You are on page 1of 32

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seseorang dikatakan sehat apabila terdapat keseimbangan antara

keadaan mental, emosional, fisik, dan relasional (Manolache, 2013). Stres

merupakan respon fisiologis nonspesifik ekstrim yang dimiliki tubuh

terhadap suatu tekanan internal maupun eksternal. Stres yang berkelanjutan

dapat menyebabkan depresi, yaitu apabila seseorang tidak mampu

mengatasi stres yang dihadapi dalam waktu yang lama (Setiawati, 2015;

Manolache, 2013).

Kejadian yang menyebabkan stres bisa menimbulkan penyakit

psikosomatik, terutama pada orang dengan reaktivitas yang tinggi terhadap

stres (Manolache, 2013). Stres dapat mengeksaserbasi beberapa penyakit

kulit, salah satu diantaranya berupa akne (Gollnick, 2003). Stres, melalui

neuro-immuno-cutaneous system (NICS) dan hypothalamic-pituary-adrenal

(HPA) axis, menginduksi pelepasan neuropeptid dan hormon yang mampu

mengaktivasi sel-sel yang berperan dalam patogenesis akne. (Misery et al,

2015)

Akne vulgaris merupakan penyakit inflamasi kulit kronis yang

mengenai kelenjar pilosebasea dengan gambaran klinis berupa seborrhea,

komedo terbuka dan tertutup, papul, pustule, serta berbagai derajat jaringan

parut di tempat predileksi (Williams, 2012). Akne vulgaris merupakan

penyakit kulit yang umum, sering terdapat pada hampir 80% remaja dan

dewasa muda, mulai dari umur 11-30 tahun (Gollnick, 2003). Remaja yang

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 1


tengah mengalami pubertas paling sering mengalami akne vulgaris. Hal ini

diakibatkan oleh perubahan hormon yang terjadi pada tubuh, terutama

peningkatan hormon androgen, yang mengakibatkan pembesaran kelenjar

sebasea dan peningkatan sekresi sebum sehingga mengakibatkan

terbentuknya akne (Zouboulis, 2004).

Menurut catatan studi dermatologi kosmetika Indonesia, penderita

akne vulgaris di Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya,

yaitu 60% pada tahun 2006, 80% pada tahun 2007, dan 90% pada tahun

2009 (Afriyanti, 2015). Prevalensi tertinggi akne vulgaris terdapat di umur

14-17 tahun pada wanita (83-85%) dan pada umur 16-19 tahun pada pria

(95-100%), meskipun akne sudah muncul sejak umur 9 tahun (Tjekyan,

2008).

Selain karena mampu mengeksaserbasi akne, stres juga dapat menjadi

akibat dari akne (Dreno, 2006). Stres psikologis timbul akibat seseorang

merasa tidak mampu mengatasi suatu permasalahan atau tuntutan yang

dihadapi dengan kemampuan yang dimiliki oleh orang tersebut (Simandan,

2010). Akne pada wajah, sebagai suatu proyeksi diri ke dunia luar, dapat

merusak pencitraan diri, mempengaruhi keadaan psikologis, serta dapat

menghalangi kemampuan untuk bersosialisasi (Dreno, 2006). Masalah

sosial yang timbul di antaranya yaitu ansietas, depresi, rasa malu, disfungsi

sosial terutama rasa tidak percaya diri saat berkomunikasi dengan lawan

jenis, dan masalah psikosomatis berupa rasa sakit dan tidak nyaman (Tan,

2004). Penderita akne juga merasa lebih stres dibandingkan orang tanpa

akne (Misery et al, 2015).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 2


Penderita akne merasa hidup tidak menyenangkan, terutama karena

akne sering terjadi pada kelompok remaja yang belum siap menghadapi

dampak psikologis akne. Pada remaja awal, permasalahan psikososial pada

penderita akne vulgaris dikaitkan dengan berkembangnya persepsi body

image, seksualitas, dan sosialisasi (Tan, 2004). Akne sering terjadi pada

wajah sehingga berdampak pada pencitraan diri remaja terhadap

hubungannya dengan keluarga dan teman-temannya. Akan tetapi, dampak

psikologis akne tidak selalu berhubungan dengan derajat keparahan akne

tersebut, dikarenakan dampak psikologis yang terjadi pada setiap orang

berbeda-beda (Burns, 2005).

Remaja merupakan seseorang yang berusia 12-21 tahun yang tengah

mengalami peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa (Nasution,

2007). Pada masa remaja, banyak terjadi perubahan, mulai dari perubahan

psikologis seperti ledakan emosional dan suasana hati, keinginan untuk

diakui, serta perubahan tuntutan belajar yang lebih tinggi. Masalah

mengenai tuntutan belajar terutama mengenai siswa SMA sebagai pelajar

yang akan menuju jenjang perkuliahan, di mana mereka dituntut untuk dapat

bersaing dalam memasuki perguruan tinggi favorit (Taufik, 2013). Hasil

penelitian oleh Taufik dan Ifdil pada tahun 2013 menunjukkan bahwa

tingkat stres akademik siswa SMA Negeri kota Padang tergolong berada

dalam kategori tingkat stres akademik sedang yaitu sebesar 71,8%, disusul

oleh 13,2% di tingkat stres akademik tinggi dan 15% tingkat stres akademik

rendah.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 3


Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Padang merupakan sekolah dengan

lulusan-lulusan terbaik di kota Padang dari tahun ke tahunnya. Penelitian

sebelumnya oleh Bemi pada tahun 2016 juga menunjukkan bahwa sebanyak

56,45% siswa kelas 12 SMAN 1 Padang yang akan mengikuti UN

mengalami stres dengan tingkatan berbeda-beda dengan menggunakan

kuesioner DASS-42.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, peneliti

memilih SMAN 1 Padang sebagai lokasi penelitian dengan seluruh siswa

kelas 12 sebagai sampelnya.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana hubungan kejadian akne vulgaris dengan tingkat stres pada

siswa kelas 12 SMA Negeri 1 Padang?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan kejadian akne vulgaris dengan tingkat

stres pada siswa kelas 12 SMA Negeri 1 Padang.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui frekuensi dan distribusi kejadian akne vulgaris pada

siswa kelas 12 SMA Negeri 1 Padang.

