You are on page 1of 10

A.

PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)


A.1. Defenisi Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
- Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan obstruksi aliran udara kronis dan reversible yang di
tandi dengan dua kondisi utama meliputi (Dipiro 9th Edition : 2012):
a. Kronis Bronkitis : sekresi lendir kronis atau rekuren berlebih dengan batuk. Hal ini dapat terjadi
hampir setiap hari setidaknya 3 bulan dalam setahun minimal 2 kali berturut-turut.
b. Emfisema : pembesaran ruang udara yang tidak normal dan permanen distal ke arah Bronkiolus
terminal, disertai dengan kerusakan dindingnya, tanpa fibrosis.
- Penyakit Paru Obstruktif Kronik adalah penyakit sistem pernapasan yang kronis dan umum yang
ditandai dengan hilangnya progresif (DIpiro 7th : 2008)
- Penyakit Paru Obstruktif Kronik adalah penyakit yang ditandai oleh keterbatasan jalan udara yang
progresif yang tidak sepenuhnya dapat pulih kembali. Keterbatasan jalan udara biasanya dapat
progresif dan terasosiasi dengan respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel asing atau
gas. Kondisi paling umum yang menyebabkan Paru Obstruktif Kronik adalah bronkitis kronik dan
emfisema. (ISO Farmakoterapi : 2008)
a. Bronkitis kronik berhubungan dengan sekresi berlebih mukus kronik atau berulang ke dalam
cabang bronkus dengan batuk yang terjadi hampir setiap hari selama paling tidak 3 bulan dalam
setahun dan ini berlangsung paling tidak dalam 2 tahun berturut-turut bila penyebab batuk yang
lain telah dikeluarkan.
b. Emfisema didefinisikan sebagai pembesaran permanen yang abnormal dari ruang udara pada
posisi distal terhadap bronkhiol terminal disertai dengan kerusakan dindingnya tapi hanya fibrosis
yang jelas.
A.2. Klasifikasi Penyakit
Klasifikasi
Gejala Spirometri
Penyakit
- Tidak ada gejala waktu istirahat atau bila eksersais VEP > 80% prediksi
Ringan - Tidak ada gejala waktu istirahat tetapi gejala ringan VEP/KVP < 75%
pada latihan sedang (mis : berjalan cepat, naik tangga)
- Tidak ada gejala waktu istirahat tetapi mulai terasa VEP 30-80% prediksi
Sedang
pada latihan/kerja ringan (mis : berpakaian) VEP/KVP < 75%
- Gejala sedang pada waktu istirahat VEP1 < 30% prediksi
Berat - Gejala berat pada saat istirahat VEP1<KVP < 75%
- Tanda-tanda korpulmonal
( Pharmaceutical care : 2007)

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia : 2003)


