You are on page 1of 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Geodesi satelit dapat didefinisikan sebagai sub-bidang ilmu geodesi yang


menggunakan bantuan satelit (alam maupun buatan) untuk menyelesikan problem-
problem geodesi. (Seeber 1983). Geodesi satelit meliputi teknik-teknik pengamatan dan
perhitungan yang digunakan untuk menyelesaikan masalh geodesi dengan menggunakan
pengukuran-pengukuran yang teliti ke, dari, dan antara satelit buatan yang umumnya
dekat dengan permukaan bumi.
Dalam menentukan posisi suatu titik dipermukaan bumi dapat dilakukan dengan
cara astronomi dan geodetik. Posisi astronomis dinyatakan dengan bujur dan lintang
astronomis. Sedangkan posisi astronomis itu sendiri dapat didefinisikan sebagai posisi
setiap titik dipermukaan bumi diwakili oleh posisi zenit astronomi titik itu di bola langit.
Penentuan posisi secara astronomi ini terlebih dahulu harus melakukan
pengamatan matahari. Praktikum pengamatan matahari ini dilakukan untuk mendapatkan
sudut azimuth matahari.

1.2 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan praktikum pengamatan matahari ini adalah :


 Mahasiswa memahami konsep penentuan posisi secara astronomis
 Mahasiswa melakukan pengamatan matahari dengan menggunakan prinsip –
prinsip pengamatan matahari yang benar
 Mahasiswa mampu mengidentifikasi kondisi matahari mana yang bisa diamati dan
tidak
 Mahasiswa mampu menghitung azimuth matahari dari data yang telah diperoleh
pada praktikum ini

1
BAB II
DASAR TEORI

2.1 Astronomi Geodesi


Sistem Astronomi merupakan sistem geodesi satelit paling tua yang berbasiskan
pengamatan pada bintang. Meski terbatas, sistem ini masih digunakan sampai saat ini untuk
keperluan – keperluan khusus. Sesuai namanya astronomi geodesi merupakan suatu metode
dalam penentuan posisi dengan mengamati bintang ataupun benda langit lainnya. Astronomi
geodesi merupakan salah satu cara untuk menetukkan sudut jurusan dari dari dua buah titik
yang ada di permukaan bumi. Pengamatan yang paling sering dilakukan adalah pengamatan
matahari.

2.2 Azimuth

Azimuth berfungsi untuk mendapatkan arah suatu sisi terhadap arah utara. Pada alat ukur
yang dilengkapi dengan kompas, pembacaan sudut horisontalnya ada ketentuan bahwa
“azimuth adalah besar sudut yang dimulai dari arah utara atau selatan jarum magnet sampai
obyektif garis bidik yang besarnya sama dengan angka pembacaan”. Azimuth dapat
didapatkan melalui beberapa cara, yaitu :

- Cara Lokal
- Pengikatan pada dua buah titik tetap
- Dengan kompas
- Pengamatan Astronomis

2.3 Pengamatan Tinggi Matahari

Pengukuran azimuth geografi dengan pengamatan tinggi matahari dapat dilakukan


dengan cara ditadah, filter dan prisma roelofs. Pengamatan dilakukan dengan menempatkan
penadah atau tabir, di belakang lensa okuler, penadah tersebut bisa sebuah kertas putih,
sebagai layar yang menangkap bayangan matahari dan bayangan benang diafragma.
Bayangan yang jelas dapat diatur sedemikian r-rpa dengan menekan tromol pengatur
bayangan atau fokus.

2
2.1 Gambar azimuth matahari

2.4 Koreksi 1/2 d sudut vertikal


Pembidikan dikakukan terhadap tepi-tepi matahari, untuk mendapatkan tinggi ke pusat
matahari, maka sudut vertikal harus diberi koreksi t/z diameter bayangan matahari. ('d)
adalah sudut yang dibentuk oleh garis yang menghubungkan stasiun pengamatan ke tepi-tepi
matahari. Makanya dinyatakan dalam satuan sudut. Namun karena jarak rnatahari ke burni
berubah-ubah, maka harga ’d’ juga berubah-ubah sesuai dengan jarak bumi. Pada bulan
Desember nilai d adalah 32'34" sedangkan pada bulan Juli nilainya 31 '35" . Untuk keperluan
hitungan, diambil pembulatan rata-rata sebesar 32'. Koreksi d yang diberikan pada sudut
vertikal tergantung pada kuadran berapa bayangan matahari ditempatkan.

