You are on page 1of 19

I PENDAHULUAN

1.1 Judul

FORTIFIKASI ALGINAT PADA PRODUK EDIBLE SPOON SEBAGAI


PENURUN KADAR GULA DARAH

1.2 Latar Belakang

Salah satu permasalahan dunia yang sampai saat ini belum terselesaikan

adalah masalah sampah. Menurut data Kementrian Lingkungan Hidup pada tahun

2008, Indonesia merupakan negara kedua penyumbang terbesar sampah dunia di

bawah China. Dalam perkembangannnya, permasalahan sampah di Indonesia

menjadi kompleks dan meluas terutama terkait isu pencemaran sampah di laut.

Selain itu, beberapa data dari KLHK tahun 2016 menunjukkan bahwa indikasi

sampah plastik dan sampah sulit terurai mengalami kecenderungan terus

meningkat. Jambeck, Jena R., et.al (2015) menyatakan bahwa potensi sampah yang

ada di lautan Indonesia mencapai 187.2 juta ton/tahun. Jambeck juga

mengungkapakan bahwa sampah plastik menjadi penyumbang terbesar. Dari

kisaran 4,8 juta ton hingga 12,7 juta ton, para ilmuwan menetapkan 8 juta ton

sebagai perkiraan rata-rata sekian persen dari total sampah plastik yang dihasilkan

penduduk dunia setiap tahun. Sebuah studi menunjukkan bahwa bila sampah plastik

dibiarkan, 17,5 juta ton plastik per tahun dapat memasuki lautan pada 2015. Bila

jumlah sampah plastik diakumulasikan dari tahun ini sampai 2025, sedikitnya 155

juta ton plastik akan beredar di lautan.

Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 KLHK Tuti Hendrawati

Mintarsih menyebut total jumlah sampah Indonesia di 2019 akan mencapai 68 juta
2

ton dan sampah plastik diperkirakan akan mencapai 9.52 juta ton atau 14 persen

dari total sampah yang ada. Menurutnya, target pengurangan timbunan sampah

secara keseluruhan sampai dengan 2019 adalah 25 persen, sedangkan 74 persen

penanganan sampahnya dengan cara composting dan daur ulang bawa ke Tempat

Pembuangan Akhir (TPA)

Solusi pengurangan sampah plastik bisa dilakukan dengan mengganti

penggunaan plastik belanja dengan tas yang bukan sekali pakai. Selain itu, untuk

peralatan plastik yang sekali pakai misalnya sendok plastik yang selama ini sering

kita manfaatkan, terdapat solusi yang telah dikembangkan di India, yakni dengan

membuat edible spoon. Edible spoon merupakan peralatan makanan berupa sendok

yang dapat digunakan sekali pakai yang berbahan baku sederhana yakni tepung

terigu, gula, garam, telur dan telur, dimana diolah dan dicetak sehingga membentuk

produk makanan menyerupai sendok. Produk ini sudah dikembangkan di India dan

Jepang. Selain edible spoon, produk lain yang dikembangkan yakni berupa sumpit.

Di India, edible spoon dikembangkan dengan menambahkan rasa, sehingga

masyarakat semakin tertarik karena edible spoon tidak hanya sebagai pengganti

sendok plastik tetapi juga merupakan makanan yang dapat dikonsumsi dengan

kualitas yang dapat diperhitungkan.

Edible spoon sebagai produk inovasi sudah cukup baik apabila terus

menerus di kembangkan dari segi rasa dan bentuk. Namun demikian, masih terdapat

kekurangan pada produk edible spoon yang telah berkembang, yakni tidak terdapat

sisi kesehatan nya. Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam

terutama lautnya, sangat berpotensi untuk mengembangkan hal tersebut. Salah satu
3

yakni alginat yang merupakan poliuronik sakatida serat terisolasi yang dapat

diekstrak dari dinding sel bakteri dan dinding sel alga coklat. Alginat sudah

dimanfaatkan secara luas dalam bidang pangan sebagai pengental , pembentuk gel,

dan penstabil (McHugh, 2003). Pemanfaatan di bidang farmasi diantaranya untuk

menanggulangi penyakit gastrointestinal (Dettmar et al., 2011), menghambat

aktivitas pepsin untuk penanggulangan penyakit reflux (Strugala et al., 2005),

mengurangi hypercalciuria pada urolithiasis, dan penanggulangan esophagitis

(Bhakuni & Rawat, 2005). Serat dalam alginat mereduksi absorbsi nutrisi intestinal

dan mengurangi kadar kolesterol sehingga membantu penanggulangan diabetes

melitus tipe 2 dan obesitas (Ren et al 1994; Jimenez-Escrig & Sanche-Muniz, 2000;

Bronlee et al., 2005), penyakit kardiovaskuler dan mengurangi faktor resiko

sistemik pada pasien diabetes (Ren et al 1994; Jimenez-Escrig & Sanche-Muniz,

2000).

