You are on page 1of 86

https://es.scribd.

com/doc/133372751/Kehamilan-Dengan-Gangguan-Paru

ASKEB LANJUT I
FETO MATERNAL
KEHAMILAN DENGAN PENYAKIT PARU

Oleh:
– Ai Nur Zannah
NIM: 1202440004
– Rima Kartika Sari
NIM: 1202440019

D IV Kebidanan Klinik Jember

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEBIDANANPROGRAM STUDI D IVKEBIDANAN
KLINIK
2012-2013

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan bahan ajar yang
berjudul “Kehamilan dengan Gangguan Paru” untuk memenuhi tugas
Askeb Lanjut I (Fetomaternal).

Kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Yuniasih, SsiT, M.Kes


selaku dosen pembimbing mata kuliah Askeb Lanjut I (Fetomaternal)
serta teman-teman yang turut membantu dalam menyelesaikan bahan
ajar ini.

Penulis sadar bahwa bahan ajar ini masih jauh dari sempurna.
Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan
untuk kesempurnaan tugas ini.

Akhir kata semoga bahan ajar ini bermanfaat bagi kita


khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Jember, Oktober 2012

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
KERANGKA KASAR TEORI:
v
KEHAMILAN DENGAN PENYAKIT PARU
A. Pendahuluan 13
B. Fisiologi Paru 13
C. Kehamilan dengan Penyakit Paru 15
1. Tuberkulosis Paru 16
 Definisi 16
 Etiologi 16
 Patofisiologi 17/39
 Manifestasi Klinis 18
 Klasifikasi 20
 Penanganan 20/38
 Komplikasi 23
 Asuhan 24
2. Asma 40
 Definisi 40
 Etiologi 40
 Patofisiologi 41
 Manifestasi Klinis 43
 Klasifikasi 43
 Penanganan 44/47
 Komplikasi 45
 Asuhan 54
 Skema penatalaksanaan 58
3. Pneumonia 61
 Definisi 61
 Etiologi 61

iii
 Manifestasi Klinis 62
 Patofisiologi 64
 Komplikasi 64
 Penanganan 66
 Asuhan 68
4. Tromboemboli 74
5. Embolisme Paru 77
6. Sarkoidosis 81
7. Fibrosis Kistik 84
8. Keracunan Karbon Monoksida 88
9. Flu pada Ibu Hamil 89

iv
Fisiologi Paru

- Definisi - Etiologi
TBC - Patofisiologi - Komplikasi
Paru - Penanganan -Asuhan
- Manifestasi Klinik

- Definisi - Etiologi
- Patofisiologi - Komplikasi
Asma
- Penanganan -Asuhan
- Manifestasi Klinik

- Definisi - Etiologi
- Patofisiologi - Komplikasi
Pneumonia
- Penanganan -Asuhan
- Manifestasi Klinik

- Definisi - Etiologi
Trombo
Embolus/ - Patofisiologi - Komplikasi
kehamilan dengan Emboli - Penanganan -Asuhan
penyakit paru Paru
- Manifestasi Klinik

- Definisi - Etiologi
- Patofisiologi - Komplikasi
Sarkoidosis
- Penanganan -Asuhan
- Manifestasi Klinik

- Definisi - Etiologi
Fibrosis - Patofisiologi - Komplikasi
Kistik - Penanganan -Asuhan
- Manifestasi Klinik

- Definisi - Etiologi
Keracunan - Patofisiologi - Komplikasi
karbon
Monoksida - Penanganan -Asuhan
- Manifestasi Klinik

- Definisi - Etiologi
- Patofisiologi - Komplikasi
Flu
- Penanganan -Asuhan
- Manifestasi Klinik

v
https://es.scribd.com/doc/133372751/Kehamilan-Dengan-Gangguan-Paru

KEHAMILAN DENGAN PENYAKIT PARU

A. Pendahuluan
Selama kehamilan, terjadi sejumlah adaptasi sistem tubuh salah satunya
pernafasan dan fungsi paru. Secara fisiologis, perubahan ini diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan oksigen ibu dan untuk tumbuh kembang janin dalam
uterus. Namun, bukan karena kehamilan terjadi gangguan fungsi paru, tetapi
perubahan fungsi paru dapat memperparah efek patofisiologis berbagai
penyakit paru akut dan kronik yang dialami wanita selama hamil. Dengan
perawatan dan pengobatan yang teratur, umumnya kehamilan dapat berjalan
dengan lancar,walaupun risiko munculnya sesuatu yang tidak diinginkan dapat
saja terjadi.

B. Fisiologi Paru
Fungsi utama paru adalah:
1. Pertukaran CO2-O2 sehingga PO2 tetap diatas 60 mmHg
2. Mempertahankan keseimbangan asam-basa darah, melalui buffer kimiawi
sehingga pH darah relatif tetap
3. Bertindak sebagai alat untuk mengeluarkan air, yang berjumlah sekitar 900
cc/ 24 jam

Akibat kebutuhan O2 ibu hamil meningkat khususnya sejak pertengahan


kehamilan, terjadi perubahan asam-basa darah:
1. Kebutuhan O2 ibu hamil sekitar 20-40 ml/ menit
2. PO2 sedikit menurun
3. PCO2 rata-rata 28 mmHg
4. pH plasma alkalis 7,45
5. Buffer bicarbonas menurun menjadi 20 Meq/ Liter

13
Dalam keadaan hamil fungsi paru dan satuan nilai normal paru
mengalami beberapa perubahan, yaitu:
Satuan Nilai Arti klinis
Istilah Definisi
Tidak hamil Hamil pada hamil
Jumlah volume udara
yang dapat dikeluarkan
Meningkat
Kapasitas oleh paru pada
3200 ml sebesar 100-
vital ekspirasi maksimal
200 ml
sesudah inspirasi
maksimal
Karena
Meningkat
tuntutan
Kapasitas Jumlah volume udara sekitar 300 ml
2500 ml metabolik
inspirasi saat menghirup nafas pada akhir
kedua ibu dan
kehamilan
janin
Menurun dari
Jumlah volume udara
Kapasitas total 1300 ml
saat menghembuskan 1300 ml
ekspirasi menjadi 1100
nafas
ml
Menurun
Memperbaiki
Jumlah udara yang menjadi sekitar
1500 ml pengalihan
Volume masih tetap dalam paru 1200 mlatau
atau gas yang dari
residual setelah dikeluarkan Menurun
1000 ml alveoli
maksimal sekitar 200-800
menuju darah
ml
Elevasi
Kapasitas Jumlah kapasitas diafragama
Berkurang
fungsional ekspirasi dan volume 1700 ml karena
sekitar 500 ml
residual residual tekanan intra
abdomen
Jumlah volume udara
Volume 600 ml,
yang bergerak pada 450 ml
Tidal (Vt) bertambah 40%
satu pernafasan normal
RR Jumlah Pernafasan 16x/ menit Tidak berubah
10,5 L atau
Volume udara yang
9,6 L Bertambahnya
Ventilasi bergerak per menit; 7,5 L atau
(bertambah penggunaan
permenit hasil dari perkalian 7,2 L
40% karena Vt- O2 untuk janin
RRxVt
nya bertambah)

14
Gambar 1: Perubahan ventilasi menit, pengambilan oksigen, metabolisme basal,
dan setara dengan ventilasi untuk oksigen pada interval bulanan selama
kehamilan.(Dari Prowse CM, Gaensler EA:.. Perubahan pernapasan dan asam
basa selama kehamilan Anestesiologi 26:381, 1965)
Pada ibu hamil sering terjadi dispnea fisiologis yaitu merasakan
perlunya bernafas yang seolah-olah kehabisan nafas. Dilaporkan hal ini terjadi
pada separuh ibu di trimester kedua dan tiga ibu mengeluhkan di usia 31
minggu. Mekanismenya belum diketahui namun diperkirakan karena:
1. Dorongan paru oleh uterus yang makin membesar
2. Menurunnya PCO2
3. Kompensasi hiperventilasi paru

C. Kehamilan dengan Penyakit Paru


Pada umumnya, penyakit paru tidak mempengaruhi kehamilan dan
persalinan serta nifas, kecuali jika penyakitnya tidak terkontrol, berat dan luas
yang disertai sesak napas dan hipoksia.Gangguan fungsi paru yang cukup
berat akan mengakibatkan gangguan pada pertumbuhan janin.
Penyakit paru-paru yang harus diperhatikan adalah TBC paru-paru
pada fase aktif, asma yang berat, radang paru-paru/ pneumonia, sarkoidosis,
emboli paru, dan kistik fibrosis paru.

15
1. Tuberkulosis Paru
a. Definisi
Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang adalah TBC)
adalahpenyakit infeksi menular yang disebabkan oleh basil
Mycobacterium tuberculosis.Penyakit ini biasanya menyerang paru-
paru, walaupun pada sepertiga kasus, organ-organ lain ikut terlibat.
TBC paru merupakan penyakit rakyat yang sering dijumpai dan
pada kehamilan tidak banyak memberikan pengaruh.Ada beberapa
keluhan yang sering ditemukan yaitu batuk-batuk yang lama, badan
terasa lemah, nafsu makan berkurang, BB menurun, kadang-kadang
ada batuk darah, dan sakit di dada, bahkan banyak penderita tidak
mengeluh sama sekali.
TBC paru sangat jarang diturunkan dari ibu kepada anaknya.
Yang harus diperhatikan adalah jika bayi telah lahir, ibu yang
mengidap TBC paru yang aktif perlu diisolasi. Bayinya harus segera
diberi vaksin BCG dan dipisahkan selama 6-8 minggu. Setelah hasil
test mantoux positif (test kekebalan terhadap TBC), bayi boleh
didekatkan kepada ibunya. Hal ini untuk menghindari tertularnya
penyakit setelah melahirkan. Bayi yang baru dilahirkan sangat mudah
tertular oleh penyakit.
b. Etiologi
Penyebab penyakit ini adalah bakteri kompleks Mycobacterium
tuberculosistipe humanus. Mycobacterium tuberculosis termasuk
dalam famili Mycobacteriaceaeyang mempunyai berbagai genus, satu
di antaranya adalah Mycobacteriumdan termasuk dalam ordo
Actinomycetales. Kompleks Mycobacterium tuberculosis meliputi M.
tuberculosis, M. bovis, M. africanum, M. microti, dan M. canettii.Dari
beberapa kompleks tersebut, M. tuberculosistipe humanis merupakan
jenis yang paling berbahaya bagi manusia dan paling sering dijumpai.
M. Ttuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang 5µ dan
lebar 3µ, tidak membentuk spora, dan termasuk bakteri aerob. Sifat ini
menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi

16
kandungan oksigennya, dalam hal ini tekanan bagian apikal paru-paru
lebih tinggi dari pada bagian lainnya, sehingga bagian apikal ini
merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.Basil ini
mempunyai dinding sel lipoid sehingga tahan asam, sifat ini
dimanfaatkan oleh Robert Koch untuk mewarnai secara khusus dan
hasilnya warna tidak dapat dihilangkan dengan asam. Oleh karena itu,
kuman ini disebut pula Basil Tahan Asam (BTA). Beberapa
mikroorganisme lain yang juga memiliki sifat tahan asam, yaitu
spesies Nocardia, Rhodococcus, Legionella micdadei, dan protozoa
Isospora dan Cryptosporidium.
Pada dinding sel mycobacteria, lemak berhubungan dengan
arabinogalaktan dan peptidoglikan di bawahnya. Struktur ini
menurunkan permeabilitas dinding sel, sehingga mengurangi
efektivitas dari antibiotik. Lipoarabinomannan, suatu molekul lain
dalam dinding sel mycobacteria, berperan dalam interaksi antara inang
dan patogen, menjadikan M. tuberculosis dapat bertahan hidup di
dalam makrofag.Kuman ini tahan hidup pada udara kering maupun
dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es).
Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat
dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan
tuberkulosis aktif kembali.
Basil TB sangat rentan terhadap sinar matahari, sehingga dalam
beberapa menit saja akan mati. Ternyata kerentanan ini terutama
terhadap gelombang cahaya ultraviolet. Basil TB juga rentan terhadap
panas-basah, sehingga dalam 2 menit saja basil TB yang berada dalam
lingkungan basah sudah akan mati bila terkena air bersuhu 1000 C.
basil TB juga akan terbunuh dalam beberapa menit bila terkena
alkohol 70%, atau lisol 5%.
c. Patofisiologi
Tuberkulosis tergolong airborne disease yakni penularan melalui
droplet nuclei yang dikeluarkan ke udara oleh individu terinfeksi
dalam fase aktif. Setiapkali penderita ini batuk dapat mengeluarkan

17
3000 droplet nuclei. Penularan umumnya terjadi di dalam ruangan
dimana droplet nuclei dapat tinggal di udara dalam waktu lebih lama.
Di bawah sinar matahari langsung basil tuberkel mati dengan cepat
tetapi dalam ruang yang gelap lembab dapat bertahan sampai beberapa
jam. Dua faktor penentu keberhasilan pemaparan Tuberkulosis pada
individu baru yakni konsentrasi droplet nuclei dalam udara dan
panjang waktu individu bernapas dalam udara yang terkontaminasi
tersebut di samping daya tahan tubuh yang bersangkutan.
Di samping penularan melalui saluran pernapasan (paling
sering), M. tuberculosis juga dapat masuk ke dalam tubuh melalui
saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit (lebih jarang).
Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi penting saluran
pernapasan. Basil mikrobakterium tersebut masuk kedalam jaringan
paru melalui saluran napas (droplet infection) sampai alveoli, maka
terjadilah infeksi primer (ghon) selanjutnya menyebar kekelenjar
getah bening setempat dan terbentuklah primer kompleks (ranke).
keduanya dinamakan tuberkulosis primer, yang dalam perjalanannya
sebagian besar akan mengalami penyembuhan. Tuberkulosis paru
primer, peradangan terjadi sebelum tubuh mempunyai kekebalan
spesifik terhadap basil mikobakterium. Tuberkulosis yang kebanyakan
didapatkan pad usia 1-3 tahun. Sedangkan yang disebut tuberkulosis
post primer (reinfection) adalah peradangan jaringan paru oleh karena
terjadi penularan ulang yang mana di dalam tubuh terbentuk
kekebalan spesifik terhadap basil tersebut.
(Patofisiologi bagan terlampir.)
d. Manifestasi Klinik
Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan,
gejala respiratorik dan gejala sistemik:
a) Gejala respiratorik, meliputi:
 Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan
yang paling sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non

18
produktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila
sudah ada kerusakan jaringan.
 Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin
tampak berupa garis atau bercak-bercak darak, gumpalan darah
atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darak
terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk
darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang
pecah.
 Sesak napas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah
luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura,
pneumothorax, anemia dan lain-lain.
 Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang
ringan. Gejala ini timbul apabila sistem persarafan di pleura
terkena.
b) Gejala sistemik, meliputi:
 Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul
pada sore dan malam hari mirip demam influenza, hilang timbul
dan makin lama makin panjang serangannya sedang masa bebas
serangan makin pendek.
 Gejala sistemik lain
Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia,
penurunan berat badan serta malaise. Timbulnya gejala biasanya
gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan tetapi penampilan
akut dengan batuk, panas, sesak napas walaupun jarang dapat
juga timbul menyerupai gejala pneumonia.

19
e. Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena, terdiri dari:
a) Tuberkulosisparu. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan(parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput
paru) dan kelenjar pada hilus.
b) Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput
jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit, terdiri dari:
a) TBC paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan
tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan.
Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran
kerusakan paru yang luas dan atau keadaan umum pasien buruk.
b) TBC ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu:
 TBC ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis
eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi,
dan kelenjar adrenal.
 TBC ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier,
perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang
belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.
f. Penanganan
Penyakit ini akan sembuh dengan baik bila pengobatan yang
diberikan dipatuhi oleh penderita, berikan penjelasan dan pendidikan
kepada pasien bahwa penyakitnya bersifat kronik sehingga diperlukan
pengobatan yang lama dan teratur. Ajarkan untuk menutup mulut dan
hidungnya bila batuk, bersin dan tertawa.
Sebagian besar obat anti TBC aman untuk wanita hamil, kecuali
streptomisin yang bersifat ototoksik bagi janin dan harus diganti
dengan etambutol, pasien hamil dengan TBC Paru yang tidak aktif
tidak perlu mendapat pengobatan. Sedangkan pada yang aktif

20
dianjurkan untuk menggunakan dua macam obat atau lebih untuk
mencegah timbulnya resistensi kuman, dan isoniazid (INH) selalu
diikutkan karena paling aman untuk kehamilan, efektifitasnya tinggi
dan harganya lebih murah.
a) Penanganan Awal
 Terapi yang diberikan untuk perawatan wanita hamil dengan
TBC ditetapkan oleh dokter
 Wanita hamil dengan infeksi TBC aktif dianjurkan untuk
istirahat total dan menerima nutrisi dan hidrasi yang adekuat
b) Penanganan Lanjut
Untuk pasien tidak hamil yang positif tuberkulin dan berusia
kurang dari 35 tahun serta tidak memperlihatkan penyakit aktif,
diberikan isoniazid 300 mg per hari selama 1 tahun. Isoniazid
adalah obat kategori C yang dianggap aman bagi wanita hamil.
Namun, pada wanita hamil yang negatif HIV, sebagian besar
penulis menganjurkan bahwa terapi ditunda sampai setelah
melahirkan. Karena mungkin terjadi peningkatan hepatitis akibat
isoniazid pada wanita pascapartum, sebagian penulis menganjurkan
bahwa terapi ditunda sampai 3-6 bulan pascapartum.
Karena munculnya resistensi obat, Centers for Disease
Control (1993) sekarang menganjurkan regimen empat obat untuk
terapi empiris awal pada pasien tidak hamil dengan tuberculosis
simptomatik. Obat-obat tersebut adalah isonoazid, rifampisin, dan
pirazinamid disertai etambutol atau streptomisin yang diberikan
sampai pemeriksaan sensitivitas selesai. Sebagian besar obat
tuberkulostatik lini-pertama tampaknya tidak mengganggu janin.
Salah satu pengecualiannya adalah streptomisin, yang dapat
mengakibatkan tuli kongenital. Selain itu, keamanan pirazinamid
yang diberikan pada kehamilan muda belum diketahui pasti.
Rekomendasi Centre for Disease Control (1993) adalah
sebagai berikut:

21
 Isoniazid 5mg/kg/hari, maksimal 300 mg/hari bersama
piridoksin 50 mg/hari
Obat ini mungkin menimbulkan komplikasi pada hati
sehingga timbul gejala-gejala hepatitis berupa nafsu makan
berkurang, mual dan muntah. Oleh karena itu perlu diperiksa
faal hati sewaktu-waktu dan bila ada perubahan untuk sementara
obat harus segera dihentikan.
 Rifampisin 10 mg/kg/hari, maksimal 600 mg/hari
Obat ini baik sekali untuk pengobatan TBC Paru tetapi
memberikan efek teratogenik pada binatang poercobaan
sehingga sebaiknya tidak diberikan pada trimester I kehamilan.
 Etambutol 5-25 mg/kg/hari, maksimal 2,5 gram/hari (biasanya
25 mg/kg/hari selama 6 minggu kemudian diturunkan menjadi
15 mg/kg/hari).
Obat ini dapat menimbulkan komplikasi retrobulber
neuritis, akan tetapi efek samping dalam kehamilan sangat
sedikit dan pada janin belum ada.
 Streptomycin 1gr/hari.
Obat ini harus hati-hati digunakan dalam kehamilan,
jangan digunakan dalam kehamilan trimester I. Pengaruh obat
ini pada janin dapat menyebabkan tuli bawaan (ototoksik).
Disamping itu obat ini juga kurang menyenangkan pada
penderita karena harus disuntikan setiap hari.
Terapi diberikan minimum 9 bulan. Jika resisten terhadap
obat ini dapat dipertimbangkan pengobatan dengan
pyrazinamide. Selain itu pyrazinamide 50 mg/hari harus
diberikan untuk mencegah neuritis perifer yang disebabkan oleh
isoniazid
Terapi pada trimester pertama harus mempertimbangkan
tingkat keparahan penyakitnya. Pasien yang tidak sakit berat
dianjurkan untuk terapi dengan INH dan Etambutol saja hingga

22
selesai trimester I, kemudian mulai terapi 6 bulan penuh dengan
pirazinamid, rifampisin, dan INH.
Penanganan TBC selama persalinan, beberapa hal di
bawah ini dapat menjadi pertimbangan ketika melakukan asuhan
intrapartum diantaranya :
 Masker yang dipakai oleh pehadap penolong persalinan
kurang efektif dibandingkan jika masker dipakai oleh pasien.
 Droplet nuklei tidak menentu tetapi berada di udara dalam
waktu yang cukup lama.
g. Komplikasi
Tubekulosis selama kehamilan dapat menyebabkan infeksi pada
plasenta. Janin juga dapat terinfeksi, dan walaupun jarang,
tuberkulosiskongenital dapat mematikan. Insiden kelainan ini
mungkin meningkat karena adanya infeksi HIV (Pillay dan Jeena,
1999). Pada separuh kasus, infeksi ditularkan secara hematogen di
hati atau paru melalui vena umbilicalis. Pada separuh yang lain, bayi
terinfeksi akibat aspirasi sekresi yang terinfeksi saat pelahiran. Infeksi
neonatus kecil kemungkinannya terjadi apabila ibu dengan penyakit
aktif telah mendapat terapi sebelum melahirkan, atau apabila biakan
sputumnya negatif.
Berdasarkan Jana, dkk (1994) dalam obstetri William 2006,
melaporkan hasil 79 kehamilan di India dengan penyulit tuberkulosis
paru aktif, terjadi peningkatan insiden persalinan prematur dan berat
lahir rendah serta hambatan pertumbuhan janin dan enam kali lipat
angka kematian perinatal. Hal ini bisa diperburuk dengan tuberkulosis
yang menagalami keterlambatan diagnosis, tidak diterapi secara baik,
dan ada lesi lanjut pada paru.
Komplikasi lain TBC adalah Millier TBC, meningitis TBC, dan
TBC ginjal yang memungkinkan persalinan nantinya diperlukan out
let forceps.

