You are on page 1of 6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan


adalah zat dalam bagian tertentu pelarut, kecuali dinyatakan lain menunjukkan
bahwa 1 bagian bobot zat padat atau 1 bagian volume zat cair larut dalam bagian
volume tertentu pelarut. Kelarutan juga didefinisikan dalam besaran kuantitatif
sebagai konsentrasi zat terlarut dalam larutan jenuh pada temperature tertentu
(Martin, 1993).
Secara kuantitatif, kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai
konsentrasi zat terlarut didalam larutan jenuhnya pada suhu dan tekanan
tertentu. Kelarutan dinyatakan dalam satuan mili liter pelarut yang dapat
melarutkan satu gram zat. Misalnya 1 gram asam salisilat akan larut dalam 500
mL air. Kelarutan juga dinyatakan dalam satuan molalitas, molaritas dan persen
(Tungandi, 2009).
Kelarutan atau solubility (s) adalah kebanyakan senyawa dalam satuan
garam yang dapat membuat jenuh larutan. Jika volume larutan dm3 maka
kelarutan itu mempunyai satuan molar (m) (Martin, 1990).
Kelarutan suatu zat didefinisikan sebagai jumlah solut yang dibutuhkan
untuk menghasilkan suatu larutan jenuh dalam sejumlah solven. Pada suatu
temperatur tertentu suatu larutan jenuh yang bercampur dengan solut yang tidak
terlarut merupakan contoh lain dari keadaan kesetimbangan dinamik (Mochtar,
1989).
Besarnya kelarutan suatu senyawa adalah jenuh, misalnya senyawa yang
bersangkutan yang larut dalam sejumlah pelarut tertentu dan merupakan larutan
yang jenuh yang ada dalam kesetimbangan dengan bentuk padatnya (Ansel,
1989).
Tipelarutan yang paling umum yang kitajumpai di laboratoriumterdiriatas
solute yang terlarutdalamzatcair. Solute yang terlarut dapat berupa padatan,
cairan, maupun gas. Namun, sebagian besar solute yang dijumpai berbentuk
padatan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan suatu zat padat dalam cairan antara
lain :
1. Intensitas Pengadukan
Pada pengadukan yang rendah aliran bersifat pasif. Zat padat tidak bergerak
dan kecepatan pelarutan bergantung pada bagaimana karakter zat padat tersebut
menghambur dari dasar wadah. Zat padat dan larutannya tidak berpindah ke atas
sistem sehingga mempunyai perbedaan konsentrasi. Pada pengadukan yang tinggi
sistem menjadi turbulent. Gaya sentrifugal dari putaran cairan mendorong partikel
ke arah luar dan atas.
2. Suhu
Perubahan kelarutan suatu zat terlarut karena pengaruh suhu erat hubungannya
dengan panas pelarutan dari zat tersebut. Panas pelarutan didefinisikan sebagai
banyaknya panas yang dibebaskan atau diperlukan apabila satu mol zat terlarut
dilarutkan dalam dalam suatu pelarut untuk menghasilkan satu larutan jenuh.
Kenaikan temperatur menaikkan kelarutan zat padat yang mengabsorpsi panas
(proses endotermik) apabila dilarutkan. Pengaruh ini sesuai dengan asas
LeChatelier, yang mengatakan bahwa sistem cenderung menyesuaikan diri sendiri
dengan cara yang sedemikian rupa sehingga akan melawan suatu tantangan
misalnya kenaikan temperatur. Sebaliknya jika proses pelarutan eksoterm yaitu
jika panas dilepaskan, temperatur larutan dan wadah terasa hangat bila disentuh.
Kelarutan dalam hal ini akan turun dengan naiknya temperatur. Zat padat
umumnya termasuk dalam kelompok senyawa yang menyerap panas apabila
dilarutkan.
3. Komposisi Cairan Pelarut
Seringkali zat pelarut lebih larut dalam campuran pelarut daripada dalam satu
pelarut saja. Gejala ini dikenal dengan melarut bersama (kosolvensi) dan
kombinasi pelarut menaikkan kelarutan dari zat terlarut disebut kosolven.
4. Ukuran Partikel
Ukuran dan bentuk partikel juga berpengaruh terhadap ukuran partikel.
Semakin kecil ukuran partikel semakin besar kelarutan suatu bahan obat. pH
(keasaman atau kebasaan)
Obat adalah elektrolit lemah. Obat-obat ini bereaksi dengan kelompok asam
dan basa kuat serta dalam jarak pH tertentu berada pada bentuk ion yang biasanya
larut dalam air, sehingga jelaslah bahwa kelarutan elektrolit lemah sangat
dipengaruhi oleh pH larutan. (Martin dkk, 1990)
Kelarutan suatu zat dalam pelarut tertentu diketahui dengan membuat larutan
jenuh dari zat itu pada uhu yang spesifik dan penentuan jumlah zat yang larut
pada sejumlah berat tertentu dan larutan dengan cara analisis kimia (Ansel, 2005).
Kelarutan bergantung juga pada sifat dan konsentrasi zat-zat lain, terutama ion-ion
dalam campuran itu (Hardjaji, 1993).
Pengukuran konsentrasi zat salah satunya dapat dilakukan dengan
menggunakan metode titrasi. Apabila zat yang akan diukur konsentrasinya
merupakan suatu asam atau basa maka dapat dilakukan pengukuran konsentrasi
zat menggunakan titrasi asam-basa. Titrasi asam basa melibatkan asam maupun
basa sebagai titer atau pun titrant. Kadar larutan asam ditentukan dengan
menggunakan larutan basa atau sebaliknya. Titrant ditambahkan titer tetes demi
tetes sampai mencapai keadaan ekuivalen (artinya secara stoikiometri titrant dan
titer tepat habis bereaksi) yang biasanya ditandai dengan berubahnya warna
indikator. Keadaan ini disebut sebagai “titik ekuivalen”, yaitu titik dimana
konsentrasi asam sama dengan konsentrasi basa atau titik dimana jumlah basa
yang ditambahkan sama dengan jumlah asam yang dinetralkan : [H+] = [OH-].
Sedangkan keadaan dimana titrasi dihentikan dengan cara melihat perubahan
warna indicator disebut sebagai “titik akhir titrasi”. Titik akhir titrasi ini
mendekati titik ekuivalen, tapi biasanya titik akhir titrasi melewati titik ekuivalen.
Oleh karena itu, titik akhir titrasi sering disebut juga sebagai titike kuivalen.
(AdiGunawan, 2004)
Pada saat titik ekuivalen ini maka proses titrasi dihentikan, kemudian catat
volume titer yang diperlukan untuk mencapai keadaan tersebut.
Denganmenggunakan data volume titran, volume dan konsentrasi titer
makabisadihitungkonsentrasititrantersebut. (Umi L Baroroh, 2004 )
Larutan jenuh adalah suatu larutan yang zat terlarutnya berada dalam
kesetimbangan dengan fase padat (zatterlarut) (Sinko, 2005).
Larutan tidak jenuh atau hamper jenuh adalah suatu larutan yang
mengandung zat terlarut dalam konsentrasi yang dibutuhkan untuk penjenuhan
sempurna pada temperature tertentu (Martin, 1990).
Larutan lewat jenuh adalah suatu larutan yang mengandung zat terlarut
dalam konsentrasi lebih banyak dari pada seharusnya pada temperature tertentu
dan terdapat juga zat terlarut yang tidak larut (Sinco, 2005).
Jika kelarutan suatu zat tidak diketahui dengan pasti, kelarutannya dapat
ditunjukkan dengan istilah berikut (Ditjen POM, 1979) :
Istikah Kelarutan Jumlah bagian pelarut yang diperlukan untuk
melarutkan 1 bagian zat
Sangat mudah larut Kurang dari 1
Mudah larut 1 sampai 10
Larut 10 sampai 30
Agak sukar larut 30 sampai 100
Sukar larut 100 sampai 1000
Sangat sukar larut 1000 sampai 10.000
Praktis tidak larut Lebih dari 10.000

