You are on page 1of 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Asma merupakan masalah kesehatan dunia yang tidak hanya terjangkit di negara maju
tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari Global Initiatif for Asthma
(GINA) pada tahun 2012 dinyatakan bahwa perkiraan jumlah penderita asma seluruh dunia
adalah tiga ratus juta orang, dengan jumlah kematian yang terus meningkat hingga 180.000
orang per tahun (GINA,2012). Data WHO juga menunjukkan data yang serupa bahwa
prevalensi asma terus meningkat dalam tiga puluh tahun terakhir terutama di negara maju.
Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan
kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya (Rengganis, 2008) Penyakit asma masuk
dalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia.
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran napas yang bersifat reversible dengan
ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan
manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah
secara spontan yang ditandai dengan mengiepisodik, batuk, dan sesak di dada akibat
penyumbatan saluran napas (Henneberger dkk., 2011). Pada umumnya penderita asma akan
mengeluhkan gejala batuk, sesak napas, rasa tertekan di dada. Pada beberapa keadaan batuk
mungkin merupakan satu-satunya gejala. Gejala asma sering terjadi pada malam hari dan saat
udara dingin, biasanya bermula mendadak dengan batuk dan rasa tertekan di dada, disertai
dengan sesak napas (dyspnea) dan mengi. Batuk yang dialami pada awalnya susah, tetapi
segera menjadi kuat. Karakteristik batuk pada penderita asma adalah berupa batuk kering,
paroksismal, iritatif, dan non produktif, kemudian menghasilkan sputum yang berbusa, jernih
dan kental. Jalan napas yang tersumbat menyebabkan sesak napas, sehingga ekspirasi selalu
lebih sulit dan panjang dibanding inspirasi, yang mendorong pasien untuk duduk tegak dan
menggunakan setiap otot aksesori pernapasan. Penggunaan otot aksesori pernapasan yang
tidak terlatih dalam jangka panjang dapat menyebabkan penderita asma kelelahan saat
bernapas ketika serangan atau ketika beraktivitas (Brunner & Suddard, 2002).
Penderita asma dapat terjadi perubahan baik fisik maupun psikologi. Setiap perubahan
dalam kesehatan dapat menjadi stressor yang mempengaruhi konsep diri anak. Perubahan
fisik yang terjadi akibat penyakit asma yang berulang yaitu dada berbentuk barrel, bahu
meninggi, tulang zigomatik mendatar, lingkaran disekeliling mata, hidung mengecil dan gigi
atas menonjol. Gejala klinis yang terjadi pada anak asma berupa batuk kering, sesak nafas,
bunyi mengi (dapat terdengar), rasa lelah dan berbicara dengan frase yang singkat, terpatah-
patah, dan terengah-engah (Wong, 2003). Perubahan fisik tersebut dapat menyebabkan
perubahan gambaran diri dan peran pada anak yang menderita asma dalam keluarga maupun
masyarakat karena kemampuan untuk beraktifitas atau bekerja yang merupakan bagian
penting dalam konsep diri (Potter & Perry, 2005) Asma mempunyai dampak yang sangat
mengganggu aktivitas sehari-hari. Gejala asma dapat mengalami komplikasi sehingga
menurunkan produktifitas kerja dan kualitas hidup (GINA, 2012).

1.2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana anatomi dan fisiologi pada asma ?


2. Bagaimana defenisi pada asma ?
3. Bagaimana etiologi pada asma ?
4. Bagaimana patofisiologi pada asma ?
5. Bagaimana klasifikasi pada asma ?
6. Bagaimana manifestasi pada asma ?
7. Bagaimana penatalaksanaan pada asma ?
8. Bagaimana asuhan keperawatan pada asma ?

1.3 TUJUAN PENULISAN

1. Tujuan umum
Agar mahasiswa keperawatan mampu memahami dan mengertiapa itu asma.
2. Tujuan khusus
Agar mahasiswa mampu memahami dan mengerti proses keperawatan pada asma,
meliputi :
a. Anatomi dan fisiologi asma
b. Defenisi asma
c. Etiologi asma
d. Patofisiologi asma
e. Klasifikasi asma
f. Manifestasi asma
g. Penatalaksanaan asma
h. Askep pada klien asma

1.4 METODE PENULISAN

Metode penulisan yang digunakan adalah studi kepustakaan yaitu dengan


mempelajari berbagai sumber berupa buku-buku keperawatan tentang asma sesuai dengan
judul makalah ini dan juga dari berbagai sumber seperti jurnal dan lainnya.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI PARU