2. Mengetahui frekuensi dan distribusi kejadian akne vulgaris pada

siswa kelas 12 SMA Negeri 1 Padang berdasarkan jenis kelamin.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 4


3. Mengetahui frekuensi dan distribusi tingkat stres siswa kelas 12

SMA Negeri 1 Padang.

4. Mengetahui frekuensi dan distribusi tingkat stres siswa kelas 12

penderita akne vulgaris di SMA Negeri 1 Padang.

5. Mengetahui hubungan tingkat stres dengan kejadian akne vulgaris

pada siswa kelas 12 SMA Negeri 1 Padang.

1.4 Manfaat Penelitian

a. Bagi Peneliti

Sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu mengenai pembuatan

penelitian yang telah dipelajari di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

b. Bagi Ilmu Pengetahuan

Memberikan sumber data mengenai hubungan tingkat stres dengan

kejadian akne vulgaris yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.

c. Bagi Masyarakat

Sebagai sarana untuk meningkatkan kesadaran pada masyarakat akan

tingkat stres pada remaja, khususnya siswa SMA, yang tidak hanya dapat

dicetuskan oleh hal besar, namun juga karena hal yang tampak kecil seperti

akne vulgaris.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 5


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Akne Vulgaris

2.1.1 Definisi Akne Vulgaris

Akne vulgaris atau jerawat merupakan penyakit peradangan kronis

pada unit pilosebasea yang bisa mengenai segala umur serta memiliki

dampak psikologis pada pasien (Tan, 2004). Akne vulgaris memiliki

gambaran klinis beragam, mulai dari komedo, papul, pustul, hingga nodus,

kista dan jaringan parut dengan disertai rasa gatal. Tempat predileksi akne

vulgaris antara lain wajah, leher, dada bagian atas, bahu, dan punggung

(Williams et al., 2012).

2.1.2 Epidemiologi Akne Vulgaris

Kunjungan pasien akne vulgaris per tahun mencapai lebih dari 3,5 juta

kasus. Akne vulgaris mengenai sebanyak 80% orang pada usia 11 sampai 30

tahun. Selama masa remaja, akne vulgaris lebih sering terjadi pada pria

daripada wanita. Sementara pada usia dewasa, akne vulgaris lebih sering

terjadi pada wanita. Sebanyak 20% penderita akne vulgaris mengalami

penyakit parah yang cenderung menyebabkan scarring berupa jaringan

parut (Mahto, 2017).

2.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko Akne Vulgaris

Faktor risiko dan gen yang terkait dengan prognosis akne dan

pengobatannya masih tidak jelas. Dua penelitian yang mirip telah

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 6


menunjukkan pentingnya faktor genetik untuk akne scar yang lebih parah.

Riwayat keluarga yang positif memiliki akne melipatgandakan risiko akne

yang signifikan, seperti yang terlihat dalam dalam penelitian terhadap 1002

anak berusia 16 tahun di Iran, dan heritabilitas akne adalah 78% pada

keluarga pertama yang memiliki akne. Akne muncul lebih awal pada anak

perempuan, namun lebih banyak anak laki-laki yang terkena selama

pertengahan usia remaja. Jerawat dapat terjadi pada usia lebih muda dan

lebih komedonal pada anak-anak kulit hitam daripada anak-anak kulit putih,

yaitu sejak awal pubertas (Williams et al, 2012).

Meskipun penelitian observasional sebelumnya menyarankan adanya

hubungan terbalik antara merokok dan akne, penelitian selanjutnya

menunjukkan bahwa akne yang parah meningkat dengan merokok.

Peningkatan resistensi insulin dan dehydroepiandrosterone serum tinggi

bisa menjelaskan adanya jerawat pada sindrom ovarium polikistik (Williams

et al, 2012).

Oklusi permukaan kulit dengan produk berminyak (pomade acne),

pakaian, dan keringat bisa memperburuk akne. Obat-obatan seperti anti-

epilepsi biasanya menghasilkan akne monomorfik, dan erupsi akne telah

dikaitkan dengan obat anti-kanker seperti gefitinib. Penggunaan steroid

anabolik untuk meningkatkan jumlah otot mungkin diremehkan, dan bisa

menyebabkan bentuk jerawat yang parah (Williams et al, 2012).

Jerawat tropis dapat terjadi pada personil militer yang ditugaskan pada

kondisi panas dan lembab. Paparan dioksin bisa mengakibatkan akne

komedonal parah (chloracne), namun tidak terkait dengan jerawat biasa.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 7


Diet, sinar matahari, dan kebersihan kulit semuanya telah terlibat dalam

akne, namun sedikit bukti yang mendukung atau membantah keterlibatan

faktor tersebut. Satu review sistematis menunjukkan bahwa produk susu

meningkatkan risiko akne, namun semua penelitian observasional termasuk

memiliki kekurangan yang signifikan (Williams et al, 2012).