Diabetes melitus adalah penyakit yang timbul karena kadar glukosa darah

tinggi (hiperglikemia) akibat defisiensi insulin absolut maupun relatif. International

Diabetes Federation (IDF) memperkirakan pada 2013 terdapat 382 juta penderita

diabetes dan 316 juta menderita gangguan toleransi glukosa dan beresiko tinggi

menderita diabetes. Terapi penanggulangan diabetes melitus seringkali melibatkan

penggunaan obat sintetik antihiperglikemia dan antiohiperlipidemia konvensional.

Jumlah penderita diabetes melitus yang terus meningkat dan efek samping obat

sintetik memicu eksplorasi alternatif agen yang lebih aman dan murah dengan efek

samping minimal (Krentz & Bailey, 2005). Serat pangan yang telah memperoleh

banyak perhatian dikarenakan manfaatnya untuk kesehatan. Serat dimanafaatkan


4

untuk menurunkan kadar lemak darah, menurunkan risiko penyakit kardiovaskuler,

menungkatkan imunitas gastrointestinal dan kesehatan usus besar, serta

menurunkan kadar gula darah (Brownlee, 2011; Jenkins et al, 2000).

Penelitian dan informasi mengenai penambahan alginat yang dapat

menurunkan kadar gula darah pada produk edible spoon yang ramah lingkungan

masih sangat terbatas. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan penelitian untuk

menguji aktivitas penghambatan alginat terhadap α-amilase dan α-glukosidase serta

uji in vivo pada tikus diabetes.

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dirumuskan permasalahan

penelitian sebagai berikut :

1. Apakah aginat dapat meningkatkan kualitas edible spoon?

2. Apakah edible spoon dengan fortifikasi alginat dapat menurunkan kadar gula

darah?

1.4 Tujuan

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui pengaruh penambahan alginat pada kualitas edible spoon

2. Mengetahui pengaruh penambahan alginat pada produk edible spoon terhadap

penurunan kadar gula darah

1.5 Manfaat

Memberikan informasi mengenai inovasi produk edible spoon sebagai

alternatif pengurangan sampah plastik serta manfaat edible spoon sebagai produk

yang dapat menurunkan kadar gula darah dengan menambahkan alginat.


5

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rumput Laut

2.2 Kandungan rumput laut

Rumput laut adalah bahan pangan berkhasiat, kandungan serat (dietary

fiber) pada rumput laut sangat tinggi. Serat dalam makanan atau disebut juga

serat makanan umumnya berasal dari serat buah dan sayuran atau sedikit yang

berasal dari biji-bijian dan serealia. Serat makanan terdiri dari serat kasar

(crude fiber) dan “serat makanan” (dietary fiber). Serat kasar adalah serat yang

secara laboratorium dapat menahan asam kuat (acid) atau basa kuat (alkali),

sedangkan serat makanan adalah bagian dari makanan yang

tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan (Wisnu, 2010). Almatsier

(2009) menyatakan bahwa, ada 2 macam golongan serat yaitu yang tidak dapat

larut dalam air dan yang dapat larut air. Serat yang tidak dapat larut air adalah

selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Serat yang dapat larut dalam air adalah

pektin, gum, mucilage, glikan dan alga. Serat yang terdapat pada karaginan

merupakan bagian dari serat gum yaitu jenis serat yang larut dalam air.

Serat ini bersifat mengenyangkan dan memperlancar proses

metabolisme tubuh sehingga sangat baik dikonsumsi penderita obesitas.