23
h. Asuhan
a) Pengkajian
 Identitas
Nama, umur, kuman TBC menyerang semua umur, jenis
kelamin, tempat tinggal (alamat), pekerjaan, pendidikan dan
status ekonomi menengah kebawah dan satitasi kesehatan yang
kurang ditunjang dengan padatnya penduduk dan pernah punya
riwayat kontak dengan penderita TB paru yang lain.
 Keluhan
Keluhan seseorang penderita TB sangat bervariasi, mulai
dari sama sekali tidak ada keluhan sampai dengan adanya
keluhan-keluhan yang lengkap. Pada umumnya, keluhan-
keluhan ini dapat di bagi menjadi:
- Keluhan umum: Malaise, anorexia, mengurus, cepat lelah.
- Keluhan karena infeksi kronik: Panas badan yang tak tinggi
(subfebril) dan keringat malam
- Keluhan karena ada proses patologik di paru dan/atau pleura:
Batuk dengan atau tanpa dahak, batuk darah, sesak, dan nyeri
dada.
 Riwayat penyakit sekarang: Meliputi keluhan atau gangguan
yang sehubungan dengan penyakit yang di rasakan saat ini.
Dengan adanya sesak napas, batuk, nyeri dada, keringat malam,
nafsu makan menurun dan suhu badan meningkat mendorong
penderita untuk mencari pengobatan.
 Riwayat penyakit dahulu: Keadaan atau penyakit-penyakit
yang pernah diderita oleh penderita yang mungkin sehubungan
dengan tuberkulosis paru antara lain ISPA efusi pleura serta
tuberkulosis paru yang kembali aktif.
 Riwayat penyakit keluarga: Mencari diantara anggota
keluarga pada tuberkulosis paru yang menderita penyakit
tersebut sehingga sehingga diteruskan penularannya.

24
 Riwayat psikososial: Pada penderita yang status ekonominya
menengah ke bawah dan sanitasi kesehatan yang kurang
ditunjang dengan padatnya penduduk dan pernah punya riwayat
kontak dengan penderita tuberkulosis paru yang lain
(Hendrawan Nodesul, 1996).
 Pola fungsi kesehatan
- Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat: Pada klien
dengan TB paru biasanya tinggal didaerah yang berdesak-
desakan, kurang cahaya matahari, kurang ventilasi udara dan
tinggal dirumah yang sumpek (Hendrawan Nodesul, 1996)
- Pola nutrisi dan metabolik: Pada klien dengan TB paru
biasanya mengeluh anoreksia, nafsu makan menurun
(Marilyn. E. Doenges, 1999).
- Pola eliminasi: Klien TB paru tidak mengalami perubahan
atau kesulitan dalam miksi maupun defekasi
- Pola aktivitas dan latihan: Dengan adanya batuk, sesak
napas dan nyeri dada akan menganggu aktivitas (Marilyn. E.
Doegoes, 1999).
- Pola tidur dan istirahat: Dengan adanya sesak napas dan
nyeri dada pada penderita TB paru mengakibatkan
terganggunya kenyamanan tidur dan istirahat (Marilyn. E.
Doenges, 1999).
- Pola hubungan dan peran: Klien dengan TB paru akan
mengalami perasaan asolasi karena penyakit menular
- Pola sensori dan kognitif: Daya panca indera (penciuman,
perabaan, rasa, penglihatan, dan pendengaran) tidak ada
gangguan.
- Pola persepsi dan konsep diri: arena nyeri dan sesak napas
biasanya akan meningkatkan emosi dan rasa kawatir klien
tentang penyakitnya (Marilyn. E. Doenges, 1999).

25
- Pola reproduksi dan seksual: Pada penderita TB paru pada
pola reproduksi dan seksual akan berubah karena kelemahan
dan nyeri dada.
- Pola penanggulangan stress: Dengan adanya proses
pengobatan yang lama maka akan mengakibatkan stress pada
penderita yang bisa mengkibatkan penolakan terhadap
pengobatan (Hendrawan Nodesul, 1996).
- Pola tata nilai dan kepercayaan: Karena sesak napas, nyeri
dada dan batuk menyebabkan terganggunya aktifitas ibadah
klien
 Pemeriksaan Fisik
Pada orang dewasa, biasanya penyakit ini dimulai di
daerah paru atas, kanan atau kiri, yang disebut ‘fruh infiltrat’.
Pada auskultasi, hanya akan ditemukan ronki basah halus
sebagai satu-satunya kelainan pemeriksaan fisik. Bila proses
infiltratif ini makin meluas dan menebal, juga akan didapatkan
fremitus yang menguat, dengan redup pada perkusi, suara nafas
bronkeal, serta bronkopi yang menguat.
Bila sudah terjadi kavitas, akan ditemukan gejala-gejala
kavitas, berupa timpani pada perkusi yang disertai suara napas
amforis. Sebaliknya bila terjadi atelektasis, misalnya pada
‘destroyed lung’, suara napas setempat akan melemah sampai
hilang sama sekali. Ronki basah pada umumnya selalu akan
didapatkan, mengingat bahwa selalu pula akan terbentuk sekret
dan jaringan nekrotik. Makin banyak sekret itu berada, makin
kasarlah ronki yang didengar.
Berdasarkan sistem-sistem tubuh :
- Sistem integumen: Pada kulit terjadi sianosis, dingin dan
lembab, tugor kulit menurun.
- Sistem pernapasan: Pada sistem pernapasan pada saat
pemeriksaan fisik dijumpai :

26
o Inspeksi : Adanya tanda-tanda penarikan paru, diafragma,
pergerakan napasyang tertinggal, suara napas melemah
(Purnawan Junadi dkk, 1982).
o Palpasi : Fremitus suara meningkat (Alsogaff, 1995).
o Perkusi: Suara ketok redup. (Soeparman, 1998).
o Auskultasi : Suara napas brokial dengan atau tanpa ronki
basah, kasar dan yang nyaring (Purnawan. J. dkk, 1982.
Soeparman, 1998).
- Sistem pengindraan: Pada klien TB paru untuk pengindraan
tidak ada kelainan.
- Sistem kordiovaskuler: Adanya takipnea, takikardia, sianosis,
bunyi P2 yang mengeras (Soeparman, 1998).
- Sistem gastrointestinal: Adanya nafsu makan menurun,
anoreksia, berat badan turun (Soeparman, 1998).
- Sistem muskuloskeletal: Adanya keterbatasan aktivitas akibat
kelemahan, kurang tidur dan keadaan sehari- hari yang
kurang meyenangkan (Alsogaff, 1995)
- Sistem neurologi: Kesadaran penderita yaitu komposmentis
dengan GCS : 456
- Sistem genetalia: Biasanya klien tidak mengalami kelainan
pada genitalia
 Pemeriksaan Penunjang
- TesTuberkulin
Sebetulnya tes ini bertujuan untuk memeriksa
kemampuan reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV),
yang dianggap dapat mencerminkan potensi sistem imunitas
selular seseorang, khususnya terhadap basil TB. Pada
seseorang yang belum terinfeksi basil TB, sistem imunitas
selulernya belum terangsang untuk melawan basil TB.
Dengan demikian tes tuberkulin akan negatif. Sebaliknya bila
seseorang pernah terinfeksi basil TB, dalam keadaan normal
sistem ini sudah akan terangsang secara efektif 3-8 minggu

27
setelah infeksi primer dan tes tuberkulin akan positif (yaitu
bila didapatkan diameter indurasi 10-14 mm pada hari ketiga
atau keempat dengan dosis PPD 5 TU intrakutan).
Kalau seseorang penderita sedang menderita TB aktif,
tes tuberkulinnya dapat kelewat positif (artinya diameter
indurasi yang ditimbulkannya dapat melebihi 14 mm). Tetapi
kalau proses TB-nya hiperaktif, misalnya TB miliaris, seolah-
olah seluruh kemampuan potensi imunitas seluler sudah
terkuras habis dan tes akan menjadi negatif.
Selama TB masih endemik di Indonesia, yakni infeksi
pada umumnya sudah akan terjadi pada usia yang masih
muda sekali, tes tuberkulin sebagai tes diagnostik menjadi
kurang berarti. Vaksinasi BCG secara masal juga akan lebih
menghilangkan arti tes tuberkulin sebagai sarana diagnostik.
Mengingat juga ada begitu banyak faktor bukan TB yang
dapat mempengaruhi hasil tes tuberkulin, khususnya di
negara-negara seperti Indonesia, tes ini makin kehilangan arti
sebagai tes diagnostik. Faktor-faktor ini adalah penyimpanan
bahan tes yang tidak memenuhi syarat; gizi yang rendah
dengan semua etiologinya, seperti misalnya cacingan,
memang kekurangan gizi, dan lain-lain; pemakaian
kortikosteroid yang lama; baru sembuh dari penyakit infeksi
berat, seperti morbili, dan sebagainya; AIDS; dan lain-lain.
Semuanya dapat memberikan hasil negatif palsu.
- PemeriksaanSerologik
Ini disebut TBPAP (uji Peroksidase-Anti Peroksidase
untuk TB paru). Berbeda dengan tes tuberkulin, yang dinilai
adalah sistem imunitas humoral (SIH), khususnya
kemampuan untuk memproduksi suatu antibodi dari kelas
IgG terhadap sebuah antigen dalam basil TB. Bila seorang
belum pernah terinfeksi basil TB, SIH-nya belum diaktifkan.
Dengan demikian, tes ini akan negatif. Sebaliknya bila sudah

28
pernah terinfeksi, SIH-nya sudah akan membentuk IgG
tertentu tadi sehingga hasil tes akan menjadi positif. Handoyo
(1998)mengemukakan bahwa sensitivitas tes ini adalah 98%
dan spesifitasnya 94%, namun sampai sekarang di luar negeri
tes ini tetap dianggap sebagai pemeriksaan pelengkap belaka,
karena tak dapat menunjukkan penyebabnya di satu pihak
dan di pihak lain sensitivitas dan spesifisitasnya dianggap
belum baku (ada yang mengatakan hanya 85%).
- FotoRontgenParu
Pada stadium permulaan, seperti telah diungkapkan di
depan, TB mungkin akan lolos pada pemeriksaan jasmani,
tetapi pada pemeriksaan foto paru semua ‘fruh infiltrat’ pasti
akan diketahui. Disinilah letaknya kepentingan pemeriksaan
foto paru untuk diagnosis dini TB. Dalam rangka diagnosis
diferensial, foto paru dapat memegang peranan yang sangat
penting, karena berdasarkan letak, bentuk, luas dan
konsistensi kelainan, dapat diduga adanya lesi TB. Juga
hanya foto paru yang dapat menggambarkan secara objektif
kelainan anatomik paru dan luasnya kelainan.
Bagaimanapun besar manfaat pemeriksaan foto paru
dalam diagnostik TB, selalu harus diingat adanya faktor-
faktor yang membatasi makna diagnostiknya, sebagai berikut:
o ‘The human factor’, yaitu adanya variasi individual dokter
yang menginterpretasikannya.
o Adanya organ-organ lain dalam rongga dada, sehingga 20-
25% paru akan terlindung oleh organ lain dan tak akan
tampak pada foto PA biasa.
o Gambaran penyakit TB yang begitu pleiomorfik, sehingga
diagnosis diferensialnya meliputi puluhan penyakit paru
lain.

29
o Adanya kasus-kasus TB dengan sputum BTA positif tetapi
dengan foto paru yang normal atau dengan gambaran
penyakit paru lain yang bukan TB.
Pada umumnya kelainan-kelainan yang dapat dijumpai
pada foto paru seorang penderita TB akan bervariasi mulai
dari suatu bintik kapur, garis fibrotik, bercak infiltrat,
penarikan trakea atau mediastinum ke sisi yang sakit, kavitas,
sampai ke gambaran atau atelektasis. Kelainan-kelainan ini
dapat berdiri sendiri, tetapi dapat pula ditemukan bersama-
sama. ‘Destroyed lung’ merupakan contoh khas dalam hal
ini. Pada keadaan ini, ditemukan sekaligus atelektasis,
kavitas, dan fibrosis dengan penarikan-penarikan
mediastinum ke sisi yang sakit (DOUMA, 1980). Yang
diartikan dengan ‘vanishing lung’ ialah adanya suatu kavitas
teramat besar dalam suatu paru sehingga boleh dikatakan
seluruh paru tersebut telah berubah menjadi suatu kavitas.
Untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan dan
pleiomorfi ini, bilamana dihadapkan pada keraguan-
keraguan, hendaknya kita secepatnya melaksanakan
pemeriksaan tambahan, misalnya foto dari samping,
toplordotik, sampai CT scan, bronkoskopi, serta ulangan foto
setelah beberapa saat.
- PemeriksaanSputum
Tentang pemeriksaan mutakhir dengan Polymerase
Chain Reaction, pada kesempatan ini tidak akan dikupas
karena mengingat sangat mahalnya dalam waktu dekat akan
mustahil dikerjakan di Indonesia. Teknik pemeriksaan
sputum sekarang ini bermacam-macam, tetapi pada dasarnya
hanya berkisar pada pemeriksaan mikroskopis, pembenihan,
dan tes resistensi. Selain sputum, spesimen lain yang harus
diperiksa ialah sekret bronkus yang dikeluarkan dengan

30
bronkoskop, bahan aspirasi cairan pleura, dan getah lambung
(sebelum makan pagi).
Dengan demikian pada hakekatnya ada kemungkinan
sebagai berikut :
o Mikroskopik akan menghasilkan BTA (Basil Tahan
Asam) (+) atau (-)
o Perbenihan akan menunjukkan hasil hasil (+) atau (-)
Walaupun secara teoritis, BTA (+) masih mungkin
bukan Mycobacterium TB, melainkan dapat juga
Mycobacterium atipik, karena kemungkinan ini sangat kecil,
dalam prakteknya dapat diabaikan, sehingga BTA (+) dapat
dianggap sebagai Mycobacterium TB (+). Tentunya nilai
tertinggi pemeriksaan sputum adalah hasil pembenihan yang
positif, artinya yang tumbuh ialah basil TB yang
sesungguhnya. Namun sayang sekali pembenihan ini tidak
dapat dikerjakan di semua laboratorium di Indonesia. Di
samping itu, pemeriksaan ini cukup mahal dan memakan
waktu 3 minggu. Oleh karena itu, diambil praktisnya, sekali
sputum BTA (+) sudah dianggap cukup untuk menentukan
dianosis TB dan sudah dapat dibenarkan pemberian
pengobatan spesifik dalam rangka penyembuhan penderita
yang bersangkutan.
b) Masalah
 Ketidakefektifan pola pernapasan yang sehubungan dengan
sekresi mukopurulen.
- Tujuan : Pola nafas efektif
- Kriteria hasil :
o Klien mempertahankan pola pernafasan yang efektif
o Frekwensi irama dan kedalaman pernafasan normal (RR
16-20 kali/menit)
o Dispneu berkurang
- Intervensi

31
o Kaji kualitas dan kedalaman pernapasan, penggunaan otot
aksesori pernapasan : catat setiap perubahan
Rasional: Mengetahui penurunan bunyi napas karena
adanya sekret
o Kaji kualitas sputum : warna, bau, knsistensi
Rasional: Mengetahui perubahan yang terjadi untuk
memudahkan pengobatan selanjutnya
o Auskultasi bunyi napas setiap 4 jam
Rasional: Mengetahui sendiri mungkin perubahan pada
bunyi napas
o Baringan klien untuk mengoptimalkan pernapasan : posisi
semi fowler tinggi
Rasional: Membantu mengembangkan secara maksimal
o Bantu dan ajarkan klien berbalik posisi, batuk dan napas
dalam setiap 2 jam sampai 4 jam
Rasional: Batuk dan napas dalam yang tetap dapat
mendorong sekret keluar
o Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat-
obatan
Rasional: Mencegah kekeringan mukosa membran,
mengurangi kekentalan sekret dan memperbesar ukuran
lumen trakeobroncial
 Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang
sehubungan dengan anoreksia, keletihan atau dispnea.
- Tujuan : terjadi peningkatan nafsu makan, berat badan yang
stabil dan bebas tanda malnutrisi
- Kriteria hasil
o Klien dapat mempertahankan status malnutrisi yang
adekuat
o Berat badan stabil dalam batas yang normal
- Intervensi

32
o Mencatat status nutrisi klien, turgor kulit, berat badan,
integritas mukosa oral, riwayat mual/muntah atau diare
Rasional: Berguna dalam mendefenisikan derajat/luasnya
masalah dan pilihan indervensi yang tepat
o Pastikan pola diet biasa klien yang disukai atau tidak
Rasional: Membantu dalam mengidentifukasi
kebutuhan/kekuatan khusus. Pertimbangan keinginan
individu dapat memperbaiki masakan diet
o Mengkaji masukan dan pengeluaran dan berat badan
secara periodik
Rasional: Berguna dalam mengukur keepektifan nutrisi
dan dukungan cairan
o Berikan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan
pernafasan
Rasional: Menurunkan rasa tidak enak karena sisa sputun
atau obat untuk pengobatan respirasi yang merangsang
pusat muntah
o Dorong makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi
protein dan karbohidrat
Rasional: Memaksimalkan masukan nutrisi tanpa
kelemahan yang tak perlu/ legaster
o Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menetukan komposisi
diet
Rasional: Memberikan bantuan dalam perencanaan diet
dengan nutrisi adekuat untuk kebutuhan metabolik dan
diet
 Potensial terhadap tranmisi infeksi yang sehubungan dengan
kurangnya pengetahuan tentang resiko patogen.
- Tujuan : klien mengalami penurunan potensi untuk
menularkan penyakit seperti yang ditunjukkan oleh
kegagalan kontak klien untuk mengubah tes kulit positif.

