Professional Documents
Culture Documents
1.1 Judul
Salah satu permasalahan dunia yang sampai saat ini belum terselesaikan
adalah masalah sampah. Menurut data Kementrian Lingkungan Hidup pada tahun
menjadi kompleks dan meluas terutama terkait isu pencemaran sampah di laut.
Selain itu, beberapa data dari KLHK tahun 2016 menunjukkan bahwa indikasi
meningkat. Jambeck, Jena R., et.al (2015) menyatakan bahwa potensi sampah yang
kisaran 4,8 juta ton hingga 12,7 juta ton, para ilmuwan menetapkan 8 juta ton
sebagai perkiraan rata-rata sekian persen dari total sampah plastik yang dihasilkan
penduduk dunia setiap tahun. Sebuah studi menunjukkan bahwa bila sampah plastik
dibiarkan, 17,5 juta ton plastik per tahun dapat memasuki lautan pada 2015. Bila
jumlah sampah plastik diakumulasikan dari tahun ini sampai 2025, sedikitnya 155
Mintarsih menyebut total jumlah sampah Indonesia di 2019 akan mencapai 68 juta
2
ton dan sampah plastik diperkirakan akan mencapai 9.52 juta ton atau 14 persen
dari total sampah yang ada. Menurutnya, target pengurangan timbunan sampah
penanganan sampahnya dengan cara composting dan daur ulang bawa ke Tempat
penggunaan plastik belanja dengan tas yang bukan sekali pakai. Selain itu, untuk
peralatan plastik yang sekali pakai misalnya sendok plastik yang selama ini sering
kita manfaatkan, terdapat solusi yang telah dikembangkan di India, yakni dengan
membuat edible spoon. Edible spoon merupakan peralatan makanan berupa sendok
yang dapat digunakan sekali pakai yang berbahan baku sederhana yakni tepung
terigu, gula, garam, telur dan telur, dimana diolah dan dicetak sehingga membentuk
produk makanan menyerupai sendok. Produk ini sudah dikembangkan di India dan
Jepang. Selain edible spoon, produk lain yang dikembangkan yakni berupa sumpit.
masyarakat semakin tertarik karena edible spoon tidak hanya sebagai pengganti
sendok plastik tetapi juga merupakan makanan yang dapat dikonsumsi dengan
Edible spoon sebagai produk inovasi sudah cukup baik apabila terus
menerus di kembangkan dari segi rasa dan bentuk. Namun demikian, masih terdapat
kekurangan pada produk edible spoon yang telah berkembang, yakni tidak terdapat
sisi kesehatan nya. Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam
terutama lautnya, sangat berpotensi untuk mengembangkan hal tersebut. Salah satu
3
yakni alginat yang merupakan poliuronik sakatida serat terisolasi yang dapat
diekstrak dari dinding sel bakteri dan dinding sel alga coklat. Alginat sudah
dimanfaatkan secara luas dalam bidang pangan sebagai pengental , pembentuk gel,
(Bhakuni & Rawat, 2005). Serat dalam alginat mereduksi absorbsi nutrisi intestinal
melitus tipe 2 dan obesitas (Ren et al 1994; Jimenez-Escrig & Sanche-Muniz, 2000;
2000).
Diabetes melitus adalah penyakit yang timbul karena kadar glukosa darah
Diabetes Federation (IDF) memperkirakan pada 2013 terdapat 382 juta penderita
diabetes dan 316 juta menderita gangguan toleransi glukosa dan beresiko tinggi
Jumlah penderita diabetes melitus yang terus meningkat dan efek samping obat
sintetik memicu eksplorasi alternatif agen yang lebih aman dan murah dengan efek
samping minimal (Krentz & Bailey, 2005). Serat pangan yang telah memperoleh
menurunkan kadar gula darah pada produk edible spoon yang ramah lingkungan
masih sangat terbatas. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan penelitian untuk
2. Apakah edible spoon dengan fortifikasi alginat dapat menurunkan kadar gula
darah?
1.4 Tujuan
1.5 Manfaat
alternatif pengurangan sampah plastik serta manfaat edible spoon sebagai produk
II TINJAUAN PUSTAKA
fiber) pada rumput laut sangat tinggi. Serat dalam makanan atau disebut juga
serat makanan umumnya berasal dari serat buah dan sayuran atau sedikit yang
berasal dari biji-bijian dan serealia. Serat makanan terdiri dari serat kasar
(crude fiber) dan “serat makanan” (dietary fiber). Serat kasar adalah serat yang
secara laboratorium dapat menahan asam kuat (acid) atau basa kuat (alkali),
(2009) menyatakan bahwa, ada 2 macam golongan serat yaitu yang tidak dapat
larut dalam air dan yang dapat larut air. Serat yang tidak dapat larut air adalah
selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Serat yang dapat larut dalam air adalah
pektin, gum, mucilage, glikan dan alga. Serat yang terdapat pada karaginan
merupakan bagian dari serat gum yaitu jenis serat yang larut dalam air.