A.3. Etiologi dan Patofisiologi
a. Etiologi
- Etiologi yang paling umum adalah paparan terhadap asap rokok di lingkungan, tetapi paparan
kronis lainnya juga dapat menyebabkan COPD. Menghirup partikel asing dan gas menstimulasi
aktivasi neutrofil, Makrofag, dan Limfosit CD8+ , yang membebaskan sejumlah mediator kimiawi,
termasuk tumor necrosis factor-α (TNF-α), Interleukin-8, dan Leukotriene B4 (LTB4). Sel inflamasi
dan mediator ini menyebabkan perubahan destruktif yang meluas pada jalan udara, pembuluh
pulmoral dan parenkim paru-paru ( ISO Farmakoterapi : 2008)
- Meski merokok merupakan faktor risiko utama yang dapat dimodifikasi untuk pengembangan
PPOK, penyakit ini dapat dikaitkan dengan kombinasi faktor risiko yang mengakibatkan cedera paru
dan jaringan penghancuran. Perokok 12 sampai 13 kali lebih mungkin meninggal akibat COPD
daripada bukan perokok (Dpiro 7 : 2008)
- Perubahan inflamasi kronis menyebabkan perubahan destruktif dan pembatasan aliran udara
kronis. Penyebab paling umum adalah paparan asap tembakau. Menghirup partikel berbahaya dan
gas mengaktifkan neutrofil, makrofag dan limfosit CD8 yang melepaskan mediator kimiawi,
termasuk tumor necrosis factor-α, interleukin-8 dan leukotriene B+. Sel inflamasi dan mediator
menyebabkan perubahan destruktif yang luas pada saluran pernafasan, pembuluh darah paru dan
parenkim paru (Dipiro 9th edition : 2012)
b. Phatofisiologi
- Patofisiologis, termasuk stres oksidatif dan ketidakseimbangan antara sistem pertahanan agresif
dan protektif di paru-paru (Protease dan antiprotease). Peningkatan oksidator dari asap rokok
bereaksi dengan dan merusak berbagai protein dan lipid, yang menyebabkan sel dan kerusakan
jaringan. Oksidator juga memudahkan inflamasi secara langsung dan memperburuk
ketidakseimbangan protease-antiprotease dengan menghibisi aktivitas antiprotease. ( ISO
Farmakoterapi : 2008)
- COPD ditandai oleh perubahan inflamasi kronis yang menyebabkan perubahan destruktif dan
perkembangan aliran udara kronis limita-Tion. Proses inflamasi tersebar luas dan tidak hanya
melibatkan saluran udara tapi juga meluas ke pembuluh darah paru dan paru-paru parenkim
peradangan PPOK sering disebut sebagai neutrofil, tapi makrofag dan CD8 + limfosit juga
memainkan peran utama. Sel-sel inflamasi melepaskan berbagai macam mediator kimiawi, dimana
tumor necrosis factor-Α, Interleukin(IL-8), dan leukotrien (LT) B4 Memainkan peran utama tindakan
dari Sel dan mediator ini saling melengkapi dan berlebihan Terhadap perubahan destruktif yang
meluas. Rangsangan untuk aktivasi Sel inflamasi dan mediator adalah paparan partikel berbahaya
dan gas melalui inhalasi. (Dpiro 7 : 2008)
- Stres oksidatif dan ketidakseimbangan antara sistem pertahan agresif dan protektif di paru-
paru (protease dan antiprotease) juga dapat terjadi. Oksidan yang dihasilkan oleh asap
rokok bereaksi dengan dan merusak protein dan lipid, berkontribusi terhadap kerusakan
jaringan. Oksidan juga meningkatkan peradangan dan memperburuk ketidakseimbangan
protease-antiprotease dengan menghambat aktivitas antiprotease (Dipiro 9th edition :
2012)
A.4. Faktor Resiko
- Menurut Dipiro 7th edition : 2008)
a. Di lingkungan asap rokok, berdebu dan mengadung bahan kimia yang menyebabkan
polusi udara
b. Faktor genetik merupakan keterlambatan tekanan udara dan gangguan pertumbuhan
paru-paru
- Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia : 2003
a. Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh merokok
dalam tahun :
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : >600
b. Riwayat terpapar polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
c. Hipereaktivitas bronkus lebih penting dari factor penyebab lainnya.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
1) Riwayat merokok
- Perokok aktif
- Perokok pasif
- Bekas perokok
2) Derajat berat merokok dengan indeks brinkman (IBI), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang
rokok dihisap sehari dikalikan lama.
d. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
e. Defenisi antitrypsin α-1.
- Menurut Jurnal Teknologi Informasi : 2012
1. Kebiasaan merokok
2. Polusi udara dilingkungan dan tempat kerja
3. Hipereaktivitas bronkus
4. Riwayat infeksi saluran nafas bawah
5. Berulang

