Professional Documents
Culture Documents
Bab I Pendahuluan
Bab I Pendahuluan
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan Makalah
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah mengacu pada rumusan masalah di atas
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan filariasis.
2. Untuk mengetahui teori simpul terjadinya filariasis.
3. Untuk mengetahui mekanisme perjalanan penyakit filariasis.
4. Untuk mengetahui upaya pencegahan dan pengobatan filariasis.
1.4 Manfaat
Manfaat penyusunan makalah ini adalah agar masyarakat dapat mengetahui segala
sesuatu tentang filariasis, bagaimana teori simpul terjadinya filariasis, dan bagaimana upaya
pencegahan, pengobatan serta rehabilitasi filariasis. Dengan demikian, diharapkan masyarakat
ikut memberantas penyakit ini secara aktif sehingga tidak menjadi endemi di masyarakat.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Untuk memberantas penyakit ini sampai tuntas, WHO sudah menetapkan kesepakatan global
(The Global Gool of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by The
Year 2020). Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan, misalnya dengan DEC dan
Albendazol setahun sekali selama 5 tahun di lokasi yang endemis dan perawatan kasus klinis,
baik yang akut maupun kronis untuk mencegah kecacatan dan mengurangi penderitanya.
b) SIMPUL 2 :
Media Transmisi Penyakit Mengacu pada gambar skematik tersebut, komponen
lingkungan yang dapat memindahkan agent penyaki pada hakikatnya hanya ada 5 komponen
lingkungan yang lazