You are on page 1of 27

Proposal Penelitian

Gambaran GERD Q Score pada Penderita GERD di RSUD Koja

Disusun Oleh :
Yudia Mahardika (102015203)
Steven Kristianto Yaputra (112016152)
Zebriyandi (102016211)
Theo Nalmiades Ambra (102016280)
Cahyo Aji Raharjo (102016221)

Pembimbing :
dr. Suzanna Ndraha, Sp. PD-KGEH

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


PERIODE 25 SEPTEMBER 2017 – 2 DESEMBER 2017
RSUD KOJA

1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit refluks gastroe`sofageal (Gastroesophageal reflux disease/ GERD) adalah


suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus
melebihi jumlah normal, dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus,
faring, laring dan saluran nafas.1
Diagnosis GERD banyak dijumpai di tempat praktek dokter pelayanan primer dan
memberikan prevalensi tinggi pada populasi umum. Pada individu yang memiliki gejala-
gelaja , kualitas hidup tidak mengalami gangguan sampai akhirnya pasien mencari
pengobatan. Pasien dengan GERD lainnya melaporkan gejala yang secara substansial
mempengaruhi kebiasaan makan, olah raga atau tidur.
GERD dapat terjadi pada semua umur tetapi kebanyakan terjadi pada usia diatas 40
tahun. Walaupun kematian yang disebabkan oleh GERD sangat jarang terjadi, gejala dari
GERD mungkin memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup penderita.
Dalam populasi barat, kisaran prevalensi untuk GERD adalah 10% sampai 20% dari
populasi. Prevalensi dari GERD bervariasi tergantung dari wilayah geografis, tetapi
negara barat merupakan wilayah dengan kasus GERD tertinggi. Kecuali selama
kehamilan dan kemungkinan GERD, tidak timbul perbedaan yang signifikan pada kasus
antara pria dan wanita. GERD cenderung terjadi pada wanita. Walaupun jenis kelamin
tidak memberikan perbedaan yang signifikan pada terjadinya GERD. Prevalensi GERD di
Asia relatif rendah dibandingkan negara maju. Di Amerika, hampir 7% populasi
mempunyai keluhan heart burn dan 20-40% diperkirakan menderita GERD. Prevalensi
esofagitis di Negara Barat berkisar 10-20% sedangkan di Asia hanya 3-5%, terkecuali
Jepang dan Taiwan (13-15%). Tidak ada predileksi gender pada GERD, laki-laki dan
perempuan mempunyai resiko yang sama, namun insidens esogafitis pada laki-laki lebih
tinggi (2:1 sampai 3:1).2
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium atau
retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar
(heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan
makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah.1,2

2
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Koja. GERD Q Score pada
setiap penderita GERD tentu berbeda-beda, oleh sebab itu peneliti ingin mengetahui
gambaran GERD Q Score pada penderita GERD di Poli Penyakit Dalam RSUD Koja.

1.2 Rumusan Masalah


Berbedanya GERD Q Score pada setiap penderita GERD. Maka dirumuskan masalah
penelitian sebagai :“Bagaimana gambaran GERD Q score pada penderita GERD di Poli
Penyakit Dalam RSUD Koja?”

1.3 Pertanyaan Penelitian


1.3.1 Pertanyaan Umum
1.3.1.1 Bagaimana gambaran GERD Q score pada penderita GERD di Poli Penyakit Dalam
RSUD Koja?
1.3.2 Pertanyaan Khusus
1.3.2.1 Berapa rata-rata pengunjung Poli Penyakit Dalam RSUD Koja setiap harinya?
1.3.2.2 Berapa persen dari pengunjung Poli Penyakit Dalam RSUD Koja yang memiliki
keluhan regurgitasi dan heartburn?
1.3.2.3 Berapa persen dari pengunjung Poli penyakit Dalam RSUD Koja yang memiliki
keluhan regurgitasi dan heartburn yang memenuhi kriteria GERD Q Score?

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
1.4.1.1 Diketahui gambaran GERD Q score pada penderita GERD di Poli Penyakit Dalam
RSUD Koja.
1.4.2 Tujuan Khusus
1.4.2.1 Diketahui rata-rata pengunjung Poli Penyakit Dalam RSUD Koja setiap harinya.
1.4.2.2 Diketahui persentase pengunjung Poli Penyakit Dalam RSUD Koja yang memiliki
keluhan regurgitasi dan heartburn.
1.4.2.3 Diketahui persentase pengunjung Poli Penyakit Dalam RSUD Koja yang memiliki
keluhan regurgitasi dan heartburn yang memenuhi kriteria GERD Q Score

1.5 Manfaat Penelitian


 Peneliti dan pembaca mendapatkan pengetahuan mengenai GERD dan cara
menskoring GERD (dengan GERD Q Score).
 Sebagai informasi tambahan mengenai GERD Q Score pada penderita GERD di
Poli Penyakit Dalam RSUD Koja.
 Pasien dapat mengenali gejala awal dan faktor resiko dari GERD serta mendapat
edukasi mengenai GERD.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Diagnosis GERD banyak dijumpai di tempat praktek dokter pelayanan primer dan
memberikan prevalensi tinggi pada populasi umum. Pada individu yang memiliki gejala-
gelaja , kualitas hidup tidak mengalami gangguan sampai akhirnya pasien mencari
pengobatan. Pasien dengan GERD lainnya melaporkan gejala yang secara substansial
4
mempengaruhi kebiasaan makan, olah raga atau tidur.