Karbohidratnya juga sukar dicerna sehingga rasa kenyang lebih bertahan lama

tanpa takut kegemukan. Rumpul laut juga diketahui kaya akan nutrisi esensial,

seperti enzim, asam nukleat, asam amino, mineral, trace elements khususnya

yodium, dan vitamin A, B, C, D, E dan K. Selain itu, rumput laut juga bisa
6

meningkatkan fungsi pertahanan tubuh, memperbaiki sistem peredaran darah

dan sistem pencernaan (Adhistiana, dkk., 2008). Nilai Nutrisi rumput laut Jenis

Eucheuma cottonii dapat dilihat pada Tabel 1. berikut :

Tabel 1. Komponen Nutrisi Rumput Laut Eucheuma cottonii


Komponen Satuan Nilai Nutrisi
Kadar Air % 13,9
Protein % 2.6
Lemak % 0.4
Karbohidrat % 5.7
Serat kasar % 0.9
Karaginan % 67.5
Vit. C % 12.0
Riboflavin (mg/100 g) 2.7
Mineral (mg/100 g) 22.390
Ca Ppm 2.3
Cu Ppm 2.7
Sumber : BPPT (2011).

2.3 Edible Spoon

2.4 Alginat

Alginat merupakan suatu polisakarida hasil ekstraksi rumput laut coklat


seperti Sargassum sp. dan Turbinaria sp. yang banyak ditemukan di perairan
Indonesia (Basmal dkk.,2002). Alginat adalah polisakarida yang merupakan
garam dari asam alginat, terdiri dari monomer (1-4)- β-D-asam manuronat (unit
M) dan α-L-asam guluronat (unit G) yang bervariasi dalam jumlah dan distribusi
sepanjang rantai polimernya.
Asam alginat dalam alga coklat umumnya terdapat sebagai garam-garam kalsium,
magnesium, natrium. Tahap pertama pembuatan alginat adalah mengubah kalsium
alginat dan magnesium alginat yang tidak larut menjadi natrium alginat yang larut
dalam air dengan pertukaran ion dibawah kondisi alkalin (Zhanjiang, 1990).
Kelarutan dan kemampuan mengikat air dari alginat bergantung pada jumlah ion
karboksilat, berat molekul dan pH. Kemampuan mengikat air meningkat bila jumlah
ion karboksilat semakin banyak dan jumlah residu kalsium alginat kurang dari 500,
sedangkan pH di bawah 3 terjadi pengendapan. Secara umum, alginat dapat
diabsorpsi air dan bisa digunakan sebagai pengemulsi dengan viskositas yang rendah
(Kaban, 2008).
Asam alginat tidak larut dalam media berair, akan tetapi bila pH dinaikkan maka
sebagian asam alginat diubah menjadi garam yang larut. Total netralisasi terjadi pada
7

pH sekitar 4, dimana asam alginat secara sempurna diubah menjadi garam yang sesuai
(ISP, 2001).
2.5 Kitosan sebagai Edible Coating

III KERANGKA KONSEPTUAL


8

3.1 Kerangka Konsep

Beberapa industri pengolahan makanan menggunkan formalin sebagai

bahan tambahan. Penggunaan formalin oleh para pengolah bertujuan sebagai bahan

pengawet produk yang dihasilkan. Padahal pemberian larutan formalin sudah

dilarang berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

1168/MENKES/PEWX/1999 tanggal 4 Oktober 1999 tentang perubahan atas

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/MENKES/PEWIX/I988 tentang Bahan

Tambahan Malcanan (Hamid dan Soeaidy 1999). Formalin merupakan larutan

komersial dengan konsentrasi 37-40 % formaldehid terlarut di dalam air (Winarno

dan Rahayu 1994). Bahan ini biasanya ditambahkan metanol 10-15 % untuk

menghindari polimerisasi. Larutan ini sangat kuat dan dikenal dengan formalin 100

% atau formalin 40, yang mengandung 40 gram formaldehida dalam 100 ml pelarut.

Formalin bersifat toksik baik pada hewan percobaan dan manusia. Uap formalin

dapat mengiritasi membran mukosa dan mengiritasi kulit (Windhollz et al., 1983).

Uap formalin dapat mengiritasi mata, hidung dan saluran pernapasan. Dalam

konsentrasi tinggi formalin dapat mengakibatkan kejang-kejang pada pangkal

tenggorokan. Formalin bereaksi cepat dengan lapisan lendir saluran pencernaan

(Anonim 1991).