3
2.2 Gambar Sistem kuadran dalam Geodesi

2.5 Koreksi ½ d sudut horizontal


Koreksi ½ d ini tidak hanya diberikan kesudut horizontal saja, akan tetapi juga diberikan
ke sudut horizontal yang tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan sudut ke pusat matahari.
Pemakaian tanda (+) / (-) juga dipengaruhi posisi bayangan, matahari dalam sistem kuadran.

2.3 Gambar sistem koreksi ½ Diameter untuk sudut horizontal

4
2.6 Koreksi Paralaks dan Refraksi
- Koreksi Paralaks horizontal

2.4 Gambar Koreksi Paralaks Horizontal


Dimana:
D : jarak dari burni ke matahari (C-M)
Z' : sudut zenith pengamat
Z : sudut zenith geosentris
p : Z'-Z : paralaks horizontal
R : jari-jari bumi (C-O)

Perhatikan segitiga OCM :

Secara pendekatan :

Jika Z ' : 90", maka diperoleh paralaks horizontal :

5
Harga paralaks ini dapat diperoleh dari tabel yang terdapat pada Almanak Matahari
dan bintang.

- Koreksi Refraksi
Faktor alam, seperti temperatur, tekanan, dan kelembaban udara adalah hal yang
sangat berpengaruh terhadap pengukuran yang dilakukan. Hal ini jelas diketahui
karena dapat memberikan efek pemuaian ataupun melengkungnya sinar yang masuk
ke dalam teropong (refiaksi). Semua gejala ini dialami oleh hasil pengukuran sejak
rnulai dari target yang dibidik sampai didalarn teropong itu sendiri. Oleh karenanya
jadi diperlukan koreksi. Harga koreksi refraksi tersebut dapat diperoleh dari tabel
pada Almanak tahunan Matahari dan Bintang, dengan rumus sebagai berikut :

Dimana:
Rm :Koreksi refraksi menengah ( pada p '=760mmHg ; t : l0"C; kelembaban nisbi
60%) dengan argumen adalah tinggi ukuran dari matahari.
Cp :Faktor koreksi barometric, dengan argumen adalah tekanan udara stasion
pengamat atau ketinggian pendekatan dari stasion pengamat.
Cl :Factor koreksi temperature, dengan argument adalah temperatur udara stasion
pengamat.

2.7 Segitiga Astronomi

Segitiga astronomi adalah segitiga bola langit yang dibatasi oleh lingkaran besar yang
dibentuk oleh titik zenith, titik matahari atau bintang yang diamati dan sebuah titik kutub (
lndonesia mengambil kutub utara sebagai acuan). Penentuan azimuth geografi dengan metoda
pengamatan tinggi matahari diperoleh dari hasil perhitungan dengan menggunakan data :
- Tinggi matahari (h) diperoleh dari hasil pengamatan dari stasion pengamat.

6
- Deklinasi matahari (6) yang diperoleh dari tabel pada almanak matahari dan bintang
dengan argument adalah waktu, tanggal dan tahun pengamatan.
- Lintang (g) stasion pengamat yang diperoleh dari hasil interpolasi peta, yaitu dari peta
topografi daerah pengamatan.

