Professional Documents
Culture Documents
Penelitian
Penelitian
Disusun Oleh :
Yudia Mahardika (102015203)
Steven Kristianto Yaputra (112016152)
Zebriyandi (102016211)
Theo Nalmiades Ambra (102016280)
Cahyo Aji Raharjo (102016221)
Pembimbing :
dr. Suzanna Ndraha, Sp. PD-KGEH
1
BAB 1
PENDAHULUAN
2
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Koja. GERD Q Score pada
setiap penderita GERD tentu berbeda-beda, oleh sebab itu peneliti ingin mengetahui
gambaran GERD Q Score pada penderita GERD di Poli Penyakit Dalam RSUD Koja.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Diagnosis GERD banyak dijumpai di tempat praktek dokter pelayanan primer dan
memberikan prevalensi tinggi pada populasi umum. Pada individu yang memiliki gejala-
gelaja , kualitas hidup tidak mengalami gangguan sampai akhirnya pasien mencari
pengobatan. Pasien dengan GERD lainnya melaporkan gejala yang secara substansial
4
mempengaruhi kebiasaan makan, olah raga atau tidur.
2.2. Epidemiologi
GERD dapat terjadi pada semua umur tetapi kebanyakan terjadi pada usia diatas 40
tahun. Walaupun kematian yang disebabkan ole GERD sangat jarang terjadi, gejala dari
GERD mungkin memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup penderita.
Dalam populasi barat, kisaran prevalensi untuk GERD adalah 10% sampai 20% dari
populasi. Prevalensi dari GERD bervariasi tergantung dari wilayah geografis, tetapi
negara barat merupakan wilayah dengan kasus GERD tertinggi. Kecuali selama
kehamilan dan kemungkinan GERD, tidak timbul perbedaan yang signifikan pada kasus
antara pria dan wanita. GERD cenderung terjadi pada wanita. Walaupun jenis kelamin
tidak memberikan perbedaan yang signifikan pada terjadinya GERD. Prevalensi GERD
di Asia relatif rendah dibandingkan negara maju. Di Amerika, hampir 7% populasi
mempunyai keluhan heart burn dan 20-40% diperkirakan menderita GERD. Prevalensi
esofagitis di Negara Barat berkisar 10-20% sedangkan di Asia hanya 3-5%, terkecuali
Jepang dan Taiwan (13-15%). Tidak ada predileksi gender pada GERD, laki-laki dan
perempuan mempunyai resiko yang sama, namun insidens esogafitis pada laki-laki lebih
tinggi (2:1 sampai 3:1), begitu pula Barrett’s esofagitis lebih banyak dijumpai pada laki-
laki (10:1). GERD dapat terjadi di segala usia. namun prevalensi meningkat pada usia di
atas 40 tahun.2
5
dengan esofagus tidak cukup lama.1
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang
dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal,
pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi
pada saat menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah.
Aliran balik dari gaster ke esofagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak
ada atau sangat rendah (<3 mmHg).1
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme: 1). Refluks
spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat, 2). aliran retrograd yang mendahului
kembalinya tonus LES setelah menelan, 3). meningkatnya tekanan intra abdomen.1
Pemisah antirefluks. Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Bentuk
anatomik SEB yang melipat berbentuk sudut dan kekuatan menutup dari sfingter
menjadikan SEB berperan penting dalam mekanisme antirefluks. Menurunnya tonus LES
dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograd pada saat terjadinya peningkatan
tekanan intrabdomen (saat batuk), proses gravitasi saat berbaring dan kelainan anatomis
seperti sliding hernia hiatal.1,2
Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Faktor-faktor
yang dapat menurunkan tonus LES: 1). adanya hiatus hernia, 2). panjang LES (makin
pendek LES, makin rendah tonusnya), 3). obat-obatan seperti antikolinergik, beta
adrenergik, theofilin, opiat dan lain-lain, 4). faktor hormonal. Selama kehamilan,
peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan tonus LES.1
6
emptying) dan dilatasi lambung.1
Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih kontroversial. Banyak
pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi ditemukan hiatus hernia, namun hanya
sedikit yang memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat
memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esofagus serta
menurunkan tonus LES.1
Bersihan asam dari lumen esofagus. Bersihan asam dari lumen esofagus adalah
kemampuan esofagus untuk membersihkan dirinya dari bahan refluksat. Faktor-faktor
yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi, peristaltik esofagus
primer, peristaltik esofagus sekunder (saat menelan), ekresi air liur dan bikarbonat.1,2
Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan
dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh
bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esofagus.1
Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara bahan refluksat
dengan esofagus (waktu transit esofagus) makin besar ketnungkinan terjadinya
esofagitis. Pada sebagian pasien GERD ternyata memiliki waktu transit esofagus yang
normal sehingga kelainan yang timbul disebabkan karena peristaltik esofagus yang
minimal.1
Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan kerusakan
esofagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak aktif.1
Ketahanan epitelial esofagus. Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak
memiliki lapisan tnukus yang melindungi mukosa esofagus. Mekanisme ketahanan
epitelial esofagus terdiri dari:1
Membran sel
Batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan
esofagus.
