Professional Documents
Culture Documents
Revisilaporan Pendahuluan Ich
Revisilaporan Pendahuluan Ich
J DENGAN
CKB DI RUANG ICU RSUP DENPASAR BALI
oleh
Kelompok 4
Chrisdianita R, S. Kep NIM 132311101016
Tri Astutik, S. Kep NIM 132311101017
Larasmiati Rasman, S. Kep NIM 132311101018
Karina Diana S, S. Kep NIM 132311101019
Nurwi Ningsih, S. Kep NIM 132311101020
Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang dibentuk oleh
mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Bila kalvaria dan durameter
disingkirkan, di bawah lapisan arachnoid mater kranialis dan piameter kranialis
terlihat gyrus, sulkus, dan fisura korteks serebri. Sulkus dan fisura korteks serebri
membagi hemisfer serebri menjadi daerah lebih kecil yang disebut lobus (Moore
& Argur, 2007). Otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
2. Etiologi
Menurut Salman dalam American Heart Association (2014); Zuccarello
(2013) dan Chakrabarty & Shivane (2008) mengatakan bahwa etiologi perdarahan
intraserebral adalah sebagai berikut:
a. Penyakit pembuluh darah kecil: aterosklerosis, amiloid angiopati, genetik
b. Malformasi pembuluh darah: malformasi arteriovenous, malfomasi cavernous
c. Aneurisma intracranial
d. Penakit vena : sinus serebral/ trombosis vena, dural arteriovenous fistula
e. Reversible cerebral
f. Sindrom vasokontriksi
g. Sindrom moyamoya
h. Inflamasi: vaskulitis, aneurisma mikotik
i. Penyakit maligna: tumor otak, metastasis serebral
j. Koagulopati: genetik, diturunkan/iatrogenik
k. Pengobatan vasoaktif
l. Serangan jantung karena perdarahan
m. Trauma kepala : fraktur tengkorak dan luka penetrasi (luka tembak) dapat
merusak arteri dan menyebabkan perdarahan.
n. Hipertensi : peningkatan tekanan darah menyebabkan penyempitan arteri
yang kemudian pecahnya arteri di otak
o. Terapi pengenceran darah : obat seperti coumadin, heparin, dan warafin yang
digunakan untuk pengobatan jantung dan kondisi stroke
p. Kehamilan: eklamsia, trombosis vena
q. Merokok
3. Epidemiologi
Perdarahan intraserebral dua kali lebih banyak dibanding perdarahan
subarakhnoid (PSA) dan lebih berpotensi menyebabkan kematian atau disabilitas
dibanding infark serebri atau PSA. Sekitar 10% kasus stroke disebabkan oleh PIS.
Sumber data dari Stroke Data Bank (SDB), menyebutkan bahwa setidaknya 1 dari
10 kasus stroke disebabkan oleh perdarahan parenkim otak. Populasi dimana
frekuensi hipertensinya tinggi, seperti Amerika-Afrika dan orang-orang Cina,
Jepang dan keturunan Thai, memiliki frekuensi yang tinggi terjadinya PIS.
Perdarahan intraserebral dapat terjadi pada rentang umur yang lebar, dapat terjadi
pada dekade tujuh puluh, delapan puluh dan sembilan puluh. Walaupun persentase
tertinggi kasus stroke pada usia dibawah 40 tahun adalah kasus perdarahan, PIS
sering juga terjadi pada usia yang lebih lanjut. Usia lanjut dan hipertensi
merupakan faktor resiko paling penting dalam perdarahan intraserebral (PIS).
Perdarahan intraserebral terjadi sedikit lebih sering pada pria dibanding wanita
dan lebih sering pada usia muda dan setengah-baya pada ras kulit hitam dibanding
kulit putih di usia yang sama.
5. Patofisiologi
Kebanyakan kasus PIS terjadi pada pasien dengan hipertensi kronik.