33
- Kriteria hasil : klien mengalami penurunan potensi
menularkan penyakit yang ditunjukkan oleh kegagalan
kontak klien.
- Intervensi
o Identifikasi orang lain yang berisiko. Contoh anggota
rumah, sahabat
Rasional: Orang yang terpajan ini perlu program terapi
obat intuk mencegah penyebaran infeksi
o Anjurkan klien untuk batuk / bersin dan mengeluarkan
pada tisu dan hindari meludah serta tehnik mencuci tangan
yang tepat
Rasional: Perilaku yang diperlukan untuk mencegah
penyebaran infeksi
o Kaji tindakan. Kontrol infeksi sementara, contoh masker
atau isolasi pernafasan
Rasional: Dapat membantu menurunkan rasa terisolasi
klien dengan membuang stigma sosial sehubungan dengan
penyakit menular
o Identifikasi faktor resiko individu terhadap pengatifan
berulang tuberkulasis
Rasional: Pengetahuan tentang faktor ini membantu klien
untuk mengubah pola hidup dan menghindari insiden
eksaserbasi
o Tekankan pentingnya tidak menghentikan terapi obat
Rasional: Periode singkat berakhir 2 sampai 3 hari setelah
kemoterapi awal, tetapi pada adanya rongga atau penyakit
luas, sedang resiko penyebaran infeksi dapat berlanjut
sampai 3 bulan
o Kolaborasi dan melaporkan ke tim dokter dan Depertemen
Kesehatan lokal
Rasional: Membantu mengidentifikasi lembaga yang dapat
dihubungi untuk menurunkan penyebaran infeksi.

34
 Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan kuranganya
impormasi tentang proses penyakit dan penatalaksanaan
perawatan di rumah.
- Tujuan : klien mengetahui pengetahuan imformasi tentang
penyakitnya.
- Kriteria hasil :Klien memperlihatkan peningkatan tingkah
pengetahuan mengenai perawatan diri.
- Intervensi
o Kaji kemampuan klien untuk belajar mengetahui masalah,
kelemahan, lingkungan, media yang terbaik bagi klien.
Rasional: Belajar tergantung pada emosi dan kesiapan
fisik dan ditingkatkan pada tahapan individu.
o Identifikasi gejala yang harus dilaporkan keperawatan,
contoh hemoptisis, nyeri dada, demam, kesulitan bernafas.
Rasional: Dapat menunjukkan kemajuan atau pengaktifan
ulang penyakit atau efek obat yang memerlukan evaluasi
lanjut.
o Jelaskan dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang
diharapkan dan alasan pengobatan lama,kaji potensial
interaksi dengan obat lain.
Rasional: Meningkatkan kerjasama dalam program
pengobatan dan mencegah penghentian obat sesuai
perbaikan kondisi klien.
o Kaji potensial efek samping pengobatan dan pemecahan
masalah.
Rasional: Mencegah dan menurunkan ketidaknyamanan
sehubungan dengan terapi dan meningkatkan kerjasama
dalam program.
o Dorong klien atau orang terdekat untuk menyatakan takut
atau masalah, jawab pertanyaan secara nyata.
Rasional: Memberikan kesempatan untuk memperbaiki
kesalahan konsepsi / peningkatan ansietas.

35
o Berikan intruksi dan imformasi tertulis khusus pada klien
untuk rujukan contoh jadwal obat.
Rasional: Informasi tertulis menurunkan hambatan klien
untuk mengingat sejumlah besar informasi. Pengulangan
penguatkan belajar.
o Evaluasi kerja pada pengecoran logam/tambang gunung,
semburan pasir.
Rasional: Terpajan pada debu silikon berlebihan dapat
meningkatkan resiko silikosis, yang dapat secara nagatif
mempengaruhi fungsi pernafasan
 Ketidakefektifan jalan nafas yang sehubungan dengan sekret
kental, kelemahan dan upaya untuk batuk.
- Tujuan : jalan nafas efektif.
- Kriteria hasil :Klien dapat mengeluarkan sekret tanpa
bantuan; Klien dapat mempertahankan jalan nafas;
Pernafasan klien normal (16 – 20 kali per menit).
- Intervensi:
o Kaji fungsi pernafasan seperti, bunyi nafas, kecepatan,
irama, dan kedalaman penggunaan otot aksesori.
Rasional: Penurunan bunyi nafas dapat menunjukan
atelektasis, ronki, mengi menunjukkan akumulasi sekret
atau ketidakmampuan untuk membersihkan jalan nafas
yang dapat menimbulkan penggunaan otot aksesori
pernafasan dan peningkatan kerja penafasan.
o Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa/batuk
efektif.
Rasional: Pengeluaran sulit jika sekret sangat tebal sputum
berdarah kental diakbatkan oleh kerusakan paru atau luka
brongkial dan dapat memerlukan evaluasi lanjut.
o Berikan klien posisi semi atau fowler tinggi, bantu klien
untuk batuk dan latihan untuk nafas dalam.

36
Rasional: Posisi membatu memaksimalkan ekspansi paru
dan men urunkan upaya pernapasan. Ventilasi maksimal
meningkatkan gerakan sekret kedalam jalan napas bebas
untuk dilakukan.
o Bersihkan sekret dari mulut dan trakea.
Rasional: Mencegah obstruksi/aspirasi penghisapan dapat
diperlukan bila klien tak mampu mengeluaran sekret.
o Pertahanan masukan cairan seditnya 2500 ml / hari,
kecuali ada kontraindikasi
Rasional: Pemasukan tinggi cairan membantu untuk
mengecerkan sekret membuatnya mudah dilakukan.
o Lembabkan udara respirasi.
Rasional: Mencegah pengeringan mambran mukosa,
membantu pengenceran sekret.
o Berikan obat-obatan sesuai indikasi : agen mukolitik,
bronkodilator , dan kortikosteroid.
Rasional: Menurunkan kekentalan dan perlengketan paru,
meningkatkan ukuran kemen percabangan trakeobronkial
berguna padu adanya keterlibatan luas dengan hipoksemia.

37
Skema penanganan TBC Paru

Ibu (+) TBC paru aktif

Umum: Kehamilan:
- Pengobatan medikamentosa - Terapi prinsipnya sama dengan umum,
(OAT) minimal 9 bulan, yaitu hampir semua OAT aman untuk
Isoniazid, Rifampisisn, kehamilan, kecuali streptomisin
Etambutol, Streptomycin atau - Disesuaikan tingkat keparahan
dengan pyrazinamide. penyakit, bila tidak terlalu berat,
Pemberian jenis dan dosis OAT maka, TM I: diberikan terapi INH dan
sesuai anjuran dan rekomendasi Etambutol saja, lalu 6 bulan
dokter yang berwenang selanjutnya (TM II dan III) diberikan
- Menjaga kekebalan tubuh penuh yaitu Isoniazid, Rifampisisn,
dengan makan yang cukup dan Etambutol, Streptomycin atau dengan
seimbang, hindari pencetus pyrazinamide dan harius sesuai
batuk, dan istirahat yang cukup rekomendasi dokter.

Persalinan: Nifas dan laktasi:


- Penolong persalinan dan - OAT tidak mengganggu ASI, sehingga
penderita (ibu yang bersalin) pengobatan sama seperti umum.
masing-masing memakai - Saat menyusui pastikan ibu memakai
masker masker, lingkungan yang kondusif
- Bila diyakini lingkungan jauh terhindar droplet
dari droplet, bayi dapat IMD - Pencegahan, bayi dapat diberikan INH
dan berinteraksi dengan ibu sesuai rekomendasi dokter ahli
namun ibu harus bermasker - Imunisasi BCG dapat diberikan sesuai
ketentuan

38
https://es.scribd.com/doc/133372751/Kehamilan-Dengan-Gangguan-Paru

WOC TBC Px Terpajan Mikro TBC Lingkungan Yang Kondusif Untuk Imun Menurun (Perokok,
Pertumbuhan Mikro TBC Alkoholik)

Bakteri Mikro TBC ke Alveolus (terjadi Resiko Memikirkan Pengobatan Terus


peradangan paru) Penyebaran Penyakit Menerus

Bakteri Mikro TBC ke Otak Melepas Zat Pirogen Aliran darah Leukosit Kurangnya Batasan Hospitalisasi Bosan/
(TBC Otak) kekelenjar getah Pengetahuan Keluarga Akrivitas Jenuh
bening
Mengganggu di Infiltrasi di dalam sel
Hipotalamus Pembesaran Kecemasan G3 Perubahan Resiko
Ekstratorakal Getah Bening Putus Obat
Nekrosis Lesi Sentral Kaseosa Ibu Perkembangan Peran
Suhu Meningkat Sosialisasi
Meningitis Abses

G3 Rasa Nyaman Pencairan Granuloma


G3 rasa G3 G3 Penatalaksanaan Kecemasan
Penekanan MO Hipertermi
nyaman pola Program Teraupetik Anak
nyeri tidur Ke brokustrakea
Perfusi Jaringan Fibrosa Capitas

Kesadaran Kapitas Tertelan Terjadi Jalan Nafas


Menurun penumpukan Sesak Himopisis
Tidak Efektif

Peningkatan TIK Kerusakan Bakteri Tahan


Jaringan Paru Asam
Perfusi jaringan
Terjadi TBC Usus
Depresi G3 Pertukaran
G3 Syok hipofalemik
Gas Anoreksia
Meninggal

Nutrisi Kurang dari


kebutuhan 39
https://es.scribd.com/doc/133372751/Kehamilan-Dengan-Gangguan-Paru

2. Asma
a. Definisi
Asma merupakan suatu kelainaninflamasi kronis pada saluran
nafas yang melibatkan sel dan elemen-elemen seluler. Inflamasi
kronis tersebut berhubungan dengan hiperresponsif dari saluran
pernafasan yang menyebabkan episode wheezing, apneu, sesak nafas
dan batuk-batuk terutamapada malam hari atau awal pagi. Episode ini
berhubungan dengan luas obstruksi saluran pernafasan yang bersifat
reversibel baik secara spontan ataupun dengan terapi.
Definisi asma menurut WHO pada tahun 1975, yaitu keadaan
kronik yang ditandai oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan
lumen saluran napas sebagai respon terhadap stimulus yang tidak
menyebabkan penyempitan serupa pada banyak orang.
Asma yang terkendali dengan baik tidak memiliki efek yang
berarti pada wanita yang hamil, melahirkan ataupun menyusui. Asma
mungkin membaik, memburuk atau tetap tidak berubah selama masa
hamil, tetapi pada kebanyakan wanita gejala-gejalanya cenderung
meningkat selama tiga bulan terakhir dari masa kehamilan. Hal
tersebut karena membesarnya rahim menyebabkan gerakan
diafragma/sekat rongga badan menjadi terbatassehingga mengalami
semakin sering kehabisan nafas.
b. Etiologi
Faktor pencetus timbulnya asma, antara lain zat-zat alergi,
infeksi saluran nafas, pengaruh udara dan faktor psikis. Penderita
selama kehamilan perlu mendapat pengawasan yang baik, pegawasan
yang baik, biasanya penderitamengeluh napas pendek, berbunyi, sesak
dan batuk-batuk. Diagnosis dapat ditegakkan seperti asma diluar
kehamilan.

40
c. Patofisiologi

Pencetus Serangan : Alergen, Emosi, Obat-Obatan,


Infeksi, Olahraga

Reaksi Antigen dan Antibodi

Dikeluarkannya substansi vasoaktif ( histamin,


bradikinin, anafilatoksin )

Kontraksi Otot Peningkatan Sekresi Mukus


Polos permeabilitas meningkat
kapiler

Bronchospasm - Kontraksi Otot Polos Produksi Mukus


e - Edema Mukosa bertambah
-Hiperresponsitifitas
bronkus Sesak Napas

Obstruksi Saluran
Bersihan Jalan Napas
Ketidak seimbangan
Napas tidak nutrisi kurang dari
Efektif kebutuhan
- Hiperventilasi
- Distribusi ventilasi tidak
merata dengan sirkulasi
darah paru-paru
- Gangguan difusi gas di
alveoli

Kerusakan pertukaran gas Hipoksemia dan Hiperkapnea

Skema Patifisiologi Asma ( Somantri, 2008)

a) Obstruksi saluran respiratori


Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma
ditimbulkan oleh penyempitan saluran respiratori, yang
mempengaruhi seluruh struktur pohon trakeobronkial. Salah satu
mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran nafas adalah
kecenderungan untuk bernafas dengan hiperventilasi untuk
mendapatkan volume yang lebih besar, yang kemudian dapat

41
menimbulkan hiperinflasi toraks. Perubahan ini meningkatkan
kerja pernafasan agar tetap dapat mengalirkan udara pernafasan
melalui jalur yang sempit dengan rendahnya compliance pada
kedua paru. Inflasi toraks berlebihan mengakibatkan otot
diafragma dan interkostal, secara mekanik, mengalami kesulitan
bekerja sehingga kerjanya menjadi tidak optimal . Peningkatan
usaha bernafas dan penurunan kerja otot menyebabkan timbulnya
kelelahan dan gagal nafas (Makmuri, 2008).
b) Hiperaktivitas saluran respiratori
Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif
jika pada pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi
kurang 8µg% didapatkan penurunan Forced Expiration Volume
(FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik asma, dan juga dapat
dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic Obstruction
Pulmonary Disease (COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi.
Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun adenosin, tidak
memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas
(tidak seperti histamin dan metakolin). Stimulus tersebut akan
merangsang sel mast, ujung serabut dan sel lain yang terdapat
disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya (Makmuri, 2008).
c) Otot polos saluran respiratori
Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang
otot bronkus. Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada
aparatus kontraktil pada bagian elastisitas jaringan otot polos atau
pada matriks ektraselularnya. Peningkatan kontraktilitas otot pada
pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan
pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa
perubahan pda struktur filamen kontraktilitas atau plastisitas dari
sel otot polos dapat menjadi etiologi hiperaktivitas saluran nafas
yang terjadi secara kronik (Makmuri, 2008).
Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti
triptase dan protein kationik eosinofil, dikatakan dapat

42
meningkatkan respon otot polos untuk berkontraksi, sama seperti
mediator inflamasi yang lainnya seperti histamin. Keadaan
inflamasi ini dapat memberikan efek ke otot polos secara langsung
ataupun sekunder terhadap geometri saluran nafas(Makmuri, 2008).
d) Hipersekresi mukus
Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya
berupa peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada
viskoelastisitas. Penebalan dan perlengketan dari sekret tidak hanya
sekedar penambahan produksi musin saja tetapi terdapat juga
penumpukan sel epitel, pengendapan albumin yang bersal datri
mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA yang berasal dari
sel inflamasi yang mengalami lisis (Makmuri, 2008).
Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme
patofisiologi yaitu mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami
metaplasia dan hiperplasia dan mekanisme patofisologi hingga
terjadi sekresi sel granulasi.
e) Remodeling Jalan Napas
Pada beberapa penderita asma, terbatasnya aliran napas bisa
kembali normal sebagian. Perubahan struktur permanen bisa terjadi
pada jalan napas, ini mengindikasikan pengurangan fungsi paru-
paru yang tidak bisa dicegah atau kembali normal seutuhnya
dengan terapi. Remodeling jalan napas mengaktivkan struktur sel
dengan konsekuensi perubahan permanen yang meningkatkan
obstruksi aliran napas dan hiperresponsif jalan napas. Perubahan
struktural dapat termasuk penebalan submembran dasar sel,
subepitel fibrosis, hipertropi dan hiperplasia otot polos, proliferasi
pembuluh darah. Ini bisa dilihat untuk seberapa efektivitas respon
terapi (Bethesda, 2007).
d. Manifestasi Klinis
Modifikasi asma berdasarkan National Asthma Education
Program (NAEP), terdiri dari 3 jenis asma dengan manifestasi klinis
yang berbeda, yaitu:

43
a) Asma Ringan
Singkat (< 1 jam) eksaserbasi simptomatik ≤ 2x/ minggu. Puncak
aliran udara ekspirasi ≥ 80 % dengan adaptasi baik. Kemampuan
volume ekspirasi ≥ 80 % diduga akan tanpa gejala.
b) Asma Sedang
Gejala asma kambuh > 2x/ minggu. Kekambuhannya
mempengaruhi aktivitas dan bisa berlangsung berhari-hari.
Kemampuan puncak espirasi/ detik dan kemampuan volume
ekspirasi berkisar 60-80%. Obat yang biasa dilakukan adalah untuk
mengendalikan gejala.
c) Asma Berat
Gejala terus-menerus mengganggu aktivitas sehari-hari. Puncaknya
aliran ekspirasi dan kemampuan volume ekspirasi < 60% dengan
variasi luas. Diperlukan kortikosteroid oral untuk menghilangkan
gejala.
e. Penatalaksanaan
a) Mencegah timbulnya stress.
b) Menghindari factor resiko/pencetus yang sudah diketahui secara
intensif.
c) Mencegah penggunaan obat seperti aspirin dan semacamnya yang
dapat menjadi pencetus timbulnya serangan.
d) Pada asma yang ringan dapat digunakan obat-obat local yang
berbentuk inhalasi, atau peroral seperti isoproterenol.
e) Pada keadaan lebih berat penderita harus dirawat dan serangan
dapat dihilangkan dengan 1atau lebih dari obat dibawah ini:
 Epinefrin yang telah dilarutkan (1:1000), 0,2-0,5 ml disuntikan
SC.
 Isoproterenol (1:100) berupa inhalasi 3-7 hari.
 Oksigen.
 Aminopilin 250-500 mg (6mg/kg) dalam infus glukosa 5 %.
 Hidrokortison 260-1000 mg IV pelan-pelan atau per infus dalam
D10%.