2.5 Gambar Bola Langit, posisi bintang terhadap Bumi dinyatakan A dan Z.

7
BAB III
METODOLOGI PELAKSANAAN

3.1 Pelaksanaan Pengukuran

 Surveyor : Kelompok 2
 Waktu Pelaksanaan
o Hari, tanggal : Rabu, 30 Mei 2012
o Jam : 06.00 – 07.45 BBWI
 Tempat Pelaksanaan : Jurusan Teknik Geomatika ITS
 Kondisi Cuaca : Cerah

3.2 Peralatan :
1. Theodolit merk Nikon NT 3D
2. Paku payung
3. Statif
4. Alat tulis (Kertas HVS dan bolpoin)

3.3 Diagram Alur Pelaksanaan Praktikum:

PERSIAPAN

PERENCANAAN

ORIENTASI MEDAN

PENGAMBILAN DATA/
PRAKTIKUM

PENGOLAHAN DATA

PEMBUATAN
LAPORAN
8
KETERANGAN:

1. Persiapan : Kegiatan ini meliputi penentuan waktu praktikum serta tempat yang akan
digunakan praktikum.
2. Perencanaan : Kegiatan pada tahap ini adalah peminjaman alat yang akan digunakan
dalam pengukuran dilapangan. Sebelum melakukan pengukuran di persiapkan terlebih
dahulu tempat yang akan digunakan untuk penempatan alat sebagai tempat untuk
membidik tinggi bangunan sekaligus pengamatan matahari.
3. Orientasi medan : Kegiatan dalam tahap ini adalah melihat medan/ tempat yang akan
digunakan untuk praktikum yang bertujuan untuk menentukan metode yang akan
digunakan dan penempatan titik untuk pengamatan matahari.
4. Pengambilan data : Kegiatan ini adalah praktikum dilapangan, yaitu di tanah lapang
sebelah timur jurusan Teknik Geomatika untuk pengamatan matahari.
5. Pengolahan data : Kegiatan yang dilakukan adalah mengolah data yang telah didapat
yaitu menghitung deklinasi matahari dari data yang telah didapat.
6. Pembuatan laporan : Setelah praktikum selesai membuat laporan dari praktikum yang
telah dilakukan dilapangan dan hasil pengamatan matahari di lapangan.

3.4 Metode Pelaksanaan

1. Hal pertama yang dilakukan adalah penentuan tempat yang akan digunakan untuk
pengamatan matahari.
2. Setelah diketahui tempat yang akan digunakan untuk pengamatan matahari ,
kemudian tentukan titik yang akan digunakan untuk tempat berdirinya alat.
Selanjutnya dirikan alat di titik yang telah ditentukan
3. Arahkan teropong kearah matahari. Pada saat mengarahkan teropong kearah
matahari, letakan selembar kertas HVS putih di depan lensa okuler, kemudian
amati bayangan matahari yang ada pada kertas HVS dengan visier. Atur fokus
teropong theodolit sehingga bayangan matahari yang ada pada HVS menyentuh
sumbu. Dengan menggunakan sekrup halus horisontal dan vertikal tempatkan bayangan
matahari ke dalam kwadran( sesuai dengan waktu pengarnatan). Dengan sekrup gerak
halus horisontal temparkan tepi bayangan matahari pada benang vertikal.
4. Posisi pengamat membelakangi matahari dan menghadap pada kertas tadi.
Longgarkan sekrup pengunci horisontal dan vertikal, sehingga mudah untuk

9
mengatur gerakkan teropong yang mengarah ke matahari sedemikian rupa
sehingga bayangan matahari terlihat yang merupakan lingkaran penuh pada kertas
tadah.
5. Kunci sekrup pengunci gerakan horisontal dan vertikal kemudian bayangan
matahari dipertajam dengan menggunakan pengatur fokus dan benang diafragma
diperjelas dengan pengatur benang diafrgma.
6. Setelah bayangan matahari sudah tampak dengan jelas di HVS, maka baca sudut
vertikal dan horisontal pada theodolit melalui lensa okuler dan tidak lupa untuk
menutup teropong dengan buku atau sejenisnya supaya cahaya matahari tidak
masuk ke dalam teropong.
7. Lakukan langkah kedua hingga keenam sebanyak tiga kali pengamatan untuk tiap
sub kelompok.
8. Hitung hasil dari data yang telah didapat, maka akan mendapatkan hasil
pengamatan dan hasil penghitungan azimuth matahari.