Keadaan ini menyebabkan perubahan arteriosklerotik pembuluh darah kecil,
terutama pada cabang-cabang arteri serebri media, yang mensuplai ke dalam basal
ganglia dan kapsula interna. Pembuluh-pembuluh darah ini menjadi lemah,
sehingga terjadi robekan dan reduplikasi pada lamina interna, hialinisasi lapisan
media dan akhirnya terbentuk aneurisma kecil yang dikenal dengan aneurisma
Charcot-Bouchard. Hal yang sama dapat terjadi pembuluh darah yang mensuplai
pons dan serebelum. Rupturnya satu dari pembuluh darah yang lemah
menyebabkan perdarahan ke dalam substansi otak.
Pada pasien dengan tekanan darah normal dan pasien usia tua, PIS dapat
disebabkan adanya cerebral amyloid angiopathy (CAA). Keadaan ini disebabkan
adanya akumulasi protein β-amyloid didalam dinding arteri leptomeningen dan
kortikal yang berukuran kecil dan sedang. Penumpukan protein β-amyloid ini
menggantikan kolagen dan elemen-elemen kontraktil, menyebabkan arteri
menjadi rapuh dan lemah, yang memudahkan terjadinya resiko ruptur spontan.
Berkurangnya elemen-elemen kontraktil disertai vasokonstriksi dapat
menimbulkan perdarahan masif, dan dapat meluas ke dalam ventrikel atau ruang
subdural. Selanjutnya, berkurangnya kontraktilitas menimbulkan kecenderungan
perdarahan di kemudian hari. Hal ini memiliki hubungan yang signifikan antara
apolipoprotein E4 dengan perdarahan serebral yang berhubungan dengan amyloid
angiopathy. Suatu malformasi angiomatous (arteriovenous malformation/AVM)
pada otak dapat ruptur dan menimbulkan perdarahan intraserebral tipe lobular.
Gangguan aliran venous karena stenosis atau oklusi dari aliran vena akan
meningkatkan terjadinya perdarahan dari suatu AVM. Terapi antikoagulan juga
dapat meningkatkan resiko terjadinya perdarahan intraserebral, terutama pada
pasien-pasien dengan trombosis vena, emboli paru, penyakit serebrovaskular
dengan Transient Ischemic Attack (TIA) atau katub jantung prostetik. Nilai
international normalized ratio (INR) 2,0 - 3,0 merupakan batas adekuat
antikoagulasi pada semua kasus kecuali untuk pencegahan emboli pada katub
jantung prostetik, dimana nilai yang direkomendasikan berkisar 2,5 - 3,5.
Antikoagulan lain seperti heparin, trombolitik dan aspirin meningkatkan resiko
PIS. Penggunaan trornbolitik setelah infark miokard sering diikuti terjadinya PIS
pada beberapa ribu pasien tiap tahunnya.
6. Penatalaksanaan
Pendarahan intracerebral lebih mungkin menjadi fatal dibandingkan stroke
ischemic. Pendarahan tersebut biasanya besar dan catastrophic, khususnya pada
orang yang mengalami tekanan darah tinggi yang kronis. Lebih dari setengah
orang yang mengalami pendarahan besar meninggal dalam beberapa hari. Mereka
yang bertahan hidup biasanya kembali sadar dan beberapa fungsi otak bersamaan
dengan waktu. Meskipun begitu, kebanyakan tidak sembuh seluruhnya fungsi otak
yang hilang.
Pengobatan pada pendarahan intracerebral berbeda dari stroke ischemic.
Anticoagulant (seperti heparin dan warfarin), obat-obatan trombolitik, dan obat-
obatan antiplatelet (seperti aspirin) tidak diberikan karena membuat pendarahan
makin buruk. Jika orang yang menggunakan antikoagulan mengalami stroke yang
mengeluarkan darah, mereka bisa memerlukan pengobatan yang membantu
penggumpalan darah seperti :
a. Vitamin K, biasanya diberikan secara infuse.
b. Transfusi atau platelet. Transfusi darah yang telah mempunyai sel darah dan
pengangkatan platelet (plasma segar yang dibekukan).
c. Pemberian infus pada produk sintetis yang serupa pada protein di dalam darah
yang membantu darah untuk menggumpal (faktor penggumpalan).
