You are on page 1of 9

A.

Fraktur dan dislokasi :


1. Management trauma dari primary sampai secondary survey
2. Prinsip penanganan fraktur secara umum dan khusus
3. Fraktur terbuka
4. Fraktur collum femur
5. Fraktur shaft femur
6. Fraktur supracondylus anak
7. Fraktur tibia dan fibula
8. Dislokasi anterior bahu
9. Dislokasi posteriot panggul
B. Kongenital
10. CTEV
11. DDH
C. Metabolik
12. Rickets
13. Osteomalacia
14. Osteoporosis dan fraktur osteoporosis
15. Paget’s disease
16. Scurvy
D. Onkologi
17. GCT
18. Osteosarcoma
19. Osteochondroma
20. Ewing sarcoma
21. Bone cyst
22. MM
E. Degeneratif
23. OA
24. RA
25. OA servical
F. Infeksi
26. Osteomyelitis
27. Septic arthritis
28. Tuberculosis
G. Lain-lain
29. Spinal stenosis
30. Osteochondrosis
31. Perthes disease
32. Cartilaginosis
33. Scoliosis
34. Hallus Valgus
35. Sindroma kompartemen

MANAJEMEN TRAUMA DARI PRIMARY SAMPAI SECONDARY SURVEY

1. PRIMARY SURVEY
a. Airway dan Proteksi C-Spine
 Assessment : Pastikan patensi, periksa adanya sumbatan
 Management :
 Lakukan maneuver chin-lift atau jaw thrust,
 Bebaskan jalan napas dari benda asing,
 Gunakan OPA,
 Jika diperlukan gunakan jalan napas definitive (Intubasi, surgical cricothyrodotomy,
 Lakukan jet insufflasi (sementara).
 Pertahankan posisi c-spine dengan imobilisasi manual selama tatalaksana jalan napas.
 Gunakan alat imobilisasi yang tepat (rigid cervical collar) setelah jalan napas bebas.
b. Breathing (ventilasi dan oksigenasi)
 Assessment :
 Periksa leher dan dada, dan pastikan imobilisasi yang baik,
 Periksa frekuensi dan dalamnya napas,
 Inspeksi dan palpasi leher dan dada untuk memeriksa adanya deviasi trachea,
pergerakan dinding dada, tanda-tanda penggunaan otot napas tambahan, maupun
tanda cedera lainnya.
 Management :
 Beri oksigen konsentrasi tinggi,
 Ventilasi menggunakan bag and mask,
 Bebaskan tension pneumothorax,
 Tutup open pneumothorax,
 Gunakan monitor CO2 pada ETT,
 Pasang pulse oksimetri pada pasien.
c. Circulation dengan control perdarahan
 Assessment :
 Identifikasi sumber perdarahan external,
 Identifikasi sumber potensial perdarahan internal,
 Nilai nadi : kualitas, frekuensi, regularitas, dan paradox
 Evaluasi warna kulit,
 Ukur tekanan darah.
 Management :
 Balut tekan pada perdarahan external,
 Jika terdapat kemungkinan perdarahan internal, siapkan konsultasi dan kemungkinan
tindakan pembedahan
 Pasang 2 Kateter IV caliber besar,
 Secara bersamaan ambil darah untuk pemeriksaan hematologi, kimia darah, tes
kehamilan, golongan darah dan cross match
 Mulai resusitasi cairan dengan menggunakan cairan kristaloid atau darah yang hangat,
 Hindari hipotermia.
d. Disability (Pemeriksaan Neurologi singkat)
 Tentukan tingkat kesadaran menggunakan Glasgow Coma Scale
 Periksa ukuran dan reaksi pupil
 Periksa tanda lateralisasi dan cedera medulla spinalis.
e. Exposure : lepas seluruh pakaian pasien, namun cegah hipotermia.
f. Adjunct to primary survey
 Periksa AGD dan frekuensi napas
 Monitor CO2 pernapasan menggunakan kapnograf
 Pasang monitor EKG
 Pasang kateter urin dan gaster kecuali ada kontraindikasi, serta monitor output urin tiap jam
 Buat foto rontgen thorax AP dan Pelvic (bedside).
 Pertimbangkan untuk dilakukan FAST atau DPL.
g. Lakukan Assessment ulang ABCDE dan pertimbangkan kemungkinan merujuk pasien.