Studi sebelumnya yang memberikan cokelat kepada remaja dalam

jumlah banyak untuk mencoba dan memprovokasi akne dianggap tidak

berpengaruh karena jumlah sampel yang terlalu sedikit dan waktu yang

terlalu singkat. Ketiadaan akne yang jelas pada orang-orang Papua Nugini

dan Paraguay telah menimbulkan pendapat bahwa beban glikemik tinggi

dalam makanan yang dikonsumsi orang Barat dapat berperan dalam akne,

mungkin melalui hiperinsulinemia yang menyebabkan peningkatan

androgen, peningkatan insulin-like growth-factor 1, dan mengubah sinyal

retinoid. Uji coba terkontrol secara acak yang menunjukkan bahwa diet

dengan kadar glisemik rendah dapat memperbaiki jerawat memberikan

dukungan awal untuk teori ini. Meskipun jerawat telah dikaitkan dengan

peningkatan massa tubuh, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa

menempatkan orang pada diet ketat mengurangi jerawat (Williams et al,

2012).

2.1.4 Patogenesis Akne Vulgaris

Terdapat empat proses yang berperan penting dalam pembentukan lesi

akne, yaitu mediator inflamasi yang dilepaskan ke kulit, perubahan proses

keratinisasi yang nantinya akan membentuk komedo, peningkatan produksi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 8


sebum di bawah pengaruh hormon androgen, dan kolonisasi bakteri

Propionibacterium acnes di folikel (Williams et al, 2012).

P acnes merupakan bakteri anaerob gram positif lemah non motil

berbentuk batang yang telah lama terlibat dalam patogenesis jerawat.

Penelitian oleh Leyden pada tahun 1975 dan 1998 serta penelitian oleh

Mourelatos pada tahun 2007 membuktikan bahwa terdapat jumlah P acnes

yang lebih tinggi pada kulit anak dan remaja dengan akne vulgaris

dibandingkan dengan yang tidak memiliki akne (Goldberg, 2012). Bakteri P

acnes yang merupakan flora normal dalam folikel kelenjar pilosebasea

mengadakan eksaserbasi, yang nantinya mengurangi kadar oksigen dalam

folikel, memecahkan trigliserida dalam sebum menjadi asam lemak bebas,

dan akhirnya terjadi kolonisasi P acnes. Kolonisasi P acnes inilah yang

diduga menimbulkan inflamasi pada kejadian akne vulgaris (Movita, 2013).

2.1.5 Gambaran Klinis Akne Vulgaris

Akne paling banyak terjadi di wajah dan leher (sebanyak 99%), tetapi

dapat terjadi pada punggung (60%), dada, juga bahu dan lengan atas.

Penyakit ini ditandai oleh lesi yang bervariasi, meskipun satu jenis lesi

biasanya lebih mendominasi (Movita, 2013).

Lesi yang biasa terjadi adalah komedo, papul, pustul, nodul dan kista.

Komedo adalah lesi jerawat yang paling dasar dan bisa berwujud terbuka

atau tertutup. Komedo tertutup (whiteheads) adalah folikel kecil yang isinya

tidak terkena permukaan kulit. Komedo terbuka (blackheads) adalah folikel

kecil dengan bukaan yang melebar ke kulit. Warna hitam merupakan hasil

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 9


dari oksidasi debris di dalam folikel. Papul berupa elevasi dari kulit yang

kecil dan berwarna merah. Pustul menyerupai papul namun berisi pus.

Nodul dan kista merupakan pembengkakan yang terasa sakit, biasanya

berukuran lebih dari 5 mm. Pada pemeriksaan dapat terlihat lesi kulit

lainnya yang berupa konsekuensi dari akne vulgaris, seperti termasuk bekas

luka (scar), eritema pasca-inflamasi atau hiperpigmentasi, dan keloid.

Hiperpigmentasi dan keloid lebih sering terjadi pada kulit yang lebih gelap

(Mahto, 2017).

Gambar 2.2 Gambaran komedo


terbuka dan tertutup pada dahi
Gambar 2.1 Gambaran lesi pasien (Goldberg, 2012).
berupa papul ekstensif
pada wajah pasien
(Goldberg, 2012).

Gambar 2.4 Bekas akne (scar)


Gambar 2.3 Pasien dengan (Goldberg, 2012).
akne nodulokistik
(Goldberg, 2012).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 10


2.1.6 Diagnosis Akne Vulgaris

Diagnosis dari akne vulgaris dapat ditegakkan bila ditemukan wujud

kelainan kulit berupa komedo, papul, pustul, nodul, dan jaringan parut.

Diagnosis dirumuskan dari anamnesis, pemeriksaan fisik yang memeriksa

gambaran lesi kulit, dan pemeriksaan lainnya (Sitohang, 2015).

2.1.7 Derajat Keparahan Akne Vulgaris

Dalam menentukan diagnosis, harus ditentukan juga derajat keparahan

akne vulgaris yang diderita pasien. Klasifikasi Lehmann mengenai derajat

keparahan akne vulgaris bersifat akurat, sederhana, tidak membutuhkan

waktu lama, dan dapat digunakan untuk semua tipe kulit. Metode ini

menghitung jumlah lesi komedo, lesi inflamasi, papul, pustul, nodus dan

total keseluruhan lesi (Lehmann et al, 2002).

