You are on page 1of 4

1) Presiden mengecam keras tindakan anarkis yang dilakukan sekelompok orang yang merusak

fasilitas peribadatan dan fasilitas lain di Temanggung; (2) Polda Jateng diperintahkan segera
mencari pelaku tindakan anarkhis tersebut dan segera ditindaklanjuti dengan proses hukum;
(3)Aparat Pemda dan aparat keamanan di daerah agar meningkatkan deteksi dan tindakan
pencegahan dini, serta menindak tegas setiap tindakan anarkis apa pun alasan yang
melatarbelakanginya; dan (4)Kepada aparat di daerah agar menindaklanjuti instruksi ini sesuai
dengan wilayah dan tanggung jawabnya…….
Pernyataan diatas merupakan penggalan tanggapan Presiden RI atas terjadinya tragedi kerusuhan di
Temanggung, Jawa Tengah pada tanggal 8 Februari 2011. Peristiwa ini merupakan salah satu dari
sekian banyak konflik sosial yang pecah di bumi pertiwi ini. Lalu pertanyaan akan muncul dibenak
kita semua, apakah masyarakat Indonesia telah kehilangan hati nurani hingga banyak sekali timbul
kerusuhan di negara ini?
***
Dalam wujudnya, hukum merupakan sebuah sistem norma yang memberikan penekanan pada aspek
‘das solen’, melalui peraturan-peraturan mengenai apa yang seharusnya dilakukan. Hukum akan
melalui peraturannya akan memberikan sebuah batasan kepada kita untuk ‘jangan berbohong’,
‘jangan membunuh’ dan sebagainya. Lalu bagaimana caranya kita bisa melihat realitas dari hal-hal
yang konkret?
Dalam dunia hukum das solen dan das sein merupakan dua hal yang saling melengkapi antara satu
dengan yang lain. Das sein merupakan sebuah peristiwa yang konkret, atau tentang apa yang ada
(terjadi). Analogi sederhana adalah ketika kita memotong leher ayam untuk kita santap sebagai lauk
saat makan siang tentu akan terasa nikmat. Memotong leher ayam merupakan sebuah hal yang
konkret, namun ketika pisau tersebut kita gunakan untuk memotong leher manusia maka kita akan
melanggar hukum tentang ‘jangan membunuh’ atau apa yang seharusnya. Sebaliknya, ketika das
solen tidak konkret maka tidak akan ada yang dihukum. Contohnya ketika ‘membunuh’ tidak terjadi
maka tidak akan ada yang dihukum karenanya. Kemudian kita akan bertanya, dimana hubungan
semua ini terhadap apa yang kita sebut dengan hati nurani?
Hati nurani merupakan sebuah penghayatan tentang baik atau buruk, dimana hal tersebut
berhubungan erat dengan tingkah laku diri manusia yang konkret, tentu saja dalam hal ini hati
nurani akan memberikan pengawasan dan pengendalian diri kepada kita agar hidup dijalan yang
lurus guna mencapai ketertiban dan ketenangan. Karena substansi utama dalam hati nurani adalah
kemurnian dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan praktis, yang dalam prosesnya akan
mencangkup kemampuan yang membentuk keputusan (intelek), proses, hingga menghasilkan
keputusan sebagai wujud kesimpulan dari sebuah pemikiran.
Jika kita memiliki hati nurani untuk membuat keputusan mengenai apa yang benar dan apa yang
salah, lalu mengapa masih terjadi kejahatan? Apakah pelaku kejahatan tidak memiliki hati nurani?
Pertanyaan ini sungguh menarik untuk dibedah, namun tentu kita harus melihat dalam tataran
teoritis sebelum mengupasnya pada tataran praktis. Seperti halnya pandangan classic criminology
dalam melihat kejahatan sebagai hasil pikiran seseorang yang dilakukannya secara rasional dengan
adanya sebuah kehendak bebas (free will) yang diikuti dengan kebebasan memilih (free choice),
dimana hal itu lebih menunjukkan kesengajaan untuk melakukan kejahatan. Bahwa kejahatan
adalah hasil pilihan seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam sebuah silogisme sederhana,
kita akan mendapatkan sebuah kebenaran ketika kita tepat dalam menarik kesimpulan dari sebuah
premis mayor dan premis minor yang ada. Namun jangan dilupakan bahwa kita juga dapat menarik
sebuah kesimpulan dan menghasilkan keputusan intelek yang sesat, karena penarikan premis yang
palsu serta menarik kesimpulan yang tidak logis. Oleh karena itu, hati nurani juga bisa keliru.