Karbohidratnya juga sukar dicerna sehingga rasa kenyang lebih bertahan lama
tanpa takut kegemukan. Rumpul laut juga diketahui kaya akan nutrisi esensial,
seperti enzim, asam nukleat, asam amino, mineral, trace elements khususnya
yodium, dan vitamin A, B, C, D, E dan K. Selain itu, rumput laut juga bisa
6
dan sistem pencernaan (Adhistiana, dkk., 2008). Nilai Nutrisi rumput laut Jenis
2.4 Alginat
pH sekitar 4, dimana asam alginat secara sempurna diubah menjadi garam yang sesuai
(ISP, 2001).
2.5 Kitosan sebagai Edible Coating
bahan tambahan. Penggunaan formalin oleh para pengolah bertujuan sebagai bahan
dan Rahayu 1994). Bahan ini biasanya ditambahkan metanol 10-15 % untuk
menghindari polimerisasi. Larutan ini sangat kuat dan dikenal dengan formalin 100
% atau formalin 40, yang mengandung 40 gram formaldehida dalam 100 ml pelarut.
Formalin bersifat toksik baik pada hewan percobaan dan manusia. Uap formalin
dapat mengiritasi membran mukosa dan mengiritasi kulit (Windhollz et al., 1983).
Uap formalin dapat mengiritasi mata, hidung dan saluran pernapasan. Dalam
(Anonim 1991).
penelitian mengenai kitosan telah banyak dilakukan dengan sumber bahan baku
kitosan dari limbah kerapas udang. Kitosan merupakan turunan kitin yang diperoleh
pertanian, fannasi, pengolahan limbah dan penjernihan air. Dalam bidang pangan,
dan pengental, antioksidan serta penjernih pada produk minuman (Dunn et al.,
terhadap bakteri gram positif dibandingkan bakteri gram negatif (No et al:, 2003
diacu dalam Anoni~n 2005). Edible film kitosan telah menunjukkan aktivitas
2002). Edible coating kitosan 1,5 % dapat menghambat pertumbuhan jamur pada
Hingga saat ini pembuatan kitosan dengan bahan baku rajungan masih
melihat potensi rajungan yang cukup besar, yaitu mencapai 31.228 ton pada tahun
2002 (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap 2004). Menurut data BPS, nilai
ekspor rajungan ini pada tahun 1993 mencapai US$1,042 miliar, dan nilai ini selalu
meningkat dari tahun ke tahun. Sebagian besar, rajungan ini diekspor dalam bentuk
dagingnya saja yang dibekukan atau dikalengkan. Juni 2003 nilai ekspor Jateng dari
digunakan. Secara garis besar, proses pembuatan kitosan dari rajungan adalah
membuat kitin terlebih dahulu melalui proses penghilangan mineral atau kalsium
10
(coating) dari kitosan dengan cara pencelupan. Metode ini dilakukan karena mudah
dilakukan untuk skala kecil berdasarkan Trisnawati, dkk (2013). Untuk membuat
asam asetat, produk yang ingin diawetkan dapat langsung dicelupkan kedalam
larutan tersebut. Pencelupan dilakukan dua kali dengan lama waktu pencelupan
selama 15 hari pada suhu ruang. Selanjutnya dianalisis secara organoleptik dan
dilakukan pengujian sampel yang disimpan. Sampel yang diuji adalah sampel yang
Eucheuma cotonii.
11
Potensi Hasil Perikanan
Rajungan
Limbah
Ekstraksi
Warna
Kadar Air Kadar Abu
Bakteri Fungi
12
IV METODOLOGI
Universitas Airlangga untuk proses pembuatan edible spoon, pengujian kadar gula
analitik, kompor, oven, mixer, concerto, sendok besi, dan loyang. Timbangan
(magnetic stirrer), cawan petri, gelas ukur, tabung reaksi, pipet 50 ml, oven,
dan pengujian kadar air, kadar abu pada kitosan. Sedangkan untuk pengujian derajat
deasetiliasi menggunakan IR (Infra Red), kunci inggris, dan pelet (alat untuk
menipiskan kitosan).
rumput laut Eucheuma cottonii, pembuatan kitosan dan bahan untuk pengujian
kitosan. Bahan untuk pembuatan dodol rumput laut Eucheuma cottonii yaitu tepung
terigu, gula aren, dan santan kelapa. Bahan yang digunakan dalam pembuatan
kitosan adalah cangkang rajungan kering yang sudah dihancurkan, larutan HCI IN,
13
NaOH 3,5N dan NaOH 50 %, asam asetat 1 % dan akuades; larutan buffer fosfat
dan akuades.
