You are on page 1of 14

A.

DEFINISI

Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) adalah suatu kelainan heterogen

berupa anovulasi kronik dan hiperandrogenik yang tidak dapat dijelaskan

penyebabnya, di mana semua penyebab sekunder (neoplasma yang mensekresi

androgen) telah disingkirkan (William et al., 2007). PCOS bukanlah suatu

penyakit namun merupakan suatu kumpulan gejala (POGI, 2006) dengan

karakteristik berupa adanya anovulasi persisten dan manifestasi klinis berupa

kista multipel pada ovarium, amenore sekunder atau oligomenore dan

infertilitas (Norwitzt et al., 2006).

B. ETIOLOGI

Etiologi PCOS masih belum diketahui, dan tidak ada gen atau substansi

lingkungan spesifik yang terbukti mengakibatkan terjadinya PCOS (Norwitz et

al., 2006), meskipun beberapa penelitian mencoba menghubungkan kejadian

PCOS dengan pengaruh genetik melalui aktifitas 5α-reduktase (William et al.,

2007). Menurut POGI (2006) penyebab terbanyak PCOS adalah akibat adanya

gangguan hormonal. Gangguan hormonal berupa resistensi insulin, adanya

deposit lemak sentral (obesitas) dan Diabetes Mellitus tipe 2 sering dianggap

berhubungan dengan kejadian PCOS pada wanita usia subur (William et al.,

2007).

1
C. PATOLOGI

Secara makroskopis, ovarium pada wanita dengan PCOS berukuran 2

hingga 5 kali lipat dari ukuran normal (Wood et al., 2003). Pada potongan

melintang permukaan ovarium tampak adanya penebalan korteks dan

ditemukan kista yang multipel yang secara tipikal dengan diameter kurang dari

1 cm (DeCherney et al., 2007). Sedangkan secara mikroskopis, korteks

superficial ovarium mengalami fibrotik dan hiposelluler, dan mungkin

mengandung pembuluh darah prominent (William et al., 2007). Selain itu

tampak folikel atretik yang lebih kecil, dimana dijumpai peningkatan jumlah

folikel dengan luteinisasi teka interna, dan mungkin juga ditemukan luteinisasi

pada sel stroma (DeCherney et al., 2007).

Gambar 1. Gambaran patologi polikistik ovarium sindrom (sumber:


DeCherney et al., 2007)

D. PATOFISIOLOGI

Sindrom ovarium polikistik (PCOS) merupakan tahap akhir dari suatu

“siklus perusak” akibat peristiwa-peristiwa endokrinologis yang dapat diawali

dari banyak titik yang berbeda. Masih belum jelas apakah patologi primernya

2
berada di ovarium atau pada hipotalamus, tetapi kerusakan yang mendasar

tampaknya adalah karena pengiriman sinyal yang “tidak seharusnya” ke

hipotalamus dan hipofisis. Kadar LH yang meningkat (tanda khas PCOS)

disebabkan oleh peningkatan produksi estrogen perifer (umpan balik negatif)

dan peningkatan sekresi inhibin. Sedangkan kadar FSH yang tertekan

diakibatkan oleh peningkatan produksi estrogen perifer (umpan balik positif)

dan peningkatan sekresi GnRH (Norwitz et a.l, 2006).

PCOS ditandai oleh “keadaan menetap” dari LH yang meningkat secara

kronik dan kadar FSH yang tertekan secara kronik, meskipun terdapat

peningkatan dan penurunan yang bersifat siklik yang terlihat dalam siklus

menstruasi normal. LH yang meningkat menstimulasi stroma ovarium dan sel-

sel teka untuk meningkatkan produksi androgen. Androgen dikonversi di perifer

melalui aromatisasi menjadi estrogen yang memperparah anovulasi kronik.

Sedangkan akibat dari FSH yang tertekan, pertumbuhan folikel baru terus-

menerus distimulasi tetapi tidak sampai titik pematangan dan ovulasi penuh

(korpus luteum dan korpus albikan jarang terdeteksi). Androgen yang

meningkat berperan terhadap pencegahan perkembangan folikel normal dan

induksi atresia premature (Norwitz et al., 2006).

Penambahan jaringan adiposa pada pasien yang mengalami obesitas

turut berperan terhadap aromatisasi ekstraglandular androgen menjadi estrogen.

Sedangkan testosterone dalam sirkulasi meningkat (menyebabkan hirsutisme)

karena kadar globulin pengikat hormone seks (sex hormone-binding globulin,

SHBG) menurun pada PCOS. Ovarium merupakan lokasi utama overproduksi

3
androgen pada PCOS sedangkan kelenjar adrenal hanya memiliki peran kecil

(Norwitz et al., 2006).