Tabel 2.1: Derajat Akne Vulgaris Menurut Lehmann (Lehmann et al,


2002)
Derajat akne
Kriteria
vulgaris
Komedo kurang dari 20 atau lesi inflamasi
Ringan < 15 atau bila total keseluruhan lesi
kurang dari 30
Bila dijumpai 20-100 komedo atau 15-50
Sedang lesi inflamasi atau total keseluruhan lesi
30-125
Bila dijumpai lebih dari 5 kista atau lebih
dari 100 komedo, atau lebih dari 50 lesi
Berat
inflamasi atau total keseluruhan lesi lebih
dari 125

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 11


Gambar 2.5 Akne komedonal Gambar 2.6 Akne kistik berat
ringan pada wajah pasien (Goldberg, 2012).
(Goldberg, 2012).

2.1.8 Tatalaksana Akne Vulgaris

Pengobatan akne dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:

a) Pengobatan topikal

Pengobatan topikal merupakan terapi andalan dalam akne vulgaris.

Penggunaan obat topikal biasanya pada kasus-kasus yang ringan, namun

pada kasus sedang sampai berat atau kasus resisten, obat topikal juga

digunakan sebagai kombinasi dari obat sistemik yang dikonsumsi secara

oral. Meskipun sebagian besar agen topikal tertinggal di permukaan kulit,

beberapa jenis seperti pembersih, pencuci, dan masker wajah dibersihkan

hanya setelah kontak singkat, sehingga mengurangi penyerapan dan

kemungkinan efek sampingnya (Goldberg, 2012).

Beberapa obat topikal yang digunakan antara lain benzoil

peroksida, antibiotik (seperti klindamisin dan eritromisin), retinoid (seperti

adapalene, tretinoin, tazarotene, dan isotretinoin), azelaic acid, sulfur, dan

sodium sulfacetamide (Goldberg, 2012).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 12


b) Pengobatan sistemik

Indikasi umum untuk memulai terapi oral untuk akne vulgaris yaitu

pada pasien dengan jerawat sedang sampai parah, pasien dengan jerawat

yang resisten terhadap terapi topikal, pasien dengan jerawat rentan terhadap

jaringan parut, dan pasien dengan keterlibatan batang tubuh (Goldberg,

2012).

Obat yang digunakan pada pengobatan sistemik antara lain

antibiotik (seperti tetrasiklin dan azitromisin), isotretinoin, dan agen-agen

hormonal (seperti spironolakton dan kontrasepsi oral) (Goldberg, 2012).

2.1.9 Diagnosis Banding Akne Vulgaris

Akne vulgaris memiliki beberapa diagnosis banding, di antaranya

yaitu rosasea, akne venetata dan akne akibat rangsangan fisik, dermatitis

perioral, molluscum contagiosum, dan erupsi akneiformis (Kurniawati,

2014)

2.1.10 Prognosis Akne Vulgaris

Prognosis akne vulgaris umumnya baik dan akan sembuh sebelum

mencapai usia 30-40an (Sitohang, 2015). Namun, pada beberapa kasus,

seperti pada orang dengan akne yang sangat simptomatis (gatal dan sakit)

serta penderita dengan gangguan psikiatri seperti ansietas, depresi, dan OCD,

akne vulgaris bisa meninggalkan bekas yang sulit sembuh (acné excoriée

des jeunes filles). Pada penderita seperti ini, terapi harus dibarengi dengan

dukungan psikis (Plewig, 1975).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 13


Gambar 2.7 Bekas pada pasien dengan
acné excoriée des jeunes filles (Goldberg,
2012)

2.2 Stres

2.2.1 Definisi Stres

Stres didefinisikan sebagai respon fisiologis dari tubuh sebagai upaya

individu untuk beradaptasi terhadap situasi yang mengancam kestabilan

tubuh (Selye, 1956). Stres psikologis merupakan aspek lazim pada

kehidupan seorang individu yang dipicu oleh rangsangan berupa stresor

yang nantinya akan menghasilkan suatu reaksi di otak berupa persepsi

terhadap stress (Cacioppo et al, 1998).

Stres psikologis muncul ketika seorang individu merasa bahwa

kapasitas yang dirinya miliki tidak sanggup untuk menanggulangi beban

yang dituntut situasi yang dia hadapi (Cohen, 1995).

2.2.2 Stresor

Ancaman yang dirasakan setiap individu yang dapat memicu stres

disebut sebagai stresor. Respon terhadap stresor berbeda-beda pada setiap

individu, dan meskipun seorang individu dapat beradaptasi dengan stres

yang dirasakan, stres yang parah dan dibiarkan dalam waktu yang lama

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 14


dapat menyebabkan penyakit psikosomatis dan kerusakan jaringan (Selye,

1956).

2.2.3 Tingkat Stres

Tingkat stres merupakan tinggi rendahnya kondisi yang disebabkan

oleh reaksi dan persepsi seseorang pada beban dan tuntutan tertentu yang

berdampak pada emosional, fisik dan spiritual sehingga dapat mengganggu

kinerja seseorang dalam menjalankan aktifitasnya (Damanik, 2010).