Operasi untuk mengangkat penumpukan darah dan menghilangkan tekanan
di dalam tengkorak, bahkan jika hal itu bisa menyelamatkan hidup, jarang
dilakukan karena operasi itu sendiri bisa merusak otak. Juga, pengangkatan
penumpukan darah bisa memicu pendarahan lebih, lebih lanjut kerusakan otak
menimbulkan kecacatan yang parah. Meskipun begitu, operasi ini kemungkinan
efektif untuk pendarahan pada kelenjar pituitary atau pada cerebellum. Pada
beberapa kasus, kesembuhan yang baik adalah mungkin.
Menurut Corwin (2009) menyebutkan penatalaksanaan untuk Intra
Cerebral Hematom adalah sebagai berikut :
a. Observasi dan tirah baring terlalu lama.
b. Mungkin diperlukan ligasi pembuluh yang pecah dan evakuasi hematom
secara bedah.
c. Mungkin diperlukan ventilasi mekanis.
d. Untuk cedera terbuka diperlukan antibiotiok.
e. Metode-metode untuk menurunkan tekanan intra kranium termasuk
pemberian diuretik dan obat anti inflamasi.
f. Pemeriksaan Laboratorium seperti : CT-Scan, Thorax foto, dan laboratorium
lainnya yang menunjang.
Penangananan stroke khususnya pada stroke hemoragi menurut AHA
2010:
a. Step 1: Pasien harus dikaji dan distabilkan, jika pasien GCS dibawah 9 maka
lakukan intubasi endotrakeal
b. Step 2: Riwayat penyakit, pertanyaan yang harus ditanyakan yaitu trauma
terakhir yang dialami, riwayat hipertensi, riwayat pernah stroke sebelumnya,
merokok, pengguna alcohol, penggunaan obat-obatan (cocaine, aspirin,
anticoagulan), penyakit hematologi, penyakit hati, neoplasma, AVM, infeksi
c. Step 3: Kaji tanda dan gejala menurut skala ROSIER (skor lebih dari 0, 90%
mengalami stroke), dan ICH (jika skor lebih besar, maka akibatnya lebih
besar)
d. Step 4: hasil laboratorium akan menunjukkan diagnosis penyakit, kaji resiko
faktor ICH, dan temukan penyebab potensial terjadinya ICH. Contoh tes yang
harus dilakukan yaitu tes elektrolit, tes kehamilan, rontgen dada, ECG.
e. Step 5: Diagnosa gambar dengan CT scan dan MRI. Penggunaan tes CT scan
untuk mengetahui tanda spot yang mengindkasika faktor resiko ekspansi
hematoma yang menunjukkan tanda bahaya yang harus segera dilakukan
penanganan
f. Step 6: pengobatan yang harus dilakukan (step ini dapat menjadi tahapan
yang paling utama dibandingkan tahapan yang lainnya)
1) Pengobatan yang dilauakn pada ICH adalah mengehntikan atau
memperlambat perdarahan di jam pertama setelah serangan (farmakologis,
pembedahan, endovascular coilling)
2) Manajemen tanda dan gejala yaitu gejala yang sering muncul penurunan
perfusi cerebral, dan manajemen pendukung untuk pasien cedera otak.
Pemerikasaan Neurologi
Menurut edisi ke-1 tahun 2011 neuropsikiatri fakultas kedokteran
universitas andalas Padang, Indonesia pemeriksaan yang dapat dilkaukan pada
penderita ICH adalah sebagai berikut.
1. Pemeriksaan Tanda Rangsangan Meningeal
a. Kaku kuduk:
Cara: Pasien tidur telentang
tanpa bantal. Tangan
pemeriksa ditempatkan
dibawah kepala pasien yang
sedang berbaring, kemudian
kepala ditekukan ( fleksi) dan
diusahakan agar dagu
mencapai dada. Selama
penekukan diperhatikan
adanya tahanan. Bila
terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat
mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat.
Hasil pemerikasaan: Leher dapat bergerak dengan mudah, dagu dapat
menyentuh sternum, atau fleksi leher normal. Adanya rigiditas leher
dan keterbatasan gerakan fleksi leher kaku kuduk
b. Brudzinski
Cara: Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang
ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan
pemeriksa yang satu lagi sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk
mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan
sehingga dagu menyentuh dada.