Gangguan fungsi
neuroendokrin
Hipotalamo-hipofisis Obesitas
pada sistem saraf
pusat
↑ GnRH
↑ sekresi LH ↑ LH
Hiperinsulinemia
↑ estrogen ↓ sekresi FSH
↑ inhibin
↓ FSH
↑ aromatisasi Stimulasi stroma
peripheral dan teka
(ekstraglandular) Anovulasi kronik
dan polikistik ↓ maturasi folikel
androgen  ovarium
estrogen

↑ androstenedion Hiperandrogenisme

Obesitas
↑ sekresi
Glandula androgen
adrenal adrenal

Gambar 2. Patofisiologi PCOS (Norwitz et al., 2006).

E. DIAGNOSIS

1. Anamnesis

Anamnesis harus difokuskan pada pola menstruasi, kehamilan

sebelumnya (jika ada), obat-obatan yang sedang dikonsumsi, konsumsi

merokok, konsumsi alkohol, pola makan, dan riwayat anggota keluarga

dengan diabetes atau penyakit kardiovaskular (Norwitz et al.,2006).

4
Ketidakteraturan menstruasi (80%) terjadi segera setelah menarke,

termasuk amenore sekunder dan atau oligomenore.

Pada 75% penderita PCOS mengalami infertilitas akibat anovulasi

kronik, dan beberapa ditemukan memiliki gejala sisa pada jangka panjang.

Gejala sisa pada penderita PCOS dapat berupa penyakit kardiovaskular dan

dislipidemia; intoleransi glukosa atau diabetes mellitus yang tidak

tergantung insulin (DM tipe 2); hiperplasia endometrium atau

adenokarsinoma akibat pajanan estrogen kronik pada uterus (Norwitz et al.,

2006).

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pada penderita PCOS harus ditujukan pada tanda-

tanda hirsutisme (William et al., 2007) yaitu kebotakan, jerawat (akne),

klitoromegali (pembesaran klitoris), distribusi rambut pada tubuh (muka, di

atas bibir, dada, linea alba) [POGI, 2006], pengecilan payudara, dan tanda-

tanda resistensi insulin (obesitas, distribusi lemak sentripetal, akantosis

nigrikans). Sedangkan pada pemeriksaan bimanual dapat juga ditemukan

ovarium yang membesar (Norwitz et al., 2006).

Gambar 3. Jenggot pada dagu perempuan PCOS (William et al., 2007)

5
Hirsutisme (70%) adalah suatu keadaan dimana ditemukan pola

pertumbuhan rambut pria (diatas bibir, dagu, dada, punggung) pada seorang

wanita. Sedangkan akantosis nigrikans adalah penanda dermatologis akibat

resistensi insulin dan hiperinsulinemia yang ditandai dengan perubahan

warna kulit menjadi abu-abu kecoklatan, halus, kadang-kadang seperti

veruka pada leher, selangkangan dan aksila. Oleh sebab itu, efek-efek

ekstrem dari anovulasi kronik hiperandrogenik dari PCOS disebut sebagai

Sindrom HAIR-AN (hiperandrogenisme, resistensi insulin, dan akantosis

nigrikans) [Norwitz et al., 2006].

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium seperti testosterone (T) atau

dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS) bermanfaat untuk menunjukkan

hiperandrogenisme ovarium. Tumor yang mensekresi androgen pada

ovarium atau kelenjar adrenal juga selalu disertai dengan kadar androgen

dalam sirkulasi yang meningkat, tetapi tidak terdapat kadar absolut yang

bersifat patognomonik untuk suatu tumor atau kadar minimum yang dapat

menyingkirkan kemungkinan adanya tumor (Norwitz et al., 2006). Kadar T

yang tinggi selalu berasal dari ovarium (> 1,5 ng/ml), sedangkan kadar

DHEAS yang tinggi selalu berasal dari suprarenal (> 5-7ng/ml) [POGI,

2006].

Indikasi pemeriksaan T maupun DHEAS dapat di lihat dari ringan

beratnya pertumbuhan rambut. Bila pertumbuhan rambut yang terlihat

hanya sedikit saja (ringan), maka kemungkinan besar penyebab tingginya

6
androgen serum adalah akibat gangguan pada ovarium yaitu berupa

anovulasi kronik, sedangkan bila terlihat pertumbuhan rambut yang

mencolok, maka peningkatan androgen kemungkinan besar berasal dari

kelenjar supra renal yang dapat berupa hiperplasia, atau tumor (POGI,

2006).