44
Hindari penggunaan obat-obat yang mengandung iodium karena
dapat membuat gangguan pada janin, dan berikan antibiotika kalau
ada sangkaan terdapat infeksi. Upayakan persalinan secara spontan
namun bila pasien berada dalam serangan, lakukan VE atau Forcep.
SC atas indikasi asma jarang atau tak pernah dilakukan. Jangan
berikan analgesik yang mengandung histamin tapi pilihlah morfin atau
analgesik epidural.
Dokter sebaiknya memilih obat yang tidak mempengaruhi ASI.
Aminopilin dapat terkandung dalam ASI sehingga bayi mengalami
gangguan pencernaan, gelisah, dan ganggguan tidir. Namun obat anti
asma lainnya dan kortikosteroid umumnya tidak berbahaya
karenakadarnya dalam ASI sangat kecil.
f. Komplikasi
Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat tergantung dari sering
dan beratnya serangan, karena ibu dan janin akan kekurangan oksigen
atau hipoksia. Keadaan hipoksia bila tidak segera diatasi tentu akan
berpengaruh pada janin dan sering terjadi keguguran, partus premature
dan gangguan petumbuhan janin.
Asma sewaktu kehamilan terutama asma yang berat dan tidak
terkontrol dapat menyebabkan peningkatan resiko komplikasi
perinatal seperti preeklampsi, kematian perinatal, prematur dan berat
badan lahir rendah.
Padaasma yang sangat berat dapat mengakibatkan kematian ibu.
Mekanisme yang dapat menerangkan ini adalah hipoksia akibat dari
asma yang tidak terkontrol, akibat pengobatan asma, atau faktor
patogenetis.
Walaupun beberapa mekanisme yang pasti belum diketahui
tetapi dari hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen yang baik
sewaktu kehamilan akan memberikan hasil yang baik pada periode
perinatal.
Penelitian Shiliang Liu terhadap 2193 wanita dengan asma
dibandingkan dengan 8772 wanita yang dipilih secara random sebagai

45
kelompok kontrol di Canada, menemukan bahwa asmapada ibu hamil
secara signifikan berhubungan dengan beberapa kondisi seperti
kelahiran preterm, bayi kecil atau besar dari usia kehamilan,
preeklampsia, hipertensi selama kehamilan, perdarahan antepartum,
korioamnionitis dan persalinan dengan seksio sesar. Kelainan terhadap
janin didapatkan bayi besar dari usia kehamilan 12,4%, bayi kecil dari
masa kehamilan 12,2% dan persalinan preterm 10%.
Kompensasi yang terjadi pada fetus adalah :
1. Menurunnya aliran darah pada uterus
2. Menurunnya venous return ibu
3. Kurva dissosiasi oksiHb bergeser ke kiri
Sedangkan pada ibu yang hipoksemia, respon fetus yang terjadi:
1. Menurunnya aliran darah ke tali pusat
2. Meningkatnya resistensi pembuluh darah paru dan sistemik
3. Menurunnya cardiac output
Perlu diperhatikan efek samping pemberian obat – obatan asma
terhadap fetus, walaupun tidak ada bukti bahwa pemakaian obat –
obat anti asma akan membahayakan fetus.
Terhadap ibu didapatkan juga beberapa keadaan seperti
preeklampsia 3,3%, hipertensi selama kehamilan 8%, solusio plasenta
2,5%, korioamnionitis 10,4% dan persalinan dengan seksio sesar
26,4%. Oleh karena itu diperlukan perhatian ekstra terhadap ibu dan
janin pada wanita hamil dengan asma.
Bagi wanita yang mengalami serangan asma yang dahsyat atau
tidak stabil meskipun sudah diadakan pengendalian asma yang
terbaik, rancang tindak mereka harus meliputi apa yang harus
dilakukan ketika melahirkan, termasuk pilihan-pilihan jika dilakukan
pembiusan. Hal ini harus diatur dengan konsultasi antara sang ibu,
dokter kebidanan dan dokter ahli. Asma yang tidak dikendalikan ada
hubungannya dengan sedikit meningkatnya kelahiran bayi yang berat
badannya rendah dan terjadinya kelahiran sebelum waktunya.

46
Asma apabila berat dapat mempengaruhi hasil kehamilan secara
bermakna.dalam sebagian besar penelitian, dijumpai peningkatan
insiden preeklamsia, persalinan preterm, bayi berat lahir rendah, dan
mortalitas perinatal. Walaupun belum terbukti secara logika asma
yang terkontrol baik akan member hasil yang lebih baik (Schatz,
1999).
Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya serangan asma tidaklah
selalu sama pada setiap penderita, bahkan asma, serangannya tak sama
pada kehamilan pertama dan berikutnya. Kurang dari sepertiga
penderita asma akan membaik dalam kehamilan, lebih dari 1/3 akan
menetap, serta kurang dari 1/3 lagi akan menjadi buruk atau serangan
bertambah. Biasanya serangan akan timbul mulai usia kehamilan 24
minggu sampai 36 minggu, dan pada akhir kehamilan serangan jarang
terjadi.
Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat tergantung dari sering
dan beratnya serangan, karena ibu dan janin akan kekurangan oksigen
(02) atau hipoksia. Keadaan hipoksia bila tidak segera diatasi tentu
akan berpengaruh pada janin, dan sering terjadi keguguran, persalinan
prematur atau berat janin tidak sesuai dengan usia kehamilan
(gangguan pertumbuhan janin).
g. Penatalaksanaan
Kesan subjektif oleh pasien terhadap keparahan asmanya sering
tidak berkorelasi dengan ukuran-ukuran objektif fungsi jalan napas
atau ventilasi. Pemeriksaan klinis juga tidak akurat untuk
memprediksi keparahan, tetapi tanda-tanda yang bermanfaat untuk
mengevaluasi pasien adalah pernafasan yang terengah-engah,
trakikardia, pulsus paradoksus, ekspirasi memanjang, dan pemakaian
otot-otot pernafasan tambahan. Tanda-tanda kemungkinan serangan
yang fatal adalah sianosis sentral dan gangguan tingkat kesadaran.
Analisis gas darah arteri menghasilkan ukuran objektif tentang
oksigenasi, ventilasi, dan status asam-basa ibu. Dengan informasi ini,
keparahan suatu serangan akut dapat diperkirakan (Tabel 3). Namun,

47
dalam suatu evaluasi prospektif, Wendel, dkk. (1996) mendapatkan
bahwa analisis gas darah secara rutin tidak membantu mengarahkan
perawatan pada sebagian besar wanita hamil. Selain itu, intrepetasi
hasil-hasil dalam kaitannya dengan angka-angka normal untuk
kehamilan harus dilakukan dengan hati-hati. Sebagai contoh, PCO2
yang lebih besar daripada 35 mmHg dengan pH kurang dari 7,35
konsisten dengan hiperventilasi dan retensi CO2 pada wanita hamil.
Tabel 1. Obat pengendali asma jangka panjang
Obat Dosis Komentar
Kortikosteroid Untuk terapi jangka panjang asma
sistemik a. 7,5-60 mg PO per berat
Metilprednison hari atau selang hari Efektif untuk memulai terapi atau
Prednisolon b. “Ledakan” 40-60 apabila terjadi perburukan secara
prednison mg PO per hari bertahap-digunakan sampai
selama 3-10 hari tercapai 80% dari PEFR terbaik
pasien; dosis tidak perlu
diturunkan secara bertahap
Kortikosteroid
inhalan
Beklometason 4-20 semprotan/hari Dosis rendah 4-12 semprotan/hari
42 µg/semprotan Dosis tinggi 20+ semprotan/hari
2-10 semprotan/hari Dosis rendah 2-6 semprotan/hari
84 µg/semprotan Dosis tinggi 10+ semprotan/hari

Budesonid 1-3+ inhalasi/hari Dosis rendah 1-2 inhalasi/hari


200 µg/dosis Dosis tinggi 3+ inhalasi/hari

Triamsinolon 4-20 semprotan/hari Dosis rendah 4-10 semprotan/hari


100 µg/semprotan Dosis tinggi 20+ semprotan/hari
Kromolin
MDI 1 mg/ 2-4 semprotan 3-4 kali Satu dosis sebelum olah raga atau
semprotan sehari terpajan alergen bekerja selama 1-
2 jam

Larutan nebulizer 20 1 ampul 3-4 kali


mg sehari
Teofilin Dosis awal 10 Sesuaikan dosis agar kadar serum
mg/kg/hari dengan 5-15 µg/ml
maksimum 300 mg
Dosis rumatan
maksimum 800
mg/hari
MDI = metered-dose inhaler, PEFR = laju arus ekspirasi puncak
Dimodifikasi dari National Institute of Health (1997)

48
Uji fungsi paru telah menjadi rutin dalam penatalaksanaan asma
akut dan kronik. Pengukuran volume ekspirasi paksa dalam satu detik
(FEV1) sekuensial dari ekspirasi maksimum merupakan satu-satunya
ukuran terbaik yang mencerminkan keparahan penyakit. Laju arus
puncak ekspirasi (peak expiration flow rate; PEFR) berkorelasi baik
dengan FEV1 dan hal ini dapat diukur dengan handal dengan pengukur
aliran puncak portabel. Brancazio, dkk. (1997) memperlihatkan bahwa
pada wanita normal PEFR tidak berubah selama kehamilan. Kedua
pengukuran ini merupakan uji paling bermanfaat unutk memantau
obstruksi jalan nafas. FEV1 yang kurang dari 1 liter atau kurang dari
20 persen dari nilai perkiraan berkorelasi dengan penyakit parah yang
bermanifestasi sebagai hipoksia, penurunan respons terhadap terapi,
dan peningkatan angka relaps (Noble, dkk. 1988).

a) Penatalaksaan Asma Kronik


Menurut National Asthma Education Program (1993),
penatalaksanaan asma selama kehamilan yang efektif mencakup:
 Penilaian objektif fungsi paru dan kesejahteraan janin
 Penghindaraan atau pengendalian terhadap faktor-faktor
pencetus di lingkungan
 Terapi farmakologis
 Edukasi pasien
Secara umum, wanita dengan asma sedang sampai parah
menjalani pengukuran dan pencatatan PEFR dua kali sehari. Angka
prediksi berkisar dari 380 sampai 550 l/mnt, dan masing-masing
wanita memiliki angka basalnya sendiri-sendiri. Rekomendasi
tentang penyesuaian terapi dapat dibuat berdasarkan pengukuran-
pengukuran ini.
Terapi pasien rawat jalan bergantung pada keparahan
penyakit. Tabel 3 dan 4 memperlihatkan obat dan anjuran dosis
untuk penataklasaan asma pada wanita hamil di rumah. Untuk asma
ringan, agonis-β yang diberikan per inhalasi sesuai kebutuhan

49
biasanya memadai (Drazen, dkk. 1996). Kortikosteroid inhalan
merupakan terapi yang dianjurkan untuk asma persisten (Lipworth,
1999; National Institutes of Health, 1997). Inhalasi diberikan setiap
3 sampai 4 jam sesuai kebutuhan. Tujuannya adalah mengurangi
pemakaian agonis-β untuk menghilangkan gejala. Sebuah studi
kasus-kelola dari Kanada dengan kohort lebih dari 15.600 pengidap
asma tidak hamil memperlihatkan bahwa kortikosteroid inhalan
mengurangi angka rawat inap sebesar 80 persen (Blais, dkk. 1998).
Wendel, dkk. (1996) melaporkan pengurangan 55 persen dalam
rawat inap ulang untuk eksaserbasi asma berat pada wanita hamil
yang mendapat terapi pemeliharaan kortikosteroid inhalasi disertai
terapi agonis-β.
Natrium kromolin (kategori B) dan nedokromil menghambat
degranulasi sel mast. Kedua obat ini tidak efektif untuk asma akut
dan diberikan dalam jangka waktu panjang untuk pencegahan.
Teofilin adalah suatu metilxantin, dan garam-garamnya
bersifat vasodilator dan mungkin antiinflamasi. Beberapa
turunannya dianggap bermanfaat sebagai terapi rumatan oral untuk
pasien rawat jalan yang tidak berespons secara optimal terhadap
kortikosteroid dan agonis-β inhalan. Preparat teofilin lepas lambat
juga mungkin bermanfaat untuk digunakan sebelum tidur malam
pada wanita dengan gejala nokturnal.
Pemodifikasian leukotrien adalah obat-obat baru yang
menghambat sintesis leukosit. Beberapa contoh adalah zileuton,
zafirinkas, dan montelukas (Medical Letter, 1999). Farmakologi
dan mekanisme kerja obat-obat tersebut baru-baru ini diulas oleh
Drazen, dkk. (1999). Obat-obat ini diberikan per oral atau melalui
inhalasi sebagai pencegahan dan tidak efektif untuk penyakit akut.
Peran obat-obat ini dalam terapi asma sampai saat ini masih belum
jelas, dan pengalaman pemakaian pada wanita hamil masih sangat
terbatas.

50
Tabel 2. Obat adrenergik yang digunakan untuk mengobati asma
Obat Pemberian Dosis Anjuran
Kerja singkat
Epinefrin (α1, β1, β2) Subkutan 0,3-0,5 ml larutan 1;1000 tiap
20 menit x 3
Inhalasi 200-300 µg/semprotan; 1-2
semprotan tiap 4 jam
Isoetarin (β2) Inhalasi
Dosis terukur 340 µg/semprotan; 3-7
semprotan tiap 3-4 jam
Aerosol 0,5 ml larutan 1% diencerkan
1;3 dengan salin
Isoproterenol (β1, β2) Inhalasi Larutan 1:100, 3-7 inhalasi
tiap 4-6 jam
Larutan 1:200, 5-15 inhalasi
tiap 4-6 jam
Intravena 0,05-5 µg/mnt melalui infus
Metaproterenol (β2) Inhalasi
Dosis terukur 650- µg/semprotan; 2-3
semprotan tiap 3-4 jam
Nebulizer 0,3 ml larutan 5% tiap 4 jam
Terbutalin (β2) Subkutan 250- µg tiap 15 mnt x 3
Oral 2,5 mg tiap 4-6 jam
Kerja panjang
Salmeterol inhalasi Dosis terukur 21 µg/semprotan; 2 semprotan
tiap 12 jam
Blister 50 µg/blister, 1 tiap 12 jam
Albuterol SR Oral 4 mg tiap 12 jam
SR = lepas lambat (subtained release)

b) Penatalaksanaan Asma Akut


Terapi asma akut selama kehamilan serupa dengan terapi
untuk pasien tidak hamil. Suatu pengecualian untuk wanita hamil
adalah ambang yang jauh lebih rendah untuk indikasi rawat inap.
Sebagian besar pasien akan mengalami perbaikan dengan
pemberian hidrasi intravena yang membantu membersihkan sekresi
paru. Oksigen tambahan diberikan melalui masker setelah
dilakukan pengambilan sampel gas darah. Tujuan pengobatan
adalah mempertahankan PO2lebih besar daripada 60 mmHg, dan
kalau mungkin normal, serta dengan saturasi oksigen 95 persen. Uji
fungsi paru dasar adalah FEV, atau PEFR. Oksimetri pulsa dan

51
pemantauan janin secara elektronik dapat memberi informasi yang
bermanfaat.
Terapi farmakologis lini pertama untuk asma-akut antara lain
adalah agonis adrenergik-β, baik epinefrin, isoproterenol,
terbutalin, albuterol, isoetarin, atau metaproterenol (National
Heart,Lung, and Blood Institute; 1991; Nelson, 1995). Obat-obat
kerja singkat yang sering digunakan berikut dosis dan cara
pemakaiannya tercantum pada tabel 4. Obat-obat ini berikatan
dengan reseptor spesifik di sel permukaan dan mengaktifkan
adenilil siklase, yang meningkatkan AMP siklik intrasel untuk
memodulasi relaksasi otot polos bronkus. Obat-obat ini diberikan
secara subkutan, melalui inhalasi, atau per oral dan juga digunakan
sebagai terapi rumatan bagi pasien rawat jalan. Preparat-preparat
kerja-lama terutama digunakan untuk terapi rumatan.
Saat ini semua pasien yang mengalami asma akut berat
dianjurkan mendapat kortikosteroid (National Heart,Lung, and
Blood Institute; 1991). Sebagian besar dosis anjuran mungkin lebih
tinggi daripada yang diperlukan. Namun, di Amerika Serikat,
multiprednisolon biasanya diberikan sebanyak 40 sampai 60 mg
setiap 6 jam. Sebagai pengganti dapat digunakan hidrokortison
dengan dosis ekipoten melalui infus atau prednison per oral.
Karena awitan kerjanya yang beberapa jam, perlu ditekankan
bahwa steroid-baik secara intravena maupun aerosol-diberikan
bersama dengan agonis-β untuk terapi asma akut.
Penatalaksanaan selanjutnya bergantung pada respons pasien
terhadap terapi. Apabila terapi awal dengan agonis-β menyebabkan
pemulihan PEFR menjadi di atas 70 persen nilai basal, pasien dapat
dipertimbakan untuk dipulangkan. Sebagian wanita mungkin
sebaiknya diobservasi salama 23 jam. Bagi wanita yang jelas
mengalami gawat nafas atau apabila PEFR kurang dari 70 persen
dari perkiraan setelah tiga kali pemberian agonis-β, maka pasien
dianjurkan dirawat. Pasien tersebut diberi terapi intensif berupa

52
agonis-β inhalan, kortikosteroid intravena, dan pengawasan ketat
untuk mendeteksi perburukan gawat nafas atau kelelahan bernafas
(Wendel, dkk. , 1996).

c) Status Asmatikus dan Gagal Nafas


Asma berat tipe apa pun yang tidak berespons setelah terapi
intensif selama 30 sampai 60 menit disebut sebagai status
asmatikus. Bagi pasien tidak hamil dengan status asmatikus,
Braman dan Kaemmerlen (1990) memperlihatkan bahwa
penatalaksanaan di ruang perawatan intensif akan memberi hasil
baik pada hampir semua kasus. Selama kehamilan, perlu
dipertimbangkan intubasi dini apabila status pernafasan terus
menurun walaupun pasien telah mendapat terapi agresif (lihat tabel
1). Kelelahan, retensi karbon dioksida, atau hipoksemia adalah
indikasi untuk intubasi dan ventilasi mekanis.

d) Penataksanaan Persalinan dan Pelahiran


Selama persalinan dan pelahiran, pengobatan dilanjutkan
secara teratur. Kortikosteroid dosis stres diberikan kepada setiap
wanita yang mendapat terapi steroid sistemik dalam 4 minggu
terakhir. Yang biasanya diberikan adalah hidrokortison 100 mg
secara intravena setiap 8 jam. Saat dirawat inap, dilakukan
pemeriksaan terhadap laju arus puncak ekspirasi. Apabila timbul
gejala asma, dilakukan pengukuran serial setelah pengobatan.
Dalam memilih analgesik untuk persalinan, narkotik yang
tidak menyebabkan pelepasan histamin, misalnya fentanil, mungkin
lebih baik daripada meperidin atau morfin. Analgesia yang ideal
untuk persalinan adalah analgesia epidural. Pada pelahiran secara
bedah, analgesia konduksi lebih disukai karena intubasi trakea
dapat memicu bronkospasme berat. Apabila terjadi perdarahan
pasca partum yang refrakter, digunakan protaglandin E2 dan
uterotonik lain, bukan prostaglandin F2α yang dilaporkan

