You are on page 1of 15

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Leukemia Mieloid Akut (LMA) adalah salah satu kanker darah

yang ditandai dengan transformasi ganas dan gangguan diferensiasi sel-sel

progenitor dari seri mieloid. Bila tidak diobati, penyakit ini akan

mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu beberapa minggu sampai

bulan sesudah diagnosis1.

Insiden LMA cukup jarang tapi termasuk salah satu penyumbang

terbesar angka kematian yang diakibatkan kanker. Angka kejadian LMA

untuk semua umur di dunia sebanyak 3,7 per 100.000 penduduk pertahun

(Deschler & Lubbert, 2006). Angka kejadian meningkat menjadi 4 per

100.000 penduduk per tahun berdasarkan jumlah kasus dan kematian pada

tahun 2008 – 2012. Penelitian di RSUP DR.Sardjito Yogyakarta

mendapatkan sebanyak 210 pasien didiagnosis LMA sejak tahun 1999

sampai dengan 2011. Rata-rata jumlah per tahun adalah 16 pasien dengan

jumlah tertinggi pada tahun 2010 sebanyak 27 pasien 3.

Semua kelompok usia berisiko untuk mendapatkan penyakit ini,

insidennya makin sering ditemukan sejalan dengan meningkatnya usia4.

Untuk kejadian berdasarkan jenis kelamin, dalam suatu penelitian

di Amerika didapatkan bahwa prevalensi LMA pada pria berusia >65 tahun

lebih tinggi dari wanita >65 tahun. Namun tidak ditemukan perbedaan

insiden berdasarkan jenis kelamin pada pasien yang lebih muda 7.

1
Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang

menyebabkan proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel

muda blast, hal ini mengakibatkan terjadinya akumulasi sel blast tersebut di

sumsum tulang. Akumulasi ini akan menyebabkan gangguan hematopoesis

normal dan pada akhirnya mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum

tulang yang ditandai dengan sitopenia (anemia, leukopenia dan

trombositopenia). Hal ini menyebabkan munculnya tanda dan gejala utama

LMA berupa rasa lelah, perdarahan dan mudah infeksi. Selain itu bisa juga

terjadi infiltrasi sel blast ke organ yang akan menimbulkan tanda dan gejala

bervariasi tergantung organ yang diinfiltrasi 1. Oleh karena itu pemeriksaan

fisik, darah lengkap dan sumsum tulang termasuk langkah awal yang

penting dalam diagnosis pasien LMA.

Keberhasilan pengobatan LMA di Indonesia masih sangat rendah

bila dibandingkan laporan penelitian dari negara lain. Faktor yang paling

berperan terhadap hal ini adalah kematian yang tinggi akibat infeksi berat

atau sepsis 8. Hal ini juga berkaitan erat dengan kualitas pelayanan

pendukung dan infrastruktur lainnya yang masih terbatas di negara

berkembang 9.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Leukemia merupakan penyakit keganasan yang ditandai dengan

diferensiasi dan proliferasi abnormal sel induk hematopoetik yang bersifat

sistemik dan secara malignan melakukan transformasi sehingga menyebabkan

penekanan dan penggantian komponen sumsum tulang belakang yang normal.

Pada kebanyakan kasus LMA, tubuh memproduksi terlalu banyak sel darah putih

yang disebut myeloblast yang masih bersifat imatur. Sel-sel darah yang imatur ini

tidak sebaik sel darah putih yang telah matur dalam melawan adanya infeksi. Pada

LMA, mielosit (yang dalam keadaan normal berkembang menjadi granulosit)

berubah menjadi ganas dan dengan segera akan menggantikan sel-sel normal di

sumsum tulang. 4,5

2.2 Klasifikasi

LMA terbagi atas berbagai macam subtipe. Hal ini berdasarkan morfologi,

diferensiasi dan maturasi sel leukemia yang dominan dalam sumsum tulang, serta

penelitian sitokimia.6 Klasifikasi LMA yang sering digunakan adalah klasifikasi

yang dibuat oleh French American British (FAB) yaitu sebagai berikut 7-12

Subtipe Menurut FAB


(French American British)
Leukimia Mieloblastik Akut dengan
MO
diferensiasi Minimal (3%)
Leukimia Mieloblastik Akut tanpa maturasi
M1
(15-20%)
Leukimia Mieloblastik Akut dengan maturasi
M2
granulositik (25-30%)

3
M3 Leukimia Promielositik Akut (5-10%)

M4 Leukimia Mielomonositik Akut (20%)