USG dan atau laparoskopi merupakan alat utama untuk diagnosis

PCOS. Dengan USG, hampir 95 % diagnosis dapat dibuat. Pada USG

terlihat gambaran seperti roda pedati, atau folikel-folikel kecil berdiameter

7-10 mm. Baik dengan USG, maupun dengan laparoskopi, ke dua, atau

salah satu ovarium pasti tampak membesar (POGI, 2006).

Wanita dengan PCOS menunjukkan kadar FSH, PRL (prolaktin),

dan E (estrogen) normal, sedangkan LH sedikit meningkat (rasio

LH/FSH>3). LH yang tinggi ini akan meningkatkan sintesis T di ovarium,

dan membuat stroma ovarium menebal (hipertikosis). Kadar T yang tinggi

juga mengakibatkan folikel mengalami atresia (POGI, 2006).

4. Penegakkan diagnosis

Menurut William et al. (2007), diagnosis PCOS ditegakkan

berdasarkan adanya kritera mayor dan kriteria minor. Kriteria mayor

meliputi: anovulasi kronik, hiperandrogenemia, tanda-tanda klinis dari

hiperandrogenisme, dan tidak ada penyebab lain (etiologi lain telah

disingkirkan). Sedangkan kriteria minor meliputi: resistensi insulin, onset

saat permenarke pada hirsutisme dan obesitas, adanya peningkatan rasio LH

7
dan FSH, dan anovulasi intermiten yang berhubungan dengan

hiperandrogenemia (testosterone bebas, DHEAS) [William et al., 2007].

Diagnosis PCOS ditegakkan apabila ditemukan dua kriteria mayor

yaitu anovulasi dan hiperandrogenisme baik secara klinis ataupun

laboratorium. Dimana keadaan ini tidak ditemukan pada penyakit lain yang

juga berhubungan dengan hiperandrogenisme (seperti gangguan adrenal,

neoplasma ovarium, dan sindrom cushing) atau anovulasi (gangguan hipo

atau hipergonadotropik, hiperprolaktinemia, dan penyakit tiroid). Jika tidak

ditemukan dua kriteria mayor atau klinis kurang mendukung, maka

diagnosis dapat ditegakkan dengan adanya kriteria minor yaitu rasio LH dan

FSH yang meningkat, adanya resistensi insulin, oligo-ovulasi, onset

perimenarke pada hirsutisme dan obesitas, serta adanya bukti PCOS pada

pemeriksaan USG (William et al., 2007).

F. DIAGNOSIS BANDING

1. Sindroma cushing

Korteks adrenal memproduksi tiga kelas hormon tiroid yaitu

glukokortikoid, mineralokortikoid, dan steroid seks (androgen dan

prekursor estrogen) [Ganong, 2003]. Pada keadaan tertentu dapat terjadi

hiperfungsi kelenjar adrenal yang secara klinis terjadi peningkatan pada

hormon-hormon tersebut. Peningkatan glukortikod disertai dengan

intoleransi glukosa akan mengakibatkan peningkatan glukoneogenesis dan

antagonis aksi insulin. Sedangkan overproduksi pekursor steroid seks

8
mengakibatkan wanita penderita sindroma cushing mengalami

hiperandrogenisme (hirsutisme, akne, oligomenore atau amenore, dan

berkurangnya rambut SCALP atau mengalami kebotakan) [William et al.,

2007].

2. Hyperplasia adrenal congenital

Hyperplasia adrenal congenital merupakan suatu penyakit yang

diturunkan secara resesif autosomal dengan klinis hiperandrogenisme pada

saat pubertas. Wanita dengan hyperplasia adrenal congenital dapat

mengalami virilisasi dan maskulinisasi pada usia 3-7 tahun. Pada 39%

wanita dengan hyperplasia adrenal congenital mengalami gangguan

menstruasi, dengan hirsurtisme tanpa oligomenore, serta sebanyak 22%

mengalami peningkatan androgen sirkulasi tanpa manifestasi klinis

(William et al., 2007).

3. Androgen–producing Ovarian Neoplasms

Kejadian neoplasma ovarii yang memperoduksi androgen, misalnya

pada tumor sel granulosa lebih banyak ditemukan pada wanita

postmenopause dibandingkan dengan premenopause. Penyakit ini

berhubungan dengan fungsi pembentukan estrogen dini sehingga biasanya

ditemukan dengan pubertas prekoks. Total abdominal hysterectomy (TAH)

dan bilateral salpingo–oophorectomy (BSO) merupakan terapi pilihan

untuk penyakit ini. Salah satu tumor penghasil androgenik lainnya adalah

tumor stromal sklerosing, yang biasanya ditemukan pada wanita usia kurang

dari 30 tahun. Manifestasi klinis pada penyakit ini tampak sebagai

9
hiperandrogenisme atau estrogen berlebih, dan virilisasi atau maskulinisasi

(William et al., 2007).