2. SECONDARY SURVEY
a. Anamnesis
 Dapatkan riwayat AMPLE (Allergy, Medication, Previous medical/surgical history, Last meal,
Events) dari keluarga atau pengantar.
 Dapatkan riwayat kejadian sehingga dapat ditentukan mekanisme cedera.
b. Head to Toe Examination
Kepala dan Maksilofasial
 Assessment :
 Inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk mencari adanya laserasi, memar,
fraktur, maupun cedera thermal.
 Reevaluasi pupil
 Reevaluasi GCS
 Periksa mata untuk mencari adanya perdarahan, cedera tembus, gangguan
penglihatan, dislokasi lensa, penggunaan lensa kontak
 Evaluasi fungsi saraf cranial
 Periksa telinga dan hidung untuk mencari adanya kebocoran LCS
 Periksa mulut untuk mencari perdarhan dan kebocoran LCS, laserasi jaringa lunak, dan
gigi yang terlepas.
 Management :
 Pertahankan jalan napas dan lanjutkan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
 Control perdarahan
 Hindari cedera kepala sekunder
 Lepaskan lensa kontak.

Cervical Spine dan Leher

 Assessment :
 Inspeksi tanda cedera tumpul dan tajam, deviasi trachea, dan pengunaan otot
pernapasan tambahan
 Palpasi untuk menentukan nyeri tekan, deformitas, pembengkakan, emfisema
subkutis, deviasi trachea, dan simetri nadi
 Auskultasi arteri karotis untuk mencari bruit
 Management : pertahankan in-line imobilisasi dan proteksi cervical spine yang adekuat.

Chest

 Assessment :
 Inspeksi dinding dada anterior, lateral, dan posterior untuk mencari tanda trauma
tumpul atau tembus, penggunaan otot pernapasan tambahan, dan gerakan dinding
dada.
 Auskultasi dinding dada anterior dan posterior untuk mendengarkan suara napas
(menghilang) dan jantung (menjauh).
 Palpasi dinding dada untuk mencari tanda trauma tumpul dan tajam, emfisema
subkutis, nyeri tekan, dan krepitasi.
 Perkusi untuk mencari tanda hyperesonansi maupun pekak.
 Management :
 Lakukan dekompresi dengan jarum atau menggunakan chest tube jika dibutuhkan
 Sambungkan chest tube pada tabung WSD
 Tutupi luka terbuka pada dinding dada dengan tepat
 Kirim pasien ke kamar bedah jika diperlukan.

Abdomen dan pelvis

 Assessment :
 Inspeksi abdomen anterior dan posterior untuk mencari tanda trauma tumpul
maupun tembus
 Auskultasi untuk mendengarkan bising usus
 Palpasi abdomen untuk mencari nyeri tekan, defans muscular, tanda kehamilan,
palpasi symphisis pubis untuk mencari pelebaran, lakukan pemeriksaan stabilitas
pelvis (hanya satu kali).
 Lakukan FAST/DPL jika dibutuhkan
 Periksa foto rontgen pelvis
 Lakukan pemeriksaan CT Scan jika kondisi hemodinamil stabil.
 Management :
 Segera kirim pasien ke kamar operasi jika diperlukan
 Pasang pelvic binder untuk mengurangi volume pelvis dan mengontrol perdarahan
dari fraktur pelvis.

Perineum/rectum/vagina

 Perianal assessment : memar, laserasi, perdarahan uretra.


 Rectal assessment : perdarah dari anus, tonus spincter ani, fragment tulang, posisi prostat.
 Vaginal Assesment : perdarahan pervaginam, laserasi vaginal.