Aliran darah esofagus yang mensuplai nutrien, oksigen dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO.
Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion dan Cl intraseluler
7
dengan Na' dan bikarbonat ekstraseluler.
Nikotin dapat menghambat transport ion Na melalui epitel esofagus, sedangkan alkohol
dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H Yang dimaksud dengan
faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang menambah
potensi daya rusak` refluksat terdiri dari HC1, pepsin, garam empedu, enzim pankreas.1
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya. Derajat
kerusakan mukosa esofagus maki`n meningkat pada pH <2, atau adanya pepsin atau
garam empedu. Namun dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak paling
tinggi adalah asam.1
Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di
lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain: dilatasi lambung
atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.1
Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang
didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara infeksi H.
pylori dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian esofagitis, Barrett's
esophagus dan adenokarsinoma esofagus. Pengaruh dari infeksi H.pylori terhadap GERD
merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam
lambung. Pengaruh eradikasi infeksi H.pylori sangat tergantung kepada distribusi dan
lokasi gastritis. Pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H.
pylori dengan predominant antral gastritis, pengaruh eradikasi H.pylori dapat menekan
munculnya gejala GERD. Sementara itu pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala
refluks pra-infeksi H.pylori dengan corpus predominant gastritis, pengaruh eradikasi
H.pylori dapat meningkatkan sekresi asam lambung serta memunculkan gejala GERD.
Pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra infeksi H. pylori dengan antral
predominant gastritis, eradikasi H.pylori dapat memperbaiki keluhan GERD serta
menekan sekresi asam lambung. Sementara itu pada pasien-pasien dengan gejala GERD
pra-infeksi H.pylori dengan corpus predominant gastritis, eradikasi H.pylori dapat
memperburuk keluhan GERD serta meningkatkan sekresi asam lambung. Pengobatan
PPl jangka panjang pada pasien-pasien dengan infeksi H. pylori dapat mempercepat
terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi H. pylori
dianjurkan pada pasien GERD sebelum pengobatan PPI jangka panjang.1
Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa non-acid reflux turut
8
berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD. Yang dimaksud dengan non-acid
reflux antara lain berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asam atau refluks gas. Dalam
keadaan ini, timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas viseral.1
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium
atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa
terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan
makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat
ringannya keluhan heartburn ternyata tidak berkorelasi dengan temuan endoskopik.
Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrostemal yang mirip dengan keluhan pada serangan
angina pektoris. Disfagia yang timbul saat makan makanan padat mungkin terjadi karena
striktur atau keganasan yang berkembang dari Barrett:v esophagus. Odinofagia (rasa
sakit pada waktu menelan makanan) bisa timbul jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang
berat.1,2
GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esofageal yang atipik dan
sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest pain/NCCP),
suara serak, larifigitis, erosi gigi, batuk kronik, bronkiektasis atau asma. Di lain pihak,
beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk timbulnya GERD karena
timbulnya perubahan anatom is di daerah gastroesophageal high pressures cone akibat
penggunaan obat-obatan yang menurunkan tonus LES (misalnya theofilin).1,3
Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode akut
atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu, umumnya pasien dengan
GERD memerlukan penatalaksanaan secara medik.1
2.5. Diagnosis
Endoskopi saluran cerna bagian atas. Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian
atas merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal
break di esofagus (esofagitis refluks).1-3
9
mukosa esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat
menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan
endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini
disebut sebagai non-erosive reflux disease (NERD).1
Gambaran Endoskopi
Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi dari pasien
GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan klasifikasi Savarry-Miller.1
Bila pada penerita dengan keluhan GERD ternyata tidak ditemukan kelainan pada
endoskopi SCBA makan diagnosis menjadi NERD (Non erosive refluks disease).
