You are on page 1of 49

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang

dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Hilangnya

kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat

total maupun yang parsial. Tulang bersifat relative rapuh, namun cukup

mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat

terjadi akibat peristiwa trauma tunggal, tekanan yang berulang-ulang atau

kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik). ( Apley, 1995)

Femur merupakan tulang terpanjang pada tubuh manusia. Hal ini

menyebabkan perkembangan yang sesuai pada bagian proximal dan distal

sehingga memungkinkan koordinasi aktifitas musculoskeletal pada panggul dan

lutut. Perkembangan pada femur proximal khususnya pada epifisis dan diafisis

adalah sangat kompleks di antara region pertumbuhan skeletal apendikular. ( Arif

Mansjoer, 2000)

Fraktur batang femur termasuk diantaranya subtrokanter dan suprakondilar

yang berkisar 1,6% pada semua fraktur pada anak. Rasio anak laki-laki dan

perempuan adalah 2:1. Angka kejadian tahunan fraktur batang femur adalah 19

per 100.000 anak. ( Arif Mansjoer, 2000)


Etiologi fraktur batang femur bergantung pada usia. Pada infant, diamana

tulang femur relative lemah dan mungkin patah karena beban karena terguling.

Pada usia anak taman kanak-kanak dan usia sekolah, sekitar setengah dari fraktur

batang femur disebabkan oleh kecelakaan berkecepatan rendah seperti terjatuh

dari ketinggian, misalnya dari sepeda, pohon, tangga atau sesudah tersandung dan

terjatuh pada level yang sama dengan atau tanpa tabrakan. Seiring dengan

meningkatnya kekuatan tulang femur, dengan maturitas selanjutnya pada masa

anak-anak dan remaja, trauma berkecepatan tinggi sering mengakibatkan fraktur

pada femur. ( Arif Mansjoer, 2000)

Di Indonesia kematian akibat kecelakaan lalu lintas kurang lebih 12000

orang pertahun, sehingga dapat disimpulkan bahwa trauma dapat menyebabkan

dibutuhkan biaya perawatan yang sangat besar, angka kematian tinggi, hilangnya

waktu kerja yang banyak, kecacatan sementara dan permanen. ( Apley, 1995)

Dalam penulisan laporan kasus ini penulis ingin menyajikan laporan kasus

bedah ortopedi tentang Close Fraktur Femur 1/3 Media Dextra sebagai hasil

pemeriksaan kasus pasien yang bernama Ny. Dhofuwah di Ruang Dahlia RSUD

Ibnu Sina Kabupaten Gresik.

1.2 Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Penulisan ini bagi masyarakat umum bertujuan untuk memberikan

pendidikan dan pemberitahuan kepada masyarakat apa yang harus

dilakukan apabila menemui kasus yang sama dengan kondisi close

fraktur femur 1/3 media di dalam lingkungan keluarga maupun

masyarakat sekitar.

2
2. Tujuan Khusus

Untuk menambah wawasan dan memperdalam pengetahuan penulis

khususnya dan mahasiswa kedokteran lainnya tentang karakteristik dan

penatalaksanaan pada post operatif close fraktur femur 1/3 media.

3
BAB II

TINJAUN PUSTAKA

2.1 Definisi

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan

atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapkasa. (Wim De Jong,

2006)

Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan

epifisis, baik yang bersifat tota;l maupun yang parsial. (Richard Snell, 1998)

Fraktur femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat

disebabkan oleh peristiwa trauma tunggal, tekanan yang berulang-ulang atau

kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik). (Apley, 1995)

2.2 Klasifikasi Fraktur

1. Klasifikasi Etiologio

a. Fraktur traumatik

Terjadi karena trauma yang tiba-tiba, yang dapat berupa pemukulan,

penghancuran, penekukan, pemuntiran atau penarikan.

b. Fraktur Patologis

Terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya akibat kelainan patologis

didalam tulang. Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau

tulang itu lemah (misalnya tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh (

misalnya pada penyakit paget). (Wim De Jong, 2006)

4
c. Fraktur Stres

Terjadi karena adanya trauma yang terus menerus pada suatu tempat

tertentu. Keadaan ini paling sering ditemukan pada tibia, atau fibula

atau metatarsal, terutama pada atlet, penari dan calon tentara yang

jalan baris berbaris dalam jarak jauh (Wim De Jong, 2006)

2. Klasifikasi Klinis

a. Fraktur tertutup (simple Frakture)

Frakture tertutup adalah suatu fraktur yang tidak mempunyai hubungan

dengan dunia luar, dimana kulit di atasnya masih utuh. (Wim De Jong,

2006)

b. Fraktur Terbuka (Compound Fraktur)

Frakture terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan

dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk

form within (dari dalam) atau from without (dari luar). Kuliat atau

salah satu dari rongga tubuh tertembus sehingga cenderung untuk

mengalami kontaminasi dan infeksi. (Wim De Jong, 2006). Klasifikasi

fraktur terbuka (Gustillo & Andersen), yaitu :

 Grade I : Luka bersih dengan panjang kurang dari 1 cm

 Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang

ekstensif

 Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan

jaringan lunak ekstensif. (Richard Snell, 1998)

Lunak dan struktur neurovaskular, disertai banyaknya kontaminasi luka. Terdapat

tiga tingkat keparahan.

5
 Tipe IIIA : Tulang yang mengalami fraktur mungkin dapat ditutupi secara

memadai oleh jaringan lunak

 Tipe IIIB : Terdapat pelepasan periostium

 Tipe IIIC : Terdapat cedera arteri yang perlu diperbaiki, tak peduli berapa

kerusakan jaringan lunak yang lain. (Richard Snell, 1998)

3. Klasifikasi Radiologis

Klasifikasi berdasarkan atas :

1. Lokasi :

a. Diafisial

b. Metafisial

c. Intra-artikular

d. Fraktur dengan dislokasi

2. Konfigurasi :

a. Fraktur transversal

b. Fraktur oblik

c. Fraktur spinal

d. Fraktur Z

e. Fraktur segmental

f. Fraktur komunitif, fraktur lebih dari dua fragmen

g. Fraktur baji biasanya pada vertebra karena trauma kompresi

h. Fraktur avulsi, fragmen kecil tertarik oleh otot atau tendon

misalnya fraktur epikondilus humeri, fraktur trokanter mayor,

fraktur patela

6
i. Fraktur depresi, karena trauma langsung misalnya pada tulang

tengkorak

j. Fraktur impaksi

k. Fraktur pecah (burst) dimana terjadi fragmen kecil yang berpisah

misalnya pada fraktur vertebra, patela, talus, kalkaneus

l. Fraktur epifisis

3. Menurut Ekstensi ( Wim De Jong,2006) :

a. Fraktur total

b. Fraktur buckle atau torus

c. Fraktur garis rambut

4. Fraktur green stick. Menurut hubungan antara fragmen dengan

fragmen lainnya (Wim De Jong, 2006)

I. Tidak bergeser (undisplaced)

II. Bergeser (displaced)

a. Bersampingan

b. Angulasi

c. Rotasi

d. Distraksi

e. Over-riding

f. Impaksi.