rajungan. Semua faktor disamakan kecuali konsentrasi kitosan yang dibuat yaitu
Suptijah (1992) dalam Syahrul (2008). Tahap kedua merupakan penelitian utama
yaitu aplikasi kitosan pada produk dodol rumput laut Eucheuma cottonii disertai
trial and error untuk mengetahui kisaran daya awet baik untuk produk yang dilapisi
dan tanpa dilapisi edible coating melalui pengamatan organoleptic dan uji kimia
(TPC). Hasil yang diperoleh dari trial and error yakni menggunakan kisaran waktu
A. Pembuatan Kitosan
(perbandingan 1:7) selama 2 jam pada suhu 90 OC. Setelah itu dilakukan netralisasi
yaitu dengan cara pemisahan hasil ekstraksi dan pencucian menggunakan aquades
(perbandingan 1:lO) pada suhu 90 OC selama 2 jam. Hasil ekstraksi disaring dan
Lalu dilakukan netralisasi kembali serta hasilnya dijemur dan akhirnya terbentuklah
kitosan dalam bentuk serpihan. Adapun alur pembuatan kitosan dapat dilihat pada
Gambar 2.
Limbah rajungan
Pencucian
dpsdmasdmasflaskfmp
enegPengeringan
Pengeringan
Penghancuran
Penyaringan
Kitin
Kitosan yang telah dihasilkan dibuat larutan kitosan konsentrasi 1,5 % berdasarkan
pada penelitian yang telah ada dan mmpu menghambat pertumbuhan kapang dan
1,5 gram dilarutkan dalam asam asetat dengan konsentrasi sebesar 2 % hingga
mencapai 100 ml. Larutan yang terbentuk kemudian digunakan untuk melapisi
Serpihan Kitosan
Penimbangan (1,5 g)
cottonii yang mengacu pada Idrus (1994) dalam Hatta (2012), dilanjutkan dengan
pelapisan (coating) dari kitosan dengan cara pencelupan. Untuk penelitian ini, cara
pencelupan digunakan karena teknik ini lebih mudah dilakukan untuk skala kecil
dengan melarutkan serbuk kitosan 1 gr dan 2 gr dalam 1% asam asetat, produk yang
dilakukan dua kali dengan lama waktu pencelupan adalah 10 detik agar merata
16
Falahuddin (2009).
D. Uji Sensori
%. Untuk menghitung jumlah mikroba yang ada pada sampel tersebut dilakukan
dimasukkan ke dalam cawan petri steril dan dituangi media agar MRS-A ±15 mi.
Kemudian digoyang secara mendatar supaya contoh menyebar rata. Setelah agar
jam. Koloni yang tumbuh dihitung dan dilaporlcan sebagai jumlah Koloni per gram
Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini kemudian akan dianalisis
perbedaan hasil dari setiap perlakuan, sesuai dengan rancangan yang digunakan
yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL). Jika dari analisis diketahui bahwa
perlakuan menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata atau berbeda sangat nyata,
17
DAFTAR PUSTAKA
Angka SL, Suhartono MT 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Bogor: Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.
[Anonim]. 2005. Chapter 5: The Use of Edible Chitosan Film on Ready to Eat
Meat Products for The Control of Kisteria n7onocytogenes. 88-105.
[terhitung berkala].
Dunn ET, Grandmaison EW, Goosen MFA. 1997. Aplications and properties of
chitosan. Di dalanz Goosen MFA (editor). Applications of Chitin and
Chitosan. Technomic Pub, Basel. P 3-30.
Hatta, R. 2012. Studi Pembuatan Dodol Dari Rumput Laut (Eucheuma Cottonii)
Dengan Penambahan Kacang Hijau (Phaseolus Eureus). Skripsi.
Makassar: Fakultas Pertanian.
Haris H. 1996. Karakteristik edible film dari protein kedelai, tapioka dan gliserol
untuk pengemas produk pangan. Laporan Penelitian RUTIV.
Lesbani, A., Setiawati, Melviana. 2011. Karakterisasi Kitin dan Kitosan dari
Cangkang Kepiting Bakau (Scylla Serrata). Jurnal Penelitian
Sains.Vol. 14 No. 3.
No HK, Na YP, Lee SH, Meyers SP. 2003. Antibacterial Activity of Kitosans and
Oligomers with Different Molecular Weights. Journal of Food
Microbiology 74 (12) : 65-72.
Saanin H. 1984. Taksononli dun Kunci Identlfikasi Ikan. Jilid 1 dan 2. Jakarta:
Penerbit Bina Cipta.
Suwandi, 1992. Isolasi dan Identifikasi Karaginan dari Rumput Laut Eucheuma
cottonii. Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara. Medan.
Winarno FG. 1993. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.