***
Dengan menarik sebuah kesimpulan yang sahih, maka kita cenderung untuk mendapatkan
kebenaran. Hati nurani akan berperan dalam menentukan sebuah keputusan yang benar dengan
diikuti pemikiran intelek yang baik dan proses pemikiran yang tepat. Kondisi ini akan terjadi pada
diri seorang individu. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan akan terjadi pada beberapa
orang, sekelompok orang, maupun sekumpulan massa atau khalayak ramai. Ketika terjadi aksi
terorisme melalui berbagai peledakan bom di Indonesia, banyak orang yang mengatakan bahwa hal
tersebut merupakan perbuatan yang keliru atau salah. Masyarakat Indonesia bahkan Internasional
beramai-ramai mengutuk aksi para teroris tersebut. Begitu pula dengan berbagai kejadian
kerusuhan massa yang pecah di berbagai tempat di Indonesia, semua pihak menyesalkan mengapa
sampai hal itu terjadi.
Masyarakat mengetahui bahwa sesama manusia harus saling menghormati, tenggang rasa, tepo
seliro, dan hidup rukun bersama-sama. Nilai luhur budaya bangsa tersebut seakan-akan sirna
ditelan keyakinan bersama pada sebuah kelompok orang yang terlibat dalam berbagai kerusuhan
massa di Indonesia. Peraturan mengenai apa yang seharusnya dilaksanakan (das solen) seakan-akan
tidak ada lagi, berganti dengan pengambilan keputusan terhadap sebuah keyakinan bersama yang
rasanya lebih kental aroma kepentingannya saja. Tidak ada kontrol diri yang mampu mengatakan
bahwa perbuatan ini adalah benar atau perbuatan itu adalah salah. Terbenam dibalik keputusan
untuk melakukan tindakan konkret atas dasar keyakinan kelompok yang subjektif.
Pada seorang individu, hati nurani dapat dikedepankan dalam memberikan jawaban terhadap
sebuah pertanyaan praktis mengenai “apa yang wajib kukerjakan dalam situasi konkret ini?”.
Bagaimana dengan sekelompok orang, apa yang bisa dikedepankan?. Bayangkan saja, ketika seorang
individu telah memutuskan untuk mengambil sebuah kesimpulan dari hasil pemikirannya yang
salah maka yang akan terjadi adalah terciptanya hati nurani yang keliru.
Pada kerusuhan yang terjadi di Temanggung, Jawa Tengah, massa melakukan pengerusakan telah
melanggar batas dari apa yang seharusnya mereka lakukan. Pendekatan das solen tak lagi
berpengaruh pada tindakan konkret / das sein yang ada. Mereka merusak gereja-gereja, melakukan
pembakaran, hingga menyebabkan korban luka-luka. Bahkan empat orang dari sembilan korban
luka harus dirawat inap di rumah sakit setempat. Massa yang mengamuk seakan-akan meyakini
bahwa tindakan mereka yang salah tersebut adalah benar adanya. Tidak ada kontrol diri yang
menciptakan sebuah keputuasan dari sebuah pemikiran intelek yang baik dan proses yang tepat.
Nyaris seluruh masyarakat Indonesia menyesali terjadinya kerusuhan tersebut. Sebagian besar
publik akan mengatakan bahwa perbuatan itu adalah sebuah kesalahan. Namun kita tidak bisa
memungkiri bahwa perbuatan untuk ‘merusuh’ ini dilakukan secara rasional / sadar. Publik tidak
akan mengatakan bahwa perbuatan massa yang arogan itu sebagai sebuah perbuatan yang
diakibatkan ketidak tahuan akan sebuah kebenaran atau kesalahan. Karena amuk massa tersebut
dapat dikategorikan sebagai sebuah perbuatan pidana atau dengan kata lain telah diatur oleh sebuah
hukum atau peraturan. Sulit rasanya jika kita menemukan orang yang akan mengatakan hal tersebut
adalah benar, karena andai hal tersebut kita temukan maka ketika massa arogan tersebut melakukan
pencurian atau perampokan atau penjarahan maka hal itu akan mereka anggap wajar pula adanya.
Rasanya das solen tidak mengatakan hal itu.
