You are on page 1of 30

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN SISTEM NEUROLOGI DENGAN BRAIN INJURY


DIRUANGAN ICU RSUP. DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO
MAKASSAR

Disusun Oleh:

Nini Nikmawati S.

17.04.078

CI INSTITUSI CI LAHAN

( ) ( )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

STIKES PANAKKUKANG MAKASSAR

2018
LAPORAN PENDAHULUAN BRAIN INJURY

1. Pendahuluan
Otak merupakan organ terpenting bagi kehidupan yang terletak di dalam rongga
kranium tengkorak. Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, sehingga bila kekurangan aliran
darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi.
Dengan kemajuan industrialisasi serta peningkatan sarana transportasi dan mobilisasi
manusia, barang dan jasa dari satu tempat ketempat lain tetapi tidak diimbangi pembangunan
sarana dan prasarana transportasi yang cukup memadai serta kepatuhan terhadap peraturan
berkendara dari pengguna jalan, berakibat tingginya angka cedera kepala, yang setiap tahun
cenderung meningkat. Oleh karena itu perlu adanya pemantauan secara intensif tentang
kondisi serta tingkat kesadaran pasien untuk mencegah terjadinya peningkatan derajat
keparahan pada cedera otak dan komplikasi. Sehingga diperlukan kemampuan dari tenaga
medis khususnya perawat untuk lebih memahami asuhan keperawatan yang dilaksanakan
pada penanganan cedera kepala dan otak dengan demikian angka mortalitas dan morbiditas
dapat menurun
Sebesar 0,4% dari total kejadian cedera di Indonesia mengalami gegar otak dimana
paling sering terjadi pada umur 65-74 tahun. Diagnosis, tatalaksana dan keluaran cedera otak
traumatik sangat dipengaruhi oleh mekanisme trauma, tingkat keparahan, dan morfologi
yang menyebabkan trauma tersebut.
Trauma otak dapat disebabkan oleh dampak langsung atau tidak langsung. Selain
menyebabkan kerusakan pada saat cedera, trauma otak menyebabkan cedera sekunder,
berbagai peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam tiap menit, jam dan hari. Proses ini,
termasuk perubahan dalam aliran darah otak dan tekanan dalam tengkorak, kontribusi
substansial untuk kerusakan dari awal cedera. Hal ini membuat kemungkinan untuk
menemukan perawatan / treatment baru yang mengurangi dampak kerusakan yang lebih
parah.
Cedera kepala dan efeknya telah diketahui sejak sebelum sejarah tercatat, tapi kemudian
pada abad 20 mulai tampak perkembangan dalam menentukan diagnosa dan perawatan yang
hasilnya menurunkan tingkat kematian dan menunjukkan peningkatan dalam penelitian.
Termasuk teknik imaging seperti Computed Tomography Scan (CT-Scan) dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI), yang digunakan untuk mengetahui kerusakan. Tergantung pada
cedera kepala, pengobatan mungkin diperlukan minimal atau mungkin termasuk intervensi
seperti obat-obatan dan pembedahan darurat. Fisioterapi, terapi wicara, dan okupasi terapi
juga diperlukan untuk rehabilitasi. TBI dapat menyebabkan gangguan fisik, kognitif,
emosional, perilaku , dan pada TBI yang parah bisa menyebabkan kecacatan permanen atau
bahkan kematian.

2. Anatomi fisiologi sistem


Otak dibungkus oleh selaput otak (meningen) yang terdiri dari 3 lapisan yaitu:

1. Duramater : Lapisan luar, berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat yang bersifat liat,
tebal, tidak elastis, berupa serabut dan berwarna abu-abu.
2. Arachnoid : Membran bagian tengah, bersifat tipis dan lembut. Berwarna putih
karena tidak dialiri darah, terdapat pleksus khoroid yang memproduksi cairan
serebrospinal (CSS) terdapat villi yang mengabsorbsi CSS pada saat darah masuk ke
dalam sistem (akibat trauma, aneurisma, stroke).
3. Piamater : Membran paling dalam, berupa dinding yang tipis, transparan yang
menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan otak.

Serebrum, terdiri dari 4 lobus, yaitu:

1. Lobus frontal : Area ini mengontrol perilaku individu, membuat keputusan,


kepribadian, dan menahan diri. Lobus terbesar.
2. Lobus parietal : Lobus sensori, area ini menginterpretasikan sensasi, mengatur
individu mampu mengetahui posisi dan letak bagian tubuhnya.
3. Lobus temporal : Sensasi kecap, bau, dan pendengaran, ingatan jangka pendek.
4. Lobus oksipital : menginterpretasikan penglihatan.

Diensefalon, terdiri dari talamus, hipotalamus, dan kelenjar hipofisis.

1. Talamus : Pusat penyambung sensasi bau dan nyeri.


2. Hipotalamus : Bekerja sama dengan kelenjar hipofisis untuk mempertahankan
keseimbangan cairan dan mempertahankan pengaturan suhu tubuh. Sebagai pusat
lapar dan mengontrol BB, pengatur tidur, tekanan darah, perilaku agresif, seksual,
respon emosional.
3. Kelenjar hipofisis : Dianggap sebagai master kelenjar, karena sejumlah hormon dan
fungsinya diatur oleh kelenjar ini. hipofisis lobus anterior memproduksi hormon
pertumbuhan, hormon prolaktin, TSH, ACTH, LH. Lobus posterior berisi hormon
ADH.