53
menimbulkan bronkospasme signifikan pada pasien asma. Selain
itu, pernah dilaporkan desaturasi oksigen setelah pemberian 15-
metil PGF2α untuk perdarahan pasca partum pada wanita tanpa
asma (Harkins, dkk., 1988)
h. Asuhan
a) Riwayat dan Keluhan
Pasien dengan riwayat asma yang telah berlangsung sejak
lama ditanya sejak kapan, derajat serangan-serangan sebelumnya.
Penggunaan kortikosteroid yang telah lalu, riwayat sering dirawat
di rumah sakit, riwayat ventilasi mekanik yang pernah dialami,
atau perawatan di ruang rawat darurat yang baru dialami dapat
memberikan petunjuk bagi adanya serangan lebih parah atau
membandel yang membutuhkan perawatan di rumah sakit.
b) Pemeriksaan Fisik
Serangan yang parah dicurigai dari adanya sesak nafas pada
waktu istirahat, kesulitan mengucapkan kalimat, diaforesis atau
penggunaan otot-otot pernafasan tambahan. Kecepatan respirasi
lebih besar dari 30 kali/menit, nadi berdenyut lebih cepat dari 120
kali/menit dan pulsus paradoksus yang lebih besar dari 18 mmHg
menunjukkan serangan berat yang berbahaya.
Gejala yang ditemui: wheezing sedang sampai
bronkokonstriksi berat. Bronkospasme akut dapat bergejala
obstruksi saluran nafas dan menurunnya aliran udara. Kerja system
pernafasan menjadi meningkat drastis dan pada pasien dapat dilihat
gerakan dada yang tertinggal, wheezing atau kesukaran bernafas.
Peristiwa berikutnya pada refleks oksigen primer terjadi reflek
ventilasi perfusi yang tidak sepadan karena distribusi dari saluran
udara (bronchus) secara merata tidak terjadi.
Adapun tingkatan klinik asma dapat dilihat pada table
berikut dibawah ini Tingkatan PO2 PCO2 pH FEV1(% predicted)
1) Alkalosis respiratori sedang Normal ↓ ↑ 65 – 80
2) Alkalosis respiratori ↓ ↓ ↑ 50 – 64

54
3) Tingkat waspada ↓ Normal Normal 35 – 49
4) Asidosis respiratori ↓ ↑ ↓ < 35
Pada kasus asma sedang, hipoksia pada awalnya dapat
dikompensasi oleh hiperventilasi, sebagai refleksi dari PO2 arteri
normal, menurunnya PCO2 dan alkalosis respiratori. Akibat
penyempitan saluran udara yang bertambah berat gangguan
ventilasi perfusi menjadi bertambah berat juga dan arterial
hipoksemi terjadi. Pada obstruksi berat, ventilasi menjadi berat
karena fatigue menjadikan retensi CO2.Pada hiperventilasi,
keadaan ini hanya dapat dilihat sebagai PCO2 arteri yang berubah
menjadi normal. Akhirnya pada obstruksi berat yang
terjadikegagalan pernafasan dengan karakteristik hiperkapnia dan
asidemia.
Walaupun perubahan ini bersifat reversibel dan dapat
ditoleransi pada wanita tidak hamil namun, setiapa awal derajat
tingkatan asma sangat berbahaya untuk wanita hamil dan bayinya.
Penurunan kapasitas fungsi residu dan peningkatan efektif shunt
menyebabkan wanita hamil lebih rentan terhadap hipoksia dan
hipoksemia.
c) Pemeriksaan Fungsi Paru
Pemeriksaan fungsi paru seringkali normal dalam masa
remisi. Selama masa serangan akut dan kadang-kadang ketika tidak
ada simptom, volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV1)
berkurang dan juga kapasitas vital paksa (FVC) mengalami
penurunan yang secara proporsional lebih kecil sehingga
perbandingan FEV1 terhadap FVC menjadi berkurang (< 0,75).
Dapat juga dijumpai hiperinflasi dengan kenaikan volume residual
(FRC).
d) Pemeriksaan-pemeriksaan Laboratorium
1) Spirometri
Pengukuran yang objektif terhadap aliran udara sangat
penting dalam evaluasi dan terapi terhadap serangan.

55
Perawatan di rumah sakit dianjurkan bila FEV1 inisial kurang
dari 30% dari harga normal atau tidak meningkat hingga paling
sedikit 40% dari harga normal setelah diberikan terapi kuat
selama 1 jam.
2) Gas-gas Darah Arteri (GDA)
Ketimpangan ventilasi dan perfusi (ketimpangan V/Q)
akibat obstruksi jalan nafas akan menimbulkan peningkatan
selisih tekanan oksigen alveolar-arterial [P(A-a) O2] yang
berkorelasi secara kasar dengan keparahan serangan. Tekanan
oksigen arterial (Pa O2) kurang dari 60 mmHg bisa merupakan
tanda suatu serangan akut atau keadaan yang menyulitkan.
Hampir semua pasien asma yang mengalami serangan
ringan hingga sedang-berat akan mengalami hiperventilasi dan
mempunyai tekanan CO2 arterial (Pa CO2) kurang dari 35
mmHg. Pada serangan berat atau yang berlangsung lama Pa
CO2 bisa meninggi sebagai akibat dari kombinasi obstruksi
berat jalan nafas, perbandingan V/Q yang tinggi menyebabkan
peningkatan ventilasi, dan kelelahan otot-otot pernafasan. Pa
CO2 yang meninggi bisa merupakan tanda bagi kegagalan
pernafasan yang sedang mengancam.
Pa CO2 lebih besar dari 40 mmHg yang berkelanjutan
dan disertai tanda-tanda lain asma berat, hendaknya dikelola
dalam unit perawatan intensif dengan evaluasi yang seksama
untuk mengetahui perlu tidaknya diberikan intubasi atau
ventilasi mekanik.
3) Foto Thorax
Foto Thorax perlu dilakukan ringan. Pertimbangkan
usia kehamilan
e) Masalah
a. Gangguan pertukaran gas, tidak efektif bersihan jalan napas
berhubungan dengan. bronkospasme, edema mukosa.
 Tujuan :menunjukkan perbaikan pertukaran gas

56
 Kriteria Hasil
a) tidak ada wheezing dan retraksi.
b) batuk menurun.
c) warna kulit kemerahan
 Intervensi:
a) Kaji RR, auskultasi bunyi napas.
Rasional: sebagai sumber data adanya perubahan sebelum
dan sesudah perawatan diberikan.
b) Beri posisi high fowler atau semi-fowler.
Rasional: mengembangkan ekspansi paru.
c) Dorong untuk latihan napas dalam dan batuk efektif.
Rasional: membantu membersihkan mucus dari paru dan
napas dalam memperbaiki oksigenasi.
d) Lakukan suction.
Rasional: membantu mengeluarkan secret yang tidak dapat
dikeluarkan.
e) Berikan oksigen sesuai program.
Rasional: memperbaiki oksigenasi dan mengurangi sekresi.
f) Monitor peningkatn pengeluaran sputum.
Rasional: sebagai indikasi adanya kegagalan pada paru.
g) Berikan bronchodilator sesuai indikasi.
Rasional: otot pernapasan menjadi relaks dan steroid
mengurangi inflamasi.
b. Kelelahan berhungan dengan hipoksia dan peningkatan kerja
pernapasan.
 Tujuan : menunjukkan penurunan kelelahan
 Kriteria hasil:Px dapat berpartisipasi dan mampu meningkatkan
kemampuan dalam beraktifitas.
 Intervensi :
a) Kaji tanda – tanda hipoksia / hypercapnea ; kelelahan,
agitasi, peningkatan HR, peningkatan RR

57
Rasional:deteksi dini untuk mencegah hipoksia dapat
mencegah keletihan lebih lanjut.
b) Hindari seringnya melakukan intervensi yang tidak penting
yang dapat membuat anak lelah, berikan istirahat yang
cukup.
Rasional:Istirahat yang cukup dapat menurunkan stress dan
meningkatkan kenyamanan.
c) Berikan istirahat cukup dan tidur 8 – 10 jam tiap malam.
Rasional:Menurunkan ketakutan dan kecemasan istirahat
cukup dan tidur cukup.
d) Ajarkan teknik manajemen stress.
Rasional:Bronkospasme mungkin disebabkan oleh
emosional dan stress
Skema Penatalaksanaan Asma di Rumah selama Kehamilan dan Laktasi

Pengobatan Awal
Inhalasi MDI 2-4 semprot atau
nebulizer boleh samapi 3x
dengan selang waktu 15 menit

Respon Baik Respon Tidak Baik Respons Buruk


- Eksaserbasi ringan - Eksaserbasi sedang - Eksaserbasi berat
- APE > 80% prediksi - APE 50-80% - APE <50% prediksi
- Tidak ada mengi / sesak prediksi - Mengi / sesak napas
napas - Mengi / sesak napas menonjol
- Respons terhadap inhalasi menetap - Aktivitas janin menurun
agonis β2 bertahan selama 4 - Aktivitas janin Pengobatan
jam menurun - Tambahkan kortikosteroid
- Aktivitas janin wajar* Pengobatan oral
Pengobatan - Tambahkan - Ulangi inhalasi agonis β2
- Agonis β2 inhalasi setiap 3-4 kortikosteroid oral segera
jam untuk 1-2 hari - Teruskan inhalasi - Bila distress pernapasan
- Pada pasien yang telah agonis β2 aksi berat dan tidak responsive
menggunakan kortikosteroid pendek segera hubungi dokter dan
inhalasi dosis ditingkatkan pergi ke IGD
2x nya untuk 7-10 hari

Hubungi dokter untuk instruksi Hubungi dokter untuk Kunjungi segera Instalasi
berikutnya instruksi berikutnya Gawat Darurat

58
Algoritma penatalaksanaan eksaserbasi asma selama kehamilan dan laktasi : di Ruang
Gawat Darurat dan Rumah Sakit
Penilaian Awal
Anamnesis, Pemeriksaan fisik (frekuensi napas, denyut jantung, penggunaan otot napas tambahan,
auskultasi). APE atau VPE 1, saturasi oksigen dan pemeriksaan lainnya sesuai indikasi. Mulai
pemeriksaan janin (pergunakan alat pemantau janin elektronik secara kontinyu dan atau profil biofisk
bila kehamilan telah mencapai viabilitas janin.

VEP 1 atau APE > 50% VEP 1 atau APE < 50% Ancaman / actual henti
 Agonis β2 kerja singkat dengan (Eksaserbasi Berat) napas
MDI atau nebulizer sampai  Agonis β2 kerja singkat dosis  Intubasi dan ventilasi
dengan 3 dosis pada jam pertama tinggi setiap 20 menit atau mekanik dengan O2
 Oksigen untuk mencapai saturasi terus menerus selama 1 jam + 100%
> 95% ipatropium bromide inhalasi  Agonis β2 kerja singkat
 Steroid oral bila tidak respons  Oksigen untuk mencapai + ipatropium bromide
segera atau pasien telah minum saturasi > 95% dengan nebulizer
steroid oral sebelumnya  Steroid oral sistemik  Steroid intravena

PENILAIAN ULANG Rawat ICU


Gejala, pemeriksaan fisik, APE, saturasi oksigen dan
tes lainnya sesuai indikasi. Lanjutkan penilaian janin.

Eksaserbasi Sedang Eksaserbasi Berat


VEP atau APE 50-80% prediksi terbaik. VEP atau APE < 50% prediksi terbaik
Pemeriksaan fisik : gejala sedang Pemeriksaan fisik : gejala sesak berat pada
 Agonis β2 kerja singkat setiap 60 menit istirahat, penggunaan otot napas tambahan,
 Steroid sistemik retraksi dinding dada.
 Oksigen untuk mempertahankan  Agonis β2 kerja singkat setiap jam atau terus
saturasi O2> 95% menerus + ipatropium bromide inhalasi
 Lanjutkan terapi selama 1-3 jam, sampai  Oksigen
ada perbaikan  Steroid sistemik

Respons Baik Respons Tidak Komplit Respons Buruk


 VEP 1 atau APE > 70%  VEP 1 atau APE > 50%  VEP 1 atau APE < 50%
 Respons bertahan 60 menit tapi < 70%  PCO2>42 mmHg
setelah pengobatan terakhir  Gejala ringan – sedang  Pemeriksaan fisik : sesak
 Tidak ada distress pernapasan  Lanjutkan penilaian hebat, bingung, mengantuk
 Pemeriksaan fisik normal janin  Lanjutkan penilaian janin
 Pastikan kembali keadaan janin

Keputusan perawatan
berdasarkan tiap individu Rawat di ICU
Dipulangkan ke rumah o Inhalasi agonis β2 kerja
o Lanjutkan terapi dengan singkat setiap jam atau terus
agonis β2 kerja singkat Rawat di Rumah Sakit menerus + inhalasi
o Lanjutkan steroid oral o Inhalasi agonis β2 kerja singkat ipapropium bromide
o Mulai atau lanjutkan + ipatropium bromide o Steroid intravena
steroid inhalasi sampai o Steroid oral atau intravena o Oksigen
follow up selanjutnya o Oksigen o Pikirkan kemungkinan
o Edukasi pasien o Pantau VEP 1 atau APE, intubasi dan ventilasi
o Tinjau ulang penggunaan saturasi oksigen, nadi mekanik
obat o Lanjutkan penilaian janin o Lanjutkan penilaian janin
o Tinjau ulang / mulai sampai pasien stabil sampai pasien stabil
rencana tindakan
o Dianjurkan untuk tindak
lanjut secara ketat 59 PERBAIKAN
Tabel 3. Langkah penanganan asma pada kehamilan

- Konseling mengenai pengaruh kahamilan dan asma, serta


pengobatan. Penyesuaian terapi maintenance untuk
Sebelum
optimalisasi fungsi respirasi,
kehamilan
- Hindari factor pencetus, alergen.
- Rujukan dini pada pemeriksaan antenatal.
- Penyesuaian terapi untuk mengatasi gejala. Pemantauan
kadar teofilkin dalam darah, karena selama hamil terjadi
hemodilusi sehingga memerlukan dosis yang lebih tinggi.
- Pengobatn untuk mencegah serangan dan penanganan dini
bila terjadi serangan.
Selama
- Pemberian obat sebaiknya inhalasi, untuk menghindari efek
kehamilan
sistemik pada janin.
- Pemeriksaan fungsi paru ibu.
- Pada pasien yang stabil, NST dilakukan pada akhir trimester
II/awal trimester III.
- Konsultasi anestesi untuk persiapan persalinan.
- Pemeriksaan FEV1, PEFR saat masuk rumah sakit dan
diulang bila timbul gejala.
- Pemberian oksigen adekuat.
- Kortikosteroid sistemik (hidrokortison 100 mg i.v. tiap 8 jam)
diberika 4 minggu sebelum persalinan dan terapi maintenance
Saat diberikan selama persalinan.
persalinan - Anestesi epidural dapat digunakan selama proses persalinan.
Pada persalinan operatif lebih baik digunakan anestesi
regional untuk menghindari rangsangan pada intubasi trakea.
Penanganan hemoragi pascapersalinan sebaiknya
menggunakan uterotonika atau PGE2 karena PGE dapat
merangsang bronkospasme.
- Fisioterapi untuk membantu pengeluaran mucus paru, latihan
pernapasan untuk mencegh atau meminimalisasi atelektasis,
Pascapersalian mnulai pemberian terapi maintenance.
- Pemberian ASI tidak merupakan kontraindikasi meskipun ibu
mendapat obat antiasma termasuk prednisone.
(Dikutip dari : Williams Obstetrics 22nd ed, 2005)

60
3. Radang Paru-Paru (Pneumonia)
a. Definisi
Pneumonia merupakan suatu infeksi paru-paru yang disebabkan
oleh bermacam-macam patogen, termasuk bakteri, virus, dan jamur.
Individu mungkin terinfeksi organisme tersebut melalui transmisi dari
penyebaran daerah pernapasan atas, melalui peredaran darah, atau
melalui dahak yang terinfeksi (Mays & Leiner, 1996)
Pnemonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan
paru-paru (alveoli). Radang paru-paru sering terjadi pada kasus-kasus
berat seperti eklampsia, proses persalinan lama, dan sesudah operasi.
Penyakit ini perlu diketahui dan diobati sedini mungkin karena kondisi
penyakit yang berat dapat membahayakan jiwa ibu dan janinnya. Selain
itu, penyakit inipun dapat menyulitkan proses persalinan.
b. Etiologi
Patogen penyebab utama pneumonia seringnya tidak dapat
teridentifikasi pada kasus perorang. Namun, ketika identifikasi
pathogen pneumonia telah dilaksanakan, yang terjadi pada ibu hamil
sama dengan identifikasi populasi pneumonia pada wanita tidak hamil.
Bakteri patogen yang paling sering ditemukan pada wanita hamil
diantaranya :
1. Streptococcus pneumonia (S. pneumoniae), penyebab dua per tiga
pneumonia orang dewasa
2. Haemohilus influenza (H. influenzae)
3. Mycoplasma pneumonia (M. pneumoniae)
4. Legionella pneumophila (L. pneumophila)
5. Chlamydia pneumonia (C. pneumonia [TWAR]), penyebab
pneumonia yang cukup bermakna pada ibu hamil karena
menyebabkan 5-10 % kasus pneumonia yang dirawat di rumah sakit.
6. Moraxella catarrhalis (M. catarrhalis) (Rigby & Pastroek, 1996;
Rodrigues & Niederman, 1992)
Virus pathogen yang berhubungan dengan pneumonia selama
kehamilan diantaranya :

61
1. Influenza A.
2. Varicella virus
3. Para-influenza virus
4. Adenovirus
5. Virus lainnya
Pneumonia yang disebabkan jamur seperti Pneumocystis carinii
dan Aspergillus fumigates jarang terjadi pada individu dengan system
imun yang baik tapi terjadi pada wanita dengan system imun yang
terganggu (pada wanita yang terinfeksi HIV).
Faktor resiko lain yang mempermudah kolonisasi S. Pneumoniae,
Haemophilus influenzae, dan Legionella adalh merokok, asma, dan
minum minuman beralkohol.
Infeksi Nosokomial organisme pneumonia juga dapat terjadi.
Patogen seringkali berhubungan dengan infeksi nosokomial termasuk :
1. Staphylococcus aureus (S. aureus)
2. Klebsiella pneumonia (K. pneumonia)
3. Eschericia coli (E. coli)
4. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa)
5. Virus Influenza tipe A dan B

c. Tanda Dan Gejala


a) Pneumonia Bakteri
Sebenarnya bakteri penyebab pneumonia yang paling umum
adalah Streptococcus pneumoniae sudah ada di kerongkongan manusia
sehat. Begitu pertahanan tubuh menurun oleh sakit, usia tua, atau
malnutrisi, bakteri segera memperbanyak diri dan menyebabkan
kerusakan.
Ibu tiba-tiba akan mengalami beberapa gejala dari gejala yang
ada di bawah ini (Mays & Leiner, 1996; Rigby & Pastroek, 1996
Rodrigues & Niederman, 1992; Shannon, 1995):
 Demam, biasanya lebih tinggi dari 380C (khususnya pada ibu
dengan pneumococcal pneumonia)

62
 Batuk dengan suara yang berat, mengeluarkan nanah dan atau
lendir yang sedikit berdarah.
 Menggigil
 Sakit dada
 Dyspneu
 Malaise
 Sakit kepala (jarang)
 Myalgia (Nyeri otot)
 Perubahan pada status mental (sering terjadi pada L.Pneumonia)
 Nausea, Vomiting, diare, (biasanya berhubungan dengan
L.Pneumonia)
b) Pneumonia Virus
Gejala yang berhubungan dengan pneumonia yang disebabkan
virus hampir sama dengan gejala yang terjadi pada Pneumonia yang
disebabkan bakteri. Namun, lebih lanjut lagi akan ada laporan
mengenai hasil pemeriksaan yang utama pada ibu dengan pneumonia
ini adalah adanya infeksi karena virus.
 Riwayat exanthema virus yang mengindikasikan infeksi virus
rubella atau varisela yang baru terjadi.
 Riwayat gejala yang mengindikasikan influenza yang baru terjadi.
c) Pneumonia Tipikal atau Mikoplasma
Pneumonia jenis ini berbeda gejala dan tanda-tanda fisiknya
bila dibandingkan dengan pneumonia pada umumnya. Karena itu,
pneumonia yang diduga disebabkan oleh virus yang belum ditemukan
ini sering juga disebut pneumonia yang tidak tipikal (Atypical
Penumonia).
Pneumonia mikoplasma mulai diidentifikasi dalam perang
dunia II. Mikoplasma adalah agen terkecil dialam bebas yang
menyebabkan penyakit pada manusia. Mikoplasma tidak bisa
diklasifikasikan sebagai virus maupun bakteri, meski memiliki
karakteristikkeduanya.Pneumonia yang dihasilkan biasanya berderajat
ringan dan tersebar luas.