Penyakit refluks gastroe`sofageal (Gastroesophageal reflux disease/ GERD) adalah


suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus
melebihi jumlah normal, dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus,
faring, laring dan saluran nafas. GERD dan sindrom dispepsia mempunyai prevalensi
yang sama tinggi, dan seringkali muncul dengan simptom yang tumpang tindih sehingga
menyulitkan diagnosis. 1

2.2. Epidemiologi

GERD dapat terjadi pada semua umur tetapi kebanyakan terjadi pada usia diatas 40
tahun. Walaupun kematian yang disebabkan ole GERD sangat jarang terjadi, gejala dari
GERD mungkin memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup penderita.
Dalam populasi barat, kisaran prevalensi untuk GERD adalah 10% sampai 20% dari
populasi. Prevalensi dari GERD bervariasi tergantung dari wilayah geografis, tetapi
negara barat merupakan wilayah dengan kasus GERD tertinggi. Kecuali selama
kehamilan dan kemungkinan GERD, tidak timbul perbedaan yang signifikan pada kasus
antara pria dan wanita. GERD cenderung terjadi pada wanita. Walaupun jenis kelamin
tidak memberikan perbedaan yang signifikan pada terjadinya GERD. Prevalensi GERD
di Asia relatif rendah dibandingkan negara maju. Di Amerika, hampir 7% populasi
mempunyai keluhan heart burn dan 20-40% diperkirakan menderita GERD. Prevalensi
esofagitis di Negara Barat berkisar 10-20% sedangkan di Asia hanya 3-5%, terkecuali
Jepang dan Taiwan (13-15%). Tidak ada predileksi gender pada GERD, laki-laki dan
perempuan mempunyai resiko yang sama, namun insidens esogafitis pada laki-laki lebih
tinggi (2:1 sampai 3:1), begitu pula Barrett’s esofagitis lebih banyak dijumpai pada laki-
laki (10:1). GERD dapat terjadi di segala usia. namun prevalensi meningkat pada usia di
atas 40 tahun.2

2.3. Etiologi dan Patogenesis

Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat terjadi


sebagai akibat dari refluks gastroesofageal apabila: 1). terjadi kontak dalam waktu yang
cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus, 2). terjadi penurunan
resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu kontak antara bahan refluksat

5
dengan esofagus tidak cukup lama.1

Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang
dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal,
pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi
pada saat menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah.
Aliran balik dari gaster ke esofagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak
ada atau sangat rendah (<3 mmHg).1

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme: 1). Refluks
spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat, 2). aliran retrograd yang mendahului
kembalinya tonus LES setelah menelan, 3). meningkatnya tekanan intra abdomen.1

Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut


keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan
refluksat. Yang termasuk faktor defensif esofagus adalah:1,2

Pemisah antirefluks. Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Bentuk
anatomik SEB yang melipat berbentuk sudut dan kekuatan menutup dari sfingter
menjadikan SEB berperan penting dalam mekanisme antirefluks. Menurunnya tonus LES
dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograd pada saat terjadinya peningkatan
tekanan intrabdomen (saat batuk), proses gravitasi saat berbaring dan kelainan anatomis
seperti sliding hernia hiatal.1,2

Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Faktor-faktor
yang dapat menurunkan tonus LES: 1). adanya hiatus hernia, 2). panjang LES (makin
pendek LES, makin rendah tonusnya), 3). obat-obatan seperti antikolinergik, beta
adrenergik, theofilin, opiat dan lain-lain, 4). faktor hormonal. Selama kehamilan,
peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan tonus LES.1

Namun dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada


kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam terjadinya
proses refluks ini adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang
bersifat spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses menelan.
Belum diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa individu
diketahui ada hubungannya dengan pengosongan lambung 1 ambat (delayed gastric

6
emptying) dan dilatasi lambung.1

Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih kontroversial. Banyak
pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi ditemukan hiatus hernia, namun hanya
sedikit yang memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat
memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esofagus serta
menurunkan tonus LES.1

Bersihan asam dari lumen esofagus. Bersihan asam dari lumen esofagus adalah
kemampuan esofagus untuk membersihkan dirinya dari bahan refluksat. Faktor-faktor
yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi, peristaltik esofagus
primer, peristaltik esofagus sekunder (saat menelan), ekresi air liur dan bikarbonat.1,2

Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan
dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh
bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esofagus.1

Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara bahan refluksat
dengan esofagus (waktu transit esofagus) makin besar ketnungkinan terjadinya
esofagitis. Pada sebagian pasien GERD ternyata memiliki waktu transit esofagus yang
normal sehingga kelainan yang timbul disebabkan karena peristaltik esofagus yang
minimal.1

Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan kerusakan
esofagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak aktif.1

Ketahanan epitelial esofagus. Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak
memiliki lapisan tnukus yang melindungi mukosa esofagus. Mekanisme ketahanan
epitelial esofagus terdiri dari:1