A.5. Tanda dan Gejala


(Menurut ISO Farmakoterapi : 2008)
- Gejala awal PPOK (Paru Obstruktif Kronik) termasuk batuk kronik dan produksi sputum, pasien dapat
mengalami gejala ini selama beberapa tahun sebelum berkembangannya dispnea.
- Pemeriksaan fisik menunjukan hasil normal pada pasien yang berada pada tahap PPOK yang lebih
ringan. Bila keterbatasan aliran udara menjadi parah, pasien dapat mengalami sianosis membran
mukosa karena pengembangan paru-paru berlebihan, peningkatan laju respirasi istirahat, nafas
dangkal. Bibir monyong selama ekspirasi dan penggunaan otot respirasi pelengkap.
- Pasien dengan PPOK yang memburuk dapat mengalami dispnea yang lebih parah, peningkatan
volume sputum atau peningkatan kandungan nanah pada sputum. Tanda umum lain dari PPOK yang
memburuk termasuk dada sempit, peningkatan kebutuhan bronkodilator, tidak enak badan, lelah
dan penurunan toleransi latihan fisik.
Gejala yang paling sering terjadi pada pasien PPOK adalah sesak napas. Sesak napas juga biasanya
menjadi keluhan utama pada pasien PPOK karena tergannggunya aktivitas fisik akibat gejala ini. Sesak
napas biasanya menjadi complain ketika FEV1 <60% prediksi. Pasien biasanya mendefenisikan sesak
napas sebagai peningkatan usaha untu bernapas, rasa berat saat bernapas, gasping, dan air hunger.
Batuk bisa muncul secara hilang timbul, tapi biasanya batuk kronis adalah gejala awal perkembangan
PPOK. Gejala ini juga biasanya merupakan gejala klinis yang pertama kali disadari oleh pasien. Batuk
kronis pada PPOK bisa juga muncul tanpa adanya dahak. Factor resiko PPOK berupa merokok, genetic,
paparan terhadap partikel berbahaya, usia, asma/hipereaktivitas bronkus, status sosioekonomi, dan
infeksi (Arto Yuwono, Hendarsyah : 2014).
B. OBAT
B.1. Penggolongan Obat (OOP : 2007)
a. Tiotropium Bromida : Bronkodilator kolinergik
b. Ambrokso l : Mukolitik dan ekspektoransia
B.2. Mekanisme Kerja Obat (OOP : 646-647
a. Tiotropium Bromida : Memblok reseptor muskarinik dari syaraf-syaraf kolinergik diotot polos
bronchitis sehingga aktivitas syarat adrenergic dominan untuk
menimbulkan efek bronkodilatasi.
b. Ambroxol : Mengencerkan dahak dengan merombak mukosa protein dan ekspektoransia
dengan dahak.
B.3 Efek Samping (OOP : 2007 dan ISO Farmakoterapi : 2008)
- Triotropium Bromida : Mengentalkan dahak, mulut kering, mual, nyeri kepala dan pusing.
- Ambroksol : Dehidrasi,pusing, sakit kepala, penglihatan kabur, insomnia, reaksi alergi
dan gangguan pencernaan
B.4 Interaksi Obat (OOP : 2007)
- Triotropium Bromida : Kombinasi dengan 𝛽 2 mimetika menghasilkan efek sedatif.
- Ambroksol : Menggunakan stimulan ambroxol 2 antibiotik menghasilkan peningkatan
konsentrasi antibiotik dijaringan paru. Penggunaan secara serentak dengan
misalnya kodein harus dihindari karena dapat menghambat refleks batuk.
B.5 Dosis (OOP : 2007).
- Triotropium Bromida : 1 dd 1 serbuk inhalasi (18 mcg).
- Ambroxol : 3 x 1 / hari 30 mg untuk pengobatan jangka pendek ,2 x 1/ hari 30 mg
untuk pengobatan jangka panjang (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,2003).

B.6 Farmakokinetik (Ibnu Ludi Nugroho : 2013)