Paru-paru adalah dua organ yang berbentuk seperti bunga karang besar yang terletak
di dalam torak pada sisi lain jantung dan pembuluh darah besar. Paru-paru memanjang mulai
dari dari akar leher menuju diagfragma dan secara kasar berbentuk kerucut dengan puncak di
sebelah atas dan alas di sebelah bawah. Diantara paru-paru mediastinum, yang dengan
sempurna memisahkan satu sisi rongga torasik sternum di sebelah depan. Di dalam
mediastinum terdapat jantung, dan pembuluh darah besar, trakea dan esofagus, dustuk torasik
dan kelenjar timus. Paru-paru dibagi menjadi lobus-lobus.Paru-paru sebelah kiri mempunyai
dua lobus, yang dipisahkan oleh belahan yang miring. Lobus superior terletak di atas dan di
depan lobus inferior yang berbentuk kerucut. Paru-paru sebelah kanan mempunyai tiga lobus.
Lobus bagian bawah dipisahkan oleh fisura oblik dengan posisi yang sama terhadap lobus
inferior kiri. Sisa paru lainnya dipisahkan oleh suatu fisura horisontal menjadi lobus atas dan
lobus tengah. Setiap lobus selanjutnya dibagi menjadi segmensegmen yang disebut bronko-
pulmoner, mereka dipisahkan satu sama lain oleh sebuah dinding jaringan koneknif , masing-
masing satu arteri dan satu vena. Masing-masing segmen juga dibagi menjadi unit-unit yang
disebut lobulus (Snell, R. 2006). Fungsi utama paru adalah sebagai alat pernapasan yaitu
melakukan pertukaran udara (ventilasi), yang bertujuan menghirup masuknya udara dari
atmosfer kedalam paru-paru (inspirasi) dan mengeluarkan udara dari alveolar ke luar tubuh
(ekspirasi). Secara anatomi, fungsi pernapasan ini dimulai dari hidung sampai ke parenkim
paru. Secara fungsional saluran pernapasan dibagi atas bagian yang berfungsi sebagai
konduksi (pengantar gas) dan bagian yang berfungsi sebagai respirasi (pertukaran gas).
Pernapasan dapat berarti pengangkutan oksigen (O2) ke sel dan pengangkutan CO2dari sel
kembali ke atmosfer. Proses ini terdiri dari 4 tahap yaitu(Guyton ,2007).

a. Pertukaran udara paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara ke dan dari alveoli.
Alveoli yang sudah mengembang tidak dapat mengempis penuh, karena masih adanya
udara yang tersisa didalam alveoli yang tidak dapat dikeluarkan walaupun dengan
ekspirasi kuat. Volume udara yang tersisa ini disebut volume residu. Volume ini
penting karena menyediakan O2 dalam alveoli untuk mengaerasikan darah.
b. Difusi O2dan CO2 antara alveoli dan darah.
c. Pengangkutan O2 dan CO2dalam darah dan cairan tubuh menuju ke dan dari sel-sel.
d. Pertukaran udara dan aspek-aspek lain pernapasan.

Dari aspek fisiologis,ada dua macam pernapasan yaitu (Rahajoe dkk, 1994);
a. Pernapasan luar (eksternal respiration)yaitu penyerapan O2 dan pengeluaran
CO2dalam paru-paru.
b. Pernapasan dalam (internal respiration) yang aktifitas utamanya adalah pertukaran gas
pada metabolisme energi yang terjadi dalam sel.

Untuk melakukan tugas pertukaran udara, organ pernapasan disusun oleh beberapa
komponen penting antara lain :
a. Dinding dada yang terdiri dari tulang, otot dan saraf perifer.
b. Parenkim paru yang terdiri dari saluran nafas, alveoli dan pembuluh darah.
c. Pleura viseralis dan pleura parietalis.
d. Beberapa reseptor yang berada di pembuluh arteri utama. Sebagai organ pernapasan
dalam melakukan tugasnya dibantu oleh sistem kardiovaskuler dan sistem saraf pusat.
Sistem kardiovaskuler selain mensuplai darah bagi paru (perfusi), juga dipakai
sebagai media transportasi O2dan CO2 sistem saraf pusat berperan sebagai
pengendali irama dan pola pernapasan (Guyton, 2007)