2.3 Anatomi

Persendian panggul merupakan bola dan mangkok sendi yaitu


acetabulum dengan bagian dari femur, terdiri dari : kepala, leher, bagian
terbesar dan kecil, trokhanter dan batang, bagian terjauh dari femur

7
berakhir pada kedua kondilas. Kepala femur masuk acetabulum. Sendi
panggul dikelilingi oleh kapsula fibrosa, 8 ligament dan otot. Suplai darah
ke kepala femoral merupakan hal yang penting pada faktur hip. Suplai
darah ke femur bervariasi menurut usia. Sumber utamanya arteri retikuler
posterior, nutrisi dari pembuluh darah dari batang femur meluas menuju
daerah tronkhanter dan bagian bawah dari leher femur. (Sobotta, 2008)

Gambar 2.1 Femur Ventral View

(Sumber : www.anatomyatlases.org)

8
Gambar 2.2 Femur Dorsal View

(Sumber : www.anatomyatlases.org)

9
Gambar 2.3 Femur Medial View

(Sumber : www.anatomyatlases.org)

1. Sistem Otot

Otot yang akan dibahas ialah yang berhubungan dengan kondisi pasien pre

operasi fraktur femur 1/3 proximal dextra pada anak dengan pemasangan

plate dan screw adalah otot yang berfungsi ke segala arah untuk gerakan

fleksi-ektensi, abduksi-adduksi dan eksternal rotasi-internal rotasi. (Rasjad C,

2007)

Untuk lebih terperinci penulis menyertakan otot-otot yang berhubungan

dengan kondisi tersebut, yaitu sebagai berikut:

10
Tabel 2.1 Otot tungkai Atas Bagian Anterior (Richard S. Snell, 1998)

NO Nama Otot Origo Insertio Persyarafan Fungsi


1. M. Sartorius Spina Iliaca Permukaan N. Fleksi,
Anterior medial atas dari Femoralis abduksi, rotasi
Superior corpus tibiae lateral tungkai
atas pada
articulatio
coxae ; fleksi
dan rotasi
medial tungkai
bawah pada
articulatio
genus
2. M. iliacus Fossa illiaca os Bersama dengan N. Fleksi Tungkai
coxae M. Psoas ke Femoralis Atas
trochanter minor
femoris
3. M.
Quadriceps
femoris yaitu:

M. Rectus Caput rectus; Tendon M. N. Ekstensi


Femoris SIAI Quadriceps Femoralis tungkai bawah
femoris ke dan fleksi
patella, tungkai atas
ligamentum
patella ke
tuberositas

M. Vastus Ujung atas Tibiae N. Ekstensi


lateris femur dan Femoralis Tungkai
corpus femoris bawah

M. Vastus Ujung atas N. Ekstensi


Medialis femur dan Femoralis tungkai bawah
corpus femoris menstabilkan
patella

M. vastus Permukaan N. Ekstensi


Intermedius anterior dan Femoralis tungkai bawah
lateral dari
corpus femoris

11
Tabel 2.2 Otot Tungkai Bagian Posterior (Richard S. Snell, 1998)

No Nama Otot Origo Insertio Persyarafan Fungsi


1. M. Biceps Caput longum; Caput N. Ischiadicus Fleksi dan
Femoris tuberositas fibulae rotasi tungkai
ischiadicum, atas

caput brevis; Medial Fleksi dan


linea aspera, corpus tibiae rotasi tungkai
crista bawah,
supracondylaris ekstensi
lateralis dari tungkai atas
corpus

M. Semi Femoris tuber N. Ischiadicus


tendinosus ischiadicum

2. M. Semi Tuber Condylus N. Ischiadicus Fleksi dan


membranosus ischiadiucum medialis rotasi tungkai
tibiae bawah,
ekstensi
tungkai atas
3. M. Adductor Tuber Tuberculum N. ischiadicus Ekstensi
magnus ishiadicum adductorium tungkai atas
m. Femoris

2.3.1. Sistem Persyarafan

A. Nervus Femoralis

Merupakan cabang terbesar dari plexus lumbalis (L2, L3, L4). Saraf ini

keluar dari pinggir lateral M. Psos didalam abdomen dan berjalan kebawah

didalam celah antara M. Psoas dan M. Iliacus. Terletak dibelakang fascia iliaca

dan memasuki tungkai atas dilateral arteri femoralis dan vagina femoralis,

dibelakang ligamentum inguinal dan bercabang menjadi devisi anterior dan

devisi posterior. Devisi anterior memberi cabang kulit dan dua cabang otot.

12
Devisi posterior memberikan satu cabang kulit, N. Saphenus dan cabang-

cabang otot ke M. Quadriceps femoris. (Richard S. Snell, 1998)

B. Nervus Obturatorius

Berasal dari plexus lumbalis (L2, L3, L4) keluar dari pinggir medial

M.Psoas didalam abdomen. Saraf ini berjalan kedepan pada di ding lateral

pervis untuk mencapai bagian atas foramen obturatorium, tempat saraf ini

terbagi dalam divisi anterior dan posterior. Devisi anterior mempersyarafi A.

Femoralis dan mempesyarafi kulit sisi medial tungkai atas. Devisi posterior

mempesyarafi articulatio genus (Richard S. Snell, 1998)

C. Nervus Ischiadicus

Merupakan cabang dari plexus sacralis (L4, L5 dan S1, S3), muncul dari

plevis melalui bagian bawah foramen ischiadicum mayor, saraf ini merupakan

saraf yang terbesar didalam tubuh dan terdiri dari N. Tibialis dan N. Peroneus

communis yang bergabung menjadi satu oleh facia. Saraf ini muncul dari

bawah M. Piriformis dan melengkung ke bawah dan lateral, kemudian terletak

berturut-turut pada akar spina ischiadica, M. Gamellus superior, M.