 Membran sel
 Batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan
esofagus.
 Aliran darah esofagus yang mensuplai nutrien, oksigen dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO.
 Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion dan Cl intraseluler

7
dengan Na' dan bikarbonat ekstraseluler.
Nikotin dapat menghambat transport ion Na melalui epitel esofagus, sedangkan alkohol
dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H Yang dimaksud dengan
faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang menambah
potensi daya rusak` refluksat terdiri dari HC1, pepsin, garam empedu, enzim pankreas.1
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya. Derajat
kerusakan mukosa esofagus maki`n meningkat pada pH <2, atau adanya pepsin atau
garam empedu. Namun dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak paling
tinggi adalah asam.1

Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di
lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain: dilatasi lambung
atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.1

Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang
didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara infeksi H.
pylori dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian esofagitis, Barrett's
esophagus dan adenokarsinoma esofagus. Pengaruh dari infeksi H.pylori terhadap GERD
merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam
lambung. Pengaruh eradikasi infeksi H.pylori sangat tergantung kepada distribusi dan
lokasi gastritis. Pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H.
pylori dengan predominant antral gastritis, pengaruh eradikasi H.pylori dapat menekan
munculnya gejala GERD. Sementara itu pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala
refluks pra-infeksi H.pylori dengan corpus predominant gastritis, pengaruh eradikasi
H.pylori dapat meningkatkan sekresi asam lambung serta memunculkan gejala GERD.
Pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra infeksi H. pylori dengan antral
predominant gastritis, eradikasi H.pylori dapat memperbaiki keluhan GERD serta
menekan sekresi asam lambung. Sementara itu pada pasien-pasien dengan gejala GERD
pra-infeksi H.pylori dengan corpus predominant gastritis, eradikasi H.pylori dapat
memperburuk keluhan GERD serta meningkatkan sekresi asam lambung. Pengobatan
PPl jangka panjang pada pasien-pasien dengan infeksi H. pylori dapat mempercepat
terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi H. pylori
dianjurkan pada pasien GERD sebelum pengobatan PPI jangka panjang.1

Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa non-acid reflux turut

8
berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD. Yang dimaksud dengan non-acid
reflux antara lain berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asam atau refluks gas. Dalam
keadaan ini, timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas viseral.1

2.4. Manifestasi Klinik

Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium
atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa
terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan
makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat
ringannya keluhan heartburn ternyata tidak berkorelasi dengan temuan endoskopik.
Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrostemal yang mirip dengan keluhan pada serangan
angina pektoris. Disfagia yang timbul saat makan makanan padat mungkin terjadi karena
striktur atau keganasan yang berkembang dari Barrett:v esophagus. Odinofagia (rasa
sakit pada waktu menelan makanan) bisa timbul jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang
berat.1,2
GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esofageal yang atipik dan
sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest pain/NCCP),
suara serak, larifigitis, erosi gigi, batuk kronik, bronkiektasis atau asma. Di lain pihak,
beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk timbulnya GERD karena
timbulnya perubahan anatom is di daerah gastroesophageal high pressures cone akibat
penggunaan obat-obatan yang menurunkan tonus LES (misalnya theofilin).1,3

Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode akut
atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu, umumnya pasien dengan
GERD memerlukan penatalaksanaan secara medik.1

2.5. Diagnosis

Di samping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa pemeriksaan


penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD, yaitu:1

Endoskopi saluran cerna bagian atas. Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian
atas merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal
break di esofagus (esofagitis refluks).1-3

Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan makroskopik dari

9
mukosa esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat
menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan
endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini
disebut sebagai non-erosive reflux disease (NERD).1

Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan dengan


pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat mengkonfirmasikan bahwa gejala heartburn
atau regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD.1

Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrett's esophagus, displasia


atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan
histopatologi/biopsi pada NERD.1

Tabel 1. Klasifikasi Los Angeles1

Gambaran Endoskopi

A. Erosi kecil-kecil pada mukosa esofagus dengan diameter < 5mm

B. Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter >5mm tanpa saling


berhubungan

C. Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh lumen

D. Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial (mengelilingi seluruh lumen


esofagus)

Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi dari pasien
GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan klasifikasi Savarry-Miller.1

Bila pada penerita dengan keluhan GERD ternyata tidak ditemukan kelainan pada
endoskopi SCBA makan diagnosis menjadi NERD (Non erosive refluks disease).
Kesulitan dapat terjadi dalam membedakan dispepsia fungsional dengan NERD karena
sama-sama mempunyai hasil endoskopi normal. Apalagi dalam klinis GERD/NERD
sendiri mempunyai simptom tumpang tindih dengan sindrom dispepsia dan dapat muncul
bersama dispepsia.2

Esofagografi dengan barium. Dibandingkan dengan endoskopi,

10
pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan,
terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiologi
dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus atau penyempitan lumen.
Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitif untuk diagnosis GERD, namun pada
keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada 1).
stenosis esofagus derajat ringan akibat esofagitis peptik dengan gejala disfagia, 2). hiatus
hernia.1