Hasil Pemeriksaan: Test ini adalah positif bila gerakan fleksi kepala
disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul kedua tungkai
secara reflektorik.
c. Kernig :
Pada pemeriksaan ini, pasien yang sedang berbaring difleksikan
pahanya pada persendian panggul sampai membuat sudut 90 derajat.
Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai
membentuk sudut lebih dari 135 derajat terhadap paha. Bila teradapat
tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 135 derajat, maka
dikatakan kernig sign positif.
7. TERAPI
1. Medikasi
i. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti-edema serebral,
dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
ii. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), berat untuk mengurangi
vasodilatasi.
iii. Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%,
atau glukosa 40%, atau gliserol 10%.
iv. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (panisillin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidasol.
v. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak
dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrose 5%, aminofusin,
aminopel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari
kemudian diberikan makanan lunak.
vi. Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat klien mengalami
penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan
elektrolit maka hari-hari pertama(2-3 hari) tidak perlu banyak cairan.
Dextrosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrose 8 jam kedua, dan dextrose
5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadran rendah maka
makanan diberikan melalui nasogastric tube (25000-3000 TKTP).
Pemberian protein tergantung dari nilai urenitrogennya.
2. Latihan
Handicap International (2013) mengatakan, bahwa latihan yang dapat
dilakukan pada penderita SAH adalah sebagai berikut.
1. Fase awal
Yang harus di perhatikan pada fase ini cegah komplikasi sekunder dan
melindungi fungsi yang tersisa. Program ini dimulai sedini mungkin
setelah keadaan umum memungkinkan dimulainya rehabilitasi. Hal-hal
yang dapat dikerjakan adalah proper bed positioning, latihan luas gerak
sendi, stimulasi dan begitu penderita sadar dimulai penanganan masalah
emosional.
2. Fase lanjutan
Yang harus diperhatikan pada fase ini adalah mencapai kemandirian
fungsional dalam mobilisasi dan aktifi tas kegiatan sehari-hari (AKS).
Fase ini dimulai pada waktu penderita secara medik telah stabil.
Biasanya pasien perdarahan subarakhnoid mobilisasi dimulai 10-15 hari
setelah kejadian.
a. Positioning
b. Joint Movement Exercise
Pemberian latihan pada perdarahan subarachnoid dimulai setelah 2
minggu. Dilakukan secara rutin dengan waktu latihan antara 30-60
menit yang terbagi dalam tiga sesi. Dan tiap sesi diberikan istirahat 5
menit. Namun apabila pasien terlihat lelah, ada perubahan wajah dan
ada peningkatan menonjol tiap latihan pada vital sign, maka dengan
segera harus dihentikan.
c. Aktifitas kehidupan sehari-hari/ADL
Sebagian besar penderita dapat mencapai kemandirian dalam ADL,
meskipun pemulihan fungsi neurologis pada ekstremitas yang terkena
belum tentu baik. Dengan alat Bantu yang disesuaikan, ADL dengan
menggunakan satu tangan secara mandiri dapat dikerjakan.
Kemandirian dapat dipermudah dengan pemakaian alat-alat yang
disesuaikan. Kemempuan fungsional meliputi kegiatan sehari-hari
(AKS) seperti makan dan minum, mencuci, kebersihan diri, transfer
dan ambulasi. Untuk setiap jenis aktivitas tersebut ditentukan derajat
kemandiriaan dan ketergantungan penderita.
1) Feeding
- Penderita duduk stabil di kursi, kedua siku rapat di atas meja
makan
- Keluarga membantu penderita memegang sendok, menyendok
makanan lalu membawa ke mulut penderita kemudian kembali
ke posisi semula. Terkadang pasien membutuhkan sendok
khusus untuk makan sendiri jika tangan yang terkena biasa
digunakan untuk makan
- Melakukan berulang kali hingga penderita berpengalaman
makan sendiri.
2) Drinking
- Penderita duduk stabil dikursi, kedua siku rapat di atas meja
makan.
