1 screen].
Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/ 1124528-overview.htm

33
34

You might also like