Dalam mekanika pernapasan terdapat tiga tekanan yang berperan penting dalam ventilasi
(Sherwood.L, 2011) :
a. Tekanan atmosfer (760 mmHg) adalah tekanan yang ditimbulkan oleh berat udara di
atmosfer pada benda di permukaan bumi. Tekanan atmosfer berkurang seiring dengan
penambahan ketinggian diatas permukaan laut karna lapisan-laisan dipermukaan bumi
juga semakin menipis.
b. Tekanan intra-alveolus/ intrapulmonal (760 mmHg)adalah tekanan didalam alveolus.
Karena alveolus berhubungan dengan atmosfer melalui saluran napas penghantar,
udara cepat mengalir menuruni gradien tekanannya setiap etekanan intra-alveolus
berbeda dari atmosfer;udara terus mengalir sampai kedua tekanan seimbang
(ekuilibrium).
c. Tekanan intrapleura (756 mmHg) adalah tekanan didalam kantung pleura.
Ditimbulkan dari luar paru didalam rongga thoraks.
Sebelum inspirasi terlihat otot-otot pernapasan relaks dan besar tekanan intra-alveolus
sama dengan tekanan atmosfer. Pusat irama dasar pernapasan (dorsal respiratory group/DRG
group/DRG di formasio retikularis medula oblongata) mengirimkan impuls dari I neuron I-
DRG melalui n.phrenicus ke otot-otot inspirasidan ke neuron E-VRG (ventral respiratory
group). Diafragma dan m.external intercostal berkontraksi →rongga thorak membesar →
tekanan transmural (intra-pleura & intra-alveolar) meningkat →jaringan paru→tekanan
intra-alveolar↓→udara masuk ke alveolus.Napas dalam melibatkan otot inspirasi tambahan:
m.sternocleidomast oideus dan m.scalenus (Sherwood,L. 2011).
Pada akhir inspirasi otot-otot inspirasi relaks→tekanan transmural (intra pleura
intrapleura dan atmosfer) menurun→dinding dada menekan jaringan paru→tekanan intra-
alveolar meningkat→udara keluar. Impuls darineuron E-VRG menghambat neuron I-DRG
sehingga menghentikan aktivitasnya dengan penglepasan rangsangan inhibisi. Ekspirasi
tenang tidak melibatkan otot-otot ekspirasi. Ekspirasi aktif melibatkan otot-otot ekspirasi:
m.internal intercostal dan m.abdominalis.

2.2 DEFENISI ASMA


Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang ditandai dengan
peningkatan reaktivitas terhadap berbagai stimulus dan sumbatan saluran napas yang bisa
kembali spontan atau dengan pengobatan yang sesuai (Depkes, 2007). Menurut National
Asthma Education and Prevention Program (NAEPP) pada National Institute of Health (NIH)
Amerika, asma didefinisikan sebagai penyakit inflamasi kronik pada paru yang dicirikan oleh
obstruksi salurannapas yang bersifat reversibel, inflamasi jalan napas, peningkatan respon
jalan napas terhadap berbagai rangsangan (Ikawati, 2006).
Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh
dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran
napas sehingga memicu episode mengi berulang(wheezing), sesak napas (breathlessness),
dada rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau
dini hari.(PDPI, 2006; GINA, 2009). Menurut National Heart, Lung and Blood Institute
(NHLBI, 2007), pada individu yang rentan, gejala asmaberhubungan dengan inflamasi yang
akan menyebabkan obstruksi dan hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang bervariasi
derajatnya. Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana terdapat
300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak
maupun dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-anak (GINA, 2003).
2.3 ETIOLOGI ASMA

Secara umum faktor risiko asma menurut Pedoman Pengendalian Penyakit Asma (2009)
yaitu:
a. Faktor Pejamu
1. Hipereaktivitas
2. Atopi/alergi bronkus
3. Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
4. Jenis kelamin
5. Ras/etnik
b. Faktor Lingkungan
1. Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, jamur dll).
2. Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari).
3. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut,
susu sapi, telur).
4. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, bloker dll)
5. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dan lain-lain)
6. Ekspresi emosi berlebih
7. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
8. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
9. Exercised induced asthma
10. Perubahan cuaca
(Menurut Pedoman Pengendalian Penyakit Asma (2009)