Muskuloskeletal

 Assessment :
 Inspeksi ekstrimitas atas untuk mencari memar, laserasi, dan deformitas
 Palpasi untuk mencari nyeri tekan, krepitasi, menilai ROM, dan sensasi
 Palpasi nadi perifer dan nilai keseimbangan
 Laukan log-roll untuk inspeksi dan palpasi thoracal dan lumbar spine untuk mencari
memar, laserasi, nyeri tekan, deformitas, dan sensasi
 Evaluasi x-ray untuk mencari bukti adanya fraktur sesuai indikasi.
 Management :
 Lakukan imobilasi menggunakan bidai yang sesuai untuk fraktur ekstrimitas
 Pertahankan imobilisasi thoracal dan lumbar spine, gunakan
 Berikan imunisasi tetanus
 Berikan medikasi sesuai indikasi atau arahan spesialis
 Perhatikan tanda-tanda kompartemen syndrome.
 Lakukan pemeriksaan neurovascular ekstrimitas.

Neurologis

 Assessment :
 Reevaluasi pupil dan derajat kesadaran
 Tentukan score GCS
 Lakukan pemeriksaan kekuatan motoric ekstrimitas
 Perhatikan tanda lateralisasi.
 Management :
 Pertahankan ventilasi dan oksigenisasi adekuat
 Pertahankan imobilsasi keseluruhan tubuh pasien.

c. Adjunct to Secondary Survey : lakukan hanya jika kondisi pasien stabil


 Spinal X-ray
 CT-Scan kepala, thorax, abdomen, dan atau spine
 Contrast urography
 Angiography
 X-ray ekstrimitas
 Transesophageal ultrasound
 Bronchoscopy
 Esophagoscopy
d. Reevaluasi
e. Transfer untuk penganganan definitive.

PRINSIP PENANGANAN FRAKTUR SECARA UMUM DAN KHUSUS

A. PRINSIP UMUM PENANGANAN FRAKTUR


1. Jangan membuat keadaan lebih jelek
Beberapa komplikasi terjadi akibat pengobatan yang diberikan disebut juga dengan iatrogenik.
Dapat dihindari dengan melakukan tindakan yang mamadai seperti mencegah kerusakan jaringan
lunak pada saat transportasi, serta perawatan luka terbuka dengan tepat.
2. Pengobatan berdasarkan atas diagnosis dan prognosis yang akurat
Diagnosis yang tepat dapat mempengaruhi prognosis dengan pemilihan metode pengobatan yang
tepat.
Factor yang mempengaruhi prognosis : umur penderita, lokasi dan konfigurasi, pergeseran awal serta
vaskularisasi dari fragmen fraktur.
3. Seleksi pengobatan dengan tujuan khusus
 Menghilangkan nyeri : dengan imobilisasi dan analgetika
 Memperoleh posisi yang baik dari fragmen : beberapa fraktur tanpa pergerseran fragmen
tulang tau pergerakan minimal sehingga tidak perlu di reduksi.
 Mengusahakan terjadinya penyambungan tulang : pada fraktur tertentu misalnya terjadi
kerusakan hebat pada periost atau jaringan lunak sekitar perlu dilakukan usaha untuk
terjadinya union contohnya dengan bone graft.
 Mengembalikan fungsi secara optimal : perlu dilakukan latihan untuk mencegah terjadinya
atrofi, dan mempertahankan kekuatan otot serta sirkulasi darah.
4. Mengingat hukum-hukum penyembuhan secara alami
5. Bersifat realistic dan praktis dalam memilih jenis pengobatan
6. Seleksi pengobatan sesuai dengan penderita secara individual
Perlu diperhatikan : faktur umur, jenis fraktur, komplikasi yang terjadi, dan factor lain seperti social
ekonomi penderita.
Sebelum pengobatan definitive perlu diperhatikan prinsip 4R :
1. Recognition, yaitu mengetahui dan menilai keadaan fraktur berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan radiologis. Perlu diperhatikan :
 Lokasi fraktur
 Bentuk fraktur
 Menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan
 Komplikasi yuang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan
2. Reduction, restorasi fragmen fraktur sehingga didapatkan posisi yang dapat diterima.
 Posisi yang baik adalah : alignment yang sempurna dan aposisi yang sempurna
 Fraktur yang tidak memerlukan reduksi seperti fraktur klavikula, iga, fraktur impaksi pada
humerus, angulasi <50 dari tulang panjang anggota gerak bawah dan <10 0 pada humerus masih
dapat diterima. Terdapat kontak sekurang-kurangnya 50%, overriding yang tidak melibihi 0,5”
pada fraktur femur.
 Adanya rotasi tidak dapat diterima dimanapun lokasi fraktur.
3. Retention, yaitu imobilisasi fraktur
4. Rehabilitation, mengembalikan aktivitas fungsional semaksimal mungkin.