Batang otak, terdiri dari otak tengah, pons, medula oblongata.

1. Otak tengah/mesencephalon, bagian yang menghubungkan diencephalon dan pons.


Fungsi utama menghantarkan impuls ke pusat otak yang berhubungan dengan
pergerakan otot, penglihatan dan pendengaran.
2. Pons: Menghantarkan impuls ke pusat otak.
3. Medula oblongata, merupakan pusat refleks guna mengontrol fungsi involunter
seperti pernafasan, bersin, menelan, batuk, pengeluaran saliva, muntah.

Serebrum: merangsang dan menghambat dan tanggung jawab terhadap koordinasi


gerak, keseimbangan, posisi.
Sirkulasi Serebral
Menerima kira-kira 20% dari curah jantung/750 ml per menit. Sirkulasi ini sangat
dibutuhkan, karena otak tidak menyimpan makanan, sementara mempunyai kebutuhan
metabolisme yang tinggi.
Pembuluh darah yang mendarahi otak tardiri dari :
1) Sepasang pembuluh darah karotis : denyut pembuluh darah besar ini dapat kita
raba dileher depan, sebelah kiri dan kanan dibawah mandibula, sepasang pembuluh
darah ini setelah masuk ke rongga tengkorak akan bercabang menjadi tiga :

a) Sebagian menuju ke otak depan (arteri serebri anterior)


b) Sebagian menuju ke otak belakang (arteri serebri posterior)
c) Sebagian menuju otak bagian dalam (arteri serebri interior)
Ketiganya akan saling berhubungan melalui pembuluh darah yang disebut arteri
komunikan posterior.
2) Sepasang pembuluh darah vertebralis : denyut pembuluh darah ini tidak dapat
diraba oleh karena kedua pembuluh darah ini menyusup ke bagian samping
tulang leher, pembuluh darah ini memperdarahi batang otak dan kedua otak kecil,
kedua pembuluh darah tersebut akan saling berhubungan pada permukaan otak
pembuluh darah yang disebut anastomosis.
Suplay darah ke Medula Spinalis
Menerima nutrisi melalui cabang-cabang arteri vetebralis melalui cabang aorta
thorakalis dan aorta abdominalis. Arteri medula spinalis dan sistem vena berjalan secara
paralel satu dengan lainnya dan mempunyai hubungan percabangan yang luas untuk
mencukupi suplay darah ke jaringan-jaringan. Dibentuk oleh pleksus koroideus, dan
bersirkulasi dalam ventrikel-ventrikel dan ruang subaraknoid. CSF terdiri dari air, elektrolit,
oksigen, karbondioksida, glukosa dan sedikit protein, serta konsentrasi kalium dan klorida
yg tinggi. Produksi dan reabsorbsi CSF berlangsung konstan serta volume total CSF sekitar
125 cc dengan kecepatan sekresi CSF perhari 500 – 750 cc. Tekanan dalam cairan CSF
sekitar 5 sampai 12 cm H2O.

3, Pengertian
Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak. (Arif Muttaqin, 2008, hal 270-271).
Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan fungsi normal
otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi
karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa karena hemoragik, serta
edema serebral disekitar jaringan otak (Batticaca Fransisca, 2008, hal 96).
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi
terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak. (Pierce Agrace & Neil R.
Borlei, 2006 hal 91).
Berdasarkan Glassgow Coma Scale (GCS) cedera kepala atau otak dapat di bagi menjadi 3
gradasi :

1. Cedera kepala ringan (CKR) = GCS 13-15


2. Cedera kepala sedang (CKS) = GCS 9-12
3. Cedera kepala berat (CKB) = GCS ≤ 8

Cedera otak traumatik adalah cedera intrakranial akibat rudapaksa eksternal terhadap
kepala yang melebihi kapasitas protektif otak. Cedera otak traumatik (traumatic brain
injury) adalah terminologi yang menggantikan cedera kepala (head injury) dimana
ditekankan pentingnya keterlibatan otak dalam cedera tersebut.
Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi
normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis
terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh massa karena hemoragik,
serta edema serebral di sekitar jaringan otak.

Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi
terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak

4. Klasifikasi
Klasifikasi Cedera otak berdasarkan pada tingkat kerusakan dapat dibedakan atas
kerusakan primer dan kerusakan sekunder.
A. Kerusakan Primer
Kerusakan otak yang timbul pada saat cedera, sebagai akibat dari kekuatan mekanik yang
menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan ini dapat bersifat fokal ataupun difus.
Keruskan primer ini dapat berlanjut menjadi keruskan sekunder, jika kerusakan primer tidak
mendapat penanganan yang baik, maka kerusakan primer dapat menjadi kerusakan sekunder.
Kerusakan Fokal
Merupakan kerusakan yang melibatkan bagian-bagian tertentu dari otak, bergantung pada
mekanisme cedera yang terjadi. Kerusakan fokal yang terjadi dapat berupa :
a. Kontusio serebri,
Memar ini umumnya terjadi di area permukaan dan terdiri dari area hemoragi kecil – kecil
yang tersebar melalui substansi otak pada daerah tersebut, dari pada satu lokasi yang
berbeda. Kontusio serebral merupakan lesi yang paling banyak tampak setelah cedera
kepala.
b. Kontusio ‘intermediete coup’ /kontusio ‘glinding’
Lesi kontusio sering berkembang sejalan dengan waktu, penyebabnya adalah pendarahan
yang terus berlangsung, iskemik, nekrosis, dan diikuti oleh edema vasogenik. Selanjutnya
lesi akan mengalami reabsorbsi terhadap eritrosit yang lisis (48-72 jam), disusul dengan
infiltrasi makrofag (24 jam-beberapa minggu) dan gliosis aktif yang terus berlangsung secara
progresif (mulai dari 48 jam).
c. Perdarahan subarachnoid traumatika
paling sering ditemukan pada cedera kepala, umumnya menyertai lesi lain. Perdarahan
terletak di antara arachnoid dan piameter, mengisi ruang subarachnoid.
d. Intraserebral hematoma (ICH), diartikan sebagai hematoma yang terbentuk pada jaringan

g. Fraktur Tengkorak
Susunan lapisan tengkorak sampai kulit kepala membantu menghilangkan energy
benturan kepala sehingga sedikit kekuatan ditransmisikan ke permukaan otak. Sekalipun
demikian fraktur tengkorak kerupakan masalah yang umum terjadi pada pasien dengan
cedera kepala berat meskipun kejadiannya berfariasi dari 12% sampai 80%, tergantung pada
laporan penelitian.
h. Gegar Serebral
Gegar adalah sindrom yang mengakibatkan bentuk ringan dari cedera otak menyebar. Ini
adalah disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih dengan atau tanpa kehilangan
kesadaran. Jika ada penurunan kesadaran mungkin hanya beberapa detik atau beberapa
menit. Sesudah itu mungkin pasien mengalamidisorentasi dan bingung hanya dalam waktu
yang relative singkat. Gejala lain meliputi : sakit kepala, tidak mampu untuk berkonsentrasi,
ganguan memori sementara, pusing dan peka. Beberapa penderita mengalami amnesia
retrograde. Kebanyakan pasien sembuh sempurna dan cepat, tetapi beberapa penderita lain
berkembang ke arah sindrom pascagegear dan dapat mengalami gejala lanjut selama
beberapa bulan.
i. Konkusio
Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah terajdinya
cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata. Konkusio
menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan struktural yang
nyata. Konkusio bisa menyebabkan kebingungan, sakit kepala dan rasa mengantuk yang
abnormal; sebagian besar penderita mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam atau
hari.
B. Kerusakan Sekunder
Kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari kerusakan primer termasuk
kerusakan oleh hipoksia, iskemia, pembengkakan otak, TTIK (Tekanan Tinggi Intrakranial),
Hidrosephalus, dan infeksi.
Berdasarkan mekanismenya, kerusakan ini dapat dikelompokkan atas 2, yaitu :
1. Kerusakan Hipoksi-iskemik menyeluruh
a. Sudah berlangsung saat antara terjadinya trauma dan awal pengobatan
b. Martin dkk membaginya atas 3 fase yaitu :
Fase 1 : Hipoperfusi, terjadi pada hari 0, dapat turun hingga < 18ml/100g/min pada
2-6 jam sesudah cedera.
Fase 2 : Hiperemia, terjadi pada hari 1-3.
Fase 3 : Vasospasme, terjadi di antara hari 4-15.
c. Kerusakan ini timbul karena :
Hipoksia : penurunan jumlah O2 dalam alveoli
Iskemia : berhentinya aliran darah
Hipotensi arterial sistemik
2. Edema serebri terjadi karena peningkatan kandungan air dalam jaringan otak atau
peningkatan volume darah( intravaskuler), Kekurangan O2 menyebabkan berlangsungnya
metabolism anaerob yang menimbulkan terjadinya gangguan pembentukan energi dan
mengakibatkan terjadinya gangguan pada fungsi sel: dimana 1 mol glukosa aerob  38
ATP sedangkan 1 mol glukosa anaerob  asam laktat + 2 ATP Berkurangnya jumlah ATP
disertai pembentukan asam laktat akan mengakibatkan bertambahnya edema otak. Secara
prinsip terapi dari edema serebri adalah menghilangkan air yang ada dalam sel (intraseluler)
ataupun air diluar sel (ekstraseluler) dengan cara pemberian cairan hiperosmotik (manitol)
dengan dosis 0,5 g – 1 g/Kg BB/kali diberikan secara bolus dalam waktu 15 – 20 menit.,
disamping sebagai cairan hiperosmolar maka manitol dengan dosis rendah berfungsi sebagai
penangkap bahan radikal bebas dan dapat meningkatkan mikrosirkulasi dari sel-sel darah
merah (rheologi), pemberian manitol selama 4 hari kemudian dilakukan tapering agar tidak
terjadi "rebound phenomena". Pemberian Kortikosteroid, obat ini dapat memperbaiki sawar
darah otak sehingga secara tidak langsung memperbaiki edema serebri, dan pemberian
Diueretik seperti furosemide.
3. Peningkatan Tekanan intra kranial
Pada umumnya definisi tekanan intra kranial merupakan jumlah tekanan dari
jaringan otak (80%), cairan serebrospinal (10%), pembuluh darah (10%). Penyebabnya PTIK
sendiri adalah Infeksi SSP , perdarahan intrakranial, tumor otak, hidrosefalus. Disamping
itu PTIK juga memiliki komplikasi antara lain herniasi otak sehingga menyebabkan
kerusakan syaraf otak ,kematian