Leukimia Mielomonositik Akut dengan


M4Eo
eosinofil abnormal (5-10%)
Leukimia Monositik Akut (2-9%)
M5
Eritroleukimia (3-5%)
M6
Leukimia Megakariositik Akut (3-12%)
M7

Tabel 1. Klasifikasi LMA menurut FAB 11

Gambar 1. Gambaran Hasil


BMA (dominan blast)
pada LMA6

2.3 Epidemiologi

Kejadian LMA berbeda dari satu negara dengan negara lainnya, hal ini

berkaitan dengan cara diagnosis dan pelaporannya. LMA mengenai semua

kelompok usia, tetapi kejadiannya meningkat dengan bertambahnya usia. LMA

merupakan 20% kasus leukemia pada anak. Sekitar 10.000 anak menderita LMA

setiap tahunnya di seluruh dunia. LMA pada anak berjumlah kira-kira 15% dari

leukimia, dengan insidensi yang tetap dari lahir sampai umur 10 tahun, meningkat

sedikit pada masa remaja. Di Amerika setiap tahunnya sekitar 2,4 per 100.000

penduduk atau sekitar 500 sampai 600 orang berusia kurang dari 21 tahun

menderita leukemia mielositik akut dan insiden ini meningkat sejalan dengan

4
umur, puncaknya 12,6 per 100.000 penduduk dewasa yang berumur 65 tahun atau

lebih. Yayasan Onkologi Anak Indonesia menyatakan, setiap tahun ditemukan

650 kasus leukemia di seluruh Indonesia, 150 kasus di antaranya terdapat di

Jakarta dan sekitar 38% menderita jenis LMA.11-14


Sekitar 80% anak di bawah usia 2 tahun dengan LMA biasanya menderita

LMA subtipe M4 atau M5. Subtipe M7 umumnya diderita anak berusia di bawah

3 tahun, terutama dengan Sindrom Down. Penelitian sitogenetik mengidentifikasi

adanya keabnormalan kromosom pada sel darah di sumsum tulang terdapat lebih

dari 70% anak yang baru didiagnosis LMA. Keabnormalan itu terletak pada t

(8;21), t (15;17), inversi 16, translokasi pita 11q23, dan trisomi 8.7

2.4 Etiologi

Penyebab leukemia masih belum diketahui secara pasti hingga kini. 12

Menurut hasil penelitian, orang dengan faktor risiko tertentu lebih meningkatkan

risiko timbulnya penyakit leukemia. Faktor risiko tersebut adalah15-19:


 Radiasi dosis tinggi : Radiasi dengan dosis sangat tinggi, menyebabkan

peningkatan insiden LMA. Terapi medis yang menggunakan radiasi juga

merupakan sumber radiasi dosis tinggi.


 Pajanan terhadap zat kimia tertentu : benzene, formaldehida, pestisida
 Obat – obatan : golongan alkilasi (sitostatika), kloramfenikol, fenilbutazon,

heksaklorosiklokeksan
 Kemoterapi : Pasien kanker jenis lain yang mendapat kemoterapi tertentu dapat

menderita leukemia di kemudian hari. Misalnya kemoterapi jenis alkylating

agents. Namun pemberian kemoterapi jenis tersebut tetap boleh diberikan

dengan pertimbangan rasio manfaat-risikonya.


 Faktor genetik : pada kembar identik bila salah satu menderita LMA maka

kembarannya berisiko menderita leukemia pula dalam 5 tahun, dan insiden

5
leukemia pada saudara kandung meningkat 4 kali bila salah satu saudaranya

menderita LMA.
 Kondisi perinatal : penyakit ginjal pada ibu, penggunaan suplementasi oksigen,

asfiksia post partum, berat badan lahir >4500 gram, dan hipertensi saat hamil

dan ibu hamil yang mengkonsumsi alkohol.


 Human T-Cell Leukemia Virus-1 (HTLV-1). Virus tersebut menyebabkan

leukemia T-cell yang jarang ditemukan. Jenis virus lainnya yang dapat

menimbulkan leukemia adalah retrovirus dan virus leukemia feline.


 Sindroma mielodisplastik : sindroma mielodisplastik adalah suatu kelainan

pembentukkan sel darah yang ditandai berkurangnya kepadatan sel

(hiposelularitas) pada sumsum tulang. Penyakit ini sering didefinisikan sebagai

pre-leukemia. Orang dengan kelainan ini berisiko tinggi untuk berkembang

menjadi leukemia.