- Keluarga membantu tangan penderita memegang
tangkai/cangkir sedemikian rupa yang berisi 1/3 gelas air,
dibawa ke mulut untuk di minurn, kemudian kembali ke posisi
semula.
- Melakukan berulang kali hingga penderita berpengaIaman
minum sendiri.
3) Bathing
- Gunakan Peralatan mandi khusus
- Keluarga membantu memegang tangan penderita menggosok
gigi sedemikian rupa sehingga bersih sesuai dengan
kemampuan penderita.
- Keluarga membantu memegang tangan penderita memegang
gayung beris 1/3 air kemudian menyiramkan beberapa kali ke
tubuh penderita.
- Hal yang sama keluarga membantu penderita memakai sabun
ke seluruh tubuhnya sekemampuannya, kecuali di wajahnya
- Keluarga membantu penderita tangan penderita menggunakan
handuk ke sekujur tubuh penderita.
- Lakukan semua kegiatan berungkali hingga penderita
berpengalaman melakukannya sendiri.
4) Toileting
- Kursi yang khusus yang dilubangi di tengah agak melebar ke
depan
- Kursi diletakkan di atas landasan WC yang lubang kursinya
sejajar ke bawah mulut WC (bila dibutuhkan)
- Keluarga membantu penderita memegang tangan sakit
penderita memegang gayung untuk membasuh pantat secara
berulangkali
- Jika penderita sudah dapat jongkok, maka aktivitas BAB
sedikit dengan AKS orang pada umumnya yang disesuaikan
denqan kemampuan penderita.
5) Dressing Memakai baju
- Tangan sehat memasukkan lengan baju ke tangan sehat dan
tangan sakit
- Tangan sehat memasangkan dan merapikan baju ke sekujur
tubuh bersama tangan sakit.
Melepas baju
Lepaskan pakaian dengan dimulai dari tangan sehata dan
kemudian tangan sehat membantu tangan sakit
mengeluarkan lengan baju
Memakai celana
Penderita duduk di pinggir/tempat tidur, tangan sehat
membantu tangan sakit memasukkan celana ke tungkai sakit
dan tungkai sehat, penderita mengangkat pantat sehingga
seluruh celana terpasang di perut, tangan sehat membantu
tangan sakit memasang rosleting dan kancing celana hingga
terpasang dengan sempurna
Melepas celana
Tangan sehat membantu tangan sakit membuka
rosleting/kancing celana, penderita sedikit mengangkat
pantat agar celana dapat ditarik keluar dari tubuh atas kerja
sama antara tangan sehat dan tangan sakit. Lakukan
berulang kali sehingga penderita berpengalaman (memakai
dan melepas pakaian)
6) Transfer
- Satu tangan keluarga memegang tangan dan tangan yang lain
keluarga memegang ikat pinggang/stage penderita.
- Kaki sehat penderita ditetakkan agak ke belakang, sehingga
2/3 tubuh penderita saat berdiri tertumpuk pada tungkai sehat
penderita, kaki sakit diletakkan agak kedepan.
- Keluarga mennginstruksikan untuk menuju posisi berdiri
kemudian berjalan peIan-pelan menuju ke kursi.