Obturatorius internus, M. Gamellus inferior, dan M. Quadratus femoris untuk

mencapai bagian belakang M. Adduktor magnus. Bagian posterior

berhubungan dengan N. Cutaneus femoris posterior dan M. Gluteus maximum.

(Richard S. Snell, 1998)

13
D. Sistem peredaran darah

Sistem peredaran darah tungkai atas (paha), disini dibahas sistem

peredaran darah dari sepanjang tungkai atau paha yaitu pembuluh darah arteri

dan vena. (Sobotta, 2008)

1) Pembuluh darah arteri

 Arteri Femoralis

Arteri femoralis berjalan dibelakang ligamentum inguinal, sebagai

lanjutan dari A. Iliaca externa. Terletak dipertengahan antara spina

iliaca anterior superior dan sympisis pubis. Arteri femoralis

merupakan pembuluh nadi utama untuk membran inferius, berjalan

ke bawah hampir vertikel ke arah tuberculum adduktorium femoris

dan berakhir pada M. Adduktor magnus (hiatus adductorius)

dengan memasuki spatium poplitea sebagai arteri poplitea. (Keany

E. James, 2013 )

 Arteri profunda femoralis

Merupakan arteri besar yang dipercabangkan dari sisi lateral arteri

femoralis di trigonum femorale. Arteri ini turun pada celah antara

M. Adductorium longus dan M. Adductor brevis, kemudian

terletak di atas M. Adductor magnus, tempat pembuluh ini berakhir

sebagai arteri perforans IV. (Keany E. James, 2013 )

 Arteri Poplitea

Arteri poplitea letaknya dalam dan masuk ke fossa poplitea melalui

lubang yang ada didalam M. Adductor magnus, sebagai lanjutan

dari arteri femoralis. Arteri ini berakhir setinggi pinggir bawah M.

14
Popliteus dan bercabang menjadi arteri tibialis anterior dan arteri

tibialis posterior. (Keany E. James, 2013 )

2) Pembuluh Darah Vena

 Vena femoralis

Vena femoralis memasuki tungkai atas dengan berjalan melalui

hiatus M. Adductor magnus sebagai lanjutan dari vena poplitea.

Vena femoralis berjalan berjalan ke atas melalui tungkai atas,

awalnya disisi lateral arteri femoralis, kemudian disebelah

posterior, dan akhirnya disisi medialnya. Vena femoralis

meninggalkan tungkai atas pada ruang intermedia dari vagina

femoralis dan berjalan di belakang ligamentum inginal untuk

berlanjut sebagai vena iliaca externa. (Keany E. James, 2013 )

 Vena profunda femoris

Menerima cabang-cabang yang sesuai dengan nama cabang-cabang

arteri. Vena ini bermuara ke vena femoralis. (Keany E. James,

2013 )

 Vena Obturatoria

Menerima cabang-cabang yang sesuai dengan nama cabang-cabang

arterianya. Vena obturatoria bermuara ke vena iliaca interna.

(Keany E. James, 2013 )

 Vena Saphena Magna

Vena saphena magna mendrainase ujung medial arcus venosus

dorsalis pedis dan berjalan ke atas tepat didepan malleolus

medialis. Kemudian vena berjalan bersama-sama dengan nervus

15
saphenus ke atas, didalam fascia superficial kesisi medial tungkai

bawah. Vena ini berjalan di belakang lutut dan melengkung

kedepan disekitar sisi medial tungkai atas. Vena ini menembus

fascia profunda dibagian bawah hiatus saphenus untuk bermuara

kevena femoralis. Vena saphena magna berhubungan dengan vena

saphena parva melalui satu atau dua cabang yang berjalan

dibelakang lutut. Pada haiatus saphenus di fascia profunda,

umumnya vena saphena magna menerima tiga cabang yaitu vena

circumflexa ilium superficialis, vena epigastrica superficialis, dan

vena pudenda externa superficialis. (Keany E. James, 2013 )

2.4 Pergolongan Fraktur Femur

Klasifikasi fraktur femur dapat dibagi dalam :

a. Fraktur collum femur :

Fraktur collum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung yaitu


misalnya penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter
mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan) ataupun
disebabkan oleh trauma tidak langsung yaitu karena gerakan exorotasi
yang mendadak dari tungkai bawah, dibagi dalam :

 Fraktur intrakapsuler (Fraktur collum femur)

 Fraktur extrakapsuler (Fraktur intertrochanter femur)

b. Fraktur subtrochanter femur :

Fraktur dimana garis patahnya berada 5 cm distal dari trochanter


minor, dibagi dalam beberapa klasifikasi tetapi yang lebih sederhana
dan mudah dipahami adalah klasifikasi Fielding & Magliato, yaitu :

tipe 1 : garis fraktur satu level dengan trochanter minor


tipe 2 : garis patah berada 1 -2 inch di bawah dari batas atas trochanter

16
minor
tipe 3 : garis patah berada 2 -3 inch di distal dari batas atas

trochanterminor

c. Fraktur batang femur (dewasa)

Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung


akibat kecelakaan lalu lintas dikota kota besar atau jatuh dari
ketinggian, patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang
cukup banyak, mengakibatkan penderita jatuh dalam shock, salah satu
klasifikasi fraktur batang femur dibagi berdasarkan adanya luka yang
berhubungan dengan daerah yang patah. Dibagi menjadi :

- Tertutup

Syarat Foto Rontgen Tulang :

1. Tampak 2 sendi
2. Memakai 2 proyeksi
3. Tampak 2 sisi
4. Pada 2 waktu

Pada foto rontgen :

1. Identitas (nama, umur ,jenis kelamin, tanggal pengambilan


foto)
2. Marker kanan dan kiri ( R/L )
3. Densitas tulang berwarna putih

- Terbuka, ketentuan fraktur femur terbuka bila terdapat hubungan


antara tulang patah dengan dunia luar dibagi dalam tiga derajat
(Gustillo dan Andersen), yaitu ;

Derajat I : Bila terdapat hubungan dengan dunia luar timbul luka kecil,
biasanya diakibatkan tusukan fragmen tulang dari dalam
menembus keluar.