Pemantauan pH 24 jam. Pemeriksaan baku emas untuk mendiagnosis GERD


berdasarkan konsensus Montreal tahun 2006 adalah pemantauan pH esofagus selama 24
jam. Namun pemeriksaan ini tidak mudah dilakukan di banyak pusat kesehatan karena
memerlukan alat dan keahlian khusus.2

Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esofagus. Episode


ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada bagian
distal esofagus. Pengukuran pH pada esofagus bagian distal dapat memastikan ada
tidaknya refluks gastroesofageal. pH di bawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap
diagnostik untuk refluks gastroesofageal.1

Tes Bernstein. Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang
transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HC10,1 M dalam waktu
kurang dari satu jam. Test ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada
pasien-pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri
dada seperti yang biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaC1 tidak menimbulkan
rasa nyeri, maka test ini dianggap positif. Test Bernstein yang negatif tidak
menyingkirkan adanya nyeri yang berasal clad esofagus.1

Manometri esofagus. Test manometri akan memberi manfaat yang berarti jika pada
pasien-pasien dengan gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan
esofagografi barium dan endoskopi yang normal.1

Sintigrafi gastroesofageal. Pemeriksaan ini menggunakan cairan atau campuran


makanan cair dan padat yang dilabel dengan radioisotop yang tidak diabsorpsi, biasanya
technetium. Selanjutnya sebuah penghitung gamma (gamma counter) eksternal akan
memonitor transit dari cairan/ makanan yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas
test ini masih diragukan.1

11
Tes penghambat pompa proton (Proton Pump Inhibitor /PPI Testi (tes supresi asam)
Acid Supression Test. Pada dasarnya test ini merupakan terapi empirik untuk menilai
gejala dari GERD dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil
melihat respons yang terjadi. Test ini terutama dilakukan jika tidak tersedia modalitas
diagnostik seperti endoskopi, pH metri dan lain-lain. Test ini dianggap positif jika
terdapat perbaikan dari 50%-75% gejala yang terjadi. Dewasa ini terapi empirik /PP/ test
merupakan salah satu langkah yang dianjurkan dalam algoritme tatalaksana GERD pada
pelayanan kesehatan lini pertama untuk pasien-pasien yang tidak disertai dengan gejala
alarm (yang dimaksud dengan gejala alarm adalah: berat badan turun, anemia,
hematemesis/melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga dengan kanker esofagus/
lambung) dan umur >40 tahun.1

2.6. Sistem Skala Gejala GERD Berdasarkan Kuesioner

Di sarana kesehatan yang belum mampu melakukan pemerikjsaan endoskopi SCBA,


wawancara dengan kuesionar khusus juga dapat digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis dan memantau keberhasilan terapi GERD. Kuesioner juga
membantu bila pasien menolak tindakan endoskopi.3

Secara umum, skala pengukuran gejala dapat digunakan untuk tujuan diagnostik,
prediktif, atau evaluatif. Jika skala tersebut bertujuan diagnostik, maka kuesioner yang
digunakan haruslah bersifat sangat spesifik terhadap jenis penyakit yang dimaksud, yang
tergambar dari pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner, sekaligus mengeksklusikan
penyakit lain dengan probabilitas prediksi yang tinggi.3

Selain karena gejala-gejala pada pasien GERD yang seringkali tidak menunjukkan
gejala khas (heartburn, regurgitasi) sehingga menyulitkan untuk diagnosis akurat, banyak
pasien GERD tidak memiliki kelainan gambaran endoskopi, sehingga evaluasi tingkat
keparahan gejala, kualitas hidup serta respon terapi menjadi sangat penting. Kuesioner
berisi gejala-gejala yang dinilai oleh pasien sendiri saat ini merupakan instrumen kunci
pada berbagai penelitian klinis. Di antara banyak kuesioner diagnostik yang banyak
digunakan adalah Questionnaire for the Diagnosis of Reflux Esophagitis (QUEST),
Frequency Scale for the Symptoms of GERD (FSSG), Reflux Questionnaire (ReQuest),
Reflux Disease Questionnaire (RDQ), dan yang baru dikembangkan tahun 2009 yaitu
GerdQ Questionnaire.3

12
Kuesioner GerdQ, yang dikembangkan oleh Jones dkk., termasuk kuesioner
terbaru, yang diolah dari RDQ, Gastrointestinal Symptom Rating Scale (GSRS) dan
Gastroesophageal Reflux Disease Impact Scale (GSIS). GerdQ terdiri dari enam
pertanyaan sederhana meliputi gejala refluks dispepsia dan konsumsi obat untuk
mengatasi gejala sebagaimana terlihat pada gambar 1. Nilai cut-off untuk GerdQ
adalah 8 poin yang merepresentasikan diagnosis GERD. Hasil penelitian tersebut
memperlihatkan bahwa GerdQ berpotensi sebagai alat bantu diagnostik GERD bagi
dokter umum dengan akurasi yang sama dengan diagnosis yang dibuat oleh
gastroenterologist. 3
Gambar 1. Pertanyaan pada Gerd Q kuesioner

2.7. Komplikasi

Komplikasi yang dapat disebabkan oleh GERD adalah :1-3


 Esofagitis
 Penyempitan esofagus karena jaringan parut
 Luka pada esofagus
 Barret Esofagus

