You are on page 1of 9

LAPORAN KASUS

FURUNKULOSIS

Nama : Aldy Valentino Maehca Rendak


NIM : H1A007001

PEMBIMBING :
dr. Yunita Hapsari, MSc, SpKK

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITRAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
2013
FURUNKULOSIS
LAPORAN KASUS
Aldy Valentino Maehca Rendak
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram/ RSUP NTB

PENDAHULUAN
Pioderma merupakan istilah untuk menyebut semua penyakit infeksi pada kulit yang
disebabkan oleh kuman Staphylococcus, Streptococcus maupun keduanya. Infeksi ini
mencakup infeksi superfisial yang hanya mengenai lapisan epidermis kulit, hingga infeksi
yang bersifat profunda, karena meluas hingga lapisan subkutis.2
Furunkel merupakan salah satu jenis pioderma yang banyak dijumpai di masyarakat.
Penyakit ini didefinisikan sebagai peradangan pada folikel rambut dan jaringan
disekitarnya, dimana terjadi proses supurasi yang meluas dari dermis hingga daerah
subkutan, dimana akan terbentuk abses kecil. Kelainan kulit ini biasanya disebabkan oleh
infeksi Staphylococcus aureus dan kelainan kulit ini dapat ditemukan pada daerah kulit
yang berambut. Bila dalam satu area tubuh ditemukan lebih dari satu lesi furunkel maka
keadaan itu disebut sebagai furunkulosis, sedangkan bila ditemukan beberapa furunkel
yang menyatu dengan beberapa puncak pada permukaan lesinya, maka kondisi tersebut
dinamakan karbunkel.1,2
Gejala utama yang dikeluhkan pasien adalah rasa nyeri. Lesi kulitnya sendiri berupa
nodul inflamasi eritematosa yang berbentuk kerucut, dimana pada bagian tengahnya akan
dijumpai adanya puncak (core) yang biasanya berupa pustula (central necrotic).3 Pada
beberapa individu dapat terjadi serangan furunkulosis berulang. Pada beberapa individu
ini, terutama pada anak-anak, ditemukan adanya respon sistemik tubuh yang abnormal,
namun faktor yang utama adalah ditemukannya faktor predisposisi berupa adanya S.
aureus pada nares anterior atau terkadang pada perineum.1,3
Pada furunkel dengan lesi yang ringan atau sedikit, cukup diberi antibiotik topikal,
misalnya salap/krim asam fusidat 2%, salap mupirosin 2%, salap basitrasin dan neomisin.
Bila lesi banyak atau terdapat pembesaran kelenjar getah bening regional, dapat diberi
antibiotik sistemik seperti ampisilin, amoksisilin, eritromisin 30-50 mg/kg BB/hari, dibagi
3 dosis.4 Pada kasus furunkulosis berulang perlu dilakukan eradikasi kolonisasi
Staphylococcal (kolonisasi pada nasal), salah satu pendekatannya adalah dengan
1
pemberian Mupirocin ointment dua kali sehari pada nares anterior pada 5 hari pertama
setiap bulannya. Dan juga dapat dibantu dengan antibiotik sistemik, yaitu dengan
pemberian klindamisisn oral dosis tunggal harian 150 mg selama 3 bulan, yang mana
menurunkan angka infeksi sebesar 80%.3
Furunkel dapat menimbulkan komplikasi yang cukup serius. Masuknya
Staphylococcus aureus ke dalam aliran darah dapat menimbulkan bakteremia. Bakteremia
Staphylococcus aureus dapat mengakibatkan infeksi pada organ lain atau yang dikenal
infeksi metastasis septekemia. Pada tahap akhir, mengakibatkan sepsis yang dapat
menyebabkan osteomielitis, akut endokarditis, dan abses otak. Manipulasi pada lesi akan
mempermudah menyebarnya infeksi melalui aliran darah. Tetapi, komplikasi tersebut
jarang terjadi. 1
Berikut dilaporkan kasus yang ditemukan pada pasien rawat jalan Poli Klinik Bagian
Kulit dan Kelamin RSUP NTB yang didiagnosis mengalami Furonkulosis rekuren.
Laporan ini bertujuan untuk membahas penatalaksanaan pada pasien dengan Furonkulosis
rekuren.

