Professional Documents
Culture Documents
Bagian Geri
Bagian Geri
Dari data perbandingan yang ada, bisa dilihat bahwa secara makro ekonomi Indonesia saat
ini jauh lebih solid dibandingkan dengan kondisi tahun 1998, 2008, 2017, dan APBN 2018.
Tingkat pertumbuhan ekonomi semakin naik, inflasi rendah dan terkendali, kredit bermasalah di
perbankan juga jauh lebih rendah, cadangan ekonomi Indonesia mencatat tertinggi dalam sejarah,
dan nilai IHSG juga semakin naik. Adapun beberapa indikator yang mesti diwaspadai, antara lain
total utang luar negeri yang nilainya meningkat drastis, rasio total utang luar negeri terhadap PDB
lebih tinggi daripada tahun 2008, dan nilai keseimbangan primer yang bernilai negatif, yang
bahkan tidak terjadi ketika krisis 1998 dan 2008.
140
120
80
60
40
20
0
2012 2013 2014 2015 2016 2017
Sumber: Kemenkeu RI
Pada 2012 defisit keseimbangan primer tercatat sebesar Rp 52,7 triliun, tahun berikutnya (2013)
membengkak jadi Rp 98,6 triliun. Pada tahun 2014 defisit sedikit turun, berada pada kisaran
Rp93,2 triliun. Kemudian pada tahun 2015 defisit keseimbangan primer melambung sebesar
Rp136,1 triliun, tahun 2016 sedikit turun yakni sebesar Rp105,5 triliun, namun tahun 2017 defisit
keseimbangan primer kembali naik ke angka Rp 111,4 triliun.
Keseimbangan primer merupakan selisih antara pendapatan negara dikurangi belanja negara
tanpa memperhitungkan pembayaran bunga utang. Sehingga dapat diartkan bahwa semenjak tahun
2012 pemerintah sampai sekarang menggunakan utang untuk membayar bunga, cicilan utang, dan
pokok utang. Idealnya, pembayaran bunga, cicilan utang, dan pokok utang menggunakan surplus
keseimbangan primer. Namun, hal tersebut tidak bisa dilakukan karena ekspansi masif pemerintah
dalam pembangunan infrastruktur tidak didukung dengan ketercapaian target pajak sehingga nilai
utang pemerintah semakin besar.
Siklus 20 atau 25 tahunan yang memicu krisis politik juga jatuh pada tahun 2018 mendatang.
Siklus 20 atau 25 tahunan itu bahkan sudah terjadi beberapa kali di Indonesia. Berawal dari 1908
yang ditandai dengan munculnya ideologi kebangsaan, yang memicu krisis bagi pemerintahan
kolonial Belanda. Kemudian tahun 1928, ditandai berfusinya kekuatan dari seluruh daerah menjadi
satu kekuatan berskala nasional dengan mendeklarasikan Sumpah Pemuda. Siklus 20 tahunan
ketiga terjadi tahun 1945, di mana benih-benih kebangsaan dan penyatuan kekuatan, akhirnya
berbuah kemerdekaan bagi Indonesia dan berakibat malapetaka bagi pemerintah kolonial. Siklus
20 atau 25 tahunan terus berlangsung. Praktik politik sebagai panglima yang ditandai dengan
praktik politik dagang sapi yang berlangsung sejak kemerdekaan, akhirnya berujung tahun 1966,
ditandai dengan berbagai macam peristiwa politik yang memicu krisis, mulai dari pemberontakan
di daerah, perseteruan partai berbeda ideologi, pembunuhan enam jenderal, sampai berakhirnya
kekuasaan Soekarno setelah mengeluarkan surat perintah 11 Maret 1966 atau Supersmar.
Kekuasaan yang beralih ke Soeharto mengubah wajah Indonesia secara drastis dari politik
sebagai panglima menjadi ekonomi sebagai panglima. Atas nama pembangunan ekonomi,
Presiden Soeharto membungkam politik dan menempatkan stabilitas politik sebagai prioritas
pertama dalam tiga landasan pembangunan yang dikenal dengan trilogi pembangunan, yakni
stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. Korupsi yang terjadi di sekitar kroni Soeharto akhirnya
berujung pada krisis yang ditandai tewas tertembaknya sejumlah mahasiswa Universitas Trisakti
Jakarta, munculnya gerakan reformasi dan mundurnya Presiden Soeharto tahun 1998. Tahun 2018
mendatang genap 20 tahun usia reformasi. Ini berarti, pada tahun 2018 itu akan datang dua siklus
secara bersamaan yakni siklus 10 tahunan yang memicu krisis ekonomi, dan siklus 20 tahunan
yang memicu krisis politik.
Krisis ekonomi tahun 2018 kemungkinan bisa dipicu oleh langkah Amerika yang mulai
membenahi iklim investasi dan reformasi perpajakan. Keduanya diarahkan untuk meningkatkan
investasi di Amerika sendiri. Ini sesuai dengan populisme Presiden Trump yang ingin mengubah
Amerika yang dalam pidato pelantikannya, digambarkan terlalu banyak mengurus dunia,
sementara daerah industri terlantar seperti kuburan. Ini berpotensi mengurangi ekpor Indonesia ke
negara Pama Sam itu. Dampaknya akan besar karena ekspor Indonesia ke Amerika menurut Badan
Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2016 mencapai USD 12,63 miliar, sekaligus memosisikan
Amerika Serikat jadi negara tujuan ekspor non migas terbesar di Indonesia. Pembenahan yang
sedang dilakukan Amerika itu berpotensi bermuara pada krisis keuangan atau financial di
Indonesia.
Selain itu, pada 2018, Indonesia akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada).
Sebanyak 171 daerah akan mengikuti pilkada secara serentak. Tahun depan pula, tahapan
Pemilihan Legislatif 2019 dan Pemilihan Presiden 2019 sudah akan dimulai. Artinya, ada peristiwa
dengan bobot politik besar yang bakal berlangsung dalam kondisi perekonomian, yang harus kita
katakan, belum kondusif. Bila suasana dalam tahun politik tidak terkelola baik maka akan
menciptakan ketidakpastian lebih besar daripada yang diperkirakan. Padahal, suasana penuh
ketidakpastian semacam itu sangat tidak produktif bagi perekonomian. Namun, di sisi lain,
perhelatan politik tidak selamanya 'serbakelabu'. Ada pula kesempatan dan peluang. APBN
menempatkan Rp11,4 triliun dana pilkada. Itu artinya uang yang beredar bakal bertambah pada
tahun depan. Dengan ditambah anggaran Pileg dan Pilpres 2019 yang tidak kalah besarnya,
perhelatan politik tahun depan semestinya menyokong pertumbuhan ekonomi, syukur-syukur
memulihkan perekonomian.