- Ambroxol : - Absorbsi, diabsorbsi dengan baik dan cepat setelah pemberian oral (70-
80%). Puncak konsentrasi dalam plasma didalam darah.
- Distribusi, setelah per oral, IM dan IV dari darah ke organ berlangsung
cepat dengan konsentrasi maksimal dalam paru-paru.
- Metabolisme, sekitar 30 % setelah pemberian oral dieliminasi melalui first
pass effect. Ambroxol dimetabolisme pertama kali dihati melalui proses
glukuronidasi dan beberapa sisanya (sekitar 10 % dari dosis)
dimetabolisme menjadi metabolit kecil yakni asam dibromanthranilik.
- Ekskresi, Jumlah ekskresi ginjal adalah sekitar 90 %.
B.7 Farmakodinamik ( Ibnu Ludi Nugroho : 2013)
- Ambroxol : Meningkatkan aliran mucous dan transpor oleh mucous siliari clearance.
Peningkatan sekresi cairan dan mukous siliari clearance inilah yang
menyebabkan pengeluaran dahak dan memudahkannya keluar
bersamaan batuk.
B.8 Kontra Indikasi (ISO 2016)
-Ambroksol : Hipersensitif
B.9 Standar terapi
a. Terapi farmakologi PPOK yaitu :
- Menurut Arto Yuwono, Hendarsyah, 2014
1. Terapai famakologi
Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk meningkatkan FEV1 atau mengubah
variable spirometri dengan cara mempengaruhi tonus otot polos pada jalan napas.
2. Methylxanthine
Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah teofilin. Obat ini dilaporkan berperan dalam
perubahan otot-otot inspirasi. Namun obat ini tidak direkomendasikan jika obat lain tersedia.
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid inhalasi yang diberikan secara regular dapat memperbaiki gejala, fungsi paru,
kualitas hidup serta mengurangi frekuensi eksaserbasi pada pasien dengan FEV1<60% prediksi.
4. Phosphodiesterase-4 inhibitor
Mekanisme dari obat ini adalah untuk mengurangi inflamasi dengan menghambat pemecahan
intraselular C-AMP. Tetapi, penggunaan obat ini memiliki efek samping seperti mual, menurunnya
nafsu makan, sakit perut, diare, gangguan tidur dan sakit kepala.
- Menurut ISO Farmakoterapi : 2008
1. Simpatomimetik
- Simpatomimetik selektif β2 menyebabkan relaksasi otot polos bronkial dan bronkodilatasi
dengan menstimulasi enzim adenil siklase untuk meningkatkan pembentukan adenosin
monofosfat siklik (cAMP). Simpatomimetik juga dapat meningkatkan klirens mukosiliar.
- Pemberian melalui metered-dose inhaler (MDI) atau dry-powder inhaler (DPI) setidaknya
seefektif terapi nebulisasi dan biasanya lebih disukai karena alasan biaya dan kenyamanan.
- Albuterol, levalbuterol, bitolterol, pirbuterol dan terbutalin merupakan agen aksi pendek
yang lebih disukai karena mempunyai selektivitas β2 lebih besar dan durasi aksi lebih panjang
dibandingkan agen aksi pendek lainnya (isoproterenol, meteproterenol dan isoetarin). Rute
inhalasi lebih diminati dibandingkan rute oral dan parerental dalam hal efikasi dan efek
samping. Agen aksi pendek dapat digunakan untuk meredakan gejala. Durasi aksi
berdasarkan jadwal untuk mencegah atau meredakan gejala. Durasi aksi agonis β2 aksi
pendek adalah 4 hingga 6 jam.
- Formoterol dan salmeterol merupakan agonis β2 inhalasi aksi panjang yang diberikan setiap
12 jam berdasarkan jadwal dan menghasilkan bronkodilatasi selama interval dosis.
Penggunaan agen ini sebaiknya diper-timbangkan untuk pasien yang memperlihatkan
kebutuhan yang sering akan agen aksi pendek. Tidak satu pun obat yang diindikasikan untuk
peredaan gejala secara akut.
2. Antikolinergik
- Ketika diberikan secara inhalasi, agen antikolinergik memproduksi bronkodilatasi dengan
menginhibisi reseptor kolinergik secara kompetitif pada otot polos bronkial. Aktivitas ini
memblok asetilkolin yang efek selanjutnya adalah pengurangan guanosin monofosfat siklik
(Cgmp), yang umumnya mengkontriksi otot polos bronkial.
- Triotropium bromida merupakan agen aksi panjang yang memberikan perlindungan
terhadap bronkokontriksi kolinergik selama lebih 3 jam.
3. Kombinasi Antikolinergik dan Simpatomimetik
- Kombinasi antikolinergik inhalasi dengan agonis β2 sering digunakan terutama ketika
perkembangan penyakit dan gejala semakin memburuk seiring waktu.
Mengkonbinasikan bronkodilator dengan mekanisme yang berbeda membuat dosis efektif