Menurut moffatt,dkk(2007)
1. Imunitas dasar
Mekanisme imunitas terhadap kejadian inflamasi pada asma kemungkinan
terjadi ekspresi sel Th2 yang berlebihan(NHLBI, 2007). Menurut Moffatt, dkk (2007),
gen ORMDL3 mempunyai hubungan kuat sebagai faktor predisposisi asma
2. Umur
Insidensi tertinggi asma biasanya mengenai anak-anak (7-10%), yaitu umur 5–
4 tahun. Sedangkan pada orang dewasa, angka kejadian asma lebih kecil yaitu sekitar
3-5% (Asthma and Allergy Foundation of America, 2010). Menurut studi yang
dilakukan oleh Australian Institute of Health and Welfare(2007), kejadian asma pada
kelompok umur 18 – 34 tahun adalah 14% sedangkan >65 tahun menurun menjadi
8.8%. Di Jakarta, sebuah studi pada RSUP Persahabatan menyimpulkan rerata angka
kejadian asma adalah umur 46 tahun(Pratama dkk, 2009).
3. Jenis Kelamin
Menurut GINA (2009) dan NHLBI (2007), jenis kelamin laki-laki merupakan sebuah
faktor resiko terjadinya asma pada anak-anak. Akan tetapi, pada masa pubertas, rasio
prevalensi bergeser dan menjadi lebih sering terjadi pada perempuan (NHLBI, 2007).
Pada manusia dewasa tidak didapati perbedaan angka kejadian asma di antara kedua
jenis kelamin (Maryono, 2009).
4. Faktor pencetus
Paparan terhadap alergen merupakan faktor pencetus asma yang paling
penting. Alergen – allergen ini dapat berupa kutu debu, kecoak, binatang, dan
polen/tepung sari. Kutu debu umumnya ditemukan pada lantai rumah, karpet dan
tempat tidur yang kotor. Kecoak telah dibuktikan menyebabkan sensitisasi alergi,
terutama pada rumah di perkotaan (NHLBI, 2007).
Menurut Ownbydkk (2002) dalam GINA (2009), paparan terhadap binatang,
khususnya bulu anjing dan kucing dapat meningkatkan sensitisasi alergi asma.
Konsentrasi polen di udara bervariasi pada setiap daerah dan biasanya dibawa oleh
angin dalam bentuk partike l – partikel besar.Iritan– iritan berupa paparan terhadap
rokok dan bahan kimia juga telah dikaitkan dengan kejadian asma. Dimana rokok
diasosiasikan dengan penurunan fungsi paru pada penderita asma, meningkatkan
derajat keparahan asma, dan mengurangiresponsivitas terhadap pengobatan asma dan
pengontrolan asma.
Menurut Dezateux dkk (1999), balita dari ibu yang merokok mempunyai
resiko 4 kali lebih tinggi menderita kelainan seperti mengi dalam tahun pertama
kehidupannya.Kegiatan fisik yang berat tanpa diselingi istirahat yang adekuat juga
dapat memicu terjadinya serangan asma (Nurafiatin dkk, 2007). Riwayat penyakit
infeksi saluran pernapasan juga telah dihubungkan dengan kejadian asma. Menurut
sebuat studi prospektif oleh Sigurs dkk (2000), sekitar 40% anak penderita asma
dengan riwayat infeksi saluran pernapasan (Respiratory syncytial virus) akan terus
menderita mengi atau menderita asma dalam kehidupannya.
5. Status sosioekonomik
Mielck dkk (1996) menemukan hubungan antara status sosioekonomik /
pendapatan dengan prevalensi derajat asma berat. Dimana, prevalensi derajat asma
berat paling banyak terjadi pada penderita dengan status sosioekonomi yang rendah,
yaitu sekitar 40%.

2.4 PATOFISIOLOGI
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkiolus yang menyebabkan
sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkioulus terhadap benda-
benda asing di udara. Pada Asma, antibody Ig Eumumnya melekat pada sel mast yang
terdapat pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan brokiolus dan bronkus kecil.
Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen
bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan
mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi
lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik, dan bradikinin. Efek
gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan edema lokal pada dinding
bronkioulus kecil maupun sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkioulus dan spasme
otot polos bronkiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat
meningkat. Pada Asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada
selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama ekspirasi paksa menekan
bagian luar bronkiolus. Bronkiolus yang sudah tersumbat sebagian selanjutnya akan
mengalami obstruksi berat akibat dari tekanan eksternal. Penderita Asma biasanya dapat
melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sulit melakukan ekspirasi. Hal ini
menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat
meningkat selama serangan Asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru.
Keadaan ini bisa menyebabkan terjadinya barrel chest.
Penyempitan saluran napas yang terjadi pada Asma merupakan suatu hal yang
kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak ditemukan di
permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas, dan di bawah membran basal. Berbagai
faktor pencetus dapat mengaktivasi sal mast. Selain sel mast, sel lain yang juga dapat
melepaskan mediator adalah sel makrofag alveolar, eosinofil, selepitel jalan napas, netrofil,
platelet, limfosit, dan monosit. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen,
makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast
dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen
masuk ke dalam submukosa, sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.
2.5 KLASIFIKASI ASMA