Salah satu alternatif bahan pengganti formalin adalah kitosan. Penelitian-

penelitian mengenai kitosan telah banyak dilakukan dengan sumber bahan baku

kitosan dari limbah kerapas udang. Kitosan merupakan turunan kitin yang diperoleh

melalui proses deasetilasi menjadi polimer D-glukosamin. Kitosan dan turunannya

telah banyak dimanfaatlcan secara komersial dalam industri pangan, kosmetik,


9

pertanian, fannasi, pengolahan limbah dan penjernihan air. Dalam bidang pangan,

kitosan dapat dimanfaatkan dalam pengawetan pangan, bahan pengemas, penstabil

dan pengental, antioksidan serta penjernih pada produk minuman (Dunn et al.,

1997; Shahidi et al., 1999).

Aplikasi kitosan sebagai antirnikroba untuk baban pengemas telah banyak

dilakukan. Umumnya kitosan menunjukkan pengaruh bakterisidal yang kuat

terhadap bakteri gram positif dibandingkan bakteri gram negatif (No et al:, 2003

diacu dalam Anoni~n 2005). Edible film kitosan telah menunjukkan aktivitas

antimikroba terhadap pertumbuhan jamur. Edible film kitosan yang dilarutkan

dalain 1 % asam asetat dapat mengurangi pertumbuhan jamur (Romanazzi et al.,

2002). Edible coating kitosan 1,5 % dapat menghambat pertumbuhan jamur pada

ikan cucut asin (Nugroho 2005).

Hingga saat ini pembuatan kitosan dengan bahan baku rajungan masih

terbatas, sehingga perlu dilakukan penelitian kitosan rajungan. Apalagi dengan

melihat potensi rajungan yang cukup besar, yaitu mencapai 31.228 ton pada tahun

2002 (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap 2004). Menurut data BPS, nilai

ekspor rajungan ini pada tahun 1993 mencapai US$1,042 miliar, dan nilai ini selalu

meningkat dari tahun ke tahun. Sebagian besar, rajungan ini diekspor dalam bentuk

dagingnya saja yang dibekukan atau dikalengkan. Juni 2003 nilai ekspor Jateng dari

rajungan mencapai US$7,4 juta.

Aplikasi kitosan rajungan sebagai edible coating masih belum banyak

digunakan. Secara garis besar, proses pembuatan kitosan dari rajungan adalah

membuat kitin terlebih dahulu melalui proses penghilangan mineral atau kalsium
10

karbonat dari cangkang rajungan (demineralisasi) dan penghilangan protein

(deproteinasi). Selanjutnya tahap ke dua pembuatan kitosan dengan cara

penghilangan gugus asetil (deasetilasi) dari kitin. Proses selanjutnya adalah

pembuatan dodol rumput laut Eucheuma cottonii dilanjutkan dengan pelapisan

(coating) dari kitosan dengan cara pencelupan. Metode ini dilakukan karena mudah

dilakukan untuk skala kecil berdasarkan Trisnawati, dkk (2013). Untuk membuat

bahan pelapis dilakukan dengan melarutkan serbuk kitosan 1 gr dan 2 gr dalam 1%

asam asetat, produk yang ingin diawetkan dapat langsung dicelupkan kedalam

larutan tersebut. Pencelupan dilakukan dua kali dengan lama waktu pencelupan

adalah 10 detik agar merata keseluruh bagian permukaan produk. Pencelupan

selama 10 detik mengacu pada Falahuddin (2009). Penyimpanan dodol dilakukan

selama 15 hari pada suhu ruang. Selanjutnya dianalisis secara organoleptik dan

dilakukan pengujian sampel yang disimpan. Sampel yang diuji adalah sampel yang

disimpan pada hari ke- 0, 5, 10, 15.

3.2 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, hipotesis yang diberikan yaitu :

1. Limbah cangkang rajungan dapat diolah menjadi kitosan.

2. Kitosan dari cangkang rajungan dapat diaplikasikan menjadi edible coating

dan berpengaruh nyata terhadap kemunduran mutu dodol rumput laut

Eucheuma cotonii.
11
Potensi Hasil Perikanan

Rajungan

Peningkatan nilai jual dengan


diversifikasi produk.