terendah dapat digunakan dan mengurangi efek samping dari masing-masing zat. Kombinasi
kedua agonis β2 aksi pendek dan aksi panjang dengan ipratropium menunjukan pertambahan
peredaan gejala dan peningkatan fungsi paru-paru.
- Sediaan kombinasi yang mengandung albuterol dan ipratropium dalam MDI digunakan untuk
terapi pemeliharaan PPOK.
4. Metilxantin
- Teoffilin dan aminofilin dapat menghasilkan bronkodilatasi dengan menginhibisi
fosfodiesterase (yang kemudian menignkatkan kadar Camp ), inhibisi influks ion kalsium ke
dalam otot polos, antagonis prostaglandin, stimulasi katekolamin endogen, antagonis
reseptor adenosine dan inhibisin pelepasan mediator dari sel mast dan leukosit.
- Penggunaan kronik teofilin dalam PPOK menunjukkan peningkatan fungsi paru-paru,
termasuk kapasitas vital dan FEV1. Secara subjektif, teofilin mengurangi
dispnea,meningkatkan toleransi terhadap latihan dan memperbaiki kendali respirasi
5. Kortikosteroid
- Mekanisme antiinflamasi dimana kortikosteroid memberikan efeknya yang menguntungkan
pada PPOK termasuk penurunan permeabilitas kapiler untuk mengurangi mukus, inhibisi
pelepasan enzim proteolitik dari leukosit dan inhibisi prostaglandin.
- Keuntungan klinis terapi kortikosteroid sistemik pada penanganan PPOK kronik sering tidak
jelas dan ada resiko toksik. Sebagai konsekuensi, kortikosteroid sistemik, kronik, sebaiknya
dihindari jika memungkinkan.
- Menurut Dipiro 7th edition : 2008
1. Bronkodilator
Pada bronkodilator yang tersedia untuk pengobatan PPOK meliputi β2 -agonis,
antikolinergik, dan methylxanthin. Tidak ada penjelasan manfaatnya pada satu agen atau kelas
atas orang lain, meski terhirup terapi umumnya lebih diutamakan. Secara umum, ini bisa lebih
sulit bagi pasien dengan penyakit PPOK menggunakan alat penghirupan secara efektif
dibandingkan dengan populasi lain karena usia lanjut dan kehadiran komorbiditas lainnya,
dokter harus memberi saran, nasihat, dan amati teknik pasien dengan perangkat sering dan
konsisten.
2. Perencana Bronkodilator Aksi Pendek
Terapi awal untuk COPD Pasien yang mengalami gejala sebentar-sebentar adalah short-
acting Bronkodilator di antara agen ini, pilihannya adalah aksi pendek β2-agonis atau
antikolinergik. Entah kelas agen memiliki onset yang relatif cepat pada tindakan, mengurangi
gejala dan memperbaiki Toleransi olah raga dan fungsi paru. Secara umum kedua kelas
tersebut Sama efektifnya.
3. Simpatomimetik Aksi pendek (β2-Agonists)
Agen simpatomimetik dengan β2-selektivitas atau β2-agonis harus digunakan sebagai
bronkodilator. β2-Agonists menyebabkan bronkodilatasi dengan merangsang enzim adenil
siklase yang meningkatkan pembentukan siklik adenosin monofosfat. Berhubung dengan
putaran adenosin monofosfat bertanggung jawab untuk mediasi relaksasi otot polos bronchial
menyebabkan bronkodilatasi. Selain itu, itu dapat memperbaiki pembersihan mukosiliar.
Meski lebih pendek dan aksi kurang selektif β-agonis masih digunakan secara luas (mis,
Metaproterenol, Isoetrin, isoproterenol, dan epinefrin) seharusnya tidak digunakan karena
durasi tindakan mereka yang lebih pendek dan peningkatan cardio-efek stimulasi. Aksi pendek,
selektif β2-agonis seperti Albuterol, levalbuterol, dan pirbuterol lebih disukai untuk terapi.
4. Antikolinergik Aksi pendek
Bila diberi inhalasi, anti-Kolinergik seperti ipratropium atau atropin menghasilkan
bronkodilatasi. Oleh reseptor kolinergik yang resisten secara kompetitif pada bronkial otot
polos. Aktivitas ini menghambat asetilkolin dengan jaring efeknya adalah pengurangan
guanosin monofosfat siklik yang biasanya bertindak untuk menyempitkan otot polos bronkial.
Muskarinik reseptor pada otot polos jalan napas meliputi M1, M2, Dan M3 subtipe aktivasi M1
dan M3 reseptor dengan hasil asetilkolin dalam bronkokonstriksi. Namun, aktivasi M2 reseptor
inhibisi pelepasan asetilkolin selanjutnya.
5. Bronkodilator Aksi Lama
Untuk pasien dengan moderat sampai PPOK berat yang mengalami gejala secara teratur
dan konsisten dasar atau di mana terapi aksi pendek tidak memberikan yang memadai relief,