Lovibond & Lovibond pada tahun 1995 menetapkan tingkat stress

sebagai berikut:

1. Stres normal

2. Stres ringan

3. Stres sedang

4. Stres berat

5. Stres sangat berat

Pengukuran tingkat stres menjadi lima tingkatan seperti di atas

dilakukan dengan menggunakan kuesioner Depression Anxiety Stress Scale

(DASS) yang terdiri atas 42 butir pertanyaan. Dari 42 item, dipilih

pernyataan yang sesuai untuk menilai tingkat stress. Tinggi atau rendahnya

tingkat stres ditentukan oleh tinggi rendahnya total nilai yang diperoleh.

Semakin tinggi total nilai yang diperoleh maka tingkat stresnya juga

semakin tinggi (Damanik, 2010).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 15


2.2.4 Mekanisme Stres

Pada kejadian stres akut, terjadi perubahan pada sistem saraf,

kardiovaskular, endokrin dan sistem imun. Perubahan pada berbagai sistem

ini merupakan respon stres biologis tubuh dan umumnya bersifat adaptif,

setidaknya dalam jangka pendek. Pelepasan hormon stres dan pola distribusi

energi baru merupakan aspek dalam membuat respon stres menjadi adaptif.

Aspek pertama, hormon stres dilepaskan agar membuat energi yang

tersimpan kembali tersedia untuk penggunaan yang cepat oleh tubuh. Aspek

kedua, energi dialihkan ke jaringan yang menjadi lebih aktif selama stres,

terutama otot rangka dan otak. Sel-sel imun juga diaktifkan dan bermigrasi

ke organ target. Aktifitas yang kurang mendesak ditunda, seperti pencernaan,

produksi hormon pertumbuhan dan hormon gonad (Schneiderman et al.,

2005).

Sebagian besar dari efek fisiologis dari stres dimediasi oleh dua sistem

neuroendokrin utama, yaitu hypothalamic-pituary-adrenal (HPA) axis dan

sistem saraf simpatis (Engeland, 2009).

Ketika stres dirasakan oleh korteks integratif, hormon pelepas

kortikotropin (CRH) disekresikan oleh inti paraventrikular hipotalamus ke

dalam sistem portal hipofisis. Ini menginduksi hipofisis anterior untuk

melepaskan hormon adrenokortikotropik (ACTH) ke dalam sirkulasi

sistemik yang akhirnya menyebabkan glukokortikoid dan epinefrin

dikeluarkan dari korteks adrenal. Sistem neuroendokrin ini dikenal sebagai

HPA axis, dan merupakan salah satu dari dua jalur stres utama.

Glukokortikoid primer pada manusia adalah kortisol, dan berfungsi untuk

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 16


mengatur aktivitas HPA axis melalui mekanisme umpan balik negatif, yang

ditargetkan pada reseptor glukokortikoid tipe II yang terletak di berbagai

daerah otak dan hipofisis. Aktivasi reseptor ini nantinya juga akan

menghambat pelepasan CRH dan ACTH, oleh karena itu sistem ini

beregulasi otomatis secara sendirinya (Engeland, 2009).

Stres telah terbukti mengganggu irama sirkadian dari kortisol yang

pada akhirnya dapat membuat respons terhadap inflamasi menjadi tidak

teratur. Di bawah tekanan stres yang berat, inflamasi sistemik tingkat rendah

bahkan dapat terjadi. Akibatnya, stres telah terbukti berperan dalam

permulaan, patogenesis, dan tingkat keparahan berbagai penyakit inflamasi,

termasuk penyakit radang usus besar, hipertensi, penyakit arteri koroner,

rheumatoid arthritis, psoriasis, dan asma. Banyak efek ini berasal langsung

dari tindakan glukokortikoid pada sel imun tubuh. Namun, stres juga

mengaktifkan sistem saraf simpatik yang merupakan jalur stres utama kedua

dan mengatur beberapa parameter kekebalan yang penting untuk

penyembuhan (Engeland, 2009).

2.2.5 Respon Kulit Terhadap Stres

Tekanan psikologis biasanya dipicu oleh stimulus berbahaya atau

stresor. Sebagai respon terhadap stresor, kulit mengaktifkan beberapa jalur,

yang menghasilkan peptida yang beragam pada tingkat lokal yang

melemahkan atau merangsang respon imunologis kutaneous. Proses ini

memungkinkan respon tidak hanya pada tingkat pusat tetapi juga pada

tingkat perifer. Melalui konduktornya, sumbu kontrol perifer ini mampu

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 17


mengatur sistem pigmen, imun, epidermis, kulit, dan adneksa (Rodriguez-

Vallecillo, 2014).

Otak dan kulit memiliki asal ektodermal yang sama, dan dipengaruhi

oleh hormon dan neurotransmiter yang serupa. Untuk membantu

mempertahankan homeostasis global, kulit memiliki jaringan komunikasi

paralel dan kompleks antara sistem neuroendokrin dan kekebalan tubuh,

yang telah dideskripsikan sebagai sistem Neuro-Immuno-Cutaneous (NICS)

(Rodriguez-Vallecillo, 2014).

Kulit dan organ-organ derivatnya berkemampuan untuk menghasilkan

mediator yang sama untuk berperan dalam respons sistemik terhadap stres.