G. TATALAKSANA

Penatalaksanaan pada PCOS diarahkan pada interupsi siklus

anovulatorik kronik hiperandrogenik yang terus berlanjut (Jakubowicz et al.,

2002). Penurunan berat badan dapat mengurangi sekresi androgen pada wanita

obes yang mengalami hirsutisme dengan cara menurunkan aromatisasi estrogen

perifer dan menurunkan hiperinsulinemia (Norwitz et al., 2006).

1. Terapi medikamentosa

a. Kontrasepsi oral merupakan pilihan utama tata laksana PCOS jangka

panjang dengan cara menurunkan sekresi LH dan FSH serta produksi

androgen pada ovarium, meningkatkan produksi SHBG di hati,

menurunkan kadar DHEA, dan mencegah neoplasia endometrium.

Siproteron asetat (standar inggris), spironolakton, atau eflornitin topikal

dapat membantu pasien yang mengalami hirsutisme berlebihan.

b. Progestin terlihat dapat menekan LH dan FSH hipofisis serta androgen

yang ada dalam sirkulasi, tetapi perdarahan di luar menstruasi sering

terjadi.

c. Agen yang mesensitisasi insulin (metformin) menurunkan kadar

androgen dalam sirkulasi, memperbaiki kecepatan ovulasi, dan

memperbaiki tolerasi glukosa. Meskipun demikian, obat tersebut saat ini

belum disetujui untuk digunakan dalam PCOS (Ibanez et al., 2004).

10
d. Klomifen sitrat secara umum telah menjadi pengobatan lini pertama

untuk wanita yang menginginkan kehamilan.

2. Terapi bedah

a. Ovarian drilling, yaitu tindakan pembedahan dengan menggunakan

laser atau diatermi. Tindakan ini memiliki beberapa keuntungan

dibandingkan dengan terapi medikamentosa untuk infertilitas, namun

tidak terlihat memiliki manfaat jangka panjang dalam memperbaiki

kelainan metabolik.

b. Pengangkatan rambut secara mekanik [vaporasi laser, elektrolisis

(elektrocauter), krim depilatori] seringkali merupakan lini pertama

terapi hirsutisme.

Menurut POGI (2006) pengobatan PCOS harus disesuaikan dengan

keinginan dan kemampuan suami istri untuk memiliki anak atau tidak. Jika

keluarga yang masih menginginkan anak diberikan pemicu ovulasi, seperti

klomifen sitrat, atau gonadotropin yang mengandung FSH/LH atau LH saja.

Klomifen sitrat meningkatkan aromatisasi T menjadi estradiol (E2), dan E2 ini

menekan sekresi LH. Gonadotropin dapat mengembalikan keseimbangan

FSH/LH. Hati-hati terjadi hiperstimulasi ovarium. Bila belum juga berhasil

mendapatkan anak, maka diberikan pil kontrasepsi, atau Gn-RH analog

(agonis/antagonis) sampai nisbah LH/FSH 1, dan baru kemudian diberikan

induksi ovulasi. Dewasa ini tindakan pembedahan reseksi baji tidak dilakukan

lagi. Dengan berkembangnya laparoskopi, dapat dilakukan drilling pada

11
ovarium. Tujuannya untuk mengeluarkan cairan folikel yang banyak

mengandung T. Jumlah lubang lebih kurang 10 buah (POGI, 2006).

Pada wanita yang sudah tidak menginginkan anak, maka dapat di

berikan pil kontrasepsi yang mengandung estrogen-progesteron sintetik. Pil

kontrasepsi menekan fungsi ovarium, sehingga produksi testosterone menurun.

Selain itu, pil kontrasepsi menekan sekresi LH, sehingga sintesis testosteron

pun berhenti. Estrogen sintetik memicu sintesis SHBG di hati, dan SHBG ini

akan mengikat lebih banyak lagi testosteron dalam darah (POGI, 2006).