KASUS
Seorang anak laki-laki usia 10 tahun datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUP
NTB pada tanggal 25 November 2013 diantar oleh ayah pasien, dengan keluhan timbul
bisul pada betis kiri dan kanan serta pada punggung tangan kanan pasien. Keluhan
dirasakan sejak ± 6 bulan terakhir dan berulang, keluhan muncul di tempat yang sama,
yaitu di sekitar daerah kulit tubuh yang berambut. Menurut ayah pasien awalnya pada betis
pasien muncul bintik-bintik yang terasa gatal kemudian lama kelamaan berubah menjadi
bisul dan terasa nyeri. Pasien tidak mengeluhkan deman atau badan pegal. Pasien tidak
mengeluh bersin atau batuk sebelum keluhan bisul muncul. Menurut ayah pasien, pasien
belum pernah menggunakan obat apapun untuk mengatasi keluhannya ini. Pasien tidak
memiliki riwayat penyakit asthma, gizi buruk disangkal. Riwayat alergi obat atau makanan
tertentu seperti telur atau daging disangkal pasien. Tidak ada anggota keluarga pasien
dalam satu rumah yang mengalami keluhan serupa.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kondisi generalis pasien dalam batas normal
dan berat badan pasien 25 kg. Pada status dermatovenerologis ditemukan pada regio kruris
sinistra et dekstra adanya pustula multipel dengan dasar eritema yang bergerombol dan
diskret di sekitar folikel rambut. Tampak erosi dengan dasar eritema yang tertutup krusta
2
kehitaman. Pada punggung tangan kanan didapatkan pustula soliter dengan tepi eritem.
Pada pemeriksaan penunjang pengecatan gram didapatkan hasil adanya kuman gram
positif.

Gambar 1. pustula multipel dengan dasar eritema yang


bergerombol dan diskret di sekitar folikel rambut

Berdasarkan data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dapat


disimpulkan bahwa diagnosa banding pasien adalah Furunkulosis, Karbunkel, dan
Folikulitis. Dimana diagnosa kerja dari kasus ini adalah Furunkulosis.
Untuk penatalaksanaan pada pasien, dilakukan kompres bisul dan daerah
sekitarnya dengan menggunakan cairan salin normal hangat dua kali sehari. Pasien juga
diberikan tablet Cetirizine 10 mg diminum 1 tablet setiap hari. Pasien diberikan krim
Mupirocin untuk dioleskan pada kulit nares anterior dua kali sehari. Untuk obat minum
diberikan tablet Klindamisin 150 mg, diminum tiga kali sehari. Pasien diharapkan untuk
kontrol kembali setelah 7 hari.
Edukasi yang diberikan kepada pasien antara lain adalah agar pasien tidak
menggaruk atau memencet lesi pada betis dan punggung tangan. Pasien diminta untuk
menjaga kebersihan diri, pakaian dan lingkungan: pasien diharapkan untuk mandi dengan
menggunakan sabun antiseptik serta pasien diminta untuk menggunakan pakaian yang
menyerap keringat, ringan dan longgar.