Kesulitan dapat terjadi dalam membedakan dispepsia fungsional dengan NERD karena
sama-sama mempunyai hasil endoskopi normal. Apalagi dalam klinis GERD/NERD
sendiri mempunyai simptom tumpang tindih dengan sindrom dispepsia dan dapat muncul
bersama dispepsia.2
10
pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan,
terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiologi
dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus atau penyempitan lumen.
Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitif untuk diagnosis GERD, namun pada
keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada 1).
stenosis esofagus derajat ringan akibat esofagitis peptik dengan gejala disfagia, 2). hiatus
hernia.1
Tes Bernstein. Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang
transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HC10,1 M dalam waktu
kurang dari satu jam. Test ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada
pasien-pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri
dada seperti yang biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaC1 tidak menimbulkan
rasa nyeri, maka test ini dianggap positif. Test Bernstein yang negatif tidak
menyingkirkan adanya nyeri yang berasal clad esofagus.1
Manometri esofagus. Test manometri akan memberi manfaat yang berarti jika pada
pasien-pasien dengan gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan
esofagografi barium dan endoskopi yang normal.1
11
Tes penghambat pompa proton (Proton Pump Inhibitor /PPI Testi (tes supresi asam)
Acid Supression Test. Pada dasarnya test ini merupakan terapi empirik untuk menilai
gejala dari GERD dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil
melihat respons yang terjadi. Test ini terutama dilakukan jika tidak tersedia modalitas
diagnostik seperti endoskopi, pH metri dan lain-lain. Test ini dianggap positif jika
terdapat perbaikan dari 50%-75% gejala yang terjadi. Dewasa ini terapi empirik /PP/ test
merupakan salah satu langkah yang dianjurkan dalam algoritme tatalaksana GERD pada
pelayanan kesehatan lini pertama untuk pasien-pasien yang tidak disertai dengan gejala
alarm (yang dimaksud dengan gejala alarm adalah: berat badan turun, anemia,
hematemesis/melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga dengan kanker esofagus/
lambung) dan umur >40 tahun.1
Secara umum, skala pengukuran gejala dapat digunakan untuk tujuan diagnostik,
prediktif, atau evaluatif. Jika skala tersebut bertujuan diagnostik, maka kuesioner yang
digunakan haruslah bersifat sangat spesifik terhadap jenis penyakit yang dimaksud, yang
tergambar dari pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner, sekaligus mengeksklusikan
penyakit lain dengan probabilitas prediksi yang tinggi.3
Selain karena gejala-gejala pada pasien GERD yang seringkali tidak menunjukkan
gejala khas (heartburn, regurgitasi) sehingga menyulitkan untuk diagnosis akurat, banyak
pasien GERD tidak memiliki kelainan gambaran endoskopi, sehingga evaluasi tingkat
keparahan gejala, kualitas hidup serta respon terapi menjadi sangat penting. Kuesioner
berisi gejala-gejala yang dinilai oleh pasien sendiri saat ini merupakan instrumen kunci
pada berbagai penelitian klinis. Di antara banyak kuesioner diagnostik yang banyak
digunakan adalah Questionnaire for the Diagnosis of Reflux Esophagitis (QUEST),
Frequency Scale for the Symptoms of GERD (FSSG), Reflux Questionnaire (ReQuest),
Reflux Disease Questionnaire (RDQ), dan yang baru dikembangkan tahun 2009 yaitu
GerdQ Questionnaire.3
12
Kuesioner GerdQ, yang dikembangkan oleh Jones dkk., termasuk kuesioner
terbaru, yang diolah dari RDQ, Gastrointestinal Symptom Rating Scale (GSRS) dan
Gastroesophageal Reflux Disease Impact Scale (GSIS). GerdQ terdiri dari enam
pertanyaan sederhana meliputi gejala refluks dispepsia dan konsumsi obat untuk
mengatasi gejala sebagaimana terlihat pada gambar 1. Nilai cut-off untuk GerdQ
adalah 8 poin yang merepresentasikan diagnosis GERD. Hasil penelitian tersebut
memperlihatkan bahwa GerdQ berpotensi sebagai alat bantu diagnostik GERD bagi
dokter umum dengan akurasi yang sama dengan diagnosis yang dibuat oleh
gastroenterologist. 3
Gambar 1. Pertanyaan pada Gerd Q kuesioner
2.7. Komplikasi
2.8. Penatalaksanaan
13
esofagus Barrett yang merupakan keadaan premaligna, maka seyogyanya penyakit ini
mendapat penatalaksanaan yang adekuat.1
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi
medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik. 1
Target penatalaksanaan GERD adalah: a). menyembuhkan lesi esofagus, b).