10
BAB IV
HASIL DAN ANALISA

Pengamatan matahari dilakukan pada hari Rabu tanggal 30 Mei 2012. Dari
keadaan waktu dan lapangan diketahui data :
- Koordinat pengamat : -7016’46,8” LS dan 1120 47’43” BT
- Deklinasi : 21047’45,7”
- Suhu : 28,50 C
- Tekanan : 760 mmHg

4.1 Hasil Perhitungan Kelompok 2A


INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
TEKNIK GEOMATIKA

LEMBAR PENGAMATAN MATAHARI


UNTUK PENENTUAN AZIMUT METODE TINGGI MATAHARI

TITIK PENGAMAT : T-2 NO. THEODOLIT : NIKON NT-3D


BAYANGAN
TITIK ACUAN : PENANGKAL PETIR GEDUNG RISET DALAM : TEGAK
TGL PENGAMATAN : 30 MEI 2012 THEODOLIT
CARA
DAERAH : TEKNIK GEOMATIKA PENGUKURAN : TADAH
PENGAMAT : KELOMPOK 2A

KEDUDUKAN TEROPONG B LB LB B
KWADRAN I I III III

KEDUDUKAN MATAHARI
(SEBENARNYA)

WAKTU PENGAMATAN 6:47:41,22 6:50:17,13 7:00:22,73 7:09:58,10


BACAAN LINGKARAN
TEGAK TERHADAP TEPI 16O9’50” 16O49’20” 18O16’10” 20O33’05”
PUSAT MATAHARI KOREKSI 1/2 D -15’48,2” -15’48,2” 15’48,2” 15’48,2”
TINGGI PUSAT MATAHARI = hu 15O54’1,8” 16O33’31,8” 18O31’58,2” 20O48’53,2”
Rm 200,5134” 192,3264” 171,0250” 151,1447”
Cp 1 1 1 1
Ct 0,9385 0,9385 0,9385 0,9385
R” 188,1818” 180,4983” 160,5069” 141,8493”
P” 8,5” 8,4441” 8,3467” 8,2185”
TINGGI MATAHARI SEJATI (hs) 15O51’2,12” 16O30’39,75” 18O29’26,04” 20O46’39,57”
BACAAN LINGKARAN MENDATAR:
- KE TITIK ACUAN (hs) 61O46’40” 241O46’40” 241O46’40” 61O46’40”

11
- KE TEPI/PUSAT MATAHARI (HM) 344O19’40” 164O07’25” 164O18’15” 343O22’40”
SUDUT HORISONTAL:
- TERHADAP TEPI MATAHARI (𝛹′) 77O27’00” 77O39’15” 77O28’25” 78O24’00”
KOREKSI 1/2D / cos hu (𝛥𝛹) -16’25,92” -16’29,23” 16’40,06” 16’54,41”
- TERHADAP PUSAT MATAHARI
(𝛹) 77O10’34,08” 77O22’45,77” 77O45’5,06” 78O40’54,41”
DEKLINASI (𝛿) 21 O47’43,2” 21O47’44,2” 21O47’48” 21O47’51,7”
Z (𝜑𝑃,𝑀𝐴𝑇𝐴𝐻𝐴𝑅𝐼 ) 64O49’32,51” O
64 38’29,95” 64O3’36,82” 63O19’47,06”
𝜑𝑃𝐴 142O0’6.59” O
142 1’15,72” 141O48’41,88” 142O0’41,47”
RATA-RATA 𝜑𝑃𝐴 141O57’41,42”

4.2 Hasil Perhitungan Kelompok 2B


INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
TEKNIK GEOMATIKA

LEMBAR PENGAMATAN MATAHARI


UNTUK PENENTUAN AZIMUT METODE TINGGI MATAHARI

TITIK PENGAMAT : T-2 NO. THEODOLIT : NIKON NT-3D


BAYANGAN
TITIK ACUAN : PENANGKAL PETIR GEDUNG RISET DALAM : TEGAK
TGL PENGAMATAN : 30 MEI 2012 THEODOLIT
CARA
DAERAH : TEKNIK GEOMATIKA PENGUKURAN : TADAH
PENGAMAT : KELOMPOK 2B