PEMBAHASAN

3
Dari kasus didapatkan seorang anak laki-laki usia 10 tahun dating dengan keluhan
adanya bisul pada betis kiri dan kanan serta pada punggung tangan kanannya. Dimana
keluhan pasien ini dirasakan berulang sejak 6 bulan yang lalu dan muncul pada daerah
yang sama, di sekitar daerah kulit tubuh yang berambut. Berdasarkan anamnesis ini maka
kemungkinan penyakit kulit yang dialami pasien adalah penyakit yang berhubungan
dengan peradangan pada daerah berambut. Sehingga penyakit kulit yang dialami pasien
adalah folikulitis, furunkel/furunkulosis atau karbunkel. Pada urutan diagnosa banding,
furunkulosis diletakkan pada posisi pertama karena dari hasil pemeriksaan fisik regio
kruris sinistra et dekstra adanya pustula multipel folikular dengan dasar eritema yang
bergerombol dan diskret di sekitar folikel rambut. Tampak erosi dengan dasar eritema yang
tertutup krusta kehitaman. Jadi dapat disimpulkan bahwa peradangan yang ada terjadi pada
sekitar folikel rambut dan jumlahnya multipel. Pada folikulitis yang merupakan
peradangan folikel rambut, pustul tumbuh pada folikel rambut saja tidak disertai adanya
peradangan pada daerah kulit sekitar folikel rambut. 1,4 Berdasarkan alasan ini maka
folikulitis tidak dijadikan sebagai diagnosa banding utama, sehingga menyisakan dua
kemungkinan utama diagnosa pasien yaitu furunkel/furunkulosis dan karbunkel. Furunkel
adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan subkutan sekitarnya. Furunkel dapat
terbentuk pada lebih dari satu tempat. Jika lebih dari satu tempat disebut furunkulosis.
Furunkulosis dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain akibat iritasi, kebersihan
yang kurang, dan daya tahan tubuh yang kurang. Infeksi dimulai dengan adanya
peradangan pada folikel rambut di kulit (folikulitis), kemudian menyebar kejaringan
sekitarnya.1,2 Karbunkel adalah satu kelompok beberapa folikel rambut yang terinfeksi oleh
Staphylococcus aureus, yang disertai oleh keradangan daerah sekitarnya dan juga jaringan
dibawahnya termasuk lemak bawah kulit.4 Pada pasien tidak ditemukan adanya karbunkel
(berdasarkan definisi diatas), melainkan ditemukan adanya furunkel dalam jumlah jumlah
banyak (multipel), sehingga dapat disimpulkan pasien mengalami furunkulosis.
Pasien mengeluhkan bahwa bisul pada betis pasien telah timbul secara berulang sejak
6 bulan terakhir. Pada kasus furunkulosis berulang seperti ini, dimana lebih cenderung
terjadi pada anak-anak, ditemukan adanya predisposisi berupa respon sistemik tubuh yang
abnormal, namun faktor yang utama adalah ditemukannya faktor predisposisi lain yaitu
adanya kolonisasi S. aureus pada nares anterior atau terkadang pada perineum.1,3
Untuk lebih menegakkan diagnosis dapat dikonfirmasi dengan pewarnaan gram dan
kultur bakteri. Pewarnaan gram S.aureus akan menunjukkan sekelompok kokus berwarna
4
ungu (gram positif) bergerombol seperti anggur, dan tidak bergerak. Kultur pada medium
agar MSA (Manitot Salt Agar) selektif untuk S.aureus. Bakteri ini dapat
memfermentasikan manitol sehingga terjadi perubahan medium agar dari warna merah
menjadi kuning. Kultur S. aureus pada agar darah menghasilkan koloni bakteri yang lebar
(6-8 mm), permukaan halus, sedikit cembung, dan warna kuning keemasan. Uji sensitivitas
antibiotik diperlukan untuk penggunaan antibiotik secara tepat.1 Pada pasien hanya
dilakukan pewarnaan gram dan didapatkan adanya kuman gram positif.
Untuk penatalaksanaan pasien dilakukan kompres lesi dengan normal salin hangat,
hal ini untuk memungkinkan drainase pus pada pustul pasien, sehingga diharapakn jumlah
pustule akan berkurang dan resolusi pasien akan semakin cepat. 4 Kemudian pasien
diberikan antibiotik klindamisin oral. Pilihan ini didasarkan pada kondisi pasien yang
mengalami keluhan muncul bisul berulang. Pada keluhan furunkulosis berulang, literatur
menjelaskan bahwa klindamisin merupakan antibiotik pilihan terbaik untuk eradikasi
kolonisasi kuman pada daerah nasal yang menjadi faktor predisposisi furunkulosis dan
mengurangi angka kekambuhan furunkulosis hingga 80%, dimana diberikan dengan dosis
10-20 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis.3 Berdasarkan literatur ini maka dosis
klindamisin yang diberikan untuk pasien dengan berat badan 25 kg adalah 250-500
mg/hari, dan dosis yang dipilih adalah 450 mg dengan alasan masih dalam rentang
pemberian dosis dan untuk memudahkan dalam pemilihan sediaan obat. Pemberian
antibiotik oral ini diharapkan memberikan efek eradikasi kuman secara sistemik.
Pemberian antibiotik topikal untuk dioleskan pada nares anterior diberikan karena
dianggap dapat mengeradikasi sumber kolonisasi kuman yang menjadi salah satu
predisposisi kejadian furunkulosis berulang dan mupirocin calcium 2% dalam base
paraffin yang putih dan lembut selama 5 hari dapat mengeleminasi kuman Staphylococcus
yang berkolonisasi pada hidung.1,3 Pasien diminta untuk kontrol seteah 7 hari, diharapkan
terapi memberikan perbaikan pada penyakit pasien.
Edukasi yang diberikan kepada pasien antara lain adalah agar pasien tidak
menggaruk atau memencet lesi pada betis dan punggung tangan untuk mencegah
autoinukulasi pada kulit sekitar sehingga mecegah terjadi furunkulosis berulang. Pasien
diminta untuk menjaga kebersihan diri, pakaian dan lingkungan: pasien diharapkan untuk
mandi dengan menggunakan sabun antiseptik serta pasien diminta untuk menggunakan
pakaian yang menyerap keringat, ringan dan longgar. Penggunaan sabun antiseptik
diharapkan dapat mengurangi kolonisasi Staphylococcus pada kulit.1,3 Penggunaan pakaian
5
yang longgar, mudah menyerap keringat serta ringan diharapkan mencegah kontak antara
kulit dengan kemungkinan adanya inokulasi kuman pada pakaian yang biasa ditemukan
pada pasien dengan fuurukulosis berulang.1
Prognosis pada pasien ini, meliputi : Prognosis ad functionam fungsi kulit pasien
dubia et malam, karena adanya rekurensi furunkulosis menunjukkan tidak adekuatnya
barrier kulit. Prognosis ad vitam bonam, diman kondisi furunkulosis yang berulang ini
tidak akan menyebabkan kondisi mengancam nyawa selama tidak terjadi bakterimia,
diharapkan pemberian antibiotik sistemik mencegah kondisi ini. Prognosis ad cosmeticam
dubia et malam, karena kemungkinan besar lesi furunkulosis ini akan menyebabkan
tampakan berupa skar dan adanya spot hiperpigmentasi pada kulit. Jadi perlu perawatan
lanjutan pada untuk memperbaiki fungsi kosmetik kulit pasien.
Jika setelah kontrol, kondisi penyakit pasien telah membaik, maka terapi dilanjutkan
hingga sepuluh hari. Setelah sepuluh hari terapi topikal dengan mupirocin diberikan setiap
5 hari pertama setiap bulannya untuk mengeradikasi kolonisasi kuman hidung dan
pemberian antibiotik oral klindamisin dilanjutkan hingga 3 bulan dengan dosis tunggal
harian 150 mg.3