menghilangkan gejala/keluhan, c). mencegah kekambuhan, d). memperbaiki kualitas
hidup, e). mencegah timbulnya komplikasi. 1
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah sebagai
berikut: 1) Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan
sebelum tidur dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta
mencegah refluks asam dari lambung ke esofagus; 2). Berhenti merokok dan
mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga
secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel; 3). Mengurangi konsumsi lemak
serta mengurangi jumlah makanan yang dimakan karena keduanya dapat
menimbulkan distensi lambung; 4). Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan
serta menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intra abdomen; 5).
Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi dan minuman
bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam; 6). Jika memungkinkan menghindari
obat-obat yang dapat menurunkan tonus LES seperti anti kolinergik, teofilin, diazepam,
opiat, antagonis kalsium, agonist beta adrenergik, progesteron. 2
14
gangguan motilitas. 1
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step down.
Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang
kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H,) atau golongan prokinetik, bila
gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi
lebih lama (penghambat pompa proton atau PPI). Sedangkan pada pendekatan step
down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan
terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis
reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antasid. 1
Dan berbagai studi dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down ternyata
lebih ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan pasien) dibandingkan dengan
pendekatan terapi step up.1
Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang
p`enatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk
GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step down.1
Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan
di atas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan
terapi pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan terapi "bila perlu" (on
demand therapy) yaitu pemberian obat - obatan selama beberapa hari sampai dua
minggu jika ada kekambuhan sampai gejala hilang.1
15
kasus pemberian PPI saja tidak cukup untuk mengatasi gejala GERD.
Kombinasi PPI dan prokinetik akan lebih baik digunakan untuk beberapa
pasien GERD.
Miyamoto mengatakan bahwa skor FSSG adalah salah satu faktor yang
berhubungan dengan kegagalan monoterapi PPI, selain jenis kelamin
perempuan, mengkonsumsi alkohol dan obesitas. Dengan demikian, GERD
dengan skor FSSG yang tinggi membutuhkan kombinasi terapi PPI dengan
prokinetik untuk mendapatkan hasil yang memuaskan
2. Antasid. Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan
gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai
buffer terhadap HC1, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter
esofagus bagian bawah. Kelemahan golongan obat ini adalah 1). Rasanya
kurang menyenangkan, 2). Dapat menimbulkan diare terutama yang
mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang
mengandung alumunium, 3). Penggunaannya sangat terbatas pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Dosis: sehari 4 x 1 sendok makan.1
3. Prokinetik. Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD
karena penyakit ini dianggap lebih condong ke arah gangguan motilitas.
Namun pada prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung kepada
16
penekanan sekresi asam.1 Domperidon, golongan obat ini adalah
antagonis reseptor dopamin dengan efek samping yang lebih jarang
dibanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah otak.
Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan
penyembuhan lesi esofageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini
diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat
pengosongan lambung. Dosis: 3 x 10-20 mg sehari1
17
Tabel 2. Efektivitas Pengobatan Pada Pasien GERD
Umur adalah lamanya waktu hidup yang terhitung sejak lahir sampai dengan
sekarang. Secara fisiologis pertumbuhan dan perkembangan seseorang dapat
digambarkan dengan pertambahan kemampuan motorik sesuai dengan tumbuh
kembangnya. Akan tetapi pertumbuhan dan perkembangan seseorang pada titik
tertentu akan terjadi kemunduran akibat faktor degeneratif.1
Pada usia >40 tahun terjadi peningkatan insiden GERD, sehingga pada penelitian ini
membagi umur menjadi 2 kelompok yaitu < 40 tahun dan ≥ 40 tahun.5
Wanita sedikit lebih banyak terpengaruh oleh GERD daripada laki-laki. Alasan
perempuan lebih rentan untuk menderita GERD mungkin terkait dengan hormon
wanita. Tubuh wanita memproduksi hormon estrogen dan progesterone. Salah satu
18
dari banyak fungsi hormon ini adalah untuk mengendurkan otot dalam tubuh.
Ketika bagian tubuh terkena hormon, termasuk otot-otot di saluran pencernaan,
mereka juga akan terpengaruh. Di bawah pengaruh estrogen dan progesterone,
kerongkongan dan perut menjadi sedikit lebih rileks dan kendor dan mempengaruhi
kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan mereka.1
Studi ini menemukan bahwa pasien perempuan dengan GERD yang dominan
dibandingkan dengan laki-laki. Penelitian 3378 pasien dengan GERD, dan
mendapat rasio laki-laki: perempuan adalah 1: 1,3. 11 Di Jepang, Miyamoto
mempelajari 163 pasien dengan GERD, 99 orang (60,7%) adalah wanita.
Keberhasilan terapi tunggal PPI ditemukan pada pria, tidak merokok dan tidak
obesitas memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan terapi tunggal PPI pada
wanita.6
2.9.3. Gejala klinis
Manifestasi klinis GERD dapat berupa gejala yang tipikal (esofagus) dan gejala
atipikal (ekstraesofagus). Gejala GERD 70% merupakan tipikal, yaitu: heartburn
dan regurgitasi. Gejala atipikal (ekstraesofagus) seperti batuk kronik dan kadang
wheezing, suara serak, pneumonia asmpirasi, fibrosis paru, bronkiektasis, dan nyeri
dada nonkardiak.7
Menurut penelitian gejala yang khas dan yang paling sering dijumpai yaitu heart
burn dan regurgitasi, merupakan keluhan yang bermakna dihubungkan dengan
GERD dengan sensitivitas 93% dan spesifisitas 71%.4
IMT adalah hasil penghitungan tinggi dan berat badan seseorang, dihitung dengan
membagi berat badan (dalam kilogram) dengan tinggi badan dikuadratkan (dalam
meter2). WHO membagi kategori berat badan menurut Indeks Massa Tubuh (IMT)
menjadi beberapa kelompok. Seseorang dikatakan normal jika memiliki IMT 18.5–
22,9, overweight jika memiliki IMT 23–29,9, dan obesitas jika memiliki IMT lebih
dari atau sama dengan 30. Kategori ini berlaku sama untuk laki-laki dan
perempuan.1
19
Secara tidak langsung, fungsi LES dipengaruhi ini terjadi karena akumulasi lemak
di jaringan adiposa perut. Peningkatan tekanan intraabdomen ini meregangkan LES
sehingga memungkinkan terjadinya refluks esofagus yang menyebabkan mukosa
esofagus terekspos oleh isi lambung.4
Gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam
aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri
seseorang” dalam berinteraksi dengan lingkungannya.1
Demikian halnya dengan gaya hidup yang salah dapat memengaruhi kesehatan
antara lain diet tinggi lemak, makan terlalu banyak, makan cepat selesai, makan
berbumbu tajam, rokok, pakaian ketat, stress emosi, kopi dan teh, dan berbaring
setelah makan. Diet lemak tinggi juga dapat mengembangkan GERD. Lemak di
perut memakan waktu lama untuk dicerna dan pindah ke dalam usus. Hal ini
menyebabkan stagnasi makanan di perut. Ini meningkatkan tekanan ternyata
mundur dan mungkin melemahkan LES. Merokok tembakau, alkohol, kafein
mengandung produk, seperti kopi atau cokelat, semua melemahkan LES menuju
gejala GERD. Stres dan gangguan emosional adalah penyebab untuk melemahnya
LES menuju gejala GERD.1
Pada penelitian ini karena tidak ditemukannya patokan yang membahas gaya hidup
sehat dan tidak sehat sehingga peneliti membagi 2 kelompok yaitu gaya hidup sehat
(<3 faktor resiko) dan gaya hidup tidak sehat (≥3 faktor resiko).