KEDUDUKAN TEROPONG B LB LB B
KWADRAN II II IV IV

KEDUDUKAN MATAHARI
(SEBENARNYA)

WAKTU PENGAMATAN 7:32:24,46 7:26:9,82 7:37:38 7:33:53,87


BACAAN LINGKARAN
TEGAK TERHADAP TEPI 25O31’30” 24O2’20” 27O10’00” 26O22’03”
PUSAT MATAHARI KOREKSI 1/2 D 15’48,2” 15’48,2” -15’48,2” -15’48,2”
TINGGI PUSAT MATAHARI = hu 25O47’18,2” 24O18’8,2” 26O54’11,8” 26O36’14,8”
Rm 119,2792” 127,5770” 113,6643” 115,1190
Cp 1 1 1 1
Ct 0,9385 0,9385 0,9385 0,9385
R” 111,9435” 119,7310” 106,6739” 108,0392”
P” 7,9212” 8” 7,8097” 7,8396”
TINGGI MATAHARI SEJATI (hs) 25O45’34,18” 24O16’16,47” 26O52’32,94” 26O34’34,6”
BACAAN LINGKARAN MENDATAR:
- KE TITIK ACUAN (hs) 164O45’15” 344O05’15” 344O05’15” 164O45’15”
- KE TEPI/PUSAT MATAHARI (HM) 83O55’25” 264O26’10” 264O03’45” 84O23’30”
SUDUT HORISONTAL:
- TERHADAP TEPI MATAHARI (𝛹′) 80O49’50” 79O39’5” 80O1’30” 80O21’45”

12
KOREKSI 1/2D / cos hu (𝛥𝛹) -17’33,08” -17’20,39” 17’43,28” 17’40,48”
- TERHADAP PUSAT MATAHARI (𝛹) 80O32’16,92” 79O21’44,61” 80O19’13,28” 80O39’25,48”
DEKLINASI (𝛿) 21O48’0,2” 21O47’57,9” 21O48’2,2” 21O48’0,8”
Z (𝜑𝑃,𝑀𝐴𝑇𝐴𝐻𝐴𝑅𝐼 ) 61O29’18,07” O
62 4’39,08” 61O1’19,85” 61O8’58,80”
𝜑𝑃𝐴 142O1’34,99” O
141 26’23,69” 141O20’33,13” 141O48’24,28”
RATA-RATA 𝜑𝑃𝐴 141O39’14,02”

4.3 Hasil Perhitungan Kelompok 2C


INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
TEKNIK GEOMATIKA

LEMBAR PENGAMATAN MATAHARI


UNTUK PENENTUAN AZIMUT METODE TINGGI MATAHARI

TITIK PENGAMAT : T-2 NO. THEODOLIT : NIKON NT-3D


BAYANGAN
TITIK ACUAN : PENANGKAL PETIR GEDUNG RISET DALAM : TEGAK
TGL PENGAMATAN : 30 MEI 2012 THEODOLIT
CARA
DAERAH : TEKNIK GEOMATIKA PENGUKURAN : TADAH
PENGAMAT : KELOMPOK 2C

KEDUDUKAN TEROPONG B LB LB B
KWADRAN I I III III

KEDUDUKAN MATAHARI
(SEBENARNYA)