5. Etiologi

Pada pasien yang lebih tua di atas 65 tahun penyebab paling sering terjadinya cedera otak
traumatik adalah terjatuh, dimana paling sering akibat terpeleset dan tersandung (jatuh se
level dengan ketinggian berpijak). Sebagian lainnya, mekanisme terjatuh pada orang tua
adalah akibat jatuh dari tangga adalah menabrak dinding bangunan dan atau perabot rumah
tangga.

Cedera otak traumatik yang berhubungan dengan ledakan sering diakibatkan terkena
ledakan bom pada peperangan modern. Pasien veteran perang sering ditemui mengalami
ini. Berikut etiologi yang paling sering menyebabkan cedera otak traumatik:

 terjatuh
 kecelakaan kendaraan bermotor atau kecelakaan lalu lintas
 olahraga
 tusukan, luka tembak, dan ledakan pada saat peperangan.

Faktor Risiko
Cedera otak traumatik lazim ditemukan baik pada anggota militer maupun warga sipil.
Faktor risiko cedera otak traumatik antara lain:

 penggunaan kendaraan beroda dua, lebih sering terjadi di negara berkembang dengan
tingkat edukasi lalu lintas dan praktik keselamatan berkendara yang rendah
 penggunaan alkohol, penggunaan alkohol lebih tinggi di negara maju dibandingkan
berkembang dan meningkatkan potensi terjadinya cedera otak traumatik
 usia, di negara berkembang usia paling sering adalah usia muda akibat kecelakaan
kendaraaan bermotor, sementara pada negara maju lebih sering terjadi pada usia tua
akibat terjatuh
 jenis kelamin, kejadian cedera otak traumatik lebih tinggi pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan.

6. Patofisiologi
Pada saat trauma terjadi, pertama sekali terjadi cedera primer oleh kerusakan mekanis
yang dapat berupa tarikan, robekan dan atau peregangan pada neuron, akson, sel glia dan
pembuluh darah. Cedera primer dapat bersifat fokal atau pun difus. Kebanyakan kasus
cedera primer langsung menyebabkan kematian sel neuron.
Cedera primer bersamaan dengan perubahan metabolik dan seluler memicu kaskade
biokimia menyebabkan gelombang sekunder atau cedera sekunder. Hal ini berlangsung dari
menit-menit awal terjadinya proses trauma yang dapat berlangsung berhari-hari hingga
berbulan-bulan dan menyebabkan neurodegenerasi, dan memperparah cedera primer.
Cedera sekunder merupakan penyebab utama meningkatnya tekanan intrakranial pada
cedera otak traumatik, dimana terjadi edema pada jaringan otak. Cedera sekunder terjadi
pada pada lokasi cedera dan di jaringan sekelilingnya. Proses cedera sekunder terdiri dari[1]:

 Eksitoksisitas, neuron yang rusak mengeluarkan glutamat ke ruang ekstraseluler dan


menstimulasi reseptor NMDA dan AMPA berlebihan sehingga terjadi peningkatan
radikal bebas dan nitrit oksida dan faktor transkripsi untuk kematian sel
 stres oksidatif
 disfungsi mitokondrial, kerusakan oksidatif yang dimediasi oleh peroksida lemak
menyebabkan terganggunya rantai transpor elektron dan pembentukan ATPsehingga
memicu apoptosis sel.
 gangguan pada sawar darah-otak, permeabilitas sawar darah-otak meningkat.
Akibatnya molekul besar hingga leukosit dapat masuk ke jaringan otak dan
menyebabkan tekanan osmosis jaringan otak meningkat.
 Inflamasi, neuroinflamasi melibatkan sel imun, mikroglia, sitokin, faktor kemotaktik
yang mengeksaserbasi kematian sel neuron.
 Cedera otak traumatik diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan
morfologinya[2]:
o Berdasarkan mekanisme:
 Trauma tumpul, trauma tumpul dengan kecepatan tinggi (misalnya
kecelakaan kendaraan bermotor) atau trauma tumpul dengan
kecepatan rendah (misalnya terjatuh atau serangan pemukulan)
 Trauma penetrasi, misalnya akibat luka tembak atau luka tusuk
 Trauma ledakan, akibat ledakan benda eksplosif.
o Berdasarkan tingkat keparahan yakni skor Glasgow Coma Scale (GCS):
 Ringan, GCS 14-15
 Sedang, GCS 9-13
 Berat, GCS 3-8
o Berdasarkan morfologi:
 Fraktur tengkorak, yaitu fraktur kubah kranii dan fraktur basis kranii
 Fraktur kubah kranii, antara lain bentuknya linear atau stellata,
depresi atau non depresi, fraktur terbuka atau fraktur tertutup
 Fraktur basis kranii, antara lain dengan atau tanpa cairan
serebrospinal dan dengan atau tanpa paralisis saraf kranial.
 Lesi intrakranial, yakni fokal dan difus.
 Fokal, yakni perdarahan epidural, perdarahan subdural, dan
perdarahan intraserebral
 Difus, yakni gegar otak ringan, gegar otak klasik, dan diffuse
axonal injury
7. Pathway
8. Tanda dan Gejala