1. Klasifikasi Berdasarkan Tipe Asma

Tipe asma berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi alergi, idiopatik, dan nonalergik
atau campuran (mixed).

a. Asma Alergik/Ekstrinsik merupakan suatu bentuk asma dengan alergen seperti bulu
binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan, dan lain-lain. Alergen terbanyak
adalah airborne dan musiman (seasonal). Pasien dengan asma alergik biasanya
mempunyai riwayat penyakit alergi pada keluarga dan riwayat pengobatan eksim atau
rinitis alergik. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan asma. Bentuk
asma ini biasanya dimulai sejak kanak-kanak.
b. Idiopatik atau Nonalergik Asma/Intrinsik tidak berhubungan secara langsung dengan
alergen spesifik. Faktor-faktor seperti common cold, infeksi saluran napas atas,
aktivitas, emosi/stress, dan polusi lingkungan akan mencetuskan serangan. Beberapa
agen farmakologi, seperti antagonis β-adrenergik dan bahan sulfat (penyedap
makanan) juga dapat menjadi faktor penyebab. Serangan dari Asma idiopatik atau
nonalergik menjadi lebih berat dan sering kali dengan berjalannya waktu dapat
berkembang menjadi asma campuran. Bentuk asma ini biasanya dimulai ketika
dewasa (>35 tahun)
c. Asma campuran (Mixed Asma), merupakan bentuk Asma yang paling sering.
Dikarakteristikkan dengan bentuk kedua jenis asma alergi dan idiopatik atau
nonalergi.

2. Klasifikasi Berdasarkan Tingkatan Asma

Derajat asma gejala Gejala Faal paru


malam
I. intermiten bulanan ≤ 2X AVE 80%
- Gejala sebulan - VEP1 ≥ 80%
<1x/seminggu nilai prediksi
- Tanpa gejala di - APE ≥ 80% nilai
luar serangan terbaik
- Serangan singkat - Variabiliti
APE<20%
II. Persisten Mingguan APE > 80%
ringan - Gejala >2 kali
>1x/minggu, tetapi sebulan - VEP! ≥80% nilai
<1x/minggu prediksi
- Serangan dapat - APE ≥ 80% nilai
menggangu terbaik
aktivitas dan tidur - Variabiliti APE
20-30%
III. Persisten Harian > 1x / APE 60 – 80%
sedang - Gejala setiap hari seminggu VEP1 60-80% nilai
- Serangan prediksi
menggangu APE 60-80% nilai
aktivitas dan tidur terbaik
- Membutuhkan * Variabiliti APE >30
bronkodilator
setiap hari
IV. Persisten kontinyu APE ≤ 60%
berat Gejala terus- Sering * VEP1 ≤ 60% nilai
menerus prediksi
* Sering kambuh APE ≤ 60% nilai
* Aktivitas fisik terbaik
terbatas * Variabiliti APE >30%
Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2004

Keterangan :

APE = Arus Puncak Ekspirasi

VEP = Volume Ekspirasi Paksa


2.6 MANIFESTASI ASMA

Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa pengobatan. Gejala
awal berupa :

a. Batuk terutama pada malam atau dini hari


b. Sesak napas
c. Napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan napasnya
d. Rasa berat di dada
e. Dahak sulit keluar

Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa. Yang termasuk
gejala yang berat adalah:

a. Serangan batuk yang hebat


b. Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal
c. Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut)
d. Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk
e. Kesadaran menurun.
(Depkes, RI., 2007)

2.7 KOMPLIKASI ASMA


Berbagai komplikasi menurut Mansjoer (2008) yang mungkin timbul adalah :
1. Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam ronggapleura yang
dicurigai bila terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan ini dapat menyebabkan
kolaps paru yang lebih lanjut lagi dapat menyebabkan kegagalan napas.
2. Pneumomediastinum
Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma “udara”, juga dikenal
sebagai emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana udara hadir di
mediastinum. Pertama dijelaskan pada 1819 oleh Rene Laennec, kondisi ini dapat
disebabkan oleh trauma fisik atau situasi lain yang mengarah ke udara keluar dari
paru-paru, saluran udara atau usus ke dalam rongga dada .
3. Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang
sangat dangkal.
4. Aspergilosis
Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh jamur dan
tersifat oleh adanya gangguan pernapasan yang berat. Penyakit ini juga dapat
menimbulkan lesi pada berbagai organ lainnya, misalnya pada otak dan mata. Istilah
Aspergilosis dipakai untuk menunjukkan adanya infeksi Aspergillus sp.
5. Gagal napas
Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap karbodioksida
dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan
karbondioksida dalam sel-sel tubuh.
6. Bronkhitis
Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian dalam
dari saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis) mengalami bengkak.
Selain bengkak juga terjadi peningkatan produksi lendir (dahak). Akibatnya penderita
merasa perlu batuk berulang-ulang dalam upaya mengeluarkan lendir yang
berlebihan, atau merasa sulit bernapas karena sebagian saluran udara menjadi sempit
oleh adanya lendir.