17
Derajat II : Lukanya lebih besar (>1cm) luka ini disebabkan karena
benturan dari luar.

Derajat III : Lukanya lebih luas dari derajat II, lebih kotor, jaringan
lunak banyak yang ikut rusak (otot, saraf, pembuluh
darah)

d. Fraktur supracondyler femur :

Fraktur supracondyler fragment bagian distal selalu terjadi


dislokasi ke posterior, hal ini biasanya disebabkan karena adanya
tarikan dari otot – otot gastrocnemius, biasanya fraktur supracondyler
ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan tinggi sehingga
terjadi gaya axial dan stress valgus atau varus dan disertai gaya rotasi.

e. Fraktur intercondyler femur :

Biasanya fraktur intercondular diikuti oleh fraktur supracondular,


sehingga umumnya terjadi bentuk T fraktur atau Y fraktur.

f. Fraktur condyler femur :

Mekanisme traumanya biasa kombinasi dari gaya hiperabduksi dan


adduksi disertai dengan tekanan pada sumbu femur keatas.

2.5 Patofisiologi

Fraktur terjadi ketika tulang mendapatkan energi kinetik yang lebih

besar dari yang dapat tulang serap. Fraktur itu sendiri dapat muncul sebagai

akibat dari berbagai peristiwa dianataranya pukulan langsung, penekanan

yang sangat kuat, puntiran, kontraksi otot yang keras atau karena berbagai

penyakit lain yang dapat melemahkan otot. Pada dasarnya ada dua tipe

dasar yang dapat menyebabkan fraktur, kedua mekanisme tersebut adalah :

yang pertama mekanisme direct force dimana energi kinetik akan menekan

langsung pada atau daerah dekat fraktur. Dan yang kedua adalah

18
mekanisme indirect force, dimana energi kinetik akan disalurkan dari

tempat terjadinya tubrukan ketempat dimana tulang mengalami kelemahan.

Fraktur tersebut akan terjadi pada titik atau tempat yang mengalami

kelemahan.

2.6 Manifestasi Klinis

1. Riwayat :

a. Terdapat riwayat cedera, diikuti dengan ketidak mampuan

menggunakan tungkai yang mengalami cedera.

b. Nyeri, memar dan pembengkakan

c. Deformitas

d. Baal atau hilangnya gerakan, kulit pucat atau sianosis, darah dalam

urine, nyeri perut, hilangnya kesadaran untuk sementara. (Solomon,

1995)

2. Tanda-Tanda Umum

Tulang yang patah merupakan bagian dari pasien, penting untuk mencari

bukti ada tidaknya :

a. Syok atau perdarahan

b. Kerusakan yang berhubungan dengan otak, medula spinalis atau visera

c. Penyebab predisposisi.

3. Tanda-Tanda Lokal

a. Penampilan : Pembengkakan, memar, deformitas dan keadaan kulit.

b. Rasa : Nyeri tekan setempat

c. Gerakan : krepitasi dan gerakan abnormal.

19
2.7 Pemeriksaan Fraktur

1. Gambaran Klinis Fraktur

a. Anamnesa

Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik fraktur),

baik yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidak

mampuan untuk menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan

dengan cermat, karena fraktur tidak selamanya terjadi didaerah trauma dan

mungkin fraktur terjadi pada daerah lain. Trauma dapat terjadi karena

kecelakaan lalulintas, jatuh dari ketinggian atau jatuh dikamar mandi pada

orang tua, penganiayaan, tertimpa benda berat, kecelakaan pada pekerja

oleh karena mesin atau karena trauma olahraga. Penderita biasanya datang

karena adanya nyeri, pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak,

deformitas, kelainan gerak, krepitasi atau datang dengan gejala-gejala lain.

(Wim De Jong, 2006 )

b. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:

1). Syok, anemia atau pendarahan

2). Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang

belakang atau organ-organ dalam rongga thoraks, panggul dan

abdomen.

3). Faktor predisposisi, misalnya pada fraktur patologis

(Wim De Jong, 2006 )

20
c. Pemeriksaan Lokal

1. Inspeksi (Look)

a). Bandingkan dengan bagian yang sehat

b). Perhatikan posisi anggota gerak

c). Ekspresi wajah karena nyeri

d). Lidah kering atau basah

e). Adanya tanda-tanda anemia karena pendarahan

f). Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk

membedakan fraktur tertutup atau terbuka

g). Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa

hari

h). Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan

pemendekan

i). Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ

organ lain.

j). Perhatikan kondisi mental penderita

k). Keadaan vaskularisasi. (Wim De Jong, 2006 )

2. Palpasi (Feel)

Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya

mengeluh sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan:

a). Temperatur setempat yang meningkat

b).Nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh

kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang.

21
c).Krepitasi dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara

hati-hati

d). Pemeriksaan vaskular pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri

radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan

anggota gerak yang terkena. Rafilling (pengisiian) arteri pada kuku,

warna kulit pada bagian distal daerah trauma, temperatur kulit.

e). Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui

adanya perbedaan panjang tungkai. (Wim De Jong, 2006 )

3. Pergerakan (Move)

Periksa pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakan

secara aktif dan pasif sendi proximal dan distal dari daerah yang

mengalami trauma. Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan

menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan

secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada

jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf. (Wim De Jong, 2006 )

4. Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan

motoris serta gradasi kelainan neurologis yaitu neuropraksia, aksonotmesis

atau neurotmesis. Kelainan saraf yang didapat harus dicatat dengan baik

karena dapat menimbulkan masalah asuransi dan tuntutan (klaim)

penderita serta merupakan patokan untuk pengobatan selanjutnya. (Wim

De Jong, 2006)

22
5. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi

serta ekstensi fraktur. Tujuan pemeriksaan radiologis:

a). Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan sendi

b). Untuk konfirmasi adanya fraktur

c). Untuk melihat sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen serta

pergerakannya.

d). Untuk menentukan teknik pengobatan

e). Untuk menentukan apakah fraktur itu baru atau tidak

f). Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstra-artikuler

g). Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang

h). Untuk melihat adanya benda asing, misalnya peluru.

Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan beberapa prinsip Dua :

a). Dua posisi proyeksi, dilakukan sekurang-kurangnya yaitu pada antero-

posterior dan lateral.

b). Dua sendi pada anggota gerak dan tungkai harus di foto, diatas dan

dibawah sendi yang mengalami fraktur.

c). Dua anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya dilakukan foto pada

kedua anggota gerak terutama pada fraktur efifisis.

d). Dua trauma, pada trauma yang hebat sering menyebabkan fraktur pada

dua daerah tulang, misalnya pada fraktur kalkaneus atau femur, maka

perlu dilakukan foto pada panggul dan tulang belakang

23
e). Dua kali dilakukan foto, pada fraktur tertentu misalnya fraktur tulang

skafoid foto pertama biasanya tidak jelas sehingga biasanya diperlukan

foto berikutnya 10-14 hari kemudian.

6. Pemeriksaan Radiologis lainnya

Pemeriksaan khusus dengan:

a). Tomografi, misalinya pada fraktur vertebra atau kondisi tibia

b). CT-scan

c). MRI

d). Radioisotop scanning.

2.8 Prinsip dan Metode Penanganan Fraktur

Segera setelah cedera perlu untuk me-imobilisasi bagian yang cedera

apabila klien akan dipindahkan perlu disangga bagian bawah dan atas tubuh

yang mengalami cedera tersebut untu mencegah terjadinya rotasi atau

angulasi. (Rasjad, 2007 )

1. Penatalaksanaan Awal

Sebelum dilakukan pengobatan definitif pada suatu fraktur, maka

diperlukan :

a. Pertolongan Pertama

Pada penderita dengan fraktur yang penting adalah

memberishkan jalan nafas, menutup luka dengan perban yang bersih

dan imobilisasi fraktur pada anggota gerak yang terkena agar

penderita merasa nyaman dan mengurangi nyeri sebelum di angkut

dengan ambulans. Bila terdapat pendarahan dapat dilakukan

pertolongan seperti dikemukakan sebelumnya. (Wim De Jong, 2006)

24
b. Penilaian Klinis

Sebelum menilai fraktur itu sendiri, perlu dilakuakn penilaian klinis,

apakah luka itu luka tembus tulang, adakah trauma pembuluh darah

/ saraf ataukah ada trauma alat-alat dalam yang lain. (Wim De Jong,

2006 )

c. Resusitasi

d. Kebanyakan penderita dengan fraktur multiple tiba dirumah sakit

dengan syok, sehingga diperlukan resusitasi sebelum diberikan

terapi pada frakturnya sendiri berupa pemberian transfusi darah dan

cairan lainnya serta obat-obatan anti nyeri. (Wim De Jong, 2006 )

2. Prinsip Umum Pengobatan Fraktur

Ada enam prinsip umum pengobatan fraktur :

a. Jangan membuat keadaan lebih jelek

Beberapa komplikasi fraktur terjadi akibat trauma yang antara lain

disebabkan karena pengobatan yang diberikan yang disebut sabagai

iatrogenik. Hal ini perlu diperhatikan oleh karena banyak kasus terjadi

akibat penanganan dokter yang menimbulkan komplikasi atau

memperburuk keadaan fraktur yang ada. Beberapa komplikasi yang

bersifat iatrogenik, dapat dihindari apabila kita dapat mencegahnya

dengan melakukan tindakan yang memadai seperti mencegah

kerusakan jaringan lunak pada saat transportasi penderita, serta luka

terbuka dengan perawatan yang tepat. (Wim De Jong, 2006 )

b. Pengobatan berdasarkan atas diagnosis dan prognosis yang akurat.

Dengan melakukan diagnosis yang tepat pada fraktur, dapat

25
menentukan prognosis trauma yang dialami sehingga dapat dipilih

metode pengobatan yang tepat. Faktor-faktor yang penting dalam

penyembuhan fraktur yaitu umur penderita, lokalisasi dan konfigurasi,

pergeseran awal serta vaskularisasi dari fragmen fraktur. Perlu

ditetapkan apakah fraktur inimemerlukan reduksi dan apabila perlu

apakah bersifat tertutup atau terbuka. (Wim De Jong, 2006 )

c. Seleksi pengobatan dengan tujuan khusus

 Menghilangkan nyeri

Nyeri timbul karena trauma pada jaringan lunak termasuk

periosteum dan endosteum. Nyeri bertambah bila ada gerakan pada

daerah fraktur disertai spasme otot serta pembengkakan yang

progresif dalam ruang yang tertutup. Nyeri dapat diatasi dengan

imobilisasi fraktur dan pemberiaan analgetik. (Wim De Jong, 2006 )

 Memperoleh posisi yang baik dari fragmen

Beberapa fraktur tanpa pergeseran fragmen tulang atau dengan

pergeseran yang sedikit saja sehingga tidak diperlukan reduksi.

Reduksi tidak perlu akurat secara radiologik oleh karena kita

mengobati penderita dan tidak mengobati gambaran radiologik.

(Wim De Jong, 2006 )

 Mengusahakan terjadinya penyembuhan tulang

Umumnya fraktur yang telah ditangani, dalam waktu singkat dapat

terjadi proses penyembuhan. Pada fraktur tertentu, bila terjadi

kerusakan yang hebat pada periosteum/jaringan lunak sekitarnya,

26
kemungkinan diperlukan usaha agar terjadi union misalnya dengan

bone graft. (Wim De Jong, 2006 )

 Mengembalikan fungsi secara optimal

Penyembuhan fraktur dengan imobilisasi harus dipikirkan

pencegahan atrofi pada anggota gerak, sehingga perlu diberikan

latihan yang bersif aktiv dinamik (isotonik). Dengan latihan dapat

pula dipertahankan kekuatan otot serta sirkulasi darah. (Wim De

Jong, 2006 )

 Mengingat hukum-hukum penyembuhan secara alami

Jaringan muskuloskeletal bereaksi terhadap suatu fraktur sesuai

dengan hukum alami yang telah diterangkan sebelumnya. (Wim De

Jong, 2006 )

 Bersifat realistik dan praktis dalam memilih jenis pengobatan dalam

memilih pengobatan harus dipertimbangkan pengobatan yang

realistik dan praktis. (Wim De Jong, 2006 )

 Seleksi pengobatan sesuai dengan penderita secara individual setiap

fraktur memerlukan penilaian pengobatan yang sesuai, yaitu dengan

mempertimbangkan faktor umur, jenis fraktur, komplikasi yang

terjadi dan perlu dipertimbangkan keadaan sosial ekonomi penderita

secara individual. (Wim De Jong, 2006 )

2.9 Komplikasi Fraktur Femur

Komplikasi menurut waktu disesuaikan dengan lokalisasi

27
A. Komplikasi segera

Komplikasi Lokal

a. Komplikasi pada kulit trauma pada kulit

 Dari luar : aberasi, laserasi, luka tusuk, luka tembus peluru,

avulsi, kehilangan kulit.