1. Penurunan kesadaran, koma


2. Peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai dengan
a. Turunnya denyut nadi
b. Peningkatan tekanan darah
c. Kedalaman pernafasan berkurang/terlambat
d. Penurunan skor GCS
e. Muntah proyektil
f. Dilatasi pupil, hilangnya reflek pupil/pupil asimetris
g. Nyeri kepala
3. Fraktur kranium
a. Hematoma periorbita (mata panda)
b. Memar di sekitar area mastoideus (battle sign)
c. Keluarnya cairan serebrospinal dari hidung, telinga, dan laserasi di sekitar fraktur
d. Pembengkakan kulit kepala yang terlihat menonjol
e. Perdarahan subkonjungtiva tanpa batas posterior
4. Disfungsi sensori
5. Kejang otot
6. Vertigo
7. Gangguan pergerakan
8. Kejang
9. Syok hipovolemik
(Brito, 1996)

9. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Penunjang Pada Pasien Cedera Otak:
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi traumatic (
edema fokal & difus, kontusio, hematoma intraserebral, hematoma intraventrikuler,
hematoma ekstraserebral, perdarahan subarachnoid,fraktur). Indikasi dilakukan CT scan
adalah : CT scan dilakukan pada semua cedera otak berat, penurunan GCS lebih dari 1,
lateralisasi (pupil anisokor, hemiparesis), luka tusuk/tembak, GCS di bawah 15 dan tidak
membaik selama terapi konservatif, kejang, nyeri kepala/muntah,
bradikardi.(Samsuhidayat, 1997)
2. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
Pemeriksaan ini jarang digunakan untuk cedera otak karena kurang praktis dan memiliki
keterbatasan dalam deteksi perdarahan pada jam-jam pertama.(ATLS, 1997)
3. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti: perubahan
jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
4. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
9. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
10. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial
11. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran

10. Penatalaksanaan
Penanganan cedera otak sesuai dengan ATLS (Advanced trauma life support) yang
meliputi, anamnesa sampai pemeriksaan fisik secara seksama:
Primary survey
1. Menilai “airway” jalan napas, buka jalan nafas (head tilt, chin lift, jaw trust) untuk
membebaskan jalan nafas demi menjamin petukaran udara adekuat, bersihkan jalan
napas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris
dengan badan dengan memasang kolar servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jika
cedera orofasial mengganggu jalan napsa, maka pasien harus diintubasi.
2. Menilai “breathing” pernapasan, look-listen-feel, tentukan apakah pasien bernapas
spontan atau tidak. Jika tidak, beri oksigen melalui masker oksigen.
3. Menilai “circulation” sirkulasi, otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi.
Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya
cedera intraabdomen atau dada. Hentikan perdarahan dari luka terbuka. Pasang alat
pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena
untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa dan analisis gas
darah arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan larutan kristaloid (dekstrosa atau
dekstrosa dalam salin) menimbulkan eksaserbasi edem aotak pasca cedera kepala.
Keadaan hipotensi, hipoksia, dan hiperkapnia memperburuk cedera kepala.
4. Disability : monitoring GCS.
5. Environtment : berikan posisi in line position (cedera cervical).
6. Obati kejang, kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus
diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi
sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB
diberikan intravena perlahan-lahan dnegan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
7. Menilai tingkat keparahan