2.8. Penatalaksanaan

Walaupun keadaan ini jarang sebagai penyebab kematian, mengingat kemungkinan


timbulnya komplikasi jangka panjang berupa ulserasi, striktur esofagus ataupun

13
esofagus Barrett yang merupakan keadaan premaligna, maka seyogyanya penyakit ini
mendapat penatalaksanaan yang adekuat.1

Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi
medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik. 1
Target penatalaksanaan GERD adalah: a). menyembuhkan lesi esofagus, b).
menghilangkan gejala/keluhan, c). mencegah kekambuhan, d). memperbaiki kualitas
hidup, e). mencegah timbulnya komplikasi. 1

2.8.1.Modifikasi Gaya Hidup


Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dan penatalaksanaan GERD,
namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang
dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan
untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan.1

Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah sebagai
berikut: 1) Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan
sebelum tidur dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta
mencegah refluks asam dari lambung ke esofagus; 2). Berhenti merokok dan
mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga
secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel; 3). Mengurangi konsumsi lemak
serta mengurangi jumlah makanan yang dimakan karena keduanya dapat
menimbulkan distensi lambung; 4). Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan
serta menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intra abdomen; 5).
Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi dan minuman
bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam; 6). Jika memungkinkan menghindari
obat-obat yang dapat menurunkan tonus LES seperti anti kolinergik, teofilin, diazepam,
opiat, antagonis kalsium, agonist beta adrenergik, progesteron. 2

2.8.2. Terapi Medikamentosa


Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada
penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini
GERD merupakan atau termasuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cerna bagian
atas. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi supresi
asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik untuk memperbaiki

14
gangguan motilitas. 1

Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step down.
Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang
kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H,) atau golongan prokinetik, bila
gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi
lebih lama (penghambat pompa proton atau PPI). Sedangkan pada pendekatan step
down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan
terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis
reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antasid. 1

Dan berbagai studi dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down ternyata
lebih ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan pasien) dibandingkan dengan
pendekatan terapi step up.1
Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang
p`enatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk
GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step down.1
Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan
di atas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan
terapi pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan terapi "bila perlu" (on
demand therapy) yaitu pemberian obat - obatan selama beberapa hari sampai dua
minggu jika ada kekambuhan sampai gejala hilang.1

Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala


menandakan adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan
esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif
dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD sebagaimana pada Tabel 2.1
2.8.2.1. Proton Pump Inhibitor dan Obat-obatan prokinetik.
Konsensus nasional tahun 2004 untuk Gastroesofageal reflux disease (GERD)
telah menyebutkan bahwa pengobatan di Indonesia dengan PPI adalah obat
yang paling efektif untuk mengobati GERD, dibandingkan dengan antasida,
prokinetik dan H2 bloker reseptor. PPI bekerja dengan menghambat sekresi ion
H+ oleh sel parietal. PPI memiliki beberapa efek samping, tetapi dapat
ditoleransi dengan penggunaan jangka panjang. PPI harus diberikan selama 8
minggu sebagai pengobatan awal GERD. Karena keunggulan dan keefektifan
PPI maka terapi GERD harus dimulai dengan PPI. Namun dalam beberapa

15
kasus pemberian PPI saja tidak cukup untuk mengatasi gejala GERD.
Kombinasi PPI dan prokinetik akan lebih baik digunakan untuk beberapa
pasien GERD.
Miyamoto mengatakan bahwa skor FSSG adalah salah satu faktor yang
berhubungan dengan kegagalan monoterapi PPI, selain jenis kelamin
perempuan, mengkonsumsi alkohol dan obesitas. Dengan demikian, GERD
dengan skor FSSG yang tinggi membutuhkan kombinasi terapi PPI dengan
prokinetik untuk mendapatkan hasil yang memuaskan

2.8.2.2. Terapi lainnya :


1. Antagonis reseptor H 2 yang termasuk golongan obat ini adalah simetidin,
raniditin, famotidin dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat
ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan
dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini
hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta
tanpa komplikasi. Dosis pemberian:1
- Simetidin 2 x 800 mg atau 4 x 400 mg
- Ranitidin 4 x 150 mg
- Famotidin 2 x 20 mg
- Nizatidini 2 x 150 mg

2. Antasid. Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan
gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai
buffer terhadap HC1, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter
esofagus bagian bawah. Kelemahan golongan obat ini adalah 1). Rasanya
kurang menyenangkan, 2). Dapat menimbulkan diare terutama yang
mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang
mengandung alumunium, 3). Penggunaannya sangat terbatas pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Dosis: sehari 4 x 1 sendok makan.1

3. Prokinetik. Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD
karena penyakit ini dianggap lebih condong ke arah gangguan motilitas.
Namun pada prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung kepada

16
penekanan sekresi asam.1 Domperidon, golongan obat ini adalah
antagonis reseptor dopamin dengan efek samping yang lebih jarang
dibanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah otak.
Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan
penyembuhan lesi esofageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini
diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat
pengosongan lambung. Dosis: 3 x 10-20 mg sehari1