Kulit juga tampak memiliki fungsi yang mirip dengan dari sistem aktivasi

stres melalui HPA axis (Hyphotalamus Pituitary Adrenal axis), termasuk

dengan pengekspresian hormon pelepas kortikotropin (CRH; Corticotropin

Releasing Hormone) dan reseptor-reseptornya (CRHR; Corticotropin

Releasing Hormone Reseptor). Stres akut dan pelepasan intradermal CRH

merangsang sel-sel kulit dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah

melalui aktivasi CRH-R1. Stres akut juga meningkatkan CRH kulit yang

dapat memicu permeabilitas vaskular sel mast sehingga mengalami

degranulasi (Ark et al, 2006).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 18


Gambar 2.8 Jalur persilangan otak dan kulit ketika terpapar stress
(Ark et al, 2006)

HPA axis merespons stres, baik itu fisiologis maupun psikologis,

dengan menghasilkan CRH hormon pelepas kortikotropin dan hormon

adrenokortikotropik (ACTH), yang merangsang pelepasan glukokortikoid

dari korteks adrenal. Banyak studi membuktikan, kelebihan glukokortikoid

memiliki banyak efek buruk pada semua jaringan, termasuk kulit. Efek yang

menonjol adalah atrofi jaringan, gangguan penyembuhan luka, dan

percepatan proses penuaan (Rodriguez-Vallecillo, 2014).

Saat menerima persepsi stres psikologis, respons stres utama di otak

mengarah pada aktivasi HPA axis, yang menyebabkan pelepasan CRH,

ACTH, dan prolaktin. Selanjutnya, terjadi upregulasi dari substansi P (SP)

dan calcitonin gene-related peptide (CGRP) di akar dorsal ganglia. Pola

respons stres tersebut dapat diterjemahkan ke dalam respons stres kulit,

termasuk produksi lokal CRH, ACTH, dan glukokortikoid, pelepasan

sitokin inflamasi, dan percikan substansi P di serat saraf. Dalam respon kulit

terhadap stres, sel mast menjadi penghubung utama, karena sel mast

merupakan target utama faktor pemicu stres serta sel efektor yang

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 19


berkontribusi, misalnya, terhadap peradangan neurogenik di kulit. Faktor

lingkungan juga mampu menimbulkan respons stres pada kulit, dan ini

mungkin ditandai ke otak, di mana faktor-faktor tersebut mempengaruhi

perilaku dan menyebabkan kerentanan meningkat terhadap persepsi stres

tambahan (Ark et al, 2006).

2.3 Hubungan Akne Vulgaris dengan Stres

2.3.1 Konsep Psikoneuroimmunologi

Berdasarkan kajian psikoneuroimmunologi, hubungan stres dan akne

vulgaris sebagai berikut:

1) Status emosi/stres psikologi menentukan fungsi sistem kekebalan.

Akne dapat digolongkan kepada penyakit psikodermatologi

kategori gangguan psikofisiologis; yaitu gangguan kulit yang

diperberat oleh adanya stres psikologi. Banyak peneliti percaya

terdapatnya peran psikologis dalam timbulnya akne. Selain

berhubungan dengan dampak psikologis yang dialami akibat

timbulnya akne misalnya rasa malu, kecemasan, rendah diri, dan

isolasi diri, akne juga dipercaya oleh beberapa peneliti dipengaruhi

oleh stres psikologis pada orang yang mempunyai kerentanan

terhadap timbulnya akne (Arck et al, 2006).

Selain itu, stres psikologis dapat memperlambat

penyembuhan luka hingga 40%, sehingga stres psikologi dapat

menjadi faktor dalam memperlambat penyembuhan akne (Chiu et

al, 2003).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 20


2) Stres dapat meningkatkan kerentanan tubuh terhadap infeksi dan

karsinoma (Chiu et al, 2003).

3) Pelepasan zat-zat neuroaktif yang dinduksi stres psikologi di dalam

epidermis dapat mengaktifkan proses inflamasi di kulit. Zat P

(neuropeptide sensory), sejenis neuropeptida yang dikeuarkan oleh

saraf perifer saat stres, yang memiliki peran dalam menstimulasi

proliferasi kelenjar sebasea dan mengatur sintesis lipid di kelenjar

sebasea (Chiu et al, 2003).

2.3.2 Pengaruh Stres terhadap Peningkatan Glukokortikoid dan

Androgen Adrenal

Beberapa penelitian membuktikan bahwa peningkatan hormon

glukokortikoid dan adrogen adrenal dapat memperparah akne dan dapat

menginduksi hiperplasia kelenjar sebasea yang terjadi selama stres psikologi

(Chiu et al, 2003).

2.3.3 Pengaruh Stres terhadap Peningkatan Testosteron

Kondisi stres akan merangsang hipotalamus melalui HPA axis yang

menyebabkan peningkatan hormon CRH, sehingga mengakibatkan

peningkatan produksi hormon androgen. Androgen yang terpenting dalam

stimulasi produksi sebum adalah testosteron dan akan dirubah menjadi

bentuk aktif yaitu 5α-Dihidrotestosterone (DHT) oleh enzim type I-5α

reductase. Dihidrotestosterone (DHT) adalah androgen yang paling poten

dalam merangsang hiperproliferasi keratinosit (Arck et al, 2006).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 21


BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Siswa SMA kelas 12

UN & Normal
SBMPTN
Ringan
Pelepasan
Tingkat Stres Sedang neuropeptide
dan aktivasi
Parah sel penyebab
Faktor-faktor akne vulgaris
Sangat
penyebab Akne
Parah
Vulgaris
1. Hormonal
2. Usia Patogenesis Akne
3. Psikis Vulgaris
4. Genetik
5. Kosmetik
6. Kebersihan
Produksi Sebum
Meningkat

Hiperproliferasi
folikel
Akne pilosebasea
Vulgaris Kolonisasi
Propionibacterium
acnes (PA)

Proses Inflamasi

Keterangan:

: Variabel diteliti

: Variabel tidak diteliti

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 22


Siswa SMA kelas 12 cenderung mengalami kenaikan tingkat stres,

yang disebabkan oleh tuntutan kelulusan ujian nasional dan persaingan

masuk perguruan tinggi yang ketat. Naiknya tingkat stres dari normal

menyebabkan pelepasan neuropeptide dan sel-sel penyebab akne, yang

nantinya berperan di dalam patogenesis akne.