 Dari dalam : penetrasi kulit oleh fragmen fraktur.

b. Komplikasi Vaskuler

 Trauma pada arteri besar : terputus, kontusi, dan spasme arteri

 Trauma pada vena besar : terputus, kontus

 Perdarahan lokal:

Interna:

- Ke dalam jaringan lunak seperti hematoma

- Ke dalam rongga intra kranial, hematorhorax,

hemoperitoneal, hemartrosisi

c. Komplikasi neurologis

 Otak

 Sumsum tulang belakang

 Saraf perifer

 Komplikasi pada otot biasanya bersifat tidak total

 Komplikasi pada organ :

- Thorax, jantung dan pembuluh darah besar, trakea, bronkus

dan paru-paru

- Intra-abdominal, saluran pencernaan, hati, limpa dan

saluran kemih

28
d. Komplikasi diluar fraktur pada organ lain

 Trauma multipel : trauma pada alat lain tubuh yang tidak

berhubungan dengan fraktur

 Syok hemoragik.

B. Komplikasi Awal

Komplikasi Lokal

a. Komplikasi Lokal

 Komplikasi sisa dari komplikasi yang segera terjadi berupa

nekrosis kulit, gangren, iskemik volkman, gas gangren,

trombosis vena serta komplkasi pada alat-alat lain.

 Komplikasi pada sendi

- Infeksi (atritis septik) oleh karena trauma terbuka.

 Komplikasi pada tulang

- Infeksi (osteomielitis) pada daerah fraktur karena adanya

trauma terbuka

- Nekrosis avaskuler tulang biasanya mengenai satu fragmen.

 Komplikasi diluar pada organ lain

- Emboli lemak

- Emboli paru

- Pneumonia

- Tetanus

- Delirium tremens.

C. Komplikasi Lanjutan

Komplikasi Lokal

29
 Komplikasi pada sendi

- Kekakuan sendi yang menetap

- Penyakit degeneratif sendi pasca trauma.

 Komplikasi pada tulang

- Penyembuhan fraktur yang abnormal : Malunion,

delayed union dan non union

- Gangguan pertumbuhan oleh karena adanya trauma

pada lempeng epifis

- Infeksi yang menetap (osteomielitis kronik)

- Osteoporosis pasca trauma

- Atrofi sobek

- Refraktur

 Komplikasi pada otot

- Miositis osifikans oasca trauma

- Ruptur tendo lanjut.

 Komplikasi Syaraf

- Tardy nerve palsy.

 Komplikasi pada organ lain

- Batu ginjal

- Nekrosis akiba.

30
2.10 Tahap Pembentukan Tulang

Penyembuhan fraktur merupakan suatu proses biologis yang tidak seperti

jaringan lainnya, tulang yang mengalami fraktur dapat sembuh tanpa

jaringan parut. (Wim De Jong, 2006 ).

1. Tahap Pembentukan Hematoma

Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka

pembuluh darah kecil yang melewati kanakuli dalam sistem

haversian mengalami robekan pada daerah fraktur dan akan

membentuk hematoma di antara kedua sisi fraktur. Hematoma

yang besar diliputi oleh periosteum. Periosteum akan terdorong

dan dapat mengalami robekan akibat tekanan hematoma yang

terjadi sehingga dapat terjadi ekstravasasi darah ke dalam jaringan

lunak. ( Apley, 1995 )

2. Tahap pembentukan proliferasi

Pada saat ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur

sebagai suatu reaksi penyembuhan. Penyembuhan fraktur terjadi

karena adanya sel-sel osteogenik yang berproliferasi dari

periosteum untuk membentuk kalus externa serta pada daerah

endosteum membentuk kalus interna sebagai aktifitas seluler dalam

kanalis medularis. Setelah beberapa minggu, kalus dari fraktur

akan membentuk suatu masa yang meliputi jaringan osteogenik.

Pada pemeriksaan radiologis kalus belum mengandung tulang

sehingga merupakan suatu daerah radiolusen. (Apley, 1995)

31
3. Tahap Pembentukan Kalus

Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari

setiap fragmen sel dasar yang berasal dari osteoblas dan kemudian

pada kondroblas membentuk tulang rawan. Tempat osteoblas di

duduki oleh matriks intraseluler kolagen dan perlekatan

polisakarida oleh gram-gram kalsium membentuk suatu tulang

yang imatur, bentuk tulang ini disebut woven bone. Pada

pemeriksaan radiologis kalus atau woven bone sudah terlihat dan

merupakan indikasi radiologik pertama terjadinya penyembuhan

fraktur. (Apley, 1995 )

4. Tahap pembentukan konsolidasi

Woven bone akan membentuk kalus primer dan scara

perlahan-lahan diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh

aktivitas osteoblas yang menjadi struktur lamelar dan kelebihan

kalus akan di resorpsi secara bertahap. ( Apley,1995 )

5. Tahap Pembentukan Remodeling

Bilamana union telah lengkap, maka tulang yan g baru

membentuk bagian yang menyerupai bulbus yang meliputi tulang

tetapi tanpa kanalis medularis. Pada fase remodeling ini, perlahan-

lahan terjadi resorbsi secara osteoklastik dan tetap terjadi proses

osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna secara perlahan-lahan

menghilang. Kalus intermdiat berubah menjadi tulang yang

kompak dan berisi sistem haversian dan kalus bagian dalam akan

32
mengalami peronggaan untuk membentuk ruang sumsum.

(Apley,1995)

33
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTIFIKASI

Nama : Ny. X

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 65 tahun

Alamat : Padang Bandung, RT 06/RW02, Kecamatan Dukun,

Kabupaten Gresik

Kebangsaan : Indonesia

Agama : Islam

Statsu Perkawinan : Menikah

MRS : 5 April 2016

3.2 ANAMNESA (AUTOANAMNESA)

1. Keluhan Utama

Nyeri paha kanan

2. Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang

Pasien mengatakan nyeri pada paha kanan. Paha kanan pasien nyeri,

setelah terpeleset dan jatuh saat akan mengambil daun pisang di belakang

rumah dengan menggunakan tangga. Pasien jatuh pada hari Senin, tanggal

3 Januari 2016, pukul 10.00 Kemudian pasien datang ke IGD pada hari

Senin, 3 Januari 2016 pada pukul 24.00 WIB. Saat kejadian, pasien merasa

pusing, namun tidak disertai mual. Perdarahan dari telinga dan hidung

34
disangkal saat kejadian. Pasien masih sadar saat kejadian dan masih

mengingat dengan jelas kronologi kejadian.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak pernah jatuh sebelumnya.