4. Penghambat pompa proton (Proton pump inhibitor/PPI), golongan ini


merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD. Golongan obat-
obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan
mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir
proses pembentukan asam lambung. Obat-obatan ini sangat efektif dalam
menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada
esofagitis erosiva derajat berat serta yang refrakter dengan golongan
antagonist reseptor H2. Dosis yang diberikan untuk GERD adalah dosis
penuh, yaitu:
- Omeprazole : 2 x 20 mg
- Lansoprazole : 2 x 30 mg
- Pantoprazole : 2 x 40 mg
- Rabeprazole : 2 x 10 mg
- Esomeprazole : 2 x 40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang
dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy)
selama 4 bulan atau on demand therapy, tergantung dari derajat
esofagitisnya.1
Efektivitas golongan obat ini semakin bertambah jika dikombinasi dengan
golongan prokinetik.1
Umumnya pengobatan diberikan selama minimal 4 minggu, dilanjutkan
dengan on demand therapy. Terdapat beberapa algoritme dalam
penatalaksanaan GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama, salah satu
di antaranya adalah yang direkomendasikan dalam Konsensus Nasional
untuk Penatalaksanaan GERD di Indonesia (2004)..1

17
Tabel 2. Efektivitas Pengobatan Pada Pasien GERD

Golongan Obat Mengurangi Penyembuhan Lesi Mencegah Mencegah


Gejala Esofagus Komplikasi Kekambuhan
Antasid +1 0 0 0
Prokinetik +2 +1 0 +1
Antagonis H2 +2 +2 +1 +1
reseptor
Antagonis H2 +3 +3 +1 +1
reseptor dan
prokinetik
Dosis besar +3 +3 +2 +2
antagonis H2
reseptor
PPI +4 +4 +3 +4
Pembedahan +4 +4 +3 +4

2.9. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi GERD


2.9.1. Umur

Umur adalah lamanya waktu hidup yang terhitung sejak lahir sampai dengan
sekarang. Secara fisiologis pertumbuhan dan perkembangan seseorang dapat
digambarkan dengan pertambahan kemampuan motorik sesuai dengan tumbuh
kembangnya. Akan tetapi pertumbuhan dan perkembangan seseorang pada titik
tertentu akan terjadi kemunduran akibat faktor degeneratif.1

Umur dapat mempengaruhi terjadinya GERD, karena seiring dengan pertambahan


umur maka produksi saliva, yang dapat membantu penetralan pH pada esofagus,
berkurang sehingga tingkat keparahan GERD dapat meningkat.4

Pada usia >40 tahun terjadi peningkatan insiden GERD, sehingga pada penelitian ini
membagi umur menjadi 2 kelompok yaitu < 40 tahun dan ≥ 40 tahun.5

2.9.2. Jenis kelamin

Wanita sedikit lebih banyak terpengaruh oleh GERD daripada laki-laki. Alasan
perempuan lebih rentan untuk menderita GERD mungkin terkait dengan hormon
wanita. Tubuh wanita memproduksi hormon estrogen dan progesterone. Salah satu

18
dari banyak fungsi hormon ini adalah untuk mengendurkan otot dalam tubuh.
Ketika bagian tubuh terkena hormon, termasuk otot-otot di saluran pencernaan,
mereka juga akan terpengaruh. Di bawah pengaruh estrogen dan progesterone,
kerongkongan dan perut menjadi sedikit lebih rileks dan kendor dan mempengaruhi
kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan mereka.1

Studi ini menemukan bahwa pasien perempuan dengan GERD yang dominan
dibandingkan dengan laki-laki. Penelitian 3378 pasien dengan GERD, dan
mendapat rasio laki-laki: perempuan adalah 1: 1,3. 11 Di Jepang, Miyamoto
mempelajari 163 pasien dengan GERD, 99 orang (60,7%) adalah wanita.
Keberhasilan terapi tunggal PPI ditemukan pada pria, tidak merokok dan tidak
obesitas memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan terapi tunggal PPI pada
wanita.6
2.9.3. Gejala klinis
Manifestasi klinis GERD dapat berupa gejala yang tipikal (esofagus) dan gejala
atipikal (ekstraesofagus). Gejala GERD 70% merupakan tipikal, yaitu: heartburn
dan regurgitasi. Gejala atipikal (ekstraesofagus) seperti batuk kronik dan kadang
wheezing, suara serak, pneumonia asmpirasi, fibrosis paru, bronkiektasis, dan nyeri
dada nonkardiak.7

Menurut penelitian gejala yang khas dan yang paling sering dijumpai yaitu heart
burn dan regurgitasi, merupakan keluhan yang bermakna dihubungkan dengan
GERD dengan sensitivitas 93% dan spesifisitas 71%.4

2.9.4. Indeks Massa Tubuh

IMT adalah hasil penghitungan tinggi dan berat badan seseorang, dihitung dengan
membagi berat badan (dalam kilogram) dengan tinggi badan dikuadratkan (dalam
meter2). WHO membagi kategori berat badan menurut Indeks Massa Tubuh (IMT)
menjadi beberapa kelompok. Seseorang dikatakan normal jika memiliki IMT 18.5–
22,9, overweight jika memiliki IMT 23–29,9, dan obesitas jika memiliki IMT lebih
dari atau sama dengan 30. Kategori ini berlaku sama untuk laki-laki dan
perempuan.1