terapi bronkodilator jangka panjang adalah yang direkomendasikan pengobatan.
Terapi bronkodilator inhalasi yang lama bisa dilakukan dikelola sebagai β2-agonis atau
antikolinergik. Aksi panjang bronkodilators memberikan manfaat yang sama dengan agenaksi
pendek. Dalam mengurangi frekuensi eksaserbasi dan meningkatkan kualitas hidup..
6. Aksi lama, Terhirup β2-Agonists
Berperang panjang, terhirup β2-Agonis menawarkan kenyamanan dan manfaat dari durasi
yang lama tindakan untuk pasien dengan gejala persisten. Baik salmeterol dan formoterol
diberi dosis setiap 12 jam dan menyediakan bronkodilasi. Formoterol memiliki onset tindakan
yang mirip dengan albuterol (Kurang dari 5 menit), sedangkan salmeterol memiliki onset yang
lebih lambat (15 sampai 20menit). Namun, kedua agen tersebut dianjurkan untuk
menghilangkannya secara akut gejala. Manfaat klinis inhalasi long acting β2agonis
Dibandingkan dengan terapi aksi pendek termasuk yang serupa atau lebih unggul. Perbaikan
fungsi paru dan gejala serta berkurang tingkat eksaserbasi penggunaan agen lama bertindak
harus dipertimbangkan untuk pasien dengan gejala yang sering dan terus-menerus. Bila pasien
membutuhkanaksi pendek β2-agonis secara terjadwal, agen kerja lama seperti formoterol dan
salmeterol lebih banyak berdasarkan frekuensi dosis tapi juga lebih mahal.
7. Antikolinergik Aksi lama
Tiotropium bromide bertindak sebagai agen antikolinergik kuartener, telah tersedia di
Amerika Serikat sejak 2004. Agen ini memblokir efek asetilkolin dengan mengikat reseptor
muskarinik pada otot polos jalan nafas dan kelenjar lendir, menghalangi efek kolinergik
bronkokon-sekresi dan sekresi lendir. Tiotropium lebih selektif dari pada Ipratropium
menghalangi reseptor muskarinik yang penting. TiotroPium memisahkan perlahan dari M1 dan
M3 reseptor, memungkinkan bronkodilatasi disosiasi dari M2 reseptornya jauh lebih cepat,
memungkinkan penghambatan pelepasan asetilkolin. Mengikat studi tiotropium di paru-paru
manusia menunjukkan bahwa itu adalah pendekatan-10 kali lipat lebih kuat daripada
ipratropium dan proteksi bronkokonstriksi kolinergik lebih dari 24 jam.
8. Kombinasi Antikolinergik dan β2 -Agonists
Kombinasi Regimen bronkodilator sering digunakan dalam pengobatan PPOK, terutama
saat penyakit berkembang dan gejala memburuk lembur. Menggabungkan bronkodilator
dengan mekanisme yang berbeda tindakan memungkinkan dosis efektif serendah mungkin
untuk digunakan dan mengurangi potensi efek samping dari masing-masing agen. Kombinasi
pendek dan aksi panjang β2-agonis dengan ipratropium telah ditunjukkan untuk memberikan
bantuan gejala tambahan dan memperbaiki dalam fungsi paru.
9. Metilxantin
Metilxantin, termasuk teofilin dan aminofilin, telah tersedia untuk pengobatan PPOK untuk
Setidaknya lima dekade dan sekaligus dianggap lini pertamaterapi. Namun, dengan
tersedianya aksi panjang inhalasi β2-Agonis dan antikolinergik inhalasi, peran metilxantin terapi
secara signifikan terbatas. Terapi bronkodilator inhalasi adalah lebih disukai untuk PPOK.
Karena risiko interaksi obat dan variabilitas intrakelet dan rawat inap yang signifikan dalam
dosis persyaratan, terapi teofilin umumnya dipertimbangkan dalam pasien yang tidak toleran
atau tidak dapat menggunakan bronchodilator teofilin masih merupakan alternatif untuk
inhalasi yang biasa digunakan terapi sebagian karena potensi beberapa mekanisme
(Bronkodilatasi dan antiinflamasi) dan kemungkinan manfaatnya.
10. Kortikosteroid
Terapi kortikosteroid telah dipelajari dan diperdebatkan di PPOK terapi selama setengah
abad. Namun, karena miskin berisiko terhadap keuntungan Rasio, terapi kortikosteroid
sistemik kronis harus dihindari jika mungkin Karena potensi peran peradangan di patogenesis
penyakit ini, klinisi berharap bahwa kortikosteroid akan menjadi agen yang menjanjikan dalam
pengelolaan PPOK. Namun, mereka Penggunaan terus diperdebatkan terutama dalam
pengelolaan yang stabil PPOK.
b. Terapi non farmakologis PPOK yaitu :
- Menurut Arto Yuwono, Hendarsyah, 2014.
1. Rehabilitasi
2. Konseling nutrisi
3. Edukasi
4. Menghentikan kebiasaan merokok
5. Menjaga pola makan.

