You are on page 1of 6

A.

Potensi Krisis di Indonesia


Berkaca pada siklus 10 tahunan krisis di bidang keuangan yang menimpa Indonesia mulai
dari tahun 1998 dan 2008, ada kekhawatiran pada tahun 2018 krisis akan terjadi kembali dan patut
diantisipasi. Untuk mengetahui potensi krisis akan kembali terjadi pada tahun 2018, kami akan
membandingkan kondisi perekonomian Indonesia berdasarkan beberapa indikator untuk tahun
2018, 2017, 2008, dan 1998. Namun, sebelumnya kami ingin membahas secara singkat terkait
krisis yang menimpa Indonesia pada tahun 1998 dan 2008.

1. Krisis Keuangan Tahun 1998


Krisis keuangan dalam siklus 10 tahunan sudah dua kali menimpa Indonesia. Siklus 10
tahunan pertama terjadi tahun 1998, yang dikenal dengan krisis moneter di mana nilai tukar rupiah
merosot sangat tajam dari level Rp2.300 per Dolar AS bergerak ke mencapai Rp15.000 per Dolar
AS. Guncangan besar yang terjadi ketika itu membuat Presiden Soeharto mengeluarkan kebijakan
yang dikenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). BLBI yang diharapkan bisa
meredam guncangan kurs, ternyata terus berlangsung dan mendorong Presiden Soeharto memilih
mengundurkan diri.

2. Krisis Keuangan Tahun 2008


Krisis keuangan tahun 2008, terjadi akibat krisis ekonomi global yang bermula dari krisis
ekonomi di Amerika Serikat yang terjadi akibat konsumerisme warga Amerika yang tinggi di luar
batas pendapatan. Kartu kredit dan kredit perumahan yang mengalami gagal bayar, membuat
lembaga keuangan Amerika yang memberikan kredit, bangkrut karena kesulitan likuiditas.
Runtuhnya perusahaan-perusahaan finansial tersebut mengakibatkan bursa saham Wall Street tak
berdaya, perusahaan-perusahaan besar tak sanggup bertahan seperti Lehman Brothers dan
Goldman Sachs. Krisis tersebut memicu terjadinya krisis ke sektor riil dan non-keuangan di
seluruh dunia. Krisis keuangan di Amerika Serikat itu menyebabkan menurunnya daya beli
masyarakat Amerika Serikat. Dampaknya, volume impor Amerika Serikat menurun drastis,
menyebabkan menurunnya ekspor dari negara-negara produsen termasuk dari Indonesia. Daya beli
masyarakat Indonesia ketika itu ikut menurun. Namun demikian, dampak krisis keuangan tahun
1998 itu tidak sedahsyat krisis keuangan tahun 2008.

3. Perbandingan Kondisi Perekonomian Indonesia


Untuk mengetahui potensi krisis akan kembali terjadi pada tahun 2018, kami akan
membandingkan kondisi perekonomian Indonesia untuk tahun 2018, 2017, 2008, dan 1998. Dalam
melakukan perbandingan, kami menggunakan beberapa indikator perekonomian, yaitu
pertumbuhan ekonomi, inflasi, cadangan devisa, kurs rupiah, rasio kredit bermasalah, IHSG, total
utang luar negeri, rasio utang luar negeri terhadap cadangan devisa, dan keseimbangan primer.
Berikut kami sajikan hasil perbandingan yang telah kami buat.
Indikator ekonomi 1998 2008 2017 2018
Pertumbuhan ekonomi -13,10% 4,12% 5,10% 5,4%
Inflasi 82,40% 12,14% 4,37% 3,5%
Cadangan devisa US$17,4 miliar US$80,20 miliar US$130 miliar N/A
Kurs rupiah Rp16.650/USD Rp12.650/USD Rp13.645/USD Rp13.400/USD
Rasio kredit bermasalah
(non performing 30% 3,80% 3,25% < 2%
loan/NPL) gross
Indeks harga saham
256 1.111 6.356 7.626
gabungan (IHSG)
Total utang luar negeri
(Pemerintah dan US$150,8 miliar US$155,08 miliar US$341,5 miliar N/A
swasta)
Rasio utang luar negeri
terhadap cadangan 8,6 kali 1.93 kali 2,62 kali N/A
devisa
Keseimbangan Primer 16,7 Trilliun 84,3 Trilliun -144,3 Trilliun -78,4 Trilliun

Dari data perbandingan yang ada, bisa dilihat bahwa secara makro ekonomi Indonesia saat
ini jauh lebih solid dibandingkan dengan kondisi tahun 1998, 2008, 2017, dan APBN 2018.
Tingkat pertumbuhan ekonomi semakin naik, inflasi rendah dan terkendali, kredit bermasalah di
perbankan juga jauh lebih rendah, cadangan ekonomi Indonesia mencatat tertinggi dalam sejarah,
dan nilai IHSG juga semakin naik. Adapun beberapa indikator yang mesti diwaspadai, antara lain
total utang luar negeri yang nilainya meningkat drastis, rasio total utang luar negeri terhadap PDB
lebih tinggi daripada tahun 2008, dan nilai keseimbangan primer yang bernilai negatif, yang
bahkan tidak terjadi ketika krisis 1998 dan 2008.