19
Secara tidak langsung, fungsi LES dipengaruhi ini terjadi karena akumulasi lemak
di jaringan adiposa perut. Peningkatan tekanan intraabdomen ini meregangkan LES
sehingga memungkinkan terjadinya refluks esofagus yang menyebabkan mukosa
esofagus terekspos oleh isi lambung.4

Hasil penelitian yang dilakukan Pace E, mengemukakan bahwa pemberian terapi


PPI yang berhubungan dengan indeks massa tubuh (IMT) memberikan efektivitas
yang sama saja baik pada IMT <25 kg/m 2 maupun ≥25 kg/m2 , sehingga pada
penelitian ini membagi menjadi dua kelompok yaitu IMT < 25 kg/m 2 dan IMT≥25
kg/m2 .7

2.9.5. Gaya Hidup

Gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam
aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri
seseorang” dalam berinteraksi dengan lingkungannya.1

Demikian halnya dengan gaya hidup yang salah dapat memengaruhi kesehatan
antara lain diet tinggi lemak, makan terlalu banyak, makan cepat selesai, makan
berbumbu tajam, rokok, pakaian ketat, stress emosi, kopi dan teh, dan berbaring
setelah makan. Diet lemak tinggi juga dapat mengembangkan GERD. Lemak di
perut memakan waktu lama untuk dicerna dan pindah ke dalam usus. Hal ini
menyebabkan stagnasi makanan di perut. Ini meningkatkan tekanan ternyata
mundur dan mungkin melemahkan LES. Merokok tembakau, alkohol, kafein
mengandung produk, seperti kopi atau cokelat, semua melemahkan LES menuju
gejala GERD. Stres dan gangguan emosional adalah penyebab untuk melemahnya
LES menuju gejala GERD.1

Pada penelitian ini karena tidak ditemukannya patokan yang membahas gaya hidup
sehat dan tidak sehat sehingga peneliti membagi 2 kelompok yaitu gaya hidup sehat
(<3 faktor resiko) dan gaya hidup tidak sehat (≥3 faktor resiko).

2.9.6. Terapi

20
Kombinasi PPI dan prokinetik akan lebih baik digunakan untuk beberapa pasien
GERD. PPI tidak stabil pada pH rendah, dismotilitas akan memperlambat
pengosongan lambung, yang mengakibatkan retensi PPI. Retensi PPI dalam perut
untuk waktu yang lama dapat menyebabkan efek gangguan penekan asam, sehingga
indikasi penggunaan obat prokinetik untuk meningkatkan kontraktilitas. Prokinetik
adalah agen yang meningkatkan tekanan sfingter esofagus bagian bawah (LESP),
meningkatkan peristaltik esofagus, dan meningkatkan pengosongan lambung.8

Miyamoto mengatakan bahwa skor FSSG adalah salah satu faktor yang
berhubungan dengan kegagalan monoterapi PPI, selain jenis kelamin perempuan,
mengkonsumsi alkohol dan obesitas. Dengan demikian, GERD dengan skor FSSG
yang tinggi membutuhkan kombinasi terapi PPI dengan prokinetik untuk
mendapatkan hasil yang memuaskan.6

2.10. Kerangka Teori

Epidemiologi

Definisi
Patofisiologi

` GERD Manifestasi
Klinik
Penatalaksanaan

Pemeriksaan Heartburn dan


Penunjang atau regurgitasi
PPI dan Terapi
Prokinetik lainnya
Anamnesis

GERD Q
21
Skor 1-7 Skor 8-18

2.11. Kerangka Konsep

Heartburn dan
atau regurgitasi

GERD Q

Skor 1-7 Skor 8-18

Memenuhi kriteria GERD


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Pada penelitian ini yang berjudul “GERD Q SCORE PADA PENDERITA


GERD DI RSUD KOJA”. Metode penelitian yang digunakan yaitu deskriptif dengan
pendekatan cross sectional.

3.2 Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan bertempat di Rumah Sakit Umum Daerah Koja pada
bulan Oktober 2017.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi

22
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang datang berobat ke
Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Koja pada bulan Oktober
2017.

3.3.2 Sampel
Adapun Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien yang datang
berobat ke poli penyakit dalam yang didiagnosis GERD di Rumah Sakit
Umum Daerah Koja.

3.3.3 Cara Pengambilan Sampel


Teknik sampling yang dipakai dalam penelitian ini adalah purposive
sampling. Dimana subjek yang dipakai adalah yang memenuhi kriteria inklusi
maupun eksklusi. Semua pasien yang datang kepoli penyakit dalam dan
didiagnosis GERD akan dianamnesis dengan pertanyaan yang ada di Gerd Q
Score,sampai jumlah sampel yang dibutuhkan terpenuhi.