Faktor-faktor lain juga akan ikut berperan dalam patogenesis akne

vulgaris, seperti hormon androgen yang meningkat saat pubertas pada masa

remaja, usia, genetik, penggunaan kosmetik, dan kebersihan wajah.

Faktor-faktor di atas selanjutnya dapat menyebabkan meningkatnya

produksi sebum pada kelenjar pilosebasea, yang diikuti oleh hiperproliferasi

folikel dan kolonisasi bakteri P acnes, yang nantinya akan menyebabkan

inflamasi dan terbentuknya akne vulgaris.

3.2 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan landasan teori yang ada, peneliti menarik hipotesis

berupa terdapat hubungan antara kejadian akne vulgaris dengan tingkat stres

pada siswa kelas 12 SMA Negeri 1 Padang.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 23


BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan cross-

sectional untuk mengetahui hubungan kejadian akne vulgaris dengan tingkat

stres.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Padang. Penelitian

dilaksanakan mulai bulan Oktober 2016 - Oktober 2017.

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas 12 SMA

Negeri 1 Padang Tahun Ajaran 2017/2018.

4.3.2 Sampel

Sampel penelitian adalah seluruh siswa kelas 12 SMA Negeri 1

Padang yang memenuhi:

1. Kriteria inklusi

a. Terdaftar sebagai siswa siswa kelas 12 SMA Negeri 1 Padang

Tahun Ajaran 2017/2018.

b. Hadir saat penelitian berlangsung.

c. Bersedia menjadi sampel penelitian.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 24


2. Kriteria Eksklusi

a. Tidak lengkap mengisi kuesioner yang diberikan.

4.3.3 Besar sampel

Desain penelitian ini merupakan studi analitik cross-sectional,

sehingga untuk menentukan sampel minimal dengan asumsi besar populasi

tidak diketahui digunakan rumus:

𝑍𝛼 2 𝑃𝑄
𝑛=
𝑑2

Keterangan:

𝑛 = besar sampel

𝑍𝛼 = deviat baku alfa (1,96 bila 𝛼 ∶ 5%)

𝑃 = Perkiraan proporsi penyakit yang diteliti pada populasi = 0,8

(Gollnick, 2003)

𝑄 =1−𝑃

𝑑 = tingkat ketepatan relatif 10%

Berdasarkan rumus di atas maka besar sampel minimal yang dapat

diambil dalam penelitian ini dapat dihitung sebagai berikut:

1,962 × 0,8 × (1 − 0,8)


𝑛=
0,12

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 25


0,614656
𝑛=
0,01

𝑛 = 61

Jumlah sampel minimal dalam penelitian ini adalah 61 orang. Untuk

menghindari adanya responden yang drop out maka jumlah sampel

ditambahkan 10% dari total sampel, sehingga didapatkan jumlah sampel

yaitu menjadi 67 orang (Sastroasmoro, 2011).

4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel

Sampel dipilih dengan cara consecutive sampling, yaitu semua subjek

memenuhi kriteria pemilihan dan datang berurutan dimasukkan dalam

penelitian sampai jumlah subjek minimal yang diperlukan terpenuhi.

4. 4 Variabel Penelitian

4.4.1 Klasifikasi Variabel

a. Variabel Independen : Kejadian akne vulgaris

b. Variabel Dependen : Tingkat Stres

4.4.2 Definisi Operasional Variabel

a. Kejadian Akne Vulgaris

1. Definisi : Penyakit peradangan kronis pada unit

pilosebasea dengan gambaran klinis berupa

komedo, papul, pustul, nodus, kista dan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 26


jaringan parut yang disertai rasa gatal

(Williams et al, 2012).

2. Cara Ukur : Pemeriksaan oleh dokter umum. Akne yang

diperiksa hanya akne yang terdapat pada

wajah.

4. Hasil Ukur : 1. Akne: Menderita akne vulgaris

2. Tidak akne: Tidak menderita akne vulgaris

5. Skala Ukur : Skala Nominal

b. Tingkat Stres

1. Definisi : tinggi rendahnya kondisi yang disebabkan

oleh reaksi dan persepsi seseorang pada

beban dan tuntutan tertentu yang berdampak

pada emosional, fisik dan spiritual sehingga

dapat mengganggu kinerja seseorang dalam

menjalankan aktifitasnya (Damanik, 2010).

2. Cara Ukur : Wawancara dengan kuesioner

3. Alat Ukur : Kuesioner tingkat stres DASS (Depression

Anxiety Stress Scale) 42.

4. Hasil Ukur : 1. Normal jika skor 0-14

2. Stres ringan jika skor 15-18

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 27


3. Stres sedang jika skor 19-25

4. Stres berat jika skor 26-33

5. Stres sangat berat jika skor >34

5. Skala Ukur : Skala Ordinal

c. Jenis Kelamin

1. Definisi : Sifat jasmani atau rohani yang membedakan

makhluk sebagai wanita atau pria (Pusat

Bahasa Kemdikbud, 2017).