2.7 PENATALAKSANAAN ASMA


Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari.
Tujuan penatalaksanaan asma :
a. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
b. Mencegah eksaserbasi akut
c. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
d. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
e. Menghindari efek samping obat
f. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
g. Mencegah kematian karena asma
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol
bila :
a. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
b. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise
c. Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
d. Variasi harian APE kurang dari 20 %
e. Nilai APE normal atau mendekati normal
f. Efek samping obat minimal (tidak ada)
g. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat

1. Terapi non farmakologi


a. Edukasi pasien
Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam penatalaksanaan
asma. Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk :
 meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan
pola penyakit asma sendiri)
 meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma
sendiri/asma mandiri)
 meningkatkan kepuasan
 meningkatkan rasa percaya diri
 meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri
 membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol
asma
Bentuk pemberian edukasi :
 Komunikasi/nasehat saat berobat
 Ceramah
 Latihan/training
 Supervisi
 Diskusi
 Tukar menukar informasi (sharing of information group)
 Film/video presentasi Leaflet, brosur, buku bacaan dll
b. Pengukuran peak flow meter
Perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampai berat. Pengukuran
Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter ini dianjurkan pada :
 Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter dan
oleh pasien di rumah.
 Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter.
 Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma
persisten usia di atas > 5 tahun, terutama bagi pasien setelah perawatan
di rumah sakit, pasien yang sulit/tidak mengenal perburukan melalui
gejala padahal berisiko tinggi untuk mendapat serangan yang
mengancam jiwa.
Pada asma mandiri pengukuran APE dapat digunakan untuk membantu
pengobatan seperti :
 Mengetahui apa yang membuat asma memburuk
 Memutuskan apa yang akan dilakukan bila rencana pengobatan
berjalan baik
 Memutuskan apa yang akan dilakukan jika dibutuhkan penambahan
atau penghentian obat
 Memutuskan kapan pasien meminta bantuan medis/dokter/IGD
c. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
d. Pemberian oksigen
e. Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak
f. Kontrol secara teratur
g. Pola hidup sehat
Dapat dilakukan dengan :
 Penghentian merokok
 Menghindari kegemukan
 Kegiatan fisik misalnya senam asma