6
KESIMPULAN

Telah dilaporkan kasus furunkulosis rekuren pada anak laki-laki usia 10 tahun.
Diagnosa ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang. Pasien diberikan terapi simptomatis berupa cetirizine, kemudian pasien
diberikan antibiotik topikal mupirocin dan antibiotik sistemik berupa klindamisin oral
untuk eradikasi kuman Staphylococcus. Terapi lainnya adalah pasien diberikan kompres
dengan normal salin hangat serta pasien diberikan edukasi untuk mandi dengan
menggunakan sabun antiseptik dan menggunakan pakaian yang longgar. Pasien diharapkan
kontrol setelah 7 hari untuk melihat respon pengobatan dan melanjutkan terapi eradikasi
kolonisasi kuman pada hidup untuk mencegah rekurensi penyakit.

7
KEPUSTAKAAN

1. Noah C. Peter KL, Matthew TZ, Arnold NW, Morton NS, Richard AJ. Superficial
cutaneous infection and pyodermas. In: Wolf K, Goldsmith LA, Katz S (eds). Fitz’s
Patrick Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw Hill; 2008.
pp. 1694-1710.
2. Djuanda, A. Pioderma. Dalam: Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 5. Jakarta:
FKUI; 2007. hal. 57-63.
3. Dennis LS, Alan LB, Henry FC, Dale E, Patchen D, Ellie JC, Sherwood LG, Jan
VH, Edward LK, Jose GM, James CW. Practice guidelines for the diagnosis and
management of skin and soft-tissue infections. CID 2005; 41: 1373-1406.
4. Ray J. Bacterial Infection. In: ABC of Dermatology. Fourth Edition. London: BMJ
Publishing Group Ltd. 2003. pp 90.

You might also like