Seharusnya, hukum dapat memberikan pedoman mengenai apa yang seharusnya dilakukan. Nullum
crimen nulla poena sine lege , ya, tidak ada kejahatan tanpa peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya. Pengerusakan, penganiayaan, dan sejenisnya merupakan salah satu perbuatan pidana
yang telah dibuat aturan mainnya dalam perundang-undangan di Indonesia. Namun ingatkan kita
bahwa peraturan tidak akan terlaksana manakala tidak memiliki pengawal. Siapa yang akan
menegakan hukum tersebut? Benar, polisi adalah penegak hukum. Peraturan yang ada adalah
hukum yang mati, dan polisi merupakan hukum yang hidup karena ditangan polisi tersebut hukum
akan mendapatkan perwujudannya. Apa yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat (das solen)
akan diwujudkan secara konkret (das sein) oleh fungsi dan keberadaan seorang polisi baik sebagai
penegak hukum (law enforcement) maupun sebagai penjaga kamtibmas (order maintenance) serta
pelayan masyarakat (public service) sebagaimana amanat yang termaktub dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 . Lebih sederhana lagi jika kita analogikan dalam sebuah silogisme, semua
kegiatan pengerusakan tidak diperbolehkan, perbuatan saya bukan merusak, maka perbuatan saya
diperbolehkan. Ketika kelompok massa anarki tidak merasa bahwa kegiatan pembakaran gereja
tersebut bukanlah sebuah perbuatan yang melanggar hukum maka mereka akan membuat
kesimpulan bahwa perbuatan pembakaran adalah kebenaran.
Polisi (seharusnya) akan bertindak ketika hukum yang ada tidak dijalankan oleh masyarakat. Polisi
akan berperan sebagai hati nurani, melalui fungsi pre-emptif dan preventif dalam wujud pencegahan
layaknya hati nurani prospektif dan akan berperan sebagai hati nurani retrospektif dalam wujud
ketika bertindak secara represif. Secara sederhana, polisi seharusnya mencegah segala kemungkinan
yang dapat menyebabkan terjadinya kerusuhan. Polisi akan berpikir bahwa ketika persidangan
terhadap terdakwa Antonius Richmond Bawengan dapat berpotensi menyebabkan kerusuhan. Saat
massa mulai bertindak anarki, polisi seharusnya memberikan peringatan seperti halnya hati nurani
bahwa perbuatan tersebut adalah salah, bahwa hal tersebut tidak sepatutnya dilaksanakan. Dalam
melaksanakan tugas pokoknya, polisi akan memberikan pemikiran dari hasil intelektual mereka
kepada masyarakat bahwa perbuatan pengerusakan adalah salah, polisi juga merupakan proses yang
dilewati oleh pemikiran intelek karena keberadaanya sebagai penegak hukum. Karena itu polisi
merupakan hasil kesimpulan dari sebuah pemikiran intelek yang telah melewati sebuah proses.
Polisi merupakan hati nurani bagi masyarakat secara umum. Keberadaan polisi akan memberikan
kontrol diri bagi masyarakat secara luas.
Sebagai seorang penegak hukum maka ‘kitab suci’ yang digunakan oleh polisi adalah peraturan
perundang-undangan yang berlaku khususnya di Indonesia (KUHAP dan KUHP). Hukum akan
mengatakan bahwa tindakan penganiayaan adalah sebuah tindak pidana. Karena itu polisi dalam
menegakan hukum akan senantiasa mengatakan bahwa perbuatan penganiayaan ini adalah sebuah
kejahatan yang melanggar hukum. Hal ini adalah prosesnya. Polisi akan mensosialisasikan kepada
masyarakat bahwa penganiayaan adalah kejahatan sehingga masyarakat memiliki pengetahuan
intelek bahwa penganiayaan adalah kejahatan agar masyarakat dapat mengetahui bahwa
penganiayaan adalah kejahatan.
Karena itu masyarakat akan meyakini bahwa perbuatan penganiayaan adalah kejahatan. Kasus
kerusuhan Temanggung, masyarakat telah menarik kesimpulan yang salah hingga berujung pada
tragedi yang merupakan hati nurani yang keliru. Polisi tidak berfungsi maksimal untuk memberikan
pengetahuan intelek yang cukup dan juga tidak memberikan proses yang tepat dengan mengabaikan
segala kemungkinan (potensi kerusuhan) yang dapat terjadi pada persidangan tersebut. Saat polisi
keliru (hati nurani yang keliru) maka masyarakat (individu) akan menciptakan hati nurani keliru
yang tidak bisa diatasi oleh massa yang bertindak anarkis di Temanggung tersebut.
Police is a shadow of society, polisi merupakan cerminan masyarakatnya. Kala polisi salah dalam
bertindak konkret maka akan masyarakat dapat bertindak secara anarkis. Sama halnya ketika das
sein tidak selaras dengan das solen, maka konflik sosial dapat menyeruak ke permukaan. Ya, polisi
adalah sebuah profesi yang mulia…

You might also like