2.5 Patofisiologi

LMA merupakan penyakit dengan transformasi maligna dan perluasan

klon-klon sel-sel hematopoetik yang terhambat pada tingkat diferensiasi dan

tidak bisa berkembang menjadi bentuk yang lebih matang. Sel darah berasal dari

sel induk hematopoesis pluripoten yang kemudian berdiferensiasi menjadi induk

limfoid dan induk mieloid (non limfoid) multipoten. Sel induk limfoid akan

membentuk sel T dan sel B, sel induk mieloid akan berdiferensiasi menjadi sel

eritrosit, granulosit-monosit dan megakariosit. Pada setiap stadium diferensiasi

dapat terjadi perubahan menjadi suatu klon leukemik yang belum diketahui

penyebabnya. Bila hal ini terjadi maturasi dapat terganggu, sehingga jumlah sel

muda akan meningkat dan menekan pembentukan sel darah normal dalam

sumsum tulang. Sel leukemik tersebut dapat masuk kedalam sirkulasi darah yang

6
kemudian menginfiltrasi organ tubuh sehingga menyebabkan gangguan

metabolisme sel dan fungsi organ.20


LMA merupakan neoplasma uniklonal yang menyerang rangkaian mieloid

dan berasal dari transformasi sel progenitor hematopoetik. Sifat alami neoplastik

sel yang mengalami transformasi yang sebenarnya telah digambarkan melalui

studi molekular tetapi defek kritis bersifat intrinsik dan dapat diturunkan melalui

progeni sel.22 Defek kualitatif dan kuantitatif pada semua garis sel mieloid, yang

berproliferasi pada gaya tak terkontrol dan menggantikan sel normal. 20


Sel-sel leukemik tertimbun di dalam sumsum tulang, menghancurkan dan

menggantikan sel-sel yang menghasilkan sel darah yang normal.

Sel kanker ini kemudian dilepaskan ke dalam aliran darah dan berpindah ke

organ lainnya, dimana mereka melanjutkan pertumbuhannya dan membelah diri.

Mereka bisa membentuk tumor kecil (kloroma) di dalam atau tepat dibawah kulit

dan bisa menyebabkan meningitis, anemia, gagal hati, gagal ginjal dan kerusakan

organ lainnya.20
Kematian pada penderita leukemia akut pada umumnya diakibatkan

penekanan sumsum tulang yang cepat dan hebat, akan tetapi dapat pula

disebabkan oleh infiltrasi sel leukemik tersebut ke organ tubuh penderita.20

7
2.6 Gejala Klinis

Gejala pertama biasanya terjadi karena sumsum tulang gagal

menghasilkan sel darah yang normal dalam jumlah yang memadai. Gejala pasien

leukemia bevariasi tergantung dari jumlah sel abnormal dan tempat

berkumpulnya sel abnormal tersebut. Adapun gejala-gejala umum yang dapat

ditemukan pada pasien LMA antara lain 13,15,20:

a. Kelemahan Badan dan Malaise

Merupakan keluhan yang sangat sering diketemukan oleh pasien, rata-rata

mengeluhkan keadaan ini sudah berlangsung dalam beberapa bulan. Sekitar 90 %

mengeluhkan kelemahan badan dan malaise waktu pertama kali ke dokter. Rata-

rata didapati keluhan ini timbul beberapa bulan sebelum simptom lain atau

diagnosis LMA dapat ditegakkan. Gejala ini disebabkan anemia, sehingga

beratnya gejala kelemahan badan ini sebanding dengan anemia.

b. Febris

Febris merupakan keluhan pertama bagi 15-20 % penderita. Seterusnya

febris juga didapatkan pada 75 % penderita yang pasti mengidap LMA. Umumnya

demam ini timbul karena infeksi bakteri akibat granulositopenia atau netropenia.

Pada waktu febris juga didapatkan gejala keringat malam, pusing, mual dan tanda-

tanda infeksi lain.

8
c. Perdarahan

Simptom lain yang sering disebabkan adalah fenomena perdarahan,

dimana penderita mengeluh sering mudah gusi berdarah, lebam, petechiae,

epitaksis, purpura dan lain-lain. Beratnya keluhan perdarahan berhubungan erat

dengan beratnya trombositopenia. 20

d. Penurunan berat badan

Penurunan berat badan didapatkan pada 50 % penderita tetapi penurunan

berat badan ini tidak begitu hebat dan jarang merupakan keluhan utama.