WAKTU PENGAMATAN 7:44:38,20 7:49:8,54 7:50:36,08 7:52:51


BACAAN LINGKARAN
TEGAK TERHADAP TEPI 28O41’10” 29O12’45” 28O59’55” 29O30’00”
PUSAT MATAHARI KOREKSI 1/2 D -15’48,2” -15’48,2” 15’48,2” 15’48,2”
TINGGI PUSAT MATAHARI = hu 28O25’21,8” 28O56’56,8” 29O15’43,2” 29O45’48,2”
Rm 106,5978” 104,3137” 102,9996” 100,9228”
Cp 1 1 1 1
Ct 0,9385 0,9385 0,9385 0,9385
R” 100,0420” 97,8984” 96,6651” 94,7160”
P” 7,7577” 7,7051” 7,6738” 7,6237”
TINGGI MATAHARI SEJATI (hs) 28O23’49,52” 28O55’26,61” 29O14’14,21” 29O44’21,11”
BACAAN LINGKARAN MENDATAR:
- KE TITIK ACUAN (hs) 262O27’20” 82O27’30” 82O27’30” 262O27’20”
- KE TEPI/PUSAT MATAHARI (HM) 180O26’30” 0O11’55” 0O38’45” 180O25’50”
SUDUT HORISONTAL:
- TERHADAP TEPI MATAHARI (𝛹′) 82O00’50” 82O15’35” 81O48’45” 82O01’30”
KOREKSI 1/2D / cos hu (𝛥𝛹) -17’58,16” -18’3,6” 18’6,89” 18’12,29”
- TERHADAP PUSAT MATAHARI
(𝛹) 81O42’51,8” 81O57’31,4” 82O06’51,89” 82O19’42,29”
DEKLINASI (𝛿) 21O48’4,9” 21O48’6,6” 21O48’7,1” 21O48’8”

13
Z (𝜑𝑃,𝑀𝐴𝑇𝐴𝐻𝐴𝑅𝐼 ) 60O21’4,07” 60O6’29,65” 59O57’41,20” 59O43’19,42”
𝜑𝑃𝐴 142O3’55,87” 142O4’1,05” 142O4’33,09” 142O3’1,71”
O
RATA-RATA 𝜑𝑃𝐴 142 3’52,93”

Dari data di atas dapat diketahui bahwa pengamatan tinggi matahari menggunakan
sistem tadah sehingga diperlukan koreksi ½ D. Koreksi ½ D disini dikoreksikan terhadap
sudut vertikal (900 – bacaan sudut vertikal) dan sudut horizontal. Kedudukan matahari yang
dihitung pada gambar di atas merupakan kedudukan matahari sebenarnya, bukan
bayangannya. Oleh karena itu nilai koreksi ½ D tergantung letak kedudukan matahari. Nilai
yang dimaksud di sini adalah nilai + dan - . Sehingga diperoleh tinggi matahari (hu) dari sudut
vertikal ± nilai koreksi ½ D.
Untuk memperoleh tinggi sejati (hs) diperlukan koreksi refraksi dan koreksi
paralaks. Koreksi refraksi diperoleh dari :
𝑅 = 𝑅𝑚 x Cp x Ct
Rm (refraksi menengah) merupakan refraksi normal, yang nilainya diketahui dari besarnya hu
yang dilihat di tabel VI almanak. Untuk memperoleh nilai Rm yang tepat maka harus di
interpolasi terlebih dahulu. Contoh interpolasi :
28°25’21,8” − 20′ 𝑅𝑚 − 107,0
=
40′ − 20′ 105,5 − 107,0
Rm = 106,5978”
Untuk nilai koefisien tekanan dapat melihat tabel VIIa dan untuk koefisien suhu dapat dilihat
di tabel VIII. Jika sudah diketahui semuanya maka dapat diperoleh harga refraksi. Koreksi
paralaks juga diperoleh berdasarkan harga hu yang diinterpolasi pada tabel IX.
Jika sudah diperoleh nilai koreksi refraksi dan koreksi paralaks, maka dapat
diperoleh tinggi sejati (hs) yaitu dengan rumus :

ℎ𝑠 = ℎ𝑢 − 𝑅 + 𝑝

Sudut horizontal terhadap tepi matahari diperoleh dari pengurangan bacaan sudut
horizontal ke titik dengan bacaan sudut horizontal ke tepi matahari. Seperti halnya sudut
vertikal, sudut horizontal juga perlu dikoreksi dengan ½ D. Namun koreksi disini berbeda
dengan sudut vertikal. Besar koreksi diperoleh dari :

1
1 𝐷
𝑘𝑜𝑟𝑒𝑘𝑠𝑖 𝐷 = 2
2 cos ℎ𝑢

Hasil pengurangannya merupakan besar sudut horizontal terhadap pusat matahari.