63
Pneumonia yang terjadi yaitu dengan adanya serangan
berangsur-angsur pada beberapa gejala di bawah ini yaitu (Mays &
Leiner, 1996; Shannon, 1995) :
 Sakit kepala
 Malaise
 Demam dengan tingkat rendah
 Sakit tenggorokan
 Pembesaran kelenjar getah bening
 Batuk tidak berdahak yang terus menerus (khususnya bila
M.Pneumonia)
 Rasa tidak nyaman pada otot dada (buka sakit pleura)
 Gejala yang berhubungan dengan sinusitis
 Sakit Kepala
 Cairan hidung bernanah
 Demam
 Sakit pada tepi kelopak mata
 Gejala pada Sistem Saraf Pusat, termasuk leher kaku, masalah
koordinasi, kurang pendengaran (terjadi lebih dari 7 persen dari
pasien pneumonia yang disebabkan M. Pneumonia)

d. Komplikasi
Radang paru-paru sering terjadi pada kasus-kasus berat seperti
eklampsia, proses persalinan lama, dan sesudah operasi. Penyakit ini perlu
diketahui dan diobati sedini mungkin karena kondisi penyakit yang berat
dapat membahayakan jiwa ibu dan janinnya. Selain itu, penyakit inipun
dapat menyulitkan proses persalinan.

e. Patofisiologi
1. Perubahan Anatomi
Sejumlah perubahan anatomi terjadi pada dada selama
kehamilan, termasuk peningkatan sudut subcostal dan peningkatan
diameter melintang dari dada. Diafragma juga bertambah 4cm. Secara

64
bersamaan, perubahan ini mengurangi kemampuan wanita hamil untuk
dalam proses respirasi. Dengan ketinggian dari diafragma yang
mengarah pada penurunan kapasitas fungsional sisa yang berhubungan
pula dengan peningkatan konsumsi oksigen yang terjadi selama
kehamilan, sehingga mengurangi kemampuan ibu hamil untuk
mentolerir Hypoxia, terutama pada trimester ketiga. Peningkatan
progesteron selama kehamilan merangsang pusat pernafasan di otak
sehingga terjadi hyperventiasi dan menjadi sulit bernafas yang
umumnya terjadi selama kehamilan normal. Penilaian pernapasan
harus tetap normal, jika adanya takipneu merupakan suatu keadaan
patologis. Terjadinya tachypneu itu akan digunakan untuk
mengevaluasi kerasnya sakit ketika adanya pneumonia.
2. Perubahan Sistem Imun
Faktor predisposisi utama ibu hamil dengan pneumonia akut
adalah perubahan system imun atau kekebalan. Perubahan ini terutama
terjadi pada sel-mediated system imun. Menurut hasil penelitian
beberapa ahli, sejumlah kehamilan mengalami perubahan system imun
ibu seperti penurunan respon proliferative limfosit, penurunan aktivitas
sel pembunuh alami dan penurunan absolute sel penolong T4. Serum
ibu juga dapat memblokir pengeluaran lymphokine dan
lymphoproliferatif.
Adaptasi imunologis yang terjadi pada tempat janin hidup itu
dapat melindungi janin dari antigen yang berbeda dari ibu namun dapat
meningkatkan kerentanan ibu terhadap infeksi.
3. Perubahan Hormonal
Perubahan aktivitas hormonalyang terjadi saat kehamilan
tentunya berpengaruh pada infeksi yang terjadi. Progesteron, HCG,
alpha-fetoprotein dan cortisol menghambat sel-mediated imunitas.
Selain itu, estrogen (17-estradiols), progesterone dan testosterone telah
terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan pathogen in vitro tertentu,
seperti Coccidioides immits. Oleh karena adaptasi fisiologi selama
kehamilan ini, perubahan keseimbangan cairan paru-paru dapat terjadi.

65
Kehamilan telah dikaitkan dengan kecenderungan untuk meningkatkan
cairan interstitial paru-paru, yang kemungkinan akan meningkatkan
cedera paru-paru.

f. Penatalaksanaan
a) Penanganan Awal
 Manajemen pengobatan ibu hamil dengan pneumonia harus
kolaborasi dengan dokter.
 Ibu hamil yang sedang mengalami gejala yang parah, terdapat
tanda hipoksia, riwayat menjalani pengobatan yang dapat
melemahkan respon imun, atau yang telah didiagnosa terinfeksi
organisme berbahaya maka harus dirawat di rumah sakit.
 Untuk kelompok tanpa komplikasi, rawat jalan memungkinkan
untuk dilakukan. Pengobatan empiris antibiotic untuk suspek
pneumonia bakteri sebaiknya dilakukan sesuai dengan pathogen
penyebab penyakit tersebut. (seperti S.pneumoniae, H.influenzae).
Antibiotik yang dapat diberikan diantaranya :
 Amoxicillin dan clavulanate
 Cefuroxime
 Trimethoprim/sulfamethoxazole
 Ibu dengan pneumonia virus dan jamur harus dikonsultasikan
dengan dokter.
 Segera lakukan pemeriksaan kehamilan (seperti NST, Index cairan
amnion) antara usia kehamilan 32-36 minggu pada ibu dengan
IUGR atau yang memiliki riwayat mengalami pneumonia selama
kehamilannya.
 Anjurkan ibu melakukan pemeriksaan USG setiap 3-4 minggu
sekali pada ibu dengan IUGR untuk menilai perkembangan janin.
 Vaksin Pneumococcal direkomendasikan untuk ibu dengan :
 Sistem imun yang baik tapi memiliki penyakit kronis (seperti
diabetes mellitus, penyakit jantung, penyakit paru-paru,
pengguna alcohol)

66
 Kerusakan imun (seperti kerusakan ginjal kronik, lymphoma,
myeloma multiple, atau dengan keadaan transplantasi organ)
 Terinfeksi HIV (Asymtomatik maupun Simptomatik)
 Tinggal di lingkungan atau keadaan social yang teridentifikasi
dapat meningkatkan resiko penyakit pneumonia dan
komplikasinya.
 Vaksin pneumococcal polyvalent 0,5 mL IM dapat melindungi dari
23 jenis S. Pneumonia pada ibu dengan system imun yang baik.
Catatan : Durasi imunisasi tidak diketahui, namun diperkirakan
dapat melindungi untuk jangka waktu 5 sampai 10 tahun.
Pneumococcal merupakan vaksin dari bakteri yang telah mati,
dengan dampak pada janin yang tidak diketahui. Idealnya, vaksin
ini seharusnya diberi terlebih dahulu sebelum kehamilan atau
setelah trimester pertama kehamilan.
 Vaksin Influenza seharusnya diberi setahun sekali pada ibu yang
akan mengalami hal yang sama atau dengan usia kehamilan lebih
dari 14 minggu selama musim influenza.
Catatan : Vaksin Pneumococcal dan Influenza dapat diberikan pada
waktu yang sama di tempat penyuntikan yang berbeda tanpa
meningkatkan terjadinya efek samping.
 Konseling yang dapat dilakukan diantaranya :
 Memberitahu ibu mengenai pneumonia termasuk penyebabnya,
gejala klinis, indikasi diagnose tes, pilihan pengobatan,
komplikasi yang mungkin terjadi pada ibu dan janin serta
perlunya penanganan lanjut.
 Memberitahu ibu untuk memeprhatikan tanda dan gejala dari
kemungkinan komplikasi yang berhubungan dengan
pneumonia dan perlunya evaluasi segera jika hal itu terjadi.
 Jika ibu dianjurkan untuk menjalani pengobatan di rumah sakit,
dokter yang bertanggungjawab atas perawatannya harus
mendiskusikan mengenai pilihan pengobatandan perlunya
perawatan rumah sakit untuk ibu.

67
 Jika ibu merokok, anjurkan ibu untuk berhenti agar mencegah
adanya eksaserbasi gejala, lebih jauh lagi merusak jaringan
paru-parunya serta menyebabkan efek merugikan pada janin.
Jika ibu tidak merokok namun tinggal di lingkungan yang
membuatnya dikategorikan perokok pasif, anjurkan ibu untuk
menghindarinya sebisa yang ibu lakukan.
b) Penanganan Lanjut
 Jika ibu di rawat di rumah sakit, jadwal kunjungan lanjutan seperti
yang direkomendasikan dokteryang bertanggungjawab untuk
perawatannya.
 Evaluasi lanjutan dilakukan pada beberapa ibu yang gejalanya
tetap ada setelah terapi yang tepat dan sesuai, yang mungkin saja
tidak menurut pada sejumlah perawatan atau yang mengalami
komplikasi dari gejala yang ada.
 Ibu yang menjalani rawat jalan dan tanpa tanda adanya masalah
kehamilan sebaiknya harus kembali untuk melakukan pemeriksaan
kehamilan rutin sesuai perjanjian khusus dengan institusi
perawatan.
 Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan (seperti IUGR) harus
melanjutkan pemeriksaan klinis dan pengawasan janin (seperti
NST dan ultrasound).
 Dokumentasikan diagnosis pneumonia dan pengobatannya pada
catatan perkembangan serta daftar masalah.
g. Asuhan
a) Pengkajian
 Riwayat dan Keluhan
 Riwayat penyakit jantung ataupun paru-paru
 Riwayat splenektomi
 Riwayat Penyakit kronis (seperti penyakit ginjal)
 Riwayat penggunaan alcohol narkoba suntik.
 Riwayat penurunan imun (seperti infeksi HIV, pemberian obat
immunosuppressive)

68
 Riwayat Anemia
 Riwayat infeksi pernapasan atas yang baru terjadi, influenza,
serangan virus (seperti rubella, varisela)
 Riwayat hospitalisasi
 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang ditemukan pada kehamilan dengan
pneumonia (Rigby & Pastroek, 1996; Rodrigues & Niederman,
1992) diantaranya :
 Keadaan Umum
Mungkin tampak cemas, khawatir, risau atau bingung,
tergantung pada tingkat hipoksia dan/ atau kesakitan yang
bersamaan (seperti meningitis)
 Tanda-tanda Vital
o Suhu mungkin meningkat ataupun normal
o Tekanan Darah mungkin normal atau menurun (jika syok
atau dehidrasi berat)
o Nadi mungkin meningkat
o Pernapasan mungkin normal atau meningkat; ortophnea
mungkin terjadi.
 Kulit
o Warna kulit mungkin normal atau keabu-abuan menuju
sianosis tergantung pada perfusi oksigen ibu.
o Jaringan turgor yang kurang baik dapat terjadi pada ibu
dengan dehidrasi.
o Bintik-bintik merah dapat terjadi pada ibu yang terinfeksi
virus dan jamur (seperti Coccidioides immits) secara
serentak bersamaan.
 Dada
o Pada pemeriksaan,
o Palpasi dinding dada
- Tenderness palpasi otot interkosta

69
- Peningkatan getaran yang terasa dapat terjadi pada
daerah konsolidasi.
 Pada perkusi dada dapat menunjukkan
o Penurunan ekskursi diafragma pada bagian yang
terserang, jika terjadi penumpukan cairan pleura pada
pangkal paru.
o Bunyi Dullnes pada daerah konsolidasi.
 Pada auskultasi paru dapat menunjukkan
o Bunyi berderak
o Bunyi napas bronchi atau tubular (jika ada
konsolidasi)
o Bunyi gesekan pleura (jika ada efusi pleura)
o Adanya penurunan atau tidak ada bunyi napas
vesicular (jika ada efusi pleura)
o Peningkatan bronchophonia, egophonia, bising paru
(jika ada efusi pleura)
o Pada auskultasi dapat terdengan bunyi murmur
sistolik. (jika ada efusi pleura)
 Abdomen
o Palpasi menyeluruh
Selama kehamilan, wanita dengan pneumonia
mungkin mengalami masalah pernapasan yang minimal,
namun akan mengemukakan bahwa mereka mengalami
sakit atau ketidaknyamanan pada daerah abdomennya.
o TFU lebih kecil daripada normalnya usia kehamilan dapat
terjadi. (jika IUGR)
 Pada pemeriksaan saraf dapat menunjukkan kaku kuduk (jika
Sistem Saraf Pusat terlibat)
 PemeriksaanPenunjang
 Tes Darah lengkap (Complete Blood Count)
o Pneumonia bakteri (khususnya S.pneumonia) biasanya
menunjukkan leukositosis.

70
o Hemoglobin/Hematokrit mengalami peningkatan pada ibu
dengan dehidrasi atau mengalami penurunan bila ibu
menderita anemia pula.
 Tes serum kimia
 Gas darah dapat menunjukkan adanya hipoksia
 Tes radiografi dada
 Titer serumantibody
b) Masalah Keperawatan
 Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan inflamasi
trachea bronchial, peningkatan produksi sputum
 Tujuan: Jalan nafas efektif
 Kriteria Hasil:
o Batuk efektif
o Nafas normal
o Bunyi nafas bersih
 Intervensi:
o Kaji frekuensi/kedalaman pernafasan dan gerakan dada
Rasional : takipnea, pernafasan dangkal dan gerakan dada
tak simetris sering terjadi karena ketidaknyamanan.
o Auskultasi area paru, catat area penurunan 1 kali ada aliran
udara dan bunyi nafas
Rasional: penurunan aliran darah terjadi pada area
konsolidasi dengan cairan.
o Biarkan teknik batuk efektif
Rasional : batuk adalah mekanisme pembersihan jalan
nafas alami untuk mempertahankan jalan nafas paten.
o Penghisapan sesuai indikasi
Rasional: merangsang batuk atau pembersihan jalan nafas
suara mekanik pada faktor yangtidak mampu melakukan
karena batuk efektif atau penurunan tingkat kesadaran.
o Berikan cairan sedikitnya

71
Rasional: cairan (khususnya yang hangat) memobilisasi dan
mengeluarkan sekret
o Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat sesuai
indikasi: mukolitik, eks.
Rasional: alat untuk menurunkan spasme bronkus dengan
mobilisasi sekret, analgetik diberikan untuk memperbaiki
batuk dengan menurunkan ketidaknyamanan tetapi harus
digunakan secara hati-hati, karena dapat menurunkan upaya
batuk/menekan pernafasan.
 Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan pembawa
oksigen darah, gangguan pengiriman oksigen
 Tujuan: Gangguan gas teratasi
 Kriteria Hasil:
o Sianosis
o Nafas normal
o Sesak
o Hipoksia
o Gelisah
 Intervensi:
o Kaji frekuensi/kedalaman dan kemudahan bernafas
Rasional: manifestasi distress pernafasan tergantung pada
indikasi derajat keterlibatan paru dan status kesehatan
umum.
o Observasi warna kulit, membran mukosa dan kuku. Catat
adanya sianosis perifer (kuku) atau sianosis sentral.
Rasional: sianosis kuku menunjukkan vasokontriksi respon
tubuh terhadap demam/menggigil namun sianosis pada
daun telinga, membran mukosa dan kulit sekitar mulut
menunjukkan hipoksemia sistemik.
o Kaji status mental.

72
Rasional: gelisah mudah terangsang, bingung dan somnolen
dapat menunjukkan hipoksia atau penurunan oksigen
serebral.
o Tinggikan kepala dan dorong sering mengubah posisi, nafas
dalam dan batuk efektif.
Rasional: tindakan ini meningkat inspirasi maksimal,
meningkat pengeluaran sekret untuk memperbaiki ventilasi
tak efektif.
o Kolaborasi Berikan terapi oksigen dengan benar misal
dengan nasal plong master, master venturi.
Rasional: mempertahankan PaO2 di atas 60 mmHg. O2
diberikan dengan metode yang memberikan pengiriman
tepat.
 Resiko tinggi terhadap infeksi (penyebaran) berhubungan dengan
ketidakadekuatan pertahanan sekunder (adanya infeksi penekanan
imun), penyakit kronis, malnutrisi.
 Tujuan: Infeksi tidak terjadi dengan
 Kriteria Hasil:
o waktu perbaikan infeksi/kesembuhan cepat tanpa
o penularan penyakit ke orang lain tidak ada
 Intervensi:
o Pantau tanda vital dengan ketat khususnya selama awal
terapi
Rasional: selama awal periode ini, potensial untuk fatal
dapat terjadi.
o Tunjukkan teknik mencuci tangan yang baik
Rasional: efektif berarti menurun penyebaran/perubahan
infeksi.
o Batasi pengunjung sesuai indikasi.
Rasional: menurunkan penularan terhadap patogen infeksi
lain

73
o Potong keseimbangan istirahat adekuat dengan aktivitas
sedang, Tingkatkan masukan nutrisi adekuat.
Rasional: memudahkan proses penyembuhan dan
meningkatkan tekanan alamiah
o Kolaborasi pemberian antimikrobial sesuai indikasi dengan
hasil kultur sputum/darah misal penicillin, eritromisin,
tetrasiklin, amikalin, sepalosporin, amantadin.
Rasional: Obat digunakan untuk membunuh kebanyakan
microbial pulmonia.