- Menurut Dipiro 7th edition : 2008


1. Berhenti merokok
Kami akan kembali Komponen utama pengelolaan PPOK adalah penghindaran atau
mengurangi risiko faktor risiko. Paparan lingkungan asap tembakau merupakan faktor risiko
utama dan penghentian merokok adalah strategi paling efektif untuk mengurangi risiko
pengembangan PPOK dan memperlambat atau menghentikan perkembangan penyakit.
Efektivitas biaya merokok Intervensi penghentian lebih baik dibandingkan dengan intervensi
dibuat untuk penyakit kronis utama lainnya. Pentingnya penghentian merokok tidak dapat
terlalu ditekankan. Berhenti merokok menyebabkan penurunan simtomatologi dan
memperlambat laju penurunan pulmo-Fungsi nary bahkan setelah kelainan signifikan pada paru-
paru, tes fungsi telah terdeteksi (FEV1: FVC <60%). Sebagai ditegaskan oleh Studi Kesehatan
Paru-paru penghentian merokok adalah satu-satunya intervensi terbukti saat ini untuk
mempengaruhi penurunan FEV jangka panjang dan memperlambat perkembangan PPOK. Dalam
uji coba prospektif 5 tahun ini, perokok dengan PPOK awal secara acak ditugaskan ke salah satu
dari tiga Kelompok: intervensi penghentian merokok ditambah ipratropium inhalasi tiga kali
sehari, perokok berhenti merokok saja atau tidak intervensi. Selama follow up 11 tahun, tingkat
penurunan FEV1 di antara subjek yang terus merokok ternyata lebih dari dua kali tingkat di
quitters berkelanjutan. Perokok yang menjalani kebiasaan merokok intervensi penghentian
memiliki lebih sedikit gejala pernapasan dan Penurunan FEV tahunan yang lebih kecil 1
dibandingkan dengan perokok yang tidak intervensi. Namun, penelitian ini juga menunjukkan
kesulitannya dalam mencapai dan mempertahankan penghentian merokok yang berhasil.
2. Rehabilitasi paru
Latihan latihan bermanfaat dalam pengobatan PPOK untuk memperbaiki toleransi latihan
dan untuk mengurangi gejala dispnea dan kelelahan.
Program rehabilitasi paru merupakan komponen integral dalam pengelolaan PPOK dan
harus mencakup latihan olah raga bersama dengan berhenti merokok, latihan pernapasan,
perawatan medis yang mengoptimal, dukungan psikososial dan pendidikan kesehatan.
Intensitas tinggi pelatihan (70% beban kerja maksimal) adalah mungkin bahkan di tingkat lanjut
pasien PPOK dan tingkat intensitasnya meningkatkan otot perifer dan fungsi ventilasi. Studi
telah menunjukkan bahwa paru-paru rehabilitasi dengan latihan tiga sampai tujuh kali per
minggu bisa menghasilkan perbaikan jangka panjang dalam aktivitas kehidupan sehari-hari,
kualitas hidup, toleransi latihan dan dispnea pada pasien dengan sedang sampai parah PPOK.
Perbaikan pada dispnea dapat dicapai tanpa perbaikan komersil dalam spirometri. Program
menggunakan kurang intensif regimen olahraga (dua kali per minggu) tidak bermanfaat.
3. Imunisasi
Vaksin dapat dianggap sebagai agen farmakologis. Namun, mereka peran dijelaskan di sini
dalam mengurangi faktor risiko PPOK Karena influenza merupakan komplikasi umum pada
PPOK itu dapat menyebabkan eksaserbasi dan gagal napas, vaksin tahunan. Dengan vaksin
influenza intramuskular yang tidak aktif adalah imunisasi melawan influenza dapat mengurangi
penyakit serius dan kematian sebesar 50% pada pasien PPOK. Influenza harus vaksin dikelola
pada musim gugur setiap tahun (Oktober dan November) selama kunjungan medis reguler atau
di klinik vaksinasi. Ada beberapa Kontraindikasi terhadap vaksin influenza kecuali pasien dengan
Alergi serius terhadap telur agen antiinfluenza oral (oseltamivir) dapat dipertimbangkan untuk
pasien PPOK selama wabah pasien yang belum diimunisasi, Namun terapi ini kurang efektif dan
menyebabkan lebih banyak efek samping.
4. Terapi Oksigen Jangka Panjang
Penggunaan terapi oksigen tambahan meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien PPOK
dengan hipoksemia kronis. Meskipun jangka panjang oksigen telah digunakan selama bertahun-
tahun pada pasien dengan PPOK lanjut, baru pada tahun 1980 data tersebut tersedia untuk
didokumentasikan. Saat itu, Grup percobaan Terapi Oksigen Nokturnal menerbitkan datanya
yang membandingkan terapi oksigen nokturnal (12 jam / hari) dengan terapi oksigen terus
menerus (rata-rata 20 jam / hari).

C. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN


C.1 Pembahasan
Seorang pasien bernama Soo Man berusia 56 tahun datang ke RSCM untuk memeriksakan dirinya
dari keluhan batuk disertai sputum (dahak) dengan produksi berlebihan dengan tekstur lengket dan
kental kurang lebih 3 bulan terakhir. Pasien juga mengeluh pada dada dan dispenia kurang lebih 3
minggu terakhir. Diketahui pasien bernama Soo Man merupakan perokok aktif sejak usianya 22 tahun.
Pasien juga pernah bekerja sebagai buruh disalah satu perusahaan tambang 3 bulan yang lalu. Dari
keluhan tersebut dokter telah memeriksa pasien dengan menggunakan spirometri dan diperoleh hasil
spirometri FEV1/FC < 70%, nilai tersebut menunjukkan adanya masalah pada sistem pernapasan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, dokter meresepkan obat yaitu Triotropium bromide 22,5 µg 2 x
1, Ambroxol 30 mg 2 x 1.
Dari kasus diatas, jika dilihat dari beberapa keluhan dan pola hidup yang tidak baik serta tempat ia
bekerja, maka dapat diketahui bahwa pasien Soo man menderita penyakit PPOK, yang dimana PPOK
adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat
progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK ini terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau
gabungan keduanya (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,2003). Sehingga dokter meresepkan obat
Triotriopium tersebut, dimana obat ini termasuk dalam golongan antikolinergik yang dapat memblok
reseptor muskarinik dari syaraf-syaraf kolinergik diotot polos bronkhitis sehingga aktivitas syaraf
adrenegik dominan untuk menimbulkan efek bronkodilatasi dan juga diberikan obat ambroxol dimana
obat ini termasuk golongan mukolitik yang dapat mengencerkan dahak dengan merombak mukoprotein
dan ekspetoransia.
Resep yang diberikan kepada pasien terdapat obat yang tidak sesuai dosisnya, dimana penggunaan
obat Triotriopium diberikan 22,5 µg 2 x 1, yang menurut literatur sebaiknya digunakan 22,5 µg 1 x 1,
sedangkan pada obat Ambroxol menurut literatur penggunaanya sudah sesuai dimana untuk
pengobatan jangka pendek 3 x 1 / hari 30 mg dan untuk pengobatan jangka panjang 2 x 1/ hari 30 mg.

C.2 Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pasien yang bernama Soo Man yang berusia 56
tahun dinyatakan mengidap penyakit PPOK (Paru Obstruktif Kronik). Obat yang telah diberikan kepada
pasien yang bernama Soo Man berupa Triotropium dengan aturan pakain 1x1 untuk dapat meredakan
dispinea dan Obat Ambroxol dengan aturan pakai 2x1 untuk menekan dan mengencerkan dahak dan
dosis yang telah diberikan sesuai dengan aturan pakai.
DAFTAR PUSTAKA

Dipiro, J, T.,et al. 2012. “Pharmacotherapy Handbook, nine edition”. Mc Graw Hill.

Dipiro, J, T.,et al. 2008. “Pharmacotherapy Handbook, Seven edition”. Mc Graw Hill.

Perhimpunan paruh dokter Indonesia. 2003.” Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( PPOK )”.

Soeroto, Arto Yuwono. Hendarsyah Suryadinata. 2014.” Penyakit Paru Obstruktif Kronik”.Fk Unpad.

Tjay Tan Hoan., dan Rahardja Kirana. 2007. “Obat-Obat Penting”.PT. Kompas Gramedika: Jakarta.

Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.2008.”ISO FARMAKOTERAPI”.PT. ISFI : Jakarta

Ludi Ibnu, N.2013.”Ilmu Farmakologi”. Farmakoterapi Universitas Mulawarman : Samarinda

You might also like