Limbah

Kitin dan Kitosan

Ekstraksi

Industri farmasi Edible film & coating Industri pangan

Fisika Kimia Biologi

Warna
Kadar Air Kadar Abu

Bakteri Fungi
12

IV METODOLOGI

4.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Desember 2017 sampai

Februari 2018 di Laboratorium Pendidikan Fakultas Perikanan dan Kelautan

Universitas Airlangga untuk proses pembuatan edible spoon, pengujian kadar gula

darh, pengujian organoleptik.

4.2 Materi Penelitian

4.2.1 Peralatan Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian pendahuluan adalah peralatan

pembuatan edible spoon. Peralatan pembuatan edible spoon yakni timbangan

analitik, kompor, oven, mixer, concerto, sendok besi, dan loyang. Timbangan

analitik, biker glass, kertas saring whatman, pH meter, pangaduk magnetik

(magnetic stirrer), cawan petri, gelas ukur, tabung reaksi, pipet 50 ml, oven,

desikator, cawan pengabuan, tanur pengabuan, merupakan alat untuk pembuatan

dan pengujian kadar air, kadar abu pada kitosan. Sedangkan untuk pengujian derajat

deasetiliasi menggunakan IR (Infra Red), kunci inggris, dan pelet (alat untuk

menipiskan kitosan).

4.2.2 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah bahan pembuatan dodol

rumput laut Eucheuma cottonii, pembuatan kitosan dan bahan untuk pengujian

kitosan. Bahan untuk pembuatan dodol rumput laut Eucheuma cottonii yaitu tepung

terigu, gula aren, dan santan kelapa. Bahan yang digunakan dalam pembuatan

kitosan adalah cangkang rajungan kering yang sudah dihancurkan, larutan HCI IN,
13

NaOH 3,5N dan NaOH 50 %, asam asetat 1 % dan akuades; larutan buffer fosfat

dan akuades.

4.3 Metode Penelitian

4.3.1 Rancangan Penelitian

Rancangan percobaan pada penelitian ini menggunakan RAL (Rancangan

Acak Lengkap) 3 ulangan. Faktor tersebut adalah perbandingan konsentrasi kitosan

rajungan. Semua faktor disamakan kecuali konsentrasi kitosan yang dibuat yaitu

0%, 1%, 2%, 3%, dan 4%.

4.3.2 Prosedur Kerja

Penelitian dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama adalah penelitian

pendahuluan yaitu pembuatan kitosan dari cangkang rajungan berdasarkan metode

Suptijah (1992) dalam Syahrul (2008). Tahap kedua merupakan penelitian utama

yaitu aplikasi kitosan pada produk dodol rumput laut Eucheuma cottonii disertai

pengujian yang meliputi uji kimia dan uji organoleptik.

Penelitian pendahuluan meliputi 2 tahap yakni pada tahap pertama

pembuatan kitosan dari limbah cangkang rajungan dengan tujuan untuk

memperoleh mutu kitosan berdasarkan standar. Tahap kedua melakuan pengujian

trial and error untuk mengetahui kisaran daya awet baik untuk produk yang dilapisi

dan tanpa dilapisi edible coating melalui pengamatan organoleptic dan uji kimia

(TPC). Hasil yang diperoleh dari trial and error yakni menggunakan kisaran waktu

setiap 5 hari pada penyimpanan hingga hari ke-15.


14

A. Pembuatan Kitosan

Pada pembuatan kitosan, bahan baku berupa kerapas rajungan dicuci,

dikeringkan dan dihancurkan menggunakan blender hingga berulcuran 1 cm.

Kemudian dilalcukan proses demineralisasi dengan dilarutkan dalam HCI 1 N

(perbandingan 1:7) selama 2 jam pada suhu 90 OC. Setelah itu dilakukan netralisasi

yaitu dengan cara pemisahan hasil ekstraksi dan pencucian menggunakan aquades

hingga pH netral. Selanjutnya proses deproteinasi dengan penambahan NaOH 3 N

(perbandingan 1:lO) pada suhu 90 OC selama 2 jam. Hasil ekstraksi disaring dan

dinetralkan kembali hingga terbentuk kitin. Kemudian dilakukan proses deasetilasi

menggunakan NaOH 50 % (perbandingan 1:20) pada suhu 140 OC selama 2 jam.

Lalu dilakukan netralisasi kembali serta hasilnya dijemur dan akhirnya terbentuklah

kitosan dalam bentuk serpihan. Adapun alur pembuatan kitosan dapat dilihat pada

Gambar 2.