d. Latihan Mobilisasi
a) Latihan persiapan berdiri dari posisi duduk
Pasien duduk di kursi dengan telapak kaki menyentuh lantai,
dengan posisi tangan saling menggenggam (yang lesi di atas)
dan di depannya ada stool yang tingginya lebih rendah sedikit
dari kursi pasien. Terapis memandu pasien untuk mengangkat
hipnya dari kursi dan menarik lutut ke depan dengan satu
tangan terapis dan membantunya untuk memindahkan berat
badan dengan tangan terapis yang lain yang berada di pantat
Apabila pasien sudah mampu melakukan gerakan di atas maka
tangan pasien dapat diletakkan di stool dan terapis berada di
samping sisi lesi pasien dengan satu tangan menjaga siku tetap
lurus dan tangan terapis yang lain di pantat agar tidak jatuh ke
belakang
b) Latihan duduk ke berdiri
Pasien butuh bantuan secukupnya untuk fl eksi hip dan
membawa ke depan dengan spine tetap ekstensi. Pasien duduk
di kursi dengan menggenggam tangan (yang lesi di atas) pada
posisi sendi bahu 900 dan ekstensi siku, lalu terapis melakukan
gerak pasif dengan penekanan spine lalu pasien mengangkat
tangan dan melakukan gerak ekstensi punggung (terapis berada
di samping sisi lesi pasien) . Setelah itu terapis melakukan
gerakan dari duduk ke berdiri,dimana satu tangan terapis
menyangga pada pergelangan tangan dan tangan yang lain
memegang celana / sabuk di bagian belakang pasien, lalu
pasien di minta gerak membungkuk, mengayukan tangan ke
atas dan gerak hip serta lutut lurus dan terapis membantu untuk
mengangkat tangan pasien ke atas hingga timbul reaksi berdiri.
c) Latihan weight bearing pada posisi berdiri
Pasien berdiri dan terapis berada disamping sisi lesi pasien,
lalu pasien di minta untuk memindahkan kaki ke depan dan
diikuti pemindahan berat badan ke depan dan ke belakang.
Namun kaki sehat dulu untuk menumpu baru sisi yang lesi dan
terapis tetap menjaga agar tidak jatuh ke depan pada saat kaki
yang lesi ke depan dengan mengunci pada lututnya.
d) Latihan berjalan
Terapis memfiksasi pada bahu pasien dan berada di depan
pasien sehingga antara pasien dan terapis saling berhadapan,
dan tangan pasien memegang bahu terapis . Namun sebelum
berjalan terapis terlebih dahulu memberitahu kepada pasien
apabila saat terjadi gerakkan sendi bahu ke depan, pasien harus
meluruskan sendi panggul agar tidak bergerak namun tungkai
yang berada pada sisi berlawanan dengan sendi bahu yang
bergerak ke depan harus bergerak ke depan (sehingga terjadi
gerak kontralateral antara sendi bahu dengan tungkai). Setelah
itu dilatih jalan dengan adanya tingkattingkatan yakni
pegangan terapis masih pada bahu pasien namun terapis berada
di belakang pasien. Dan yang terakhir pegangan di pelvis dan
posisi pasien berada di belakang.
Clinical Pathway
Penatalaksanaan:
Kraniotomi Darah membentuk massa atau hematoma
Metabolisme
anaerob Gangguan aliran Fungsi otak
Impuls ke pusat
darah dan menurun
nyeri di otak
oksigen ke otak
Vasodilatasi
pembuluh darah Refleks batuk
Somasensori
menurun
korteks otak: nyeri Ketidakefektifan
dipersepsikan perfusi jaringan
serebral
Terjadi akumulasi
Nyeri akut sekret
Kerusakan
neuromotorik Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas
Hambatan mobilitas
Kelemahan otot Tidak mampu Defisit
fisik
merawat diri perawatan
diri
Asuhan Keperawatan
10. Pengkajian Umum
a. Identitas klien
Nama: mengetahui identitas klien
Umur dan tanggal lahir: dapat terjadi pada semua usia dan kejadiannya
meningkat pada usia lanjut
Jenis kelamin: bisa terjadi pada laki-laki dan perempuan
Suku bangsa: dapat terjadi pada semua suku bangsa
Pekerjaan: pekerjaan yang meningkatkan TIK dapat memicu lebih banyak
terjadinya misalnya pekerjaan mengangkat beban berat setiap harinya
Pendidikan: pendidikan menentukan pengetahuan dalam memahami proses
penyakit
Status menikah: dukungan dari istri/suami dapat mempercepat proses
penyembuhan dari pada klien yang hidup sendiri
Alamat: mengetahui identitas klien
Tanggal MRS: mengetahui identitas klien
Diagnosa medis: IntraCerebral Hemorraghae (ICH)
Muttaqin Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika
Paula, Krisanty, dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta. Trans
info Media.
Price, Sylvia A & Wilson, Lorrain M. 2011. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-
Proses Penyakit. Jakarta: EGC