4. Defisit Keseimbangan Primer


Sejak tahun 2012, APBN mengalami defisit keseimbangan primer, dan diperkirakan terus
berlangsung hingga tahun 2018 Grafik berikut menampilkan perkembangan defisit keseimbangan
primer sejak tahun 2012.
160

140

120

100 Dalam Triliun Rupiah

80

60

40

20

0
2012 2013 2014 2015 2016 2017

Sumber: Kemenkeu RI

Pada 2012 defisit keseimbangan primer tercatat sebesar Rp 52,7 triliun, tahun berikutnya (2013)
membengkak jadi Rp 98,6 triliun. Pada tahun 2014 defisit sedikit turun, berada pada kisaran
Rp93,2 triliun. Kemudian pada tahun 2015 defisit keseimbangan primer melambung sebesar
Rp136,1 triliun, tahun 2016 sedikit turun yakni sebesar Rp105,5 triliun, namun tahun 2017 defisit
keseimbangan primer kembali naik ke angka Rp 111,4 triliun.
Keseimbangan primer merupakan selisih antara pendapatan negara dikurangi belanja negara
tanpa memperhitungkan pembayaran bunga utang. Sehingga dapat diartkan bahwa semenjak tahun
2012 pemerintah sampai sekarang menggunakan utang untuk membayar bunga, cicilan utang, dan
pokok utang. Idealnya, pembayaran bunga, cicilan utang, dan pokok utang menggunakan surplus
keseimbangan primer. Namun, hal tersebut tidak bisa dilakukan karena ekspansi masif pemerintah
dalam pembangunan infrastruktur tidak didukung dengan ketercapaian target pajak sehingga nilai
utang pemerintah semakin besar.
Siklus 20 atau 25 tahunan yang memicu krisis politik juga jatuh pada tahun 2018 mendatang.
Siklus 20 atau 25 tahunan itu bahkan sudah terjadi beberapa kali di Indonesia. Berawal dari 1908
yang ditandai dengan munculnya ideologi kebangsaan, yang memicu krisis bagi pemerintahan
kolonial Belanda. Kemudian tahun 1928, ditandai berfusinya kekuatan dari seluruh daerah menjadi
satu kekuatan berskala nasional dengan mendeklarasikan Sumpah Pemuda. Siklus 20 tahunan
ketiga terjadi tahun 1945, di mana benih-benih kebangsaan dan penyatuan kekuatan, akhirnya
berbuah kemerdekaan bagi Indonesia dan berakibat malapetaka bagi pemerintah kolonial. Siklus
20 atau 25 tahunan terus berlangsung. Praktik politik sebagai panglima yang ditandai dengan
praktik politik dagang sapi yang berlangsung sejak kemerdekaan, akhirnya berujung tahun 1966,
ditandai dengan berbagai macam peristiwa politik yang memicu krisis, mulai dari pemberontakan
di daerah, perseteruan partai berbeda ideologi, pembunuhan enam jenderal, sampai berakhirnya
kekuasaan Soekarno setelah mengeluarkan surat perintah 11 Maret 1966 atau Supersmar.

Kekuasaan yang beralih ke Soeharto mengubah wajah Indonesia secara drastis dari politik
sebagai panglima menjadi ekonomi sebagai panglima. Atas nama pembangunan ekonomi,
Presiden Soeharto membungkam politik dan menempatkan stabilitas politik sebagai prioritas
pertama dalam tiga landasan pembangunan yang dikenal dengan trilogi pembangunan, yakni
stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. Korupsi yang terjadi di sekitar kroni Soeharto akhirnya
berujung pada krisis yang ditandai tewas tertembaknya sejumlah mahasiswa Universitas Trisakti
Jakarta, munculnya gerakan reformasi dan mundurnya Presiden Soeharto tahun 1998. Tahun 2018
mendatang genap 20 tahun usia reformasi. Ini berarti, pada tahun 2018 itu akan datang dua siklus
secara bersamaan yakni siklus 10 tahunan yang memicu krisis ekonomi, dan siklus 20 tahunan
yang memicu krisis politik.

Krisis ekonomi tahun 2018 kemungkinan bisa dipicu oleh langkah Amerika yang mulai
membenahi iklim investasi dan reformasi perpajakan. Keduanya diarahkan untuk meningkatkan
investasi di Amerika sendiri. Ini sesuai dengan populisme Presiden Trump yang ingin mengubah
Amerika yang dalam pidato pelantikannya, digambarkan terlalu banyak mengurus dunia,
sementara daerah industri terlantar seperti kuburan. Ini berpotensi mengurangi ekpor Indonesia ke
negara Pama Sam itu. Dampaknya akan besar karena ekspor Indonesia ke Amerika menurut Badan
Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2016 mencapai USD 12,63 miliar, sekaligus memosisikan
Amerika Serikat jadi negara tujuan ekspor non migas terbesar di Indonesia. Pembenahan yang
sedang dilakukan Amerika itu berpotensi bermuara pada krisis keuangan atau financial di
Indonesia.

Selain itu, pada 2018, Indonesia akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada).
Sebanyak 171 daerah akan mengikuti pilkada secara serentak. Tahun depan pula, tahapan
Pemilihan Legislatif 2019 dan Pemilihan Presiden 2019 sudah akan dimulai. Artinya, ada peristiwa
dengan bobot politik besar yang bakal berlangsung dalam kondisi perekonomian, yang harus kita
katakan, belum kondusif. Bila suasana dalam tahun politik tidak terkelola baik maka akan
menciptakan ketidakpastian lebih besar daripada yang diperkirakan. Padahal, suasana penuh
ketidakpastian semacam itu sangat tidak produktif bagi perekonomian. Namun, di sisi lain,
perhelatan politik tidak selamanya 'serbakelabu'. Ada pula kesempatan dan peluang. APBN
menempatkan Rp11,4 triliun dana pilkada. Itu artinya uang yang beredar bakal bertambah pada
tahun depan. Dengan ditambah anggaran Pileg dan Pilpres 2019 yang tidak kalah besarnya,
perhelatan politik tahun depan semestinya menyokong pertumbuhan ekonomi, syukur-syukur
memulihkan perekonomian.

You might also like