B. PRINSIP KHUSUS PENANGANAN FRAKTUR


1. Proteksi Semata
 Dilakukan dengan pemberikan sling pada ekstrimitas atas atau tongkat pada anggota gerak
bawah
 Indikasi : Fraktur yang tidak bergeser, fraktur iga yang stabil, fraktur phalanx dan metacarpal
atau fraktur klavikula pada anak, fraktur kompresi tuklang belakang, fraktur impaksi pada
humerus proksimal serta pada fraktur yang telah mengalami union secara klinis namun belum
mencapai konsoliodasi radiologis.
2. Imobilisasi dengan bidai eksterna
 Hanya memberikan sedikit imobilisasi misalnya dengan menggunakan plaster of paris (gips)
atau berbagai macam bidai dengan bahan platik atau metal.
 Indikasi : fraktur yang harus dipertahankan posisinya dalam proses penyembuhan.
3. Reduksi terutup dengan manipulasi eksterna diikuti imobilisasi
 Dilakukan dengan pembiusan umum atau local.
 Reposisi dilakukan dengan melawan kekuatan terjadinya fraktur.
 Penggunaan gips untuk imobilisasi merupakan alat utama pada teknik ini.
 Indikasi : fraktur displaced yang masih bisa dilakukan reduksi tertutup dan dapat
dipertahankan.
 Resiko : bias memperparah kerusakan jaringan lunak dan sindroma kompartemen.
4. Reduksi tertutup dengan traksi berlanjut diikuti imobilisasi
 Dapat dilakukan dengan traksi tulang maupun traksi kulit.
 Indikasi : fraktur tulang panjang yang tidak stabil baik oblique, spiral, maupun kominutif
ataupun fraktur spinal yang tidak stabil.
 Resiko : traksi longitudinal yang dilakukan terlalu lama setelah terjadinya fraktur dapt
menyebabkan spasme arterial yang mengakibatkan volkmans iskemia sehingga terjadi
sindroma kompartemen. Traksi kulit yang berlebihan dapat menyebabkan skin loss. Traksi
tulang dapat mengakibatkan infeksi. Dan traksi tulang yang tidak dikontrol secara tepat dapat
menyebabkan nonunion atau delayed union.
5. Reduksi tertutup diikuti functional fracture bracing
 Prinsip yang mendasari : imobilisasi rigid dianggap tidak bermanfaat dan menghambat
penyembuhan, gerakan terkontrol dapat menstimulasi proses penyembuhan dan
pembentukan kalus, dapat mencegah komplikasi kekakuan iatrogenic, reduksi tidak
mengakibatkan gangguan secara tampilan atau kosmetik. Secara sosio ekonomik dianggap
lebih unggul karena masa perawatan lebih pendek, bebas resiko infeksi, dan lebih cepat
kembali ke kegiatan normal.
 Indikasi : fraktur shaft tibia, 1/3 distal femur, humerus, dan ulna pada orang dewasa.
 Resiko : kegagalan mendapatkan posisi yang masih dapat diterima.
6. Reduksi tertutup dengan manipulasi diikuti fiksasi eksterna tulang
 Indikasi : Fraktur kominutif berat shaft tibia atau femur terutama fraktur terbuka derajat 3.
Fiksasis eksterna dapat pula dilakukan pada fraktur tida kstabil pelvis, humerus, radius, dan
metacarpal.
 Resiko : infeksi
7. Reduksi tertutup dengan manipulasi diikuti fiksasi interna tulang.
 Indikasi : Fraktur Kolum femur
 Resiko : kegagalan mendapatkan posisi dan imobilasi fragmen yang baik, infeksi.
8. Reduksi terbuka diikuti fikasi internal tulang.
 Indikasi : Jika reduksi tertutup tidak memungkinakan atau terbukti gagal, jika terjadi kerusakan
vascular yang membutuhkan eksplorasi dan perbaikan. Kontraindikasi ORIF adalah fraktur
shaft tibia dan femur.
 Resiko : infeksi (osteomyelitis), kerusakan pembuluh darah dan saraf, kekakuan sendi rpoksimal
dan distal, kerusakan periosteum hebat sehigga terjadi delayed atau non-union, emboli lemak.
9. Eksisi fragmen tulang dan penggantian dengan protesis
 Indikasi : pada fraktur kolum femur dan sendi siku (terutama pada orang tua) dimana biasa
terjadi avascular nekrosis atau non union.
 Resiko : infeksi, dan pada orang tua terdapat kemungkinan protesis merusak tulang yang
mengalami osteoporosis.
FRAKTUR TERBUKA