Limbah rajungan

Pencucian
dpsdmasdmasflaskfmp
enegPengeringan
Pengeringan

Penghancuran

Demineralisasi (90°C, 2 jam, HCl 1 N 1: 7)

Pemisahan dan pencucian

Deproteinasi (90°C, 2 jam, NaOH 3,5% 1:10

Penyaringan

Kitin

Deasetilasi (120-140°C, 2 jam NaOH 50% 1:20


15

Kitosan yang telah dihasilkan dibuat larutan kitosan konsentrasi 1,5 % berdasarkan

pada penelitian yang telah ada dan mmpu menghambat pertumbuhan kapang dan

jamur (Nugroho 2005). Langkah pembuatannya yaitu, serpihan kitosan sebanyak

1,5 gram dilarutkan dalam asam asetat dengan konsentrasi sebesar 2 % hingga

terbentuk larutan tersuspensi. Setelah itu, ditambahkan akuades hingga volumenya

mencapai 100 ml. Larutan yang terbentuk kemudian digunakan untuk melapisi

dodol rumput laut.

Serpihan Kitosan

Penimbangan (1,5 g)

Pelarutan dengan asam asetat 1% hingga terbentuk larutan tersuspensi

Pengenceran dengan akuades hingga mencapai 100 ml

Larutan kitosan 1,5%


Gambar 3. Diagram alir tahap pembuatan larutan kitosan

B. Aplikasi Kitosan Pada Dodol Rumput Laut Eucheuma cotonii

Pada penelitian utama dilakukan pembuatan dodol rumput laut Eucheuma

cottonii yang mengacu pada Idrus (1994) dalam Hatta (2012), dilanjutkan dengan

pelapisan (coating) dari kitosan dengan cara pencelupan. Untuk penelitian ini, cara

pencelupan digunakan karena teknik ini lebih mudah dilakukan untuk skala kecil

berdasarkan Trisnawati, dkk (2013). Untuk membuat bahan pelapis dilakukan

dengan melarutkan serbuk kitosan 1 gr dan 2 gr dalam 1% asam asetat, produk yang

ingin diawetkan dapat langsung dicelupkan kedalam larutan tersebut. Pencelupan

dilakukan dua kali dengan lama waktu pencelupan adalah 10 detik agar merata
16

keseluruh bagian permukaan produk. Pencelupan selama 10 detik mengacu pada

Falahuddin (2009).

D. Uji Sensori

Uji sensori atau organoleptik yang dilakukan menggunakan metode

perbandingan berganda (skala 9) untuk mengetahui tingkat kekenyalan produk dan

metode hedonik uji aseptibilitas (skala 5) untuk melihat penerimaan panelis

terhadap dodol rumput laut yang dihasilkan.

C. Total Plate Count (Fardiaz 1989)

Sebanyak 10 ml sampel disuspensikan ke dalam 90 ml larutan NaCl 0.85

%. Untuk menghitung jumlah mikroba yang ada pada sampel tersebut dilakukan

pemupukan dengan metode agar tuang. Sebanyak 1 ml sampel hasil perlakuan

dimasukkan ke dalam cawan petri steril dan dituangi media agar MRS-A ±15 mi.

Kemudian digoyang secara mendatar supaya contoh menyebar rata. Setelah agar

membeku dilakukan inkubasi dengan posisi terbalik pada suhu 37 OC selama 48

jam. Koloni yang tumbuh dihitung dan dilaporlcan sebagai jumlah Koloni per gram

menurut Standar Plate Count (SPC).

4.4 Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini kemudian akan dianalisis

menggunakan ANOVA (Analysis of Variance) untuk mengetahui ada atau tidaknya

perbedaan hasil dari setiap perlakuan, sesuai dengan rancangan yang digunakan

yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL). Jika dari analisis diketahui bahwa

perlakuan menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata atau berbeda sangat nyata,
17

maka untuk membandingkan perlakuan mana yang menghasilkan hasil terbaik

dilanjutkan dengan Uji Duncan (Sasmita, 2008).