Penurunan berat badan juga sering bersama-sama gejala anoreksia akibat malaise

atau kelemahan badan.

e. Nyeri tulang

Nyeri tulang dan sendi didapatkan pada 20 % penderita LMA. Rasa nyeri

ini disebabkan oleh infiltrasi sel-sel leukemik dalam jaringan tulang atau sendi

yang mengakibatkan terjadi infark tulang.

Sedangkan tanda-tanda yang didapatkan pada pemeriksaan fisik pasien


LMA13:

a. Kepucatan, takikardi, murmur

Pada pemeriksaan fisik, simptom yang jelas dilihat pada penderita adalah

pucat karena adanya anemia. Pada keadaan anemia yang berat, bisa didapatkan

simptom kaardiorespirasi seperti sesak nafas, takikardia, palpitasi, murmur,

sinkope dan angina.

9
b. Pembesaran organ-organ

Walaupun jarang didapatkan dibandingkan ALL, pembesaran massa

abnomen atau limfonodi bisa terjadi akibat infiltrasi sel-sel leukemik pada

penderita LMA. Splenomegali lebih sering didapatkan daripada hepatomegali.

Hepatomegali jarang memberikan gejala begitu juga splenomegali kecuali jika

terjadi infark.

c. Kelainan kulit dan hipertrofi gusi

Deposit sel leukemik pada kulit sering terjadi pada subtipe LMA tertentu,

misalnya leukemia monoblastik (FAB M5) dan leukemia mielomonosit (FAB M4).

Kelainan kulit yang didapatkan berbentuk lesi kulit, warna ros atau populer ungu,

multiple dan general, dan biasanya dalam jumlah sedikit. Hipertrofi gusi akibat

infiltrasi sel-sel leukemia dan bisa dilihat pada 15 % penderita varian M5b, 50 %

M5a dan 50 % M4. Namun hanya didapatkan sekitar 5 % pada subtipe LMA yang

lain.17

Gambar 2. Gejala klinis dari LMA (a) easy bruising (b) Pucat (c) Petechie13

2.7 Diagnosis

Diagnosis LMA dapat ditegakkan melalui pemeriksaan darah rutin,

sediaan darah tepi dan dibuktikan aspirasi sumsum tulang belakang, pemeriksaan

immnunophenotype, karyotype, atau dengan Polymerase Chain Reaction (PCR).


17,20
Aspirasi sumsum tulang belakang (Bone Marrow Aspiration) merupakan

10
syarat mutlak untuk menegakkan diagnosa definitif dan menentukan jenis

leukemia akut.20

Pemeriksaan immunophenotypic sangat penting untuk mendiagnosis acute

megakaryoblastic leukemia (LMAK), leukemia myeloid dengan diferensiasi

minimal dan leukemia myeloid/limpoid (mixed, biphenotype). Keabnormalan

genetik pada pasien LMA terlihat dalam tabel berikut :20

Tabel 2. Keabnormalan Genetik pada Berbagai Subtipe LMA

2.8 Terapi

Penatalaksanaan pasien LMA adalah berupa terapi suportif, simptomatis

dan kausatif. Terapi suportif dilakukan untuk menjaga balance cairan melalui

infus dan menaikkan kadar Hb pasien melalu tranfusi. Pada LMA, terapi suportif

tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Sedangkan terapi simptomatis