3.3.4 Besar Sampel


Pada penelitian ini karena jumlah populasinya belum diketahui dan penelitian
ini menggunakan desain penelitian cross sectional, maka untuk mencari besar
sampelnya menggunakan rumus Lemeshow:

Keterangan :

n = jumlah sampel minimal yang diperlukan

z = derajat kepercayaan

p = pasien yang terdiagnosis GERD

q = 1-p (proporsi anak yang tidak diberi ASI secara eksklusif

d = limit dari error atau presisi absolut

Maka jika dilakukan perhitungan:

1.962 x 0,5 x 0,5 0.9604

n= = = 96.04

23
0,102 0.01

Jadi jumlah sampel pada penelitian ini adalah 96 orang, dibulatkan 97 orang.

3.3.5 Kriteria Eksklusi dan Inklusi

Kriteria inklusi:
1. Semua pasien yang datang berobat ke poli penyakit dalam dan
didiagnosis GERD di Rumah Sakit Umum Daerah Koja selama masa
penelitian.
2. Pasien yang kooperatif dalam anamnesis.

Kriteria Eksklusi:
1. Pasien yang berobat dipoli lain di Rumah Sakit Umum Daerah Koja.
2. Pasien yang dirawat di bangsal Rumah Sakit Umum Daerah Koja
namun didiagnosa GERD.
3. Pasien yang tidak kooperatif dalam anamnesis.

3.4 Identifikasi Variabel


Tabel 3.1 Tabel identifikasi variabel

Variabel Keterangan Cara Ukur Hasil Ukur Skala


GERD Variabel Terikat GERD Q Score GERD Nominal
Tidak DERD
Jenis kelamin Variabel Bebas Wawancara dan Laki-laki Nominal
melihat Perempuan

3.5 Batasan Oprasional


Adapun Batasan Oprasional dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Responden dalam penelitian ini adalah pasien yang sudah terdiagnosis GERD.
2. Waktu penelitian selama menjalankan kepanitraan klinik di Rumah Sakit Umum
Daerah Koja periode 25 September 2017 sampai dengan 2 Desember 2017.

24
3.6 Alur Penelitian

Menentukan populasi yaitu


seluruh pasien yang berobat
ke Poli Penyakit Dalam
RSUD Koja

Menentukan sampel yaitu


pasien yang memiliki
keluhan regurgitasi dan
Menskoring dengan GERD
heartburn
Q Score

Pencatatan data

Pembuatan laporan
penelitian

3.7 Cara Kerja


Cara kerja yang dilakukan dalam penelitian ini:
1. Menganamnesis seluruh pasien yang datang ke Poli Penyakit Dalam RSUD Koja
dan dicatat jumlahnya selama masa penelitian.
2. Pasien yang memiliki keluhan regurgitasi dan heartburn akan di skoring dengan
GERD Q Score.
3. Mencatat hasil skoring yang dilakukan dengan GERD Q Score. Dimana skor
dibawah 8 kemungkinan tidak menderita GERD dan skor 8-18 kemungkinan
menderita GERD.
4. Jika sampel sudah mencukupi maka dilanjutkan ke tahap penulisan data,
pembahasan dan kesimpulan.
3.8 Analisa Data
Penganalisisan penelitian melakukan pengambilan data dilakukan langkah-langkah
sebagai berikut:

25
1. Pengumpulan data melalui pertanyaan sesuai kriteria GERD Q Score dan
penelaahan dokumen
2. Langkah reduksi untuk memilih informasi yang susi dan tidak sesuai dengan
masalah penelitian
3. Penyajian data melalui table dan analisis presentase

4. Memberikan penafsiran atas penyajian dan data yang diperoleh

3.9 Jadwal Penelitian

Kegiatan 3 17 31 7 21 28
Oktober Oktober Oktober September September September
Proposal X

Pengumpulan X
Data
Pengolahan Data X X
Analisis Data X
Publikasi X

3.10 Anggaran Penelitian


Tidak ada biaya yang digunakan selama penelitan

Daftar Pustaka

1. Ndraha S. Bahan ajar gastroenterohepatologi. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Ukrida, 2013.h.21-4.

2. Mark H. Diagnosis of Gastroesofageal Reflux Disease. University of Georgia, Athens,


Georgia Am Fam Physician. 2010 May 15;81(10):1278-80. Diunduh tanggal 6 Oktober
2017

26
3. Ndraha S. Original article: Frequency scale for the symptoms of GERD score for
gastroesophageal reflux disease in Koja Hospital. Volume 11. Jakarta: RSUD Koja. 2010.
Halaman 75-8
4. Ndraha S. Original article: Combination of PPI with a prokinetic drug in
gastroesophageal reflux disease. Acta Med Indones-Indones J Intern Med. Volume 43.
Jakarta : RSUD Koja, 2011

5. Pluta R. Gastroesofageal reflux disease. Writer; Gabriela D. Perazza. Illustrator Intern;


Robert M. Golub, MD, Editor JAMA. 2011;305(19):2024. Diunduh tanggal 6 Oktober
2017

6. Guidelines advisory commitee. Summary of recommended guideline for the treatment of


gastroesophageal reflux disease in adults. Desember 2010. Diunduh tanggal 6 Oktober
2017

7. Pace F, et all. Does BMI affect the clinical efficacy of proton pump inhibitor therapy in
GERD? The case for rabeprazole. Eur J Gastroenterol Hepatol 2011;23: 845-51

27

You might also like