Secondary Survey
a. Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi: umumnya, pasien dnegan stupor atau
koma (tidak dapat mengikuti perintah karena derajat kesadaran menurun) harus
diintubasi untuk proteksi jalan nafas
b. Monitor tekanan darah: jika pasien memperlihatkan tanda ketidakstabilan
hemodinamik (hipotensi atau hipertensi Karena auroregulasi sering terganggu pada
cedera kepala akut, maka tekanan arteri rata-rata harus dipertahankan untuk menghindari
hipotensi (<70 mmHg) dan hipertensi (>130mmHg). Hipotensi dapat menyebabkan
iskemia otak sedangkan hipertensi dapat mengeksaserbasi serebri.
c. Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS < 8,
d. Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal atau laruran ringer
laktat) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan
dalam salin 0,45% atau dekstrosa 5% dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi
edema serebri.
e. Nutrisi : cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik,
dnegan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral melalui
pipa nasogastrik atau nasoduodenal harus diberikan sesegera mungkin(biasanya hari ke-2
perawatan).
f. Temperatur badan: demam (temp > 101°F) mengeksaserbasi cedera otak dan harus
diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin. Pengobatan penyebab
(antiboitik) diberikan bila perlu.
g. Antikejang : fenitoin 15-20 mg/kg BB bolus intravena, kemudian 300mg/hari
intravena mengurangi frekuensi kejang pasca trauma dini (minggu pertama) dari 14%
menjadi 4% pada pasien dengan perdarahan intrakranial traumatik. Pemberian fenitoin
tidak mencegah timbulnya epilepsi pasca traumadi kemudian hari. Jika pasien tidak
menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin harus
dipantau ketat karena kadar subterapi sering disebabkan hipermetabolisme fenitoin.
h. Steroid : steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien cedera kepala
dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hipergilkemia dan komplikasi lain. Untuk itu,
steroid hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut
(deksametason 10 mg intravena setiap 4-6 jam selama 48-72 jam).
i. Profilaksis trombosis vena dalam: sepatu bot kompresif pneumatik dipakai pada
pasien yang tidak bergerak untuk mencegah terjadinya trombosis vena dalam pada
ekstremitas bawah dan resiko yang berkaitan dengan tromboemboli paru. Heparin 5000
unit subkutan setiap 12 jam dapat diberikan 72 jam setelah cedera pada pasien dengan
imobilisasi lama, bahkan dnegan adanya perdarahan intrakranial.
j. Profilaksis ulkus peptik: pasien dengan ventilasi mekanis atau koagulopati
memiliki resiko ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat ranitidin 50mg
intravena setiap 8jam atau sukralfat 1g peroral setiap 6 jam atau H2 antagonis lain atau
inhibitor proton.
k. Antibiotik: penggunaan antibiotik rutin untuk profilaksis pada pasien dnegan
cedera kepala terbuka masih kontroversial. Golongan pinisilin dapat mengurangi resiko
meningitis pneumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau
udara intrakranial tetapi dapat meningkatkan resiko infeksi dnegan organisme ayang
lebih virulen.
l. CT Scan lanjutan: umumnya, skan otak lanjutan harus dilakukan 24 jam setelah
cedera awal pada pasien dnegan perdarahan intrakranial untuk menilai perdarahan yang
progresif atau yang timbul belakangan. Namun, biaya menjadi kendala penghambat.
Kriteria KRS pada C edera Otak Ringan :
a. Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan)
dalam batas normal
b. Foto servikal jelas normal
c. Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien 24 jam pertama,
dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala
perburukan
Kriteria perawatan di rumah sakit :
a. Adanya darah intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan
b. Konfusi, agitasi atau kesadaran menurun
c. Adanya tanda atau gejala neurologis fokal
d. Intoksikasi obat atau alkohol
e. Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
f. Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien dirumah

11. Pengkajian Keperawatan


1) Pemakaian alat pengaman/ pelindung diri pada saat bekerja.

2) Riwayat trauma.

3) Sakit kepala, kaku leher

Pola nutrisi metabolik

1) Mual, muntah, anoreksia

2) Gangguan menelan
3) Kehilangan penyerapan

4) Hipertermi

Pola eliminasi

1) Perubahan pola berkemih dan buang air besar (inkontinensia)

2) Bising usus negatif

3) Gangguan BAB (obstipasi)

Pola aktivitas dan latihan

1) Kelemahan fisik

2) Gangguan tonus otot terjadinya kelemahan otot, gangguan tingkat kesadaran

Pola tidur dan istirahat

1) Gelisah

2) Sulit tidur, sering terbangun

3) Cenderung tidur.

Pola persepsi sensori dan kognitif

1) Perubahan status mental (orientasi, perhatian, emosi, tingkah laku, memori).

2) Gangguan penglihatan

3) Kehilangan refleks tendon.

4) Kelemahan

5) Hilangnya rangsangan sensorik


6) Gangguan rasa pengecapan dan penciuman

7) Penurunan kesadaran sampai dengan koma

8) Penurunan memori, pemecahan masalah

9) Kehilangan kemampuan masuknya rangsangan fisual

Pola persepsi dan konsep diri

1) Perasaan tidak berdaya dan putus asa.

2) Emosi labil dan kesulitan untuk mengekspresikan

Pola peran hubungan dengan sesama

1) Ketidakmampuan dalam berkomunikasi (kehilangan komunikasi verbal/ bicara pelo)

Pola reproduksi seksualitas

1) Tidak dapat melakukan hubungan seksual

2) Penyimpangan seksualitas

Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stress

1) Perasaan tidak berdaya, putus asa

2) Emosi labil

3) Mudah tersinggung

Pola sistim kepercayaan

1) Kegiatan ibadah terganggu


12. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien cedera kepala sedang menurut
Doengoes Marilyn E (2000 : 273)

1. Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan adanya edema atau


hematoma dan perdarahan otak.
2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler.
3. Perubahan persepsi sensorik yang berhubungan dengan perubahan persepsi sensori,
tranmisi, dan atau integrasi ( trauma / deficit neurologist).
4. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan persepsi atau
kognitif, penurunan ketahanan, therapy pembatasan / kewaspadaan keamanan (tirah
baring).
5. Resiko infeksi yang berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur
invasive.
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan intake
yang tidak adekuat.