4. Penyakit Tromboemboli
Menurut Cunningham (2005), pada wanita sehat, kehamilan dan
masa nifas secara tradisional dianggap sebagai salah satu resiko tertinggi
terjadinya trombosis vena dan embolisme paru. Kelainan-kelainan tersebut
masih merupakan penyebab utama kematian ibu hamil di Amerika Serikat.
Dari Centers for Disease Control and Prevention, Koonin, dkk., (1997)
melaporkan bahwa emboli paru trombotik menyebabkan 20 persen dari
1459 kematian terkait-kehamilan di Amerika Serikat dari tahun 1987
sampai 1990. Jacob, dkk., (1998) melaporkan insiden serupa untuk Utah
dari tahun 1982 sampai 1994. Kelainan tersebut juga merupakan penyebab
utama kematian ibu hamil di Inggris dari tahun 1994 sampai 1996 (de
Swiet, 2000).
a. Insiden
Penurunan frekuensi penyulit tromboembolisme pada kehamilan
mungkin berkaitan dengan semakin meningkatnya kecanggihan uji-uji
diagnostik (American College of Obstetricians and Gynecologists,
1997). Juga, frekuensi penyakit tromboembolisus vena selama masa
nifas berkurang drastis setelah praktek ambulasi dini meluas. Stasis
mungkin merupakan faktor predisposisi terpenting bagi terjadinya
trombosis vena dalam sehingga harus diminalkan. Tabel 5
memperlihatkan insiden tromboembolisme-baik trombosis vena dalam
paru-pada hampir 1 juta kehamilan. Dari laporan-laporan ini insiden

74
dari semua tromboembolus adalah 1 per 1000 kehamilan. Sekitar
separuh diidentifikasi antepartum dan separuhnya lagi pada masa nifas.
Pada sekitar 15 persen, emboli paru timbul menyertai trombosis vena
dalam atau terjadi de novo. Faktor-faktor resiko yang disebutkan di
sebagian penelitian adalah seksio sesarea, yang menyebabkan
peningkatan resiko, dan kejadian trombosis pascapartum meningkat
pada preeklampsia. Bornstein dan Weiss (2000) menjelaskan suatu
sistem skor untuk memperkirakan tromboembolisme pada kehamilan
atau pascapartum (Cunningham, 2005).
Tabel 5. Insidens Tromboembolisme pada Kehamilan
Insiden Trombosis Vena Dalam dan
Emboli Paru
Kehamilan Tromboembolisme (per 1000)
Penelitian
Jum- To- Ante- Pasca- Jum- Freku- AP/P
lah tal partum partum lah ensi P
Cunningha 35.000 20 0,57 0,48 0,09 4 1:9.000 50/50
m, dkk.,
(1993) 63.300 78 1,23 0,75 0,50 2 1:31.000 NS
Andersen,
dkk., 268.500 165 0,61 0,35 0,26 38 1:7.000 40/60
(1998)
Gherman, 72.000 62 0,86 0,57 0,29 11 1:6.500 50/50
dkk.,
(1999) 479.400 608 1,27 0,64 0,63 90 1:5.300 50/50
McColl,
dkk., 88.000 38 0,43 0,26 0,17 11 1:8.000 50/50
(1999)
Lindqvist, 1.006.20 971 0,97 0,52 0,45 156 1:6.400 50/50
dkk., 0
(1999)
Witlin,
dkk.,
(1999)
Rata-rata
perkiraan
AP/PP = insiden antepartum/pascapartum dalam persen; NS = tidak disebutkan

Menurut Cunningham (2005), akhir-akhir ini perhatian diarahkan


pada sejumlah defisiensi protein yang berperan dalam inhibisi koagulasi
atau dalam sistem fibrinolitik. Defisiensi-defisiensi ini-yang secara
bersama-sama disebut sebagai trombofilia-dapat menyebabkan
hiperkoagulabilitas dan tromboembulus vena rekuren (Gherman dan

75
Goodwin, 2000; Lockwood, 1999). Trombofilia-trombofilia yang utama
terjadi akibat mutasi yang menyebabkan defisiensi antitrombin III,
protein S dan C, faktor V dan IX serta protombin kuantitatif atau
kualitatif dan homozigositas ganda untuk faktor V Leiden dan mutasi
protombin G20210A-dan mungkin yang lain-tampaknya meningkatkan
resiko tromboembolisme rekuren (De, Stefano, dkk., 1999).
Menurut Greer (1999), trombofilia herediter tersering saat ini
adalah yang disebabkan oleh mutasi faktor V Leiden yang
menyebabkan resisten terhadap protein C aktif-suatu antikoagulan
alami. Dalam sebuah studi kasus-kelola terhadap 119 wanita yang
mengalami tromboembolus salama hamil, Gerhardt, dkk., (2000)
mendapatkan bahwa 44 persen (7,7 persen kontrol) memiliki mutasi
faktor V Leiden disertai peningkatan resiko untuk trombosis sebesar
sembilan kali lipat. Resiko ini semakin meningkat apabila terdapat jua
mutasi protombin atau faktor V Leiden pada kehamilan yang
mengalami penyulit tromboembolus.
Resiko untuk tromboembolus antepartum pada kelainan-kelainan
herediter ini tidak diketahui pasti. Dalam sebuah penelitian kecil,
Hough, dkk., (1996) enyebutkan angka 15 persen untuk resiko
trombosis terkait-kehamilan pada pasien dengan mutasi faktor V
Leiden. Resiko trombosis pada defisiensi protein C diperkirakan 3
sampai 10 persen, dan untuk defisiensi protein S angkanya mungkin
mencapai 6 persen. Menurut Greer (1999), resiko-resiko ini meningkat
pascapartum dan untuk defisiensi protein C dan S masing-masing
diperkirakan sebesar 7 sampai 19 persen dan 7 sampai 22 persen
(Cunningham, 2005).

76
5. Embolisme Paru
a. Pengertian Emboli Paru
Emboli paru merupakan oklusi atau penyumbatan bagian
pembuluh darah paru-paru pada embolus. Embolus ialah suatu benda
asing yang tersangkut pada suatu tempat dalam sirkulasi darah. Benda
tersebut ikut terbawa oleh aliran darah yang berasal dari suatu tempat
lain dalam sirkulasi darah. Proses timbulnya embolus disebut
embolisme. Sebenarnya, hampir 99% emboli berasal dari trombus.
Bahan lainnya adalah tumor, gas, lemak, sumsum tulang, cairan
amnion, dan trombus septik (Somantri, 2007).
b. Insiden
Menurut Cunningham (2005), walaupun menyebabkan sekitar
10 persen kematian ibu, emboli paru relatif jarang terjadi selama
kehamilan dan masa nifas. Dari laporan-laporan sejak 10 tahun
terakhir terhadap hampir 1 juta kehamilan, rata-rata insiden kelainan
ini adalah 1 dari 6400. Laporan-laporan ini menunjukkan bahwa
emboli antepartum dan pascapartum memiliki prevalensi yang hampir
setara, tetapi yang timbul pascapartum memiliki angka kematian lebih
tinggi. Pada banyak kasus, tetapi tentunya tidak semua, timbul gejala-
gejala klinis trombosis vena dalam di tungkai mendahului embolisasi
paru. Pada yang lain, terutama yang berasal dari vena-vena panggul
dalam, pasien biasanya asimtomatik sampai timbul gejala-gejala
embolisasi.
c. Gambaran Klinis
Temuan-temuan dari International Coorperative Pulmonary
Embolism Registary (ICOPER) baru-baru ini dlaporkan oleh
Goldhaber, dkk., (1999). Selama periode 2 tahun, hampir 2500 pasien
tidak hamil yang terbukti mengalami emboli paru disertakan. Gejala
tersering adalah dispnea (82 persen), nyeri dada (49 persen), batuk (20
persen), sinkop (14 persen), dan hemoptisis (7 persen). Menurut
American College of Obstetricians and Gynecologists (1997),
gambaran klinis yang predominan adalah takipnea (89 persen),

77
dispnea (81 persen), batuk (54 persen), takikardia (43 persen), dan
hemoptisis (34 persen). Pada sebagian kasus, terjadi peningkatan
bunyi penutupan katup pulmonalis, ronki basah, atau friction rub.
Pada elektrokardiogram mungkin dijumpai deviasi sumbu kanan.
Bahkan pada emboli paru yang masif, gejala, tanda dan data
laboratorium untuk menunjang diagnosis emboli paru bersifat
nonspesifik (Cunningham, 2005).
d. Diagnosis
Menurut Cunningham (2005), di sebagian besar sentra,
digunakan skintigrafi ventilasi-perfusi karena merupakan teknik
yang paling tidak invasif dan dapat mendiagnosis emboli paru secara
akurat. Pemindaian ini menggunakan zat radioaktif dosis rendah,
biasanya albuminyang mengandung tekhnetium (99mTc) dan diberikan
secara intravena. Pajanan radiasi ke janin hampir dapat diabaaikan.
Pemindaian ini mungkin tidak menghasilkan diagnosis definitif karena
banyak penyakit lain-misalnya pneumonia atau bronkospasme-dapat
menyebabkan gangguan perfusi. Pemindaian ventilasi dengan xenon
99m
133 atau Tc ditambahkan ke pemindaian perfusi dengan harapan
bahwa ventilasi kanan abnormal, tetapi perfusi normal, di bagian-
bagian yang mengalami pneumonia atau hipoventilasi. Karena itu,
walaupun pemindaian ventilasi meningkatkan kemungkinan diagnosis
emboli paru yang akurat pada pasien dengan defek perfusi yang
besar atau ketidakcocokan ventilasi, ventilasi-perfusi yang normal
tidak menyingkirkan kemungkinan emboli paru.
Karena ketidakpastian ini, National Heart, Lung, and Blood
Institute melakukan Prospective Investigation of Pulmonary Embolism
Diagnosis (PIOPED, 1990). Studi ini dirancang untuk menentukan
sensitivitas dan spesifitas pemindaian ventilase-perfusi untuk
mendiagnosis emboli paru. Penelitian ini mencakup 933 pasien yang
931-nya menjalani skintigrafi dan 755 angiografi paru; 33 persen dari
755 pasien yang diperiksa dengan angiografi memperlihatkan emboli
paru. Walaupun hampir semua pasien dengan embolus

78
memperlihatkan kelainan pemindaian dengan probabilitas kuat,
sedang, atau rendah, pasien yang tidak mengalami embolus juga
memperlihatkan hal demikian (sensitivitas 98 persen; spesifisitas 10
persen). Dari 116 pasien yang probabilitasnya kuat pada pemindaian,
88 persen memperlihatkan embolus pada angiografi, tetapi hanya
sebagian kecil dari mereka yang mengidap embolus paru
memperlihatkan probabilitas yang tinggi pada pemindaian (sensitivitas
41 persen; spesifisitas 97 persen). Dari 322 pasien dengan probabilitas
sedang pada pemindaian, 33 persen memperlihatkan ambolus pada
angiografi, dan untuk mereka yang probabilitasnya rendah, angkanya
12 persen. Yang penting 4 persen dari pasien dengan pemindaian
yang normal atau hampir normal memperlihatkan emboli paru
apabila dideteksi dengan angiografi.
Pada peneliti PIOPED menyimpulkan bahwa pemindaian yang
probabilitasnya tinggi biasanya menunjukkan emboli paru, tetapi
hanya sebagian kecil pasien dengan embolus memperlihatkan
pemindaian yang probabilitasnya tinggi. Pemindaian dengan
probabilitas rendah disertai kesan klinis kuat bahwa embolisme tidak
terjadi membuat kemungkinan embolus paru tidak mungkin terjadi.
Demikian juga, pemindaian yang normal atau yang nyaris normal
memperkecil kemungkinan diagnosis. Akhirnya pemindaian yang
probabilitasnya sedang tidak bermanfaat untuk menetapkan diagnosis.
Karena itu, pemindaian disetai penilaian klinis memungkinkan kita
melakukan diagnosis secara noninvasif atau menyingkirkan emboli
paru hanya pada sebagian kecil pasien.
Karena ketidakakuratan tersebut, para peneliti menganjurkan
pendekatan diagnostik terintegrasi bagi wanita yang hasil
pemindaiannya berprobabilitas sedang atau rendah. Sebagai contoh,
Goldhaber (1998) menganjurkan pemeriksaan lanjutan apabila kadar
D-dimer dalam serum tinggi karena kadar normal memiliki nilai
prediksi negatif yang sangat baik. Pada pasien yang kadar D-dimernya
meningkat, ia menganjurkan pemeriksaan-pemeriksaan noninvasif

79
terhadap vena-vena dalam di tungkai atau angiografi paru. CT scan
spiral telah digunakan untuk mendiagnosis emboli paru secara
noninvasif. Metode ini memperlihatkan harapan untuk
mengidentifikasi embolus pembuluh besar tetapi kurang akurat untuk
embolus kecil yang multiple.
e. Penatalaksanaan
Jumlah kematian ibu karena emboli paru telah mengalami
peningkatan dalam trinium terakhir (1994-1996), yaitu dari 30 kasus
menjadi 46 kasus. Kematian maternal hanya menggambarkan proporsi
yang sangat kecil untuk ibu-ibu hamil yang menderita emboli paru.
Sebagai konsekuensinya, para profesional dipaksa untuk
mempertahankan tingkat kecurigaan yang tinggi terhadap berbagai
kelainan tromboemboli, dan penggunaan obat-obat antikoagulan yang
semakin luas dalam terapi profilaksis ‘perlu direkomendasikan dengan
segera’. Juga terjadi peningkatan pengakuan terhadap kebutuhan
terapi antikoagulan terhadap ibu hamil dengan riwayat kelainan
bawaan “prokoagulan” sehingga ibu tersebut berisiko tinggi untuk
mengalami kejadian tromboemboli. Karena itu, besar
kemungkinannya bagi para bidan untuk menghadapi semakin
banyaknya ibu hamil yang mendapatkan pengobatan antikoagulan
(Jordan, 2003).
Menurut Cunningham (2005), terapi untuk emboli paru serupa
dengan untuk trombosis vena dalam, tetapi hasil-hasilnya belum
banyak dilaporkan.Secara umum, heparin diberikan pada awalnya
dengan cara serupa seperti untuk trombosis vena dalam. American
College of Obstetricians and Gynecologists (2000) menganjurkan
dosis awal intravena sebesar 80 U/kg dengan penetalaksaan lainnya
serupa seperti untuk trombosis vena dalam.
Metode-metode lain juga dapat digunakan, dan sebagian besar
penulis menganjurkan dosis awal sebesar 1000 U/jam setelah dosis
bolus awal sebesar 5000 sampai 10.000 U intravena. Dosis
dipertahankan untuk menghasilkan pemanjangan waktu

80
tromboplastin-parsial aktif sebesar dau kali lipat. Metode lain
mencakup penyuntikkan intravena intermiten heparin 5000 U setiap 4
jam atau 7500 U setiap 6 jam. Akhirnya, heparin dapat diberikan
secara subkutan dalam dosis 10.000 U setiap 8 jam 20.000 U setiap 12
jam. Yang sama dari berbagai regimen ini adalah bahwa dosis heparin
harian berkisar antara 25.000 sampai 40.000 U.
Pada pasien tidak hamil, penyebab kematian tersering adalah
emboli paru rekuren (Goldhaber, 1998). Untuk mencegah hal ini,
sebagian besar penulis menganjurkan antikoagulasi terapetik selama 4
sampai 6 bulan. Bagi wanita yang mengalami tromboemboli
pascapartum, atau bagi mereka yang mendapat heparin antepartum
dan telah melahirkan, biasanya terapi yang diberikan adalah warfarin.

6. Sarkoidosis
a. Pengertian
Menurut Cunningham (2005), sarkoidosis adalah suatu penyakit
multisistem kronik yang etiloginya tidak diketahui dan ditandai
dengan akumulasi limfosit T dan fagosit di dalam granuloma
nonkaseosa. Penyakit tampaknya berkaitan dengan peningkatan
respons terhadap limfosit kaitan dengan peningkatan respons terhadap
limfosit T-helper berlebihan. Organ yang paling sering terkena adalah
paru, diikuti oleh kulit, mata, dan kelenjar getah bening. Prevalensinya
di Amerika Serikat adalah 10 sampai 40 per 100.000, dengan
distribusi jenis kelamin setara tetapi predileksi 10 sampai 20 kali lipat
pada orang Amerika keturunan Afrika (Crystal, 1998). Sebagian besar
pasien berusia antara 20 dan 40 tahun.
b. Gambaran Klinis
Gambaran klinis bervariasi, tetapi umumnya adalah dispnea dan
batuk kering yang muncul secara perlahan dalam beberapa bulan tanpa
gejala konstitusi. Pada sekitar seperempat pasien, awitan penyakitnya
akut, dan 10 persen asimtomatik saat ditemukan (Cunningham, 2005).

81
c. Diagnosis
Menurut Cunningham (2005), lebih dari 90 persen pasien
memperlihatkan kelainan pada pemeriksaan foto toraks. Pneumonitis
intestisialisadalah tanda utama keterlibatan paru. Sekitar separuh dari
pasien yang mengalami kelainan radiologis permanen.
Limfadenopati, terutama di mediastinum, terdapat pada 75 sampai 90
persen kasus; 25 persen mengalami uveitis; dan 25 persen
memperlihatkan keterlibatan kulit, biasanya berupa eritema
nodosum. Semua sistem organ pada dasarnya dapat terkena.
Konfirmasi diagnosis tidak mungkin dilakukan tanpa biopsi, dan
karena paru mungkin satu-satunya organ yang terkena, pengambilan
jaringan sering sulit dilaksanakan.
d. Prognosis
Secara keseluruhan, prognosis untuk sarkoidosis baik, dan pada
separuh pasien, penyakit mereda tanpa pengobatan. Pada separuh
lainnya, terjadi disfungsi organ permanen walaupun ringan dan
nonprogresif. Sekitar 10 persen pasien meninggal akibat penyakitnya
(Cunningham, 2005).
e. Penatalaksanaan
Glukokortikosteroid adalah terapi yang paling sering diberikan,
namun, kerusakan organ yang permanen jarang dapat dipulihkan
dengan pengobatan ini. Karena itu, keputusan untuk mengobati
didasarkan pada gejala, temuan fisik foto toraks, dan uji fungsi paru.
Menurut Crystal (1998), terapi biasanya ditunda selama beberapa
bulan untuk observasi, kecuali apabila gejala-gejala pernafasan
menonjol, dan apabila gejala-gejala tidak mereda, pasien diberi
prednison 1 mg/kg selama 4 sampai 6 minggu (Cunningham, 2005).
f. Sarkoidosis dan kehamilan
Menurut Leveno (2009), sarkoidosis jarang menjadi penyulit
kehamilan dan jarang berpengaruh buruk kecuali jika memang
penyakitnya memang sebelumnya telah parah. De Regt (1987)
melaporkan 14 kasus selama periode 12 tahun di Downstate Medical

82
Center, ketika hampir 20.000 wanita melahirkan di tempat tersebut.
Laporan bahwa kehamilan memberi efek menguntungkan masih
dipertanyakan karena adanya kecenderungan sarkoidosis untuk
membaik secara spontan. Bukti-bukti yang ada mengisyaratkan bahwa
sarkoidosis jarang mengganggu kehamilan kecuali apabila
penyakitnya sudah parah (Selroos, 1990). De Regt (1987) melaporkan
dua kasus fetal akibat sarkoidosis yang luas, satu dengan abses paru
multiple dan yang lain dengan fibrosis interstisial yang berat.
Seballos, dkk., (1994) melaporkan seorang wanita dengan gagal
jantung peripartum akibat sarkoidosis paru dan jantung. Boggess,
dkk., (1995) melaporkan dua kehamilan pada seorang wanita dengan
penyakit paru restriktif berat akibat sarkoidosis. Maisel dan Lynam
(1996) melaporkan seorang wanita hamil 16 minggu yang meninggal
mendadak akibat meningitis granulomatosa disertai keterlibatan
batang otak dan hidrosefalus obstruktif (Cunningham, 2005).
Selroos (1990) mengulas 655 pasien dengan sarkoidosis yang
dirujuk ke Mjolbosta Hospital District di Finlandia selatan. Dari 252
wanita berusia antara 18 sampai 50 tahun, 15 persen mengalami
sarkoidosis selama kehamilan atau dalam 1 tahun pascapartum. Tidak
terdapat bukti bahwa penyakit memburuk pada 26 kehamilan dengan
penyakit aktif; tiga mengalami abortus spontan dan 23 wanita lainnya
melahirkan aterm. Pada 18 kehamilan dari 12 wanita dengan penyakit
inaktf, hasil kehamilan baik dan tidak terdapat tanda-tanda aktivasi
penyakit. Pengalaman ini serupa dengan yang dilaporkan oleh Agha,
dkk., (1982) untuk 35 kehamilan yang dirawat di University of
Michigan Hospital(Cunningham, 2005).
Menurut Cunningham (2005), sarkoidosis aktif diterapi dengan
petunjuk-petunjuk yang serupa dengan yang digunakan untuk wanita
tidak hamil. Penyakit yang parah merupakan indikasi untuk
pemeriksaan fungsi paru serial. Uveitis simtomatik, gejala paru
diterapi dengan prednison 1 mg/kg per hari.