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluaraga yang mengalami seperti ini

3.3 PEMERIKSAAN FISIK

1. Status Generalis

Keadaan Umum : Cukup

Kesadaran : GCS 456

Keadaan Gizi : Cukup

Nadi : 79 x/menit

Tekanan Darah : 177/86 mmHg

Suhu : 36,5 C

Respirasi : 20 x/menit

Kepala / Leher

Kepala : Anemia (-), Ikterus (-), Cyanosis (-), Dypsneu (-)

Leher : Deviasi Trachea (-), Pembesaran KGB (-)

Thorax

Dinding Dada : Bentuk simetris, jejas (-), retraksi

intercostalis (-)

Pulmo

Inspeksi : Pergerakan nafas simetris

Palpasi : Nyeri tekan (-), Krepitasi (-)

35
Perkusi : Sonor +/+

Auskultasi : Suara nafas vesikuler, Rhonki -/-, Wheezing -/-

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis (-)

Palpasi : Thrill tidak teraba, heaves tidak teraba

Perkusi : Pekak (+)

Auskultasi : S1, S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : jejas (-), edema (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal

Perkusi : timpani (+)

Palpasi : hepar, lien dan renal tidak teraba pembesaran

Pelvic

Dextra tidak stabil : tidak ditemukan jejas pergerakan sendi

Sinistra stabil : tidak ditemukan jejas pergerakan sendi

Ektremitas Superior

Dextra : Akral hangat, capillary refill < 2 detik

Sinistra : Akral hangat, capillary refill < 2 detik

Extremitas Inferior

Dextra : Terpasang spalk dan verband, capillary refil < 2

detik

Sinistra : tidak ditemukan jejas, akral hangat, capillary refill

< 2 detik

36
2. STATUS LOKALIS

Regio Femoris Dextra

 LOOK

Deformitas (+), Oedema (+), Pemendekan (-), Luka (-)

 FEEL

Krepitasi (+), Nyeri tekan (-)

 MOVE

False Movement (+)

Range of movement terbatas

 AVN (ARTERI, VENA,NERVUS )

Arteri (+) normal

Vena (+) normal

Nervus (+) normal

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hb 11.9 11.4-15.1 g%

Leukosit 7.700 4500-11000

LED Sampel tidak cukup 0-20

Hitung Jenis 0/0/0/77/15/8 1-2/0-1/3-5/40-50/20-

40/4-8

PCV 35 37-47%

Trombosit 203000 150.000-450.000 /U

MCV 91 80-94

37
MCH 31 26-32

MCHC 34 32-36

GDA 104 <200 mg/dl

FAAL HATI

SGOT 28.1 0-31 u/L

SGPT 18,5 0-32 u/L

HBSAg Negative Negative

HIV TEST Non reaktif Nonreaktif

ONE STEP HIV Non reaktiv belum -

KESIMPULAN tentu hasilnya negatif,

mungkin saja klien

sedang masa jendela

dari infeksi HIV

38
B. PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Gambar. 3.1 Foto AP Femur Dextra

Tampak Garis Patahan Oblique

Pada Fraktur Femur 1/3 Media Dextra

Gambar. 3.2 Foto Lateral Femur Dextra

Tampak Garis Patahan Oblique

Pada Fraktur Femur 1/3 Media Dextra

39
3.5. DIAGNOSIS KERJA

Close fraktur femur 1/3 media dextra

3.6. PENATALAKSAAN

1. Umum

a. Memantau jalan nafas, pernafasan, sirkulasi pasien serta tanda vital

lainnya.

b. Infus RL live line

c. Diet TKTP

d. Inj. Ketorolac 3x 1 amp.

2. Operatif

a. Rencana ORIF tanggal 06-04-2016 hari untuk operasi plating femur

b. Antibiotik profilaksis 1 gr bifotik

3.7. CATATAN PENDERITA SELAMA PERAWATAN DI RUANG

DAHLIA

Tanggal 6 April 2016

S : nyeri pada paha kanan post operasi, demam (-)

O : KU : Cukup

TD : 120/80 mmHg

N : 90 x/menit

S : 36.5 C

RR : 24 x/menit

40
Status Lokalis di Regio Femur Dextra

LOOK : Tampak Elastic verband di regio femur dectra,

oedema (+), perdarahan (-)

FEEL : Nyeri tekan (+), capillary refill , < 2 detik, akral

hangat

MOVE : Pergerakan terbatas

A : Post Operasi Plating Close fraktur femur 1/3 medial dextra hari

pertama

P : - IVFD. Ns 20 tetes/menit

- Inj. Cefazolin 3x1 g

- Inj. Ketorolac 3x50 mg

- Inj. Ranitidine 2x1 g

- Diet TKTP

- Transfusi 2 PRC 1 bag/12 jam

- Inj. Lasix cap ( setelah transfusi )

- X-ray : femur dextra AP/LAT

Tanggal 7 April 2016

S : nyeri agak berkurang pada paha kanan post operasi, demam (-),

pusing (+)

O : KU : Cukup

TD : 120/80 mmHg

N : 92 x/menit

S : 36.2 C

41
RR : 22 x/menit

Status Lokalis di Regio Femur Dextra

LOOK : Tampak Elastic verband di regio femur dextra,

oedema (+), perdarahan (-)

FEEL : Nyeri tekan (+), capillary refill , < 2 detik, akral

hangat

MOVE : Pergerakan terbatas

A : Post Operasi Plating Close fraktur femur 1/3 medial dextra hari

kedua

P : - IVFD. Ns 20 tetes/menit

- Inj. Cefazolin 3x1 g

- Inj. Ketorolac 3x50 mg

- Inj. Ranitidine 2x1 g

- Transfusi 2 PRC 1 bag/12 jam

- Inj. Lasix cap ( setelah transfusi )