13. Perencanaan Keperawatan:


a. Intervensi Keperawatan dan Rasional
1. Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan adanya edema atau hematoma
dan perdarahan otak.

Tujuan : Perfusi jaringan cerebral optimal secara bertahap setelah di lakukan tindakan
keperawatan dalam waktu 7 x 24 jam

Sasaran :

– Kesadaran pasien compos mentis

– TTV dalam batas normal ( TD : 100-130/60-90mmHg, P:12-20x/mnt, N : 60-


100x/mnt, S: 36ºC-37ºC).
– Pasien tampak rileks.

Intervensi :

1) Kaji keluhan, observasi TTV tiap 2-4 jam dan kesadaran klien

Rasional : Untuk mengetahui keadaan umum pasien sebagai standar

dalam menentukan intervensi yang tepat

2) Kaji karakteristik nyeri (intensitas, lokasi, frekuensi dan faktor yang

mempengaruhi).

Rasional :Penurunan tanda dan gejala neurologis atau kegagalan dalam

pemulihannya merupakan awal pemulihan dalam memantau TIK.

3) Kaji capillary refill, GCS, warna dalam kelembapan kulit.

Rasional : Untuk mengetahui tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK

4) Kaji tanda peningkatan TIK ( kaku kuduk, muntah proyektil dan

penurunan kesadaran.

Rasional : Untuk mengetahui potensial peningkatan TIK.

5) Berikan klien posisi semifowler, kepala ditinggikan 30 derajat.

Rasional : Memberi rasa nyaman bagi klien

6) Anjurkan orang terdekat ( keluarga ) untuk bicara dengan klien walaupun hanya lewat
sentuhan.

Rasional : Ungkapan keluarga yang menyenangkan memberikan efek


menurunkan TIK dan efek relaksasi bagi klien.

7) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi obat-obatan

neurologis.

Rasional : Sebagai therapi terhadap kehilangan kesadaran akibat

kerusakan otak, kecelakaan lalu lintas dan operasi otak.

2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (
cidera pada pusat pernapasan )

Tujuan : bersihan jalan nafas kembali efektif setelah dilakukan tindakan


keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam.

Sasaran : pola nafas dalam batas normal dan irama teratur.

Intervensi :

1) Kaji keluhan TTV

Rasional : mengetahui keadaan umum dan standar untuk menentukan

intervensi selanjutnya.

2) Auskutasi bunyi nafas, frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan.

Rasional : perubahan dapat menandakan luasnya keterlibatan otak.

3) Berikan klien posisi yang nyaman; posisi semi fowler.

Rasional : memberikan kemudahan klien dalam bernafas dan

Memberikan rasa nyaman.


4) Anjurkan klien untuk batuk efektif dalam melakukan nafas dalam jika

klien sadar

Rasional : mencegah/ menurunkan atelektasis.

5) Lakukan pengisapan slym dengan hati-hati.

Rasional : pengisapan slym pada trakeostomi lebih dalam dapat

menyebabkan hypoxia.

6) Lakukan clapping dan vibrasi pada klien terutama pada pada area

punggung.

Rasional : agar klien lebih rileks dan nyaman.

7) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi bronkodilator dan

oksigen.

Rasional : bronkodilator sebagai pengencer dahak dan oksigen memberi kemudahan klien
dalam bernafas.

3. Perubahan pesepsi sensori yang berhubungan dengan perubahan persepsi sensori, transmisi
(trauma/ deficit neurologist) ditandai oleh : disorientasi waktu, tempat orang, perubahan repon
terhadap rangsang.

Tujuan : Persepsi sensori dapat kembali optimal secara bertahap

setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam.

Sasaran :
– Orientasi terhadap waktu, tempat, orang.

– Mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi

Intervensi :

1) Evaluasi/ pantau secara teratur orientasi, kemampuan berbicara dan

sensorik.

Rasional : fungsi serebral bagian atas biasanya terpengaruh lebih dulu oleh adanya
gangguan sirkulasi, oksigenasi, kerusakan dapat terjadi

saat trauma awal atau kadang-kadang.

2) Hilangkan suara bising/ stimulasi yang berlebihan sesuai kebutuhan.

Rasional : menurunkan ansietas, respon emosi yang berlebihan/ bingung yang


berhubungan dengan sensorik yang berlebihan.

3) Bicara dengan suara lembut dan pelan, gunakan kalimat yang pendek dan sederhana,
pertahankan kontak mata.

Rasional : Pasien mungkin mengalami keterbatasan perhatian/ pemahaman selama


fase akut dan penyembuhan dan tindakan ini membantu pasien untuk memunculkan
komunikasi.

4) Buat jadwal istirahat yang adekuat/ periode tidur tanpa ada gangguan.

Rasional : mengurangi kelelahan, mencegah kejenuhan, memberikan


kesempatan untuk tidur.

5) Kolaborasi dengan ahli fisiotherapy..