2. Cara Ukur : Wawancara dengan kuesioner

3. Alat Ukur : Formulir Biodata

4. Hasil Ukur : 1. Laki-laki

2. Perempuan

5. Skala Ukur : Skala Nominal

4. 5 Instrumen Penelitian

Alat dan bahan penelitian:

1. Lembar penjelasan dan informasi

2. Lembar data diri pasien dan Informed Consent

3. Kuesioner Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS-42)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 28


Kuesioner DASS-42 terdiri dari 42 item pernyataan, yang

mencakup 3 subvariabel, yaitu : 1) fisik 2) emosi/psikologis 3)

perilaku. Kuesioner DASS-42 mencakup penilaian terhadap tiga

aspek yaitu depresi, kecemasan, dan stres. Dari 42 item, dipilih 14

pernyataan yang sesuai untuk menilai tingkat stres, yaitu

pernyataan nomor 1, 6, 8, 11, 12, 14, 18, 22, 27, 29, 32, 33, 35, 39.

Responden diminta untuk memilih jawaban yang sesuai dengan

keadaan dirinya pada 4 skala ordinal yaitu 0 = tidak pernah, 1 =

kadang-kadang, 2 = sering, 3 = hampir setiap saat, dengan

memberikan tanda ceklis () pada kolom yang tersedia. Tinggi

atau rendahnya tingkat stres ditentukan oleh tinggi rendahnya total

nilai yang diperoleh. Semakin tinggi total nilai yang diperoleh

maka tingkat stresnya juga semakin tinggi. Tingkatan stres pada

instrumen DASS-42 terdiri dari lima tingkatan yaitu skor normal :

0 – 14, skor ringan 15 – 18, skor sedang 19 – 25, skor berat 26 – 33,

skor sangat berat > 34.

Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan kuesioner yang sudah divalidasi oleh Damanik

(2010), sehingga tidak perlu lagi dilakukan uji validitas dan

reliabilitas. Kuesioner DASS-42 memiliki nilai validitas dan

reliabilitas 0,9483 yang diolah berdasarkan penilaian Cronbach’s

Alpha (Damanik, 2010).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 29


4.6 Prosedur Pengumpulan Data

1. Peneliti mengajukan izin ke Dinas Pendidikan Sumatera Barat

untuk melaksanakan penelitian di SMA Negeri 1 Padang.

2. Peneliti mengajukan izin penelitian ke SMA Negeri 1 Padang.

3. Dilakukan total sampling untuk memperoleh sampel berupa

seluruh siswa kelas 12 tahun ajaran 2017/2018 SMA Negeri 1

Padang yang memenuhi kriteria inklusi dengan jumlah sampel

minimal sebanyak 67 siswa.

4. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian serta

membagikan lembaran informed consent.

5. Siswa yang bersedia menjadi subjek penelitian diperiksa oleh

dokter umum untuk melihat ada tidaknya akne vulgaris pada wajah.

6. Hasil pemeriksaan dicatat.

7. Peneliti memberikan kuesioner DASS-42 untuk diisi oleh siswa.

8. Responden mengisi kuesioner DASS-42. Selama pengisian

kuesioner, responden akan didampingi oleh peneliti, sehingga

ketika ada hal-hal yang membingungkan responden akan segera

dapat dijelaskan oleh peneliti.

9. Data dikumpulkan untuk pengolahan data.

4.7 Cara Pengolahan dan Analisis Data

4.7.1 Pengolahan Data

Langkah – langkah pengolahan data yang dilakukan adalah:

a. Editing

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 30


Peneliti menyortir dan memeriksa kelengkapan data dari setiap

lembaran pertanyaan yang telah diisi oleh responden. Editing

dilaksanakan di tempat pengumpulan data agar kekurangan data bisa

langsung dilengkapi oleh responden.

b. Coding

Peneliti mengolah informasi dengan mengubah data menjadi angka

lalu memasukkan data dalam sistem komputerisasi.

c. Processing

Peneliti memasukkan data yang di dapatkan ke dalam program

Statistical Program for Social Science (SPSS).

d. Cleaning

Peneliti memeriksa kembali data data yang telah dimasukkan ke

dalam program statistik komputer untuk menghindari adanya

kesalahan pemrograman.

4.7.2 Analisis Data

Setelah dilakukan pengolahan data, selanjutnya data dianalisis

dengan sistem komputerisasi menggunakan program Statistical Program for

Social Science (SPSS) agar data mempunyai arti yang dapat digunakan

untuk memecahkan masalah penelitian. Analisis data dilakukan bertahap

mulai dari analisis univariat dan bivariat.

a. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan pada masing-masing variabel, yaitu

kejadian akne vulgaris sebagal variabel independen dan tingkat stres sebagai

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 31


variabel dependen untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensinya

dengan menggunakan SPSS 15.0

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk melihat pengaruh antara masing-

masing variabel yaitu tingkat stres sebagai variabel dependen dengan

kejadian akne vulgaris sebagai variabel independen. Analisis ini

menggunakan uji statistik chi-square dengan tingkat kepercayaan 5%. Hasil

analisis menunjukkan hubungan bermakna bila diperoleh nilai p < α (0,05).

Hasil berupa p > α (0,05) menunjukkan tidak adanya hubungan yang

bermakna antara variabel independen dengan variabel dependen.

4.7.3 Penyajian data

Penyajian data disajikan dalam bentuk narasi, tabel distribusi

frekuensi, serta tabel distribusi pengaruh antara variabel dependen dan

independen.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 32

You might also like