4.6 Jadwal Pelaksanaan Kegiatan

Tabel 1. Jadwal rencana pelaksanaan penelitian

No. Kegiatan Waktu Pelaksanaan (hari)


1. Persiapan
1.1 Perijinan 2
2. Penyusunan Usulan Penelitian 21
3. Konsultasi Usulan Penelitian 17
4. Pelaksanaan Penelitian 35
5. Penyusunan Laporan Skripsi 14
6. Konsultasi Laporan Skripsi 11
Total Waktu Penyelesaian 100
18

DAFTAR PUSTAKA

Angka SL, Suhartono MT 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Bogor: Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.

[Anonim]. 2005. Chapter 5: The Use of Edible Chitosan Film on Ready to Eat
Meat Products for The Control of Kisteria n7onocytogenes. 88-105.
[terhitung berkala].

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods of


Analysis. 16"' ed. Arlington, Virginia Assiciation of Official
Analitycal Chemist Inc.

Dinas Kelautan dan Perikanan, Data Statistik Perikanan Kabupaten Gorontalo


Utara Provinsi Gorontalo Tahun 2013.

Dunn ET, Grandmaison EW, Goosen MFA. 1997. Aplications and properties of
chitosan. Di dalanz Goosen MFA (editor). Applications of Chitin and
Chitosan. Technomic Pub, Basel. P 3-30.

El Ghaouth A, Arul J, Ponnampalan R, Bollet M. 1991. Chitosan coating effect of


storability and quality of strawberries. Journal of Food Science.
56: 1618-1619.

Falahuddin, A. Kitosan Sebagai Edible Coating pada Otak-Otak Bandeng (chanos-


chanos Forskal) yang Dikemas Vakum. Skripsi. Bogor: Fakultas
Perikanan dan kelautan. IPB.

Hatta, R. 2012. Studi Pembuatan Dodol Dari Rumput Laut (Eucheuma Cottonii)
Dengan Penambahan Kacang Hijau (Phaseolus Eureus). Skripsi.
Makassar: Fakultas Pertanian.

Haris H. 1996. Karakteristik edible film dari protein kedelai, tapioka dan gliserol
untuk pengemas produk pangan. Laporan Penelitian RUTIV.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). 2012b. Statistik Ekspor Hasil


Perikanan Menurut Komoditi, Provinsi dan Pelabuhan Asal Ekspor
2012. Pusat Data, Statistik, dan Informasi Sekretariat Jenderal,
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. hal. 1146-1147.

Krochta JM, De Mulder J. 1992. Edible and Biodegradable polymer film:


Challenger and opportunities. J. Food Techno. 5 l(2): 61-74.
19

Lesbani, A., Setiawati, Melviana. 2011. Karakterisasi Kitin dan Kitosan dari
Cangkang Kepiting Bakau (Scylla Serrata). Jurnal Penelitian
Sains.Vol. 14 No. 3.

No HK, Na YP, Lee SH, Meyers SP. 2003. Antibacterial Activity of Kitosans and
Oligomers with Different Molecular Weights. Journal of Food
Microbiology 74 (12) : 65-72.

Nugroho TA. 2005. Kitosan sebagai penghambat permbuhan kapang dan


pengaruhnya terhadap kemunduran mutu ikan cucut (Charcharhinus
sp.) asin ltering dari Muara Angke, Jakarta Utara [skripsi]. Bogor:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Romanazzi G, Nigro F, ippolito A, Di Venere D, dan Salerno M. 2002. Effect of


pre- and postharvest chitosan treatments to control storage grey mold
of table grapes. Jozrrnal of Food Science. 67: 1862-1 867.

Saanin H. 1984. Taksononli dun Kunci Identlfikasi Ikan. Jilid 1 dan 2. Jakarta:
Penerbit Bina Cipta.

Sasmita, K. R. 2008. Perancangan Percobaan. Airlangga University Press.


Surabaya. hal. 44-86.

Suptijah P, Salamah E, Sumaryanto H, Purwaningsih S, Santoso J. 1992. Pengaruh


berbagai isolasi lchitin kulit udang terbadap mutunya [laporan
penelitian]. Bogor: Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.

Suwandi, 1992. Isolasi dan Identifikasi Karaginan dari Rumput Laut Eucheuma
cottonii. Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara. Medan.

Winarno FG. 1993. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Windhollz M, Budavari S, Blumetti RF, Otternbein ES. 1983. An Encyclopedia of


Chemical: Drugs andBiologica1. 1 Olh ed. Rahway, New Jersey: the
Merck Index.

You might also like