- Rawat luka + aff drain

Tanggal 8 April 2016

S : nyeri pada paha kanan teratasi post operasi, demam (-)

O : KU : Cukup

TD : 120/80 mmHg

N : 92 x/menit

S : 36.2 C

RR : 22 x/menit

42
Status Lokalis di Regio Femur Dextra

LOOK : Tampak Elastic verband di regio femur dextra,

oedema (+), perdarahan (-)

FEEL : Nyeri tekan (+), capillary refill , < 2 detik, akral

hangat

MOVE : Pergerakan terbatas

A : Post Operasi Plating Close fraktur femur 1/3 medial dextra hari

ketiga

P : Pasien boleh pulang

Deskripsi Uraian Operasi

Posisi pasien dengan miring kekiri, desinfeksi, insisi kulit dengan lateral

APP, insisi facia, split musculus vastus lateralis, reservasi dan kauterisasi arteri

perporantes tampak fraktur simple transvers dilakukan reduksi dipasang broad

plate 10 hull, dipasang 8 cortical screw dan 2 cancelous screw. Cuci luka dengan

normal Ns 1 liter, pasang drain, jahit fasia sub kutis kulit, disebut operasi plating

femur. Komplikasi anemia

43
FOTO RADIOLOGI

POST OPERASI

Gambar. 3.3 Foto AP Femur Dextra Post Operasi

Tampak Terpasang Screw, Plate dan drain

44
Gambar. 3.4 Foto Lateral Femur Dextra Post Operasi

Tampak Terpasang Screw, Plate dan drain

45
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada anamnesa pasien datang ke IGD datang sendiri dengan mobil,

didapatkan data bahwa penderita perempuan usia 71 tahun dengan keluhan kaki

kanan terasa nyeri tidak bisa digerakan, sebelumnya pasien terjatuh dari tangga

saat akan mengambil daun pisang. Saat kejadian pasien dalam keadaan sadar,

tidak mual, tidak muntah dan tidak pusing.tidak ada perdarahan dari hidung dan

telinga.

Pada pemeriksaan fisik, status generalis didapatkan pernafasan, nadi dan

suhu dalam batas normal. Hal ini menunjukan bahwa kondisi ABC pasien baik.

Dari pemeriksaan fisik, pada status lokalis didapatkan pada regio femur 1/3

medial dextra tampak adanya pembengkakan. Penderita mengalami kesulitan

menggerakan kaki secara aktiv dan pasif terasa nyeri. Pemeriksaan penunjang

yang dilakukan berupa pemeriksaan radiologis dengan hasil rontgen regio femur

dextra AP/Lat menunjukan close fraktur femur 1/3 medial dextra dan pemeriksaan

darah lengkap dalam batas normal.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang

yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pasien ini didiagnosa dengan close

fraktur femur 1/3 medial dextra. Penatalaksanaan pada pasien ini direncanakan

pemberian analgetik, terapi konservatif dengan traksi kulit dilanjutkan terapi

operatif dengan posisi pasien dengan miring kekiri, desinfeksi, insisi kulit dengan

lateral APP, inisisi facia sejajar kulit, split musculus vastus lateralis, reservasi dan

kauterisasi arteri perporantes tampak fraktur simple transvers dilakukan reduksi

46
dipasang nerroplet 10 hull, dipasang 8 cortical screw dan 2 cancelous screw. Cuci

luka dengan normal Ns 1 liter, pasang drin jahit pasia sub kutis kulit, disebut

operasi plating femur. Biasanya komplikasi dengan anemia.

47
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang

dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa, fraktur femur

adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh

peristiwa trauma tunggal, tekanan yang berulang-ulang atau kelemahan abnormal

pada tulang.

Penyebab fraktur femur sendiri meliputi cedera traumatik, fraktur patologik

dan terjadi secara spontan. Tanda dan gejala yang terdapat pada pasien dengan

fraktur femur, yakni : deformitas, bengkak (edema), spasme otot, terderness,

nyeri, kehilangan sensasi, pergerakan abnormal, syok hipovolemik dan krepitasi.

Fase penyembuhan fraktur sendiri meliputi fase hematoma, fase proliferasi, fase

pembentukan kalus, fase konsolidasi, dan fase remodeling, sementaran itu.

Komplikasi yang dapat terjadi yakni: komplikasi pada kulit, pembuluh darah,

saraf, sendi serta komplikasi pada tulang.

5.2 SARAN

Penanganan yang tepat dan cepat akan mengurangi komplikasi ya ng

terjadi dari frakture. Oleh karen itu kita harus menguasai cara-cara perawatan

pasien dengan fraktur.

48
DAFTAR PUSTAKA

Appley, A.G., Solomon, L. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem
Appley.Edisi ke-7. Widya Medika.Jakarta.; p.238-285.

Bergman, R. 2004. Plate 6 : Bones of the Lower Limb [Internet]. Available


from : http://www.anatomyatlases.org/

Keany E. J. 2013. Femur Fracture. Department of Emergency Service,


Mission Hospital Regional Medical Center. California [Internet].
Available from : http://www.emedicine.medscape.com/

Mansjoer, A. S., Ika, W.W., Setyowulan, W., Wicaksono, A. H. 2000.


Bedah Orthopedi. In : Mansjoer, A.S., Ika, W. W., Setyowulan, W.
Editor. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Edisi ke 3. Media
Aesculapius. Jakarta.; p.354-356.

Rasjad, C. Reksoprojo, S., Anwar, H. S., Yurianto, H., Roeshadi, D. F.,


Agung, I. K., 2007. Sistem Muskuloskeletal. In : Syamsuhidajat, R.
Karnadihardja, W.O.H., Prasetyono, T., Rudiman, R. Editor. Buku
Ajar Ilmu Bedah , Ed. ke-3. EGC. Jakarta.; p.1039-1080.

Rasjad, C. 2003. Kelainan Degeneratif Tulang dan Sendi Dalam Pengantar


Ilmu Bedah Orthopedi. Ed. ke-2. Bintang Lamumpatue. Ujung
Pandang.; p.196-204.

Snell, R. S. 1998. Anatomi Klinik : Membrum Inferius. Edisi ke-6. EGC.


Jakarta.;p.557-587

Sobotta, J. 2008. Atlas of Human Anatomy. Ed ke-14. Buku Kedokteran


EGC. Jakarta.; p.533-535.

49

You might also like