11
diberikan untuk meringankan gejala klinis yang muncul seperti pemberian

penurun panas. Yang paling penting adalah terapi kausatif, dimana tujuannya

adalah menghancurkan sel-sel leukemik dalam tubuh pasien LMA. Terapi kausatif

yang dilakukan yaitu kemoterapi. 15,17

Pasien yang menderita LMA memerlukan terapi intensif dengan menekan

produksi sumsum tulang dan perawatan di rumah sakit. Terapi yang pertama kali

dilakukan adalah menangani keadaan seperti demam, infeksi, perdarahan,

leukositosis dan sindrom tumor lisis. Kemajuan terapi juga ditentukan oleh

penggunaan antibiotik spektrum luas segera dan transfusi trombosit sebagai

profilaksis juga memegang peranan penting dalam upaya survival. 17

Berdasarkan terapi yang sesuai protokol, penderita LMA dapat mengalami

angka remisi total sebesar 75-90%. Pada beberapa pasien yang tidak berhasil

mengalami remisi, setengah populasinya akan mengalami leukemia resistan dan

separuhnya lagi akan meninggal akibat komplikasi penyakit tersebut atau akibat

efek samping pengobatan itu sendiri. Biasanya regimen terapi digunakan

cytarabine dan anthracyclin yang dikombinasikan dengan agen lain seperti

etoposide dan atau thioguanine. Anthracycline yang paling banyak digunakan

untuk terapi LMA pada anak adalah daunorubicin. 8


Berbagai penelitian

mengungkapkan bahwa Regimen Cytosine arabinase, Daunorubicin, & Etoposide

(ADE) lebih memberikan hasil yang memuaskan daripada regimen Daunorubisin,

Cytosine arabinase & Thioguanine (DAT).13

Tabel 3. Dosis Kemoterapi

12
Bila tercapai remisi, diberikan kemoterapi tambahan (kemoterapi

konsolidasi) beberapa minggu atau beberapa bulan setelah kemoterapi induksi.

Kemoterapi konsolidasi jangka pendek telah membuktikan bahwa terapi dosis

tinggi dan ASCT (Autologous Stem Cell Transplantation) cukup efektif.36

Pencangkokan tulang bisa dilakukan pada penderita yang tidak memberikan

respon terhadap pengobatan dan pada penderita usia muda yang pada awalnya

memberikan respon terhadap pengobatan.8 Pada LMA terapi rumatan tidak

menunjukkan hasil yang memuaskan.

Pasien dengan keganasan memiki kondisi dan kelemahan, yang apabila

diberikan kemoterapi dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan

(untolerable side effect). Sebelum memberikan kemoterapi perlu pertimbangan

sebagai berikut20:
1. Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG)

yaitu status penampilan ≤ 2


2. Jumlah lekosit ≥ 3000/ml
3. Jumlah trombosit ≥120.0000/ul
4. Cadangan sumsum tulang masih adekuat misal Hb > 10
5. Creatinin Clearence diatas 60 ml/menit (dalam 24 jam)
6. Bilirubin < 2 mg/dl ,SGOT dan SGPT dalam batas normal
7. Elektrolit dalam batas normal.
8. Mengingat toksisitas obat-obat sitostatika sebaiknya tidak diberikan pada

usia diatas 70 tahun.

Kemoterapi pada LMA sering menimbulkan efek samping yang bervariasi

tiap individu antara lain rambut rontok, mulut kering, luka pada mulut

(stomatitis), susah atau sakit menelan (esophagitis), mual, muntah, diare,

konstipasi, kelelahan, pendarahan, lebih mudah terkena infeksi, infertilitas,

hilangnya nafsu makan, dan kerusakan hati.13 Pasien LMA hanya memberikan

respon terhadap obat tertentu dan pengobatan seringkali membuat penderita lebih

13
sakit sebelum mereka membaik. Penderita menjadi lebih sakit karena pengobatan

menekan aktivitias sumsum tulang, sehingga jumlah sel darah putih semakin

sedikit (terutama granulosit) dan hal ini menyebabkan penderita mudah

mengalami infeksi.10

2.9 Prognosis

Lowenberg et al mengelompokkan prognosis pasien LMA menjadi 3

kelompok berdasarkan temuan klinis dan laboratoris yaitu baik (favorable),

menengah (intermediate) dan buruk (unfavorable). Kelompok dengan prognosis

baik meliputi pasien usia < 60 tahun, kelainan kromosomal minimal, infiltrasi sel

blas multiorgan minimal, kadar leukosit < 20.000/mm 3, respon yang baik

terhadap kemoterapi induksi, tidak resisten terhadap multidrug therapy, tidak

ditemukan leukemia ekstramedullar dan leukemia sekunder. Angka harapan

hidup 2 tahun kedepan (2 years survival rate) bagi kelompok ini adalah 50-85%
21

Sedangkan kelompok dengan prognosis buruk meliputi pasien usia > 60

tahun, ditemukan dua atau lebih kelainan kromosomal, infiltrasi sel blas pada

banyak organ, kadar leukosit > 20.000/mm 3, respon yang buruk terhadap

kemoterapi induksi, resisten terhadap multidrug therapy, serta ditemukannya

leukemia ekstramedullar dan leukemia sekunder.11,29 Angka harapan hidup 2

tahun kedepan (2 years survival rate) bagi kelompok ini adalah 10-20%.6

Sedangkan kelompok dengan prognosis menengah adalah peralihan dari baik dan

buruk dan mencakup faktor-faktor lain yang tidak termasuk dalam kelompok

prognosis baik maupun buruk dengan angka harapan hidup 2 tahun kedepan (2

years survival rate) sekitar 40-50% .21

14
Tabel 4. Prognosis LMA21

15

You might also like