83
7. Fibrosis Kistik
a. Pengertian
Fibrosis kistik adalah salah satu penyakit genetik serius tersering
pada ras Kaukasia (Cunningham, 2005),.
b. Etiologi
Menurut Cunningham (2005), penyakit ini disebabkan oleh satu
dari lebih 800 mutasi titik di lengan panjang kromosom 7 yang
mempengaruhi saluran ion klorida-cytic fibrosis transmembrane
conductance receptor regulator (CFTR). Frekuendi penyakit ini
diperkirakan adalah 1 per 1500 kelahiran Kaukasia dan 1 per 17.000
kelahiran Amerika-Afrika. Median usia harapan hidup telah
meningkat dari 14 tahun pada tahun 1969 menjadi 30 tahun pada
tahun 1995 (Ramsey, 1996). Karena terjadi penyempurnaan dalam
diagnosis dan terapi, hampir 80 persen wanita dengan fibrosis kistik
dapat bertahan hidup hingga usia dewasa. Walaupun banyak yang
infertil akibat keterlambatan perkembangan seksual serta mungkin
kelainan produksi mukus serviks, kehamilan tidak jarang terjadi.
North American Cystic Fibrosis Foundation memperkirakan bahwa 4
persen pasien fibrosis kistik hamil setiap tahun (Edenborough, dkk.,
1995). Pria yang bertahan hidup hingga dewasa sering mengalami
aspermia.
Mutasi-mutasi yang menimbulkan fibrosis kistik menyebabkan
perubahan transportasi elektrolik-elektrolik melintasi membran sel
epitel.
c. Gambaran Klinis
Penyakit ini ditandai dengan disfungsi kelenjar eksokrin disertai
pembentukkan sekresi yang kental dan lengket. Kelainan kelenjar
keringat ekrin merupakan dasar bagi uji keringat (sweat test)
diagnostik, yang ditandai dengan meningkatnya kadar natrium,
kalium, dan klorida dalam keringat.
Hampir semua pasien memperlihatkan keterlibatan paru, yang
juga merupakan penyebab tersering kematian. Hipertrofi kelenjar

84
bronkus disertai penyumbatan oleh mukus dan obstruksi saluran nafas
halus menyebabkan infeksi yang akhirnya menimbulkan bronkitis
kronis dan bronkiektasis. Bakteri yang mengkoloni saluran pernafasan
antara lain adalah Pseudomonas aeruginosa pada lebih dari 90%.
Peradangan parenkim akut dan kronik akhirnya menyebabkan
fibrosis luas, dan bersama dengan obstruksi jalan napas, menimbulkan
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Akibat akhirnya adalah
insufisiensi paru. Transplantasi paru atau jantung memiliki angka
kelangsungan hidup 5 tahun sebesar 33% (Cunningham, 2005).
d. Fibrosis dalam kehamilan
Keterlibatan paru disertai penyakit paru kronik, hipoksia, dan
infeksi berulang dapat membahayakan kehamilan. Sering terjadi kor
pulmonale, dan Cohen, dkk. (1980) melaporkan bahwa 13 persen
wanita hamil dengan fibrosis kistik mengalami gagal jantung.
Disfungsi pankreas juga berperan besar mengganggu gizi ibu.
Meski laporan-laporan terdahulu mengisyaratkan bahwa
kehamilan memperburuk fibrosis kistik, hal ini mungkin berkaitan
dengan penyakit stadium berat (Olson, 1997). Cohen, dkk. (1980)
menyurvei sentra-sentra fibrosis kistik dan melaporkan informasi yang
diperoleh dari 129 kehamilan. Mereka mendapatkan bahwa
meningkatnya mortalitas ibu dan perinatal berkaitan dengan infeksi
paru yang parah. Mereka menggunakan skor keparahan dari
Schwachman-Kulezycki atau Taussig, yang didasarkan pada kriteria
radiologis dan klinis. Skor ini berkisar dari 0 sampai 100, dan skor 50
atau kurang pada pasien tidak hamil mengisyaratkan prognosis yang
buruk, sedangkan skor 90 atau lebih mengisyaratkan hasil yang baik.
Mereka menyimpulkan bahwa kehamilan sebaiknya tidak dianjurkan
kecuali apabila skor paling sedikit 80. Prognosis jangka panjang juga
harus dipertimbangkan-pada penelitian ini, 18 persen wanita
meninggal dalam 2 tahun.
Kent dan Farquharsan (1993) mengkaji hasil-hasil akhir pada
215 kehamilan dari 160 wanita dengan fibrosis kistik yang

85
dipublikasikan dari tahun 1960 sampai 1991. Lebih dari 80 persen
kehamilan berkembang hingga usia 20 minggu. Seperempat dari
kehamilan ini dilahirkan preterm, dan angka kematian perinatal adalah
14 persen. Tiga kematian maternal terjadi pada wanita yang fungsi
parunya paling buruk. Sepuluh wanita lainnya dengan gangguan
fungsi paru tingkat sedang meninggal dalam waktu kurang dari 6
bulan setelah pelahiran. Dalam 2 tahun Setelah melahirkan, 14 persen
wanita meninggal.
Conny, dkk., (1991), melaporkan pengalaman mereka dengan 38
kehamilan pada 25 wanita dengan fibrosis kistik. Terapi prekehamilan
dilanjutkan, termasuk pemberian enzim prankeas pada 12 wanita
dengan insufiensi pankreas, antibiotik oral, bronkodilator aerosol,
fisioterapi dada, dan asupan gizi. Pada 30 persen kehamilan dengan
penyulit paru, pasien harus dirawat inap. Tiga wanita mengalami
diabetes gestasional, dan satu orang yang mengalami pankreatitis
pascapartum. Dari 34 kehamilan penuh, terdapat dua pelahiran
preterm, dan satu bayi dengan hambatan pertumbuhan yang lahir dari
wanita dengan penyakit paru obstruktif berat. Hanya satu wanita yang
meninggal dalam 2 tahun setelah melahirkan, dibandingkan dengan 18
persen yang dilapokan dalam survei oleh Cohen, dkk. (1980). Mereka
menekankan bahwa wanita yang mereka laporkan tidak separah
pasien-pasien fibrosis kistik lainnya. Sebagai contoh, diagnosis
ditegakkan pada usia yang relatif lanjut dan rendahnya insiden
insufisiensi pankreas yang keduanya merupakan faktor prognosis baik.
Laporan-laporan selanjutnya menyokong bahwa prognosis bagi
ibu dan janin bergantung pada keterlibatan paru. Edenborough, dkk.
(1995, 2000) melaporkan 69 kehamilan pada wanita yang dirawat di
11 sentra fibrosis kistik di Inggris. Selain abortus, seluruh dari 48
kehamilan menghasilkan lima bayi lahir hidup, tetapi separuh
dilahirkan preterm. Mereka melaporkan bahwa apabila volume
ekspirasi paksa dalam 1 detik prahamil kurang dari 60 persen prediksi,
resiko pelahiran preterm dan seksio sesarea, penyulit pernafasan, dan

86
kematian dini pada ibu menjadi signifikan. Gilljam, dkk. (2000)
melaporkan hanya terdapat enam kelahiran preterm dari 74 kehamilan
viabel pada 54 wanita. Frangolias, dkk (1997) melaporkan tujuh
wanita dengan fungsi paru stabil selama kehamilan. Jankelson, dkk.
(1998) melaporkan 13 kehamilan pada 11 wanita, dan lima dari enam
memiliki fungsi paru normal berdasarkan definisi FEV1 lebih dari 80
persen. Meski mereka tidak mengalami kesulitan, empat dari lima
wanita yang FEV1-nya kurang dari 80 persen mengalami perburukan
fungsi paru dan melahirkan preterm. Tiga dari lima wanita ini
meninggal dalam 7 tahun (Cunningham, 2005).
e. Penatalaksanaan pada Kehamilan
Konseling prakehamilan merupakan keharusan. Wanita yang
memilih untuk hamil harus dipantau secara ketat dengan uji fungsi
paru serial dan surveilans terhadap infeksi sekunder, munculnya
diabetes, dan gagal jantung. Wanita yang skor Schwachman-
Kulezycki-nya lebih dari 75, status gizi baik, dan FEV1 paling tidak 70
persen biasanya dapat mentoleransi kehamilan dengan baik. Drainase
postural dan terapi bronkodilator jangan sampai diabaikan. Terapi
inhalasi deoksiribonuklease manusia rekombinan 1 memperbaiki
fungsi paru dengan mengurangi kekentalan sputum (Olson, 1997).
Insufisiensi prankreas diterapi dengan pemberian enzim pankreas per
oral. Apabila timbul penyulit, terutama infeksi paru, pasien harus
segera dirawat inap. Untuk persalinan dan apelahiran, dianjurkan
analgesia epidural, terutama untuk persalinan operatif. Terapi kor
pulmonale adalah bronkodilator, oksigen, dan diuretik (Cunningham,
2005).

87
8. Keracunan Karbon Monoksida
Karbon monoksida dijumpai di mana-mana, dan sebagian besar
orang dewasa yang tidak merokok memiliki saturasi karbon
monoksihemoglobin sebesar 1 sampai 3 persen. Pada para perokok, kadar
dapat setinggi 5 sampai 10 persen. Kadar toksik sering dijumpai di daerah-
daerah yang ventilasinya tidak memadai yang dipanasi oleh penghangat
ruangan. Karbon monoksida adalah gas yang tidak berbau dan tidak berasa
serta memiliki afinitas kuat terhadap hemoglobin sehingga dapat
menggeser oksigen dan mengganggu penyalurannya.
Wanita hamil, terutama janin mereka, tidak dapat mentoleransi
inhalasi karbon monoksida yang berlebihan. Gejala-gejala biasanya
muncul apabila konsentrasi karboksihemoglobin mencapai 20 sampai 30
persen. Konsentrasi lebih dari 50 sampai 60 persen menimbulkan gejala
berat dan dapat mematikan ibu; diperkirakan, kadar yang lebih rendah
sudah mematikan bagi janin. Karena hemoglobin F memiliki afinitas yang
lebih besar terhadap karbon monoksida, maka kadar karboksihemoglobin
janin adalah 10 sampai 15 persen lebih tinggi daripada kadar pada ibu.
Apabila seorang pasien bernafas dengan menggunakan udara
ruangan, waktu-paruh karboksihemoglobin adalah 4 sampai 6 jam, tetapi
pada oksigen 100 persen waktu paruhnya adalah sekitar 1 jam. Oksigen
hiperbarik dengan tekanan 3 atmosfir menurunkan waktu paruh ini
menjadi sekitar 20 menit. Terapi keracunan karbon monoksida adalah
suportif disertai pemberian oksigen 100 persen(Tomaszewski, 1999). Pada
kehamilan umumnya dianjurkan pemberian oksigen hiperbarik, dan
Elkharrat dkk. (1991) melaporkan keberhasilan terapi pada 44 wanita
hamil. Silverman dan Montano (1997) juga melaporkan keberhasilan
penatalaksanaan pada seorang wanita yang kelainan fungsi neurologis dan
kardiopulmonalisnya mereda seiring dengan deselerasi variabel frekuensi
denyut jantung janin (Cunningham, 2005).

88
9. Flu Pada Ibu Hamil
Penyakit flu pilek selama kehamilan jarang menyebabkan cacat lahir,
kehamilan dapat meningkatkan risiko komplikasi flu seperti pneumonia.
Cara terbaik untuk memiliki kehamilan yang sehat adalah mencoba untuk
mencegah jangan sampai terkena flu atau pilek.
a. Cara Terbaik untuk Mencegah Flu Selama Kehamilan
Jawabannya adalah vaksinasi. Vaksin flu adalah cara nomor satu
terbaik untuk mencegah flu. Studi menunjukkan bahwa penyakit virus
seperti flu dan pilek biasanya berlangsung tiga kali lebih lama pada
wanita hamil. Akan tetapi vaksinasi ini masih jarang dilakukan di
Indonesia.
Untuk mencegah paparan flu selama kehamilan ikuti cara-cara
berikut ini:
a) Sering Cuci tangan dengan sabun
b) Hindari orang banyak.
c) Hindari kontak dengan orang yang memiliki flu atau pilek.
d) Jangan menyentuh mata, hidung, atau mulut.

Kuman sering menyebar ketika Anda menyentuh permukaan


benda yang terkontaminasi dan kemudian menyentuh mata, hidung,
atau mulut.
Selain itu, hubungi dokter jika:
a) Anda mengalami kesulitan bernapas
b) Gejala tidak membaik atau memburuk setelah tiga sampai empat hari
c) Setelah merasa sedikit lebih baik, muncul tanda-tanda masalah yang
lebih serius
Beberapa tanda-tanda masalah yang lebih serius adalah perasaan
sakit pada perut, muntah, demam tinggi, menggigil, nyeri dada, atau
batuk dengan lendir kental, kuning-hijau.

b. Cara Mengobati Gejala Demam, pilek atau Flu Selama Kehamilan


Banyak flu dan obat demam belum diteliti dengan baik pada
kehamilan. Jika Anda sedang hamil dan terkena flu, hubungi dokter

89
Anda sebelum mengonsumsi obat-obat yang terjual bebas di pasaran,
karena tidak semua obat flu tersebut aman untuk ibu hamil.
Pengobatan untuk gejala pilek dan flu yang mungkin dokter
sarankan selama kehamilan, meliputi:
a) Acetaminophen, pengobatan pilihan untuk demam, sakit dan nyeri
flu dan pilek selama kehamilan
b) Saline nasal spray atau irigasi hidung
c) Pseudoefedrin, dekongestan dapat membantu untuk beberapa
orang. Hindari pseudoefedrin pada trimester pertama atau jika
Anda memiliki hipertensi.
Wanita hamil yang terkena flu berisiko lebih besar terkena
komplikasi penyakit serius dan kematian akibat flu. CDC danAmerican
College of Obstetrics and Gynecology merekomendasikan penggunaan
Tamiflu (oseltamivir) pada wanita hamil yang mengalami flu.
c. Pengobatan Alami untuk Gejala Flu Selama Kehamilan
Cobalah empat obat flu alami selama kehamilan berikut:
a) Gunakan pelega berbasis gula atau madu untuk meredakan sakit
tenggorokan dan batuk.
b) Istirahat, tidur.
c) Minum cairan yang cukup, seperti air, jus, dan minuman bebas
kafein.
d) Menempatkan pelembab udara di kamar Anda untuk memberikan
kelembaban ekstra, yang dapat membantu mengurangi hidung
tersumbat.

90
BAB 3
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, penyakit yang menyertai kehamilan itu
diantaranya adalah penyakit paru seperti TBC paru, asma, dan pneumonia.
Semua penyakit ini memberikan dampak pada kehamilan sehingga semua
penyakit harus bisa ditangani dengan baik sehingga dampak yang ada tidak
besar atau minimal atau bahkan tidak ada dampak yang ditimbulkan pada
kehamilan baik itu pada ibu maupun pada janin.
Selain itu, dalam penangan penyakit-penyakit ini harus diperhatikan
dalam pemberian obat-obatan. Karena dengan pemberian obat-obatan yang
salah dapat memberikan efek terutama kepada sang janin. Sehingga kita harus
mengetahui jenis obat-obatan yang boleh diberikan kepada ibu hamil dan juga
yang tidak boleh diberikan pada ibu hamil. Jangan sampai kita bermaksud
memberikan pengobatan untuk kesembuhan tapi malah menyebabkan efek
teratogenik pada janin.

B. Saran
Sebagai saran kami, sebagai penolong persalinan kita harus bisa
mendeteksi secara dini penyakit-penyakit yang menyertai kehamilan sehingga
dapat meminimalkan atau menghilangkan resiko cacat atau kematian janin.
Kita harus bisa megetahui penanganan yang tepat atau pengobatan yang aman
buat kehamilan ibu sehingga persalinan dapat berjalan secara fisiologi. Selain
itu, kesadaran dari ibu untuk memeriksakan diri selama hamil sehingga tidak
dapat terdeteksi secara dini.

91
Daftar Pertanyaan
1. Bagaimana pemberian obat pada ibu hamil TM I yang mengidap TBC paru
aktif? Apakah obat-obatannya berbahaya?
- Pemberian obat TBC (OAT) saat kehamilan pada umumnya sama dengan
pemberian obat saat tidak hamil, namun tetap harus dalam pengawasan
dokter ahli. Pada TM I terdapat OAT yang berbahaya yaitu jenis
streptomisin karena terbukti dapat menyebabkan tuli bawaan (ototoksik)
pada janin.
- Terapi pada trimester pertama harus mempertimbangkan tingkat keparahan
penyakitnya. Pasien yang tidak sakit berat dianjurkan untuk terapi dengan
INH dan Etambutol saja hingga selesai trimester I, kemudian mulai terapi 6
bulan penuh dengan pirazinamid, rifampisin, dan INH
2. Bagaiman pencegahan pada bayi saat lahir dengan ibu yang TBC paru?
- Bayi yang saat lahir dapat diberikan pencegahan dengan pemberian INH
dengan dosis tertentu dan pengawasan dokter ahli.
- Pemberian imunisasi BCG dilakukan sesuai ketentuan dan dipastikan bayi
yang akan diimunisasi tidak terpapar TBC, karena kontraindikasi pemberian
imunisasi BCG adalah salah satunya penderita TBC.
3. Tolong dibuatkan skematik penatalaksanaan TBC paru dan Asma!
Sudah dicantumkan dalam isi makalah , yaitu:
- TBC paru di halaman
- Asma di halaman

92
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham, F Gary. 2005. Obstetri Williams vol 2. Jakarta: EGC
Doengoes, Marilynn E, dkk. 2001. Rencana Perawatan Maternal/ Bayi Edisi 2.
Jakarta: EGC.
Harrison, 1999. Prinsip-prinsip Penyakit Dalam Edisi 13. Jakarta: EGC
Jordan, Sue. 2003. Farmakologi Kebidanan. Jakarta; EGC
Leveno, J. Kennet. 2009. Obstetri Williams Panduan Ringkas Edisi 21. Jakarta;
EGC
Llewellyn, Derek. 2002. Dasar-dasar Obstetri dan Ginekologi edisi 6. Jakarta;
Hipokrates
Manuaba. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit kandungan, dan Keluarga berencana
untuk Pendidikan Bidan. EGC : Jakarta
Mansyur Arif dkk, 2000: Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : Media Aescalapius.
Mochtar, Rustam . 2000. Sinopsis Obstetri, Jakarta :EGC
Prawirotiardjo Sarwana, 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwana Prawirotiardjo
Prawiroharjo, Sarwono. 2007. Ilmu KebidananEdisi Ketiga. Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawiroharjo : Jakarta
Price, Sylivia A, dkk. 2006.Patofisiologi konsep klinis proses-proses Penyakit.
Jakarta: EGC
Somantri, Irman. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Asuhan Keperawatan pada
Pasien dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta; Salemba Medika
Sulaeman, R. 1982. Obstetri Patologi. Bandung : Eltar Offset.
Varney, Hellen dkk. 2003. Asuhan Kebidanan Volume 1. Jakarta: EGC
Niederman MS, Ahmed QA. Pneumonia in the Pregnant Patient: A Synopsis.
MedGenMed 1(3), 1999 [formerly published in Medscape Pulmonary
Medicine eJournal 3(3), 1999]. Available at:
http://www.medscape.com/viewarticle/408745Sunday, December 26, 2010
6:26:13 AM. Diakses pada tanggal 25-09-2012
http://my.opera.com/doktermuda/blog/2010/12/26/penyakit-paru-paru-pada-
kehamilan tgl.11/9-2012 09.00. diakses pada tanggal 15-09-2012
http://asuhankeperawatanonline.blogspot.com/2012/03/asuhan-keperawatan-
penyakit-paru-dalam.html. Diakses pada tanggal 25-09-2012
http://mediskus.com/tips/flu-pada-ibu-hamil/. diakses pada tanggal 12-10-2012

93

You might also like