A. Uraian Bahan
 Air suling (Ditjen POM, 1979 : 96)
Nama resmi : AQUA DESTILLATA
Sinonim : Air suling
RM/BM : H2O / 18,02
Pemerian : Cairan tidak berwarna, tidak mempunyai rasa.
 Asam salisilat
Nama resmi : Acidum Salicylum
Pemerian : Hablur putih, biasanya berbentuk jarum putih atau serbuk
hablur halus putih, rasa agak manis, tajam, dan stabil di
udara.
Kelarutan : sukar larut dalam air dan dalam benzena, mudah larut
dalam etanol dan dalam eter, larut dalam air mendidih, agak
sukar larut dalam kloroform.
 Natrium Hidroksida
Nama resmi : Natrii Hydroxydum
RM/BM : NaOH / 40,20
Pemerian : Bentuk batang, butiran, massa hablur atau kering, keras,
rapuh dan menunjukkan susunan hablur, putih.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air dan dalam etanol 95% P.
 Indikator PP
Nama Resmi : Fenolftalein
RM/BM : C20H14O4/318,33
Pemerian :Serbuk hablur putih atau putih kekuningan lemah, tidak
beberbau, stabil di udara.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larut dalam etanol

DAFTAR PUSTAKA
Ansel, Haward. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Fakultas Farmasi
Universitas Muslim Indonesia; Makassar.
Baroroh, Umi L. U. 2004. Diktat Kimia Dasar I. Universitas Lambung
Mangkurat. Banjarbaru.
Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. DepkesRI ; Jakarta.
Gunawan, AdidanRoeswati. 2004. Tangkas Kimia. Kartika. Surabaya.
Hardjadi, 1993, Ilmu Kimia Analitik Dasar, PT Gramedia Pustaka, Jakarta.
Martin, Alfred dkk.1990.Farmasi Fisika jilid I dan II Edisi III. Press; Yogyakarta.
Mochtar, 1989. Farmasi Fisika. Gajah Mada University Press ; Yogyakarta
Sinko, P. 1990. Farmasi Fisika .Buku II, UI Press, Jakarta
Tungadi, Robert. 2009.“Penuntun Praktikum Farmasi Fisika“.

You might also like