Pada wanita dengan hirsutismus yang tidak ingin memiliki anak lebih

efektif dengan pemberian anti androgen, seperti siprosteronasetat (SPA). SPA

menghambat kerja androgen langsung pada target organ. SPA yang termasuk

jenis progesteron alamiah, juga memiliki sifat glukokortikoid, sehingga dapat

menghambat ACTH, dan dengan sindirinya pula menekan produksi androgen

di suprarenal. Bila belum tersedia sediaan SPA, maka dapat di gunakan pil

kontrasepsi yang mengandung SPA. Prognosis pengobatan dengan SPA sangat

tergantung dari 1) Wanita dengan kadar T yang tinggi, memiliki respon yang

baik; 2) Bila hirsutismus sudah berlangsung lama, prognosis jelek; 3) Wanita

muda keberhasilannya lebih baik; 4) Rambut/bulu di daerah dada dan perut

memiliki respon baik; 5) SPA diberikan 1-2 tahun. Bila ternyata hirsustismus

tetap juga tidak hilang, maka perlu di pikirkan adanya kelainan kongenital

adrenal. Dianjurkan untuk pemeriksaan hormon 17 alfa hidroksiprogesteron.

Kadar yang tinggi, menunjukkan adanya defisiensi enzim 21 hidroksilase.

12
Dewasa ini mulai di gunakan Gn-RH Analog (agonis atau antagonis) untuk

menekan fungsi ovarium (POGI, 2006).

H. KOMPLIKASI

Komplikasi utama yang dikhawatirkan pada penderita PCOS adalah

terjadinya infertilitas (Bulun et al., 2011). Infertilitas merupakan suatu keadaan

dimana pasangan suami istri tidak mampu menghasilkan keturunan meskipun

telah melakukan hubungan seksual yang teratur (2-3 kali seminggu) dan tidak

menggunakan kontrasepsi (Norwitz et al., 2006). Dengan adanya kelainan

metabolik pada penderita PCOS yang berupa resistensi insulin akibat obesitas

dapat mengakibatkan terjadinya DM tipe 2, serta penyakit kardiovaskular

seperti penyakit jantung koroner atau aterosklerosis (POGI, 2006), infark

miokard (William et al., 2007), dan infertilitas (Bulun et al., 2011).

I. PROGNOSIS

PCOS meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular dan

cerebrovaskular dengan adanya hiperandrogenisme dan peningkatan

apolipoprotein. Sebanyak 4% pasien dengan PCOS memiliki resiko resistensi

insulin sehingga meningkatkan resiko diabetes mellitus tipe 2 dengan

konsekuensi komplikasi kardiovaskular. Penderita PCOS juga beresiko

mengalami hiperplasia dan karsinoma endometrium (Hardiman et al., 2003).

13
DAFTAR PUSTAKA

POGI. 2006. Standar pelayanan medik obstetrik dan ginekologi: sindroma ovarium
polikistik. Perkumpulan obstetric dan ginekologi Indonesia, Jakarta.

Norwitz, Errol., Schorge, John. 2006. Obstetric dan Ginekologi At Glance Edisi
kedua. Erlangga medical series (EMS), Jakarta

William, Lippincott., Wilkins. 2007. Berek & Novak's Gynecology, 14th Edition.
California, Johns Hopkins University School of Medicine.

Wood, JR., Nelson, VL., Ho, C. 2003. The molecular phenotype of polycystic ovary
syndrome (PCOS) theca cells and new candidate PCOS genes defined by
microarray analysis. J Biol Chem;278:26380–26390.

Ibanez, L., De Zegher, F. 2004. Flutamide–metformin plus an oral contraceptive


(OC) for young women with polycystic ovary syndrome: switch from third–
to fourth–generation OC reduces body adiposity. Hum Reprod;19:1725–
1727.

Ibanez, L., Valls, C., Cabre, S. 2004. Flutamide–metformin plus ethinylestradiol–


drospirenone for lipolysis and antiatherogenesis in young women with
ovarian hyperandrogenism: the key role of early, low–dose flutamide. J Clin
Endocrinol Metab;89:4716–4720.

Lord, JM., Flight, IH., Norman, RJ. 2003. Metformin in polycystic ovary syndrome:
systematic review and meta–analysis. BMJ;327:951–953.

Jakubowicz DJ, Iuorno MJ, Jakubowicz S. 2002. Effects of metformin on early


pregnancy loss in the polycystic ovary syndrome. J Clin Endocrinol
Metab;87:524–529.

Ganong, William F. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.

Hardiman, P., Pillay, OC., Atiomo, W. 2003. Polycystic ovary syndrome and
endometrial carcinoma. Lancet. 361 (9371):1810-2.

Bulun, SE., Adashi,EY. 2011. The physiology and pathology of the female
reproductive axis. Saunders Elseviers, Philadelpia.

DeCherney, Alan H., Nathan, Lauren., Goodwin, T. Murphy., Laufer, Neri. 2007.
Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology, Tenth Edition.
The McGraw-Hill Companies, United States of America

14

You might also like