2. Terapi farmakologi
a. Simpatomimetik
Mekanisme Kerja Kerja farmakologi dari kelompok simpatomimetik ini adalah
sebagai berikut :
(1) Stimulasi reseptor α adrenergik yang mengakibatkan terjadinya
vasokonstriksi, dekongestan nasal dan peningkatan tekanan darah.
(2) Stimulasi reseptor β1adrenergik sehingga terjadi peningkatan kontraktilitas
dan irama jantung.
(3) Stimulasi reseptor β2 yang menyebabkan bronkodilatasi, peningkatan klirens
mukosiliari, stabilisasi sel mast dan menstimulasi otot skelet.
b. Xantin
Kerja Metilxantin (teofilin, garamnya yang mudah larut dan turunannya) akan
merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan pembuluh darah pulmonal,
merangsang SSP, menginduksi diuresis, meningkatkan sekresi asam lambung,
menurunkan tekanan sfinkter esofageal bawah dan menghambat kontraksi uterus.
Teofilin juga merupakan stimulan pusat pernafasan. Aminofilin mempunyai efek
kuat pada kontraktilitas diafragma pada orang sehat dan dengan demikian mampu
menurunkan kelelahan serta memperbaiki kontraktilitas pada pasien dengan
penyakit obstruksi saluran pernapasan kronik.
1) Aminofilin
Status asmatikus seharusnya dipandang sebagai keadaan emergensi.
Terapi optimal untuk pasien asma umumnya memerlukan obat yang
diberikan secara parenteral, monitoring ketat dan perawatan intensif.
2) Teofilin
Dosis yang diberikan tergantung individu. Penyesuaian dosis
berdasarkan respon klinik dan perkembangan pada fungsi paru-paru.
Dosis ekivalen berdasarkan teofilin anhidrat yang dikandung. Monitor
level serum untuk level terapi dari 10-20 mcg/mL.
c. Antikolinergik
 Ipratropium Bromida
Mekanisme Kerja :
Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu antikolinergik
(parasimpatolitik) yang akan menghambat refleks vagal dengan cara
mengantagonis kerja asetilkolin. Bronkodilasi yang dihasilkan bersifat
lokal, pada tempat tertentu dan tidak bersifat sistemik. Ipratropium
bromida (semprot hidung) mempunyai sifat antisekresi dan penggunaan
lokal dapat menghambat sekresi kelenjar serosa dan seromukus mukosa
hidung.
 Tiotropium Bromida
Mekanisme Kerja :
Tiotropium adalah obat muskarinik kerja diperlama yang biasanya
digunakan sebagai antikolinergik. Pada saluran pernapasan, tiotropium
menunjukkan efek farmakologi dengan cara menghambat reseptor M3
pada otot polos sehingga terjadi bronkodilasi. Bronkodilasi yang timbul
setelah inhalasi tiotropium bersifat sangat spesifik pada lokasi tertentu.
d. Sodium dan Nedokromil
 Kromolin Natrium
Mekanisme Kerja :
Kromolin merupakan obat antiinflamasi. Kromolin tidak mempunyai
aktifitas intrinsik bronkodilator, antikolinergik, vasokonstriktor atau
aktivitas glukokortikoid. Obat-obat ini menghambat pelepasan mediator,
histamin dan SRS-A (Slow Reacting Substance Anaphylaxis, leukotrien)
dari sel mast. Kromolin bekerja lokal pada paru-paru tempat obat
diberikan.
 Nedokromil Natrium
Mekanisme Kerja :
Nedokromil merupakan anti-inflamasi inhalasi untuk pencegahan asma.
Obat ini akan menghambat aktivasi secara in vitro dan pembebasan
mediator dari berbagai tipe sel berhubungan dengan asma termasuk
eosinofil, neutrofil, makrofag, sel mast, monosit dan platelet. Nedokromil
menghambat perkembangan respon bronko konstriksi baik awal dan
maupun lanjut terhadap antigen terinhalasi.
e. Kortikosteroid
Mekanisme Kerja : Obat-obat ini merupakan steroid adrenokortikal steroid
sintetik dengan cara kerja dan efek yang sama dengan glukokortikoid.
Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel yang terinflamasi
dan meningkatkan efek obat beta adrenergik dengan memproduksi AMP siklik,
inhibisi mekanisme bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara
langsung. Penggunaan inhaler akan menghasilkan efek lokal steroid secara efektif
dengan efek sistemik minimal.
2.8PENCEGAHAN ASMA
1. Pencegahan Primer
Perkembangan respons imun jelas menunjukkan bahwa periode prenatal dan perinatal
merupakan periode dilakukannya pencegahan primer penyakit Asma.
1) Periode prenatal
Kehamilan trimester kedua yang sudah terbentuk cukup sel penyaji antigen (antigen
presenting cells) dan sel T yang matang, merupakan saat fetus tersensisitasi alergen
dengan rute yang paling mungkin adalah melalui usus. Konsentrasi alergen yang rendah
lebih mungkin menimbulkan sensitisasi daripada konsentrasi tinggi. Faktor konsentrasi
alergen dan waktu pajanan sangat mungkin berhubungan denganmterjadinya sensitisasi
atau toleransi imunologis. Penelitian menunjukkan menghindari makanan yang bersifat
alergen pada ibu hamil dengan risiko tinggi, tidak mengurangi risiko melahirkan bayi
atopi, bahkan makanan tersebut menimbulkan efek yang tidak diharapkan pada nutrisi ibu
dan fetus. Saat ini, belum ada pencegahan primer yang dapat direkomendasikan untuk
dilakukan pada periode ini.
2) Periode postnatal
Berbagai upaya menghindari alergen sedini mungkin dilakukan terutama difokuskan
pada makanan bayi seperti menghindari protein susu sapi, telur, ikan, kacang-kacangan.
Sebagian besar studi mengenai hal tersebut menunjukkan hasil yang inkonklusif (tidak
dapat ditarik kesimpulan). Dua studi dengan tindak lanjut yang paling lama menunjukkan
efek transien dari menghindari makanan berpotensi alergen dengan dermatitis atopik.
Tindak lanjut menunjukkan berkurangnya bahkan hampir tidak ada efek pada manifestasi
alergik saluran napas, sehingga disimpulkan bahwa upaya menghindari alergen makanan
sedini mungkin pada bayi tidak didukung oleh hasil. Bahkan perlu dipikirkan
memanipulasi dini makanan berisiko menimbulkan gangguan tumbuh kembang.
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk mencegah penderita yang sudah tersensitisasi
untuk tidak berkembang menjadi Asma. Mengurangi pajanan penderita yang telah tersensitasi
dengan beberapa faktor seperti menghentikan merokok, menghindari asap rokok, lingkungan
kerja yang berisiko, makanan, zat aditif, dan obat-obatan dapat mencegah terjadinya Asma.
Pengamatan pada Asma kerja menunjukkan bahwa menghentikan pajanan alergen sedini
mungkin pada penderita yang sudah terlanjur tersensitisasi dan sudah memiliki gejala Asma,
menghasilkan pengurangan/resolusi yang lebih menyeluruh dari gejala daripada jika pajanan
dibiarkan terus berlangsung. Tetapi biasanya penderita bereaksi terhadap banyak faktor
lingkungan sehingga usaha menghindari alergen sulit untuk dilakukan. Hal-haln lain yang
harus pula dihindari adalah polutan indoor dan outdoor, obesitas, emosistres dan berbagai
faktor lainnya. Diagnosis dini Asma tidak selalu mudah untuk ditegakkan. Beberapa kriteria
diagnosis untuk Asma selalu mempunyai berbagai kelemahan, tetapi umumnya disepakati
bahwa hiperreaktivitas bronkus tetap merupakan bukti objektif yang diperlukan untuk
diagnosis Asma, termasuk untuk asma pada anak. Gejala klinis utama Asma anak pada
umumnya adalah mengi berulang dan sesak napas, tetapi pada anak tidak jarang batuk kronik
dapat merupakan satu-satunya gejala klinis yang ditemukan. Biasanya batuk kronik itu
berhubungan dengan infeksi saluran napas atas. Selain itu harus dipikirkan pula kemungkinan
Asma pada anak bila terdapat penurunan toleransi terhadap aktivitas fisik atau gejala batuk
malam hari. Beta antagonis (β-adregenic agents) merupakan pengobatan awal yang
digunakan dalam penatalaksanaan penyakit Asma, dikarenakan obat ini bekerja dengan cara
mendilatasikan otot polos (vasodilator). Adregenic agent juga meningkatkan pergerakan
siliari, menurunkan mediator kimia anafilaksis, dan dapat meningkatkan efek bronkodilatasi
dari kortikosteroid. Adregenik yang sering digunakan antara lain epinefrin, albuterol,
metaproterenol, isoproterenol, isoetarin, dan terbutalin. Biasanya obat ini diberikan secara
parenteral atau inhalasi. Jalan inhalasi merupakan salah satu pilihan dikarenakan dapat
memengaruhi secara langsung dan mempunyai efek samping yang lebih kecil.