A. Definisi :
Suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan lingkungan luat melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi
bakteri sehingga timbul komplikasi berupa infeksi

B. Klasifikasi : (menurut Gustilo)

Grade I II IIIa IIIb IIIc


Energi Lemah Sedang Tinggi Tinggi Tinggi
Ukuran Luka <1cm >1cm Luas (jaringan Luas Luas
lunak cukup
menutupi luka)
Soft Tissue Sedikit Sedang Hebat Hebat Hebat
Damage
Kontaminasi Tidak Sedang Hebat Hebat Hebat
Pola fraktur Simple Kominutif Segmental / Segmental / Segmental /
sedang kominutif berat kominutif berat kominutif
berat
Pendorongan Tidak Tidak Tidak Ya Ya
periost
(Stripping)
Penutupan Butuh Flap Butuh Flap
kulit
Kerusakan Tidak Tidak TIdak Ya Ya (butuh
neurovasc perbaikan)
ular
Antibiotika Sefalosporin Sefalosporin Sefalosporin + Sefalosporin + Sefalosporin +
(24 jam) (24 jam) Aminiglikosida Aminiglikosida Aminiglikosida
(72 jam) + (72 jam) + (72 jam) +
penisilin pada penisilin pada penisilin pada
farm injury farm injury farm injury

C. Tatalaksana :
Prinsip dasar
1. Perlakukan sebagai suatu kegawatan (Life atau limb threatening)
2. Berikan antibiotika di ruang gawat darurat, kamar operasi, dan setelah operasi.
3. Debridement dan irigasi yang baik
4. Ulangi debridement setelah 24-72 jam berikutnya
5. Stabilisasi fraktur
6. Biarkan luka terbuka antara 5-7hari
7. Lakukan bone graft autogenous secepatnya
8. Rehabilitasi anggota gerak yang terkena.

Tahap-tahap pengobatan fraktur terbuka


1. Pembersihan luka  irigasi dengan cairan NaCl Fisilogis 6-12 L
2. Eksisi jaringan mati dan tersangka mati (Debridement) : jaringan yang kehilangan vaskularisasi
merupakan media perkembangan bakteri. Perlu dilakukan eksisi secara operatif pada kulit, jaringan
subkutan, lemak, fasia, otot, dan fragmen yang lepas.
3. Pengobatan fraktur itu sendiri :
 Gustilo I, II, IIIa  internal fiksasi,
 Gustilo IIIb dan IIIc eksternal fiksasi.
4. Penutupan Kulit :
 Apabila fraktur diobati dalam periode emas (6-7 jam sejak terjadi kecelakaan) maka sebaiknya kulit
ditutup.
 Penutupan tidak dapat dilakukan bila membuat kulit sangat tegang.
 Dapat dilakukan split thickness Skin Graft dengan pemansanbgan drainase isap untuk mencegah
akumulasi darah dan serum pada luka dalam.
 Luka dibiarkan terbuka tidak lebih dari 10 hari  ditutup kembali disebut delayed primary closure.
5. Pemberian antibiotika  pencegahan infeksi, diberikan sebelum, saat, dan sesudah operasi.
6. Pencegahan tetanus :
 Penderita dengan riwayat imunnisasi jelas  TT
 Riwayat imunisasi tidak jelas  Tetanus Imuniglobulin 250 IU

D. Komplikasi :
1. Perdarahan
2. Sepstikemia
3. Tetanus
4. Gangren
5. Perdarahan sekunder
6. Osteomyelitis
7. Delayed union
8. Non atau Mal union
9. Kekakuan sendi
10. Komplikasi lain karna perawatan lama.

You might also like