14
Besarnya deklinasi matahari ditentukan oleh waktu pengamatan. Meskipun hari
dan tanggal pengamatan sama, namun nilai deklinasinya berbeda. Hal ini dikarenakan
deklinasi berubah tiap jamnya. Oleh sebab itu, nilai deklinasi pada ketiga tabel di atas
berbeda. Perubahan deklinasi per jam dapat dilihat pada tabel I almanak.
Z merupakan sudut azimuth dari titik pengamat ke matahari. Nilai Z diperoleh dari
:
sin 𝛿 − sin ℎ 𝑥 sin ∅
cos 𝑍 =
cos ℎ 𝑥 cos ∅
Dengan h = tinggi sejati (hs)
Ø = lintang pengamat
φPA merupakan azimuth titik pengamat ke titik acuan. Diperoleh dari :
𝜑𝑃𝐴 = 𝑍 + 𝑠𝑢𝑑𝑢𝑡 ℎ𝑜𝑟𝑖𝑠𝑜𝑛𝑡𝑎𝑙 𝑘𝑒 𝑝𝑢𝑠𝑎𝑡 𝑚𝑎𝑡𝑎ℎ𝑎𝑟𝑖 (𝛹)

A
Z 𝛹

Dari ketiga tabel di atas dapat diperoleh selisih pengukuran


SELISIH PENGUKURAN
1 2 3
141,9615 141,6539 142,0647 O ' "
|SELISIH 1-2| 0,307609 0 18 27,39
|SELISIH 2-3| 0,410807 0 24 38,91
|SELISIH 1-3| 0,103199 0 6 11,52

Kesalahan dalam pengukuran menyebabkan hasil dari perhitungan berbeda jauh


dari data yang 1 dengan data lainnya sehingga menyebabkan pengukuran tidak presisi.
Tidak presisinya hasil penghitungan tersebut di antaranya disebabkan oleh:
- Alatnya tidak center
- Bayangan matahari tidak jatuh tepat bersinggungan dgn benang diafragma
- Rentang waktu antar pengamatan terlalu jauh sehingga kemungkinan terjadi
kesalahan cukup besar

15
- Waktu yg tercatat kurang tepat
- Alat ukur yg sudah harus dikalibrasi

16
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari praktikum pengukuran pengamatan matahari yang telah dilaksanakan, dapat
disimpulkan bahwa :
1. Pengukuran yang digunakan adalah pengamatan matahari dengan metode tadah.
2. Pada pengukuran azimuth matahari dibutuhkan posisi lintang pengamat, waktu
pengamatan, sudut horisontal, sudut vertikal (zenith) matahari, suhu, dan tekanan
udara.
3. Pengukuran azimuth matahari tidak boleh dilakukan di atas jam 9, karena pada saat
itu matahari sudah mulai terbit ke atas, sehingga sudut vertikal (zenith) matahari
cukup kecil. Hal itu menyebabkan susahnya dalam membaca sudut.
4. Kesalahan dalam pengukuran menyebabkan hasil dari perhitungan berbeda jauh
dari data yang 1 dengan data lainnya sehingga menyebabkan pengukuran tidak
presisi.
Tidak presisinya hasil penghitungan tersebut di antaranya disebabkan oleh:
- Alatnya tidak center
- Bayangan matahari tidak jatuh tepat bersinggungan dgn benang diafragma
- Rentang waktu antar pengamatan terlalu jauh sehingga kemungkinan terjadi
kesalahan cukup besar
- Waktu yg tercatat kurang tepat
- Alat ukur yg sudah harus dikalibrasi

5.2 Saran
1. Mengupayakan ketelitian dalam pembacaan sudut.
2. Mengusahakan pemilihan waktu pelaksanaan, keadaan cuaca yang cerah.
3. Melakukan pengukuran sebaiknya pada waktu pagi hari pukul 06.00 – 09.00.

17

You might also like