3.Pencegahan tersier
Pada tingkat ini yang dilakukan adalah mencegah terjadinya serangan Asma yang
dapat ditimbulkan oleh berbagai jenis pencetus. Menghindari pajanan pencetus akan
memperbaiki kondisi Asma dan menurunkan kebutuhan medikasi/obat. Pemberian anti
inflamasi merupakan pengobatan rutin yang bertujuan mengontrol penyakit serta mencegah
serangan, dikenal sebagai pengontrol. Bronkodilator merupakan pengobatan saat serangan
untuk mengatasi eksaserbasi/serangan, dikenal sebagai pelega. Kemampuan pasien untuk
mendeteksi dini perburukan Asmanya adalah penting, agar pasien dapat mengobati dirinya
sendiri saat serangan di rumah sebelum ke dokter. Pengobatan dini dengan kortikosteroid
inhalasi (KI) memungkinkan terjadi remisi, atau paling tidak memberikan perbaikan fungsi
paru yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

John Rees dkk. 1998. Petunjuk Penting Asma, Edisi III. Jakarta: Penerbit buku Kedokteran
EGC
Wells BG., JT Dipiro, TL Schwinghammer, CW.Hamilton, Pharmacoterapy Handbook 6th ed
International edition, Singapore, McGrawHill, 2006:826-848.
Farthing K., MJ Ferill, JA Generally, B Jones, BV Sweet, JN Mazur, et al. Drug Facts &
Comparison 11th ed., St.Louis:Wolter Kluwer Health, 2007: 417-459
Asma, Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia, PDPI, 2004
Anonim, 2008. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia NOMOR 1023l
MENKESISK/XI/2008 Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Asma.

You might also like