2.9.6. Terapi
20
Kombinasi PPI dan prokinetik akan lebih baik digunakan untuk beberapa pasien
GERD. PPI tidak stabil pada pH rendah, dismotilitas akan memperlambat
pengosongan lambung, yang mengakibatkan retensi PPI. Retensi PPI dalam perut
untuk waktu yang lama dapat menyebabkan efek gangguan penekan asam, sehingga
indikasi penggunaan obat prokinetik untuk meningkatkan kontraktilitas. Prokinetik
adalah agen yang meningkatkan tekanan sfingter esofagus bagian bawah (LESP),
meningkatkan peristaltik esofagus, dan meningkatkan pengosongan lambung.8
Miyamoto mengatakan bahwa skor FSSG adalah salah satu faktor yang
berhubungan dengan kegagalan monoterapi PPI, selain jenis kelamin perempuan,
mengkonsumsi alkohol dan obesitas. Dengan demikian, GERD dengan skor FSSG
yang tinggi membutuhkan kombinasi terapi PPI dengan prokinetik untuk
mendapatkan hasil yang memuaskan.6
Epidemiologi
Definisi
Patofisiologi
` GERD Manifestasi
Klinik
Penatalaksanaan
GERD Q
21
Skor 1-7 Skor 8-18
Heartburn dan
atau regurgitasi
GERD Q
Penelitian ini dilakukan bertempat di Rumah Sakit Umum Daerah Koja pada
bulan Oktober 2017.
3.3.1 Populasi
22
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang datang berobat ke
Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Koja pada bulan Oktober
2017.
3.3.2 Sampel
Adapun Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien yang datang
berobat ke poli penyakit dalam yang didiagnosis GERD di Rumah Sakit
Umum Daerah Koja.
Keterangan :
z = derajat kepercayaan
n= = = 96.04
23
0,102 0.01
Jadi jumlah sampel pada penelitian ini adalah 96 orang, dibulatkan 97 orang.
Kriteria inklusi:
1. Semua pasien yang datang berobat ke poli penyakit dalam dan
didiagnosis GERD di Rumah Sakit Umum Daerah Koja selama masa
penelitian.
2. Pasien yang kooperatif dalam anamnesis.
Kriteria Eksklusi:
1. Pasien yang berobat dipoli lain di Rumah Sakit Umum Daerah Koja.
2. Pasien yang dirawat di bangsal Rumah Sakit Umum Daerah Koja
namun didiagnosa GERD.
3. Pasien yang tidak kooperatif dalam anamnesis.
24
3.6 Alur Penelitian
Pencatatan data
Pembuatan laporan
penelitian
25
1. Pengumpulan data melalui pertanyaan sesuai kriteria GERD Q Score dan
penelaahan dokumen
2. Langkah reduksi untuk memilih informasi yang susi dan tidak sesuai dengan
masalah penelitian
3. Penyajian data melalui table dan analisis presentase
Kegiatan 3 17 31 7 21 28
Oktober Oktober Oktober September September September
Proposal X
Pengumpulan X
Data
Pengolahan Data X X
Analisis Data X
Publikasi X
Daftar Pustaka
26
3. Ndraha S. Original article: Frequency scale for the symptoms of GERD score for
gastroesophageal reflux disease in Koja Hospital. Volume 11. Jakarta: RSUD Koja. 2010.
Halaman 75-8
4. Ndraha S. Original article: Combination of PPI with a prokinetic drug in
gastroesophageal reflux disease. Acta Med Indones-Indones J Intern Med. Volume 43.
Jakarta : RSUD Koja, 2011
7. Pace F, et all. Does BMI affect the clinical efficacy of proton pump inhibitor therapy in
GERD? The case for rabeprazole. Eur J Gastroenterol Hepatol 2011;23: 845-51
27