Rasional : Pendekatan antara disiplin dapat menciptakan rencana penatalaksanaan


integrasi yang didasarkan atas kombinasi kemampuan /ketidakmampuan secara individu
yang unik dengan berfokus pada peningkatan evaluasi dan fungsi fisik, kognitif, dan
keterampilan aktual.

4. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif,
penurunan kekuatan pertahanan, tetapi pembatasan/ kewaspadaan (tirah baring).

Tujuan : Aktivitas terpenuhi setelah di lakukan tindakan keperawatan 3×24 jam.

Sasaran :Klien mampu melakukan aktivitas ringan seperti mandi sendiri dikamar mandi,
keluhan nyeri dikepala kurang.

Intervensi :

1) Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada

kerusakan yang terjadi.

Rasional : Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional

dan mempengaruhi intervensi yang akan dilakukan.

2) Letakkan klien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan

karena tekanan.

Rasional : perubahan posisi yang teratur meningkatkan sirkulasi pada

seluruh tubuh.

3) Bantu untuk melakukan rentang gerakan.

Rasional : mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi

4) Tingkatkan aktivitas dan partisipasi dalam merawat diri sendiri sesuai


kemampuan.

Rasional : proses penyembuhan yang lambat sering kali menyertai

trauma kepala, keterlibatan klien dalam perencanaan dan

keberhasilan

5) Beri perawatan kulit dengan cermat, masase dengan pelembab

Rasional : meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit.

6) Kolaborasi dengan ahli fisiotherapi untuk program rehabilitasi sesuai

indikasi.

Rasional : membantu dengan metode pengajaran yang baik untuk

kompensasi gangguan pada kemampuan pergerakan.

5. Resiko tinggi infeksi sekuder yang berhubungan dengan prosedur infasif.

Tujuan : Infeksi tidak terjadi setelah dilakukan tindakan keperawatan 3×24

jam.

Sasaran :

 Tidak terdapat tanda infeksi (tumor, dolor, kalor, rubor dan fungsileisa).
 TTV dalam batas normal.
 Luka tampak bersih

Intervensi :

1) Kaji TTV, perhatikan peningkatan suhu.


Rasional : peningkatan suhu bagian dari tanda infeksi.

2) Kaji tanda-tanda infeksi (tumor kalor rubor, dolor, fungsileisa)

Rasional : untuk menentukan tindakan selanjutnya yang lebih tepat.

3) Lakukan tehnik perawatan luka secara steril 1x/hari

Rasional : mencegah infeksi lebih lanjut.

4) Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan perawatan luka.

Rasional : mengurangi terjadinya kontaminasi silang.

5) Beri posisi miring kiri atau kanan sesuai kebutuhan.

Rasional : penekanan yang berlebihan pada area luka dapat mengiritasi

kulit.

6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotic

Rasional : antibiotic untuk mencegah infeksi

6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan

intake yang tidak adekuat.

Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi setelah dilakukan tindakan

keperawatan dalam waktu 3×24 jam.

Sasaran :

 Klien dapat menghabiskan 1 porsi makanan.


 Keluhan mual, muntah dan anorexia berkurang sampai hilang.
 Klien makan secara spontan.
 Berat badan meningkat.

Intervensi :

1) Observasi TTV dan keadaan umum klien.

Rasional : untuk mengetahui kesehatan actual klien

2) Kaji tugor kulit, mukosa mulut klien.

Rasional : untuk mengetahui tanda-tanda kekurangan nutrisi.

3) Kaji keluhan mual, muntah dan napsu makan klien.

Rasional : untuk mengetahui berat ringannya keluhan, sebagai standar

dalam menentukan intervensi yang tepat.

4) Timbang berat badan klien jika memungkinkan.

Rasional : untuk menilai keadaan nutrisi klien.

5) Beri makan cair via NGT.

Rasional : untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.

6) Catat jumlah/ porsi makanan yang dihabiskan klien.

Rasional : untuk mengetahui berapa banyak nutrisi yang masuk.

7) Beri makanan cair yang mudah ditelan seperti bubur.

Rasional : makanan yang mudah ditelan dapat mengurangi kerja

lambung.
8) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapy parenteral, anti

emetik.

Rasional : untuk mencukupi intake yang kurang dan mengurangi mual

dan muntah.

b. Discharge Planning

1. Jelaskan kepada keluarga, bahwa perubahan yang terjadi pada pasien bukan
merupakan bentuk kelainan jiwa, tetapi adalah komplikasi dari benturan yang dialami
pasien.
2. Anjurkan pada keluarga, agar pada saat berbicara dengan pasien menggunakan
metode “kembali ke realita”
3. Anjurkan pada keluarga agar tidak merubah posisi/letak barang-barang yang ada di
rumah khususnya kamar pasien.
4. Anjurkan pada keluarga untuk membantu pasien dalam perawatan diri dan
pemenuhan kebutuhan dasar.
DAFTAR PUSTAKA

Dewanto, G., Suwono, W.J., Riyanto, B & Turana, Y. 2007. Panduan Praktis Diagnosis
& Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Grace, P.A & Borley, N.R. 2007. At a Glance ILMU BEDAH. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Kowalak, J.P. 2003. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
http://sugengmedica.wordpress.com/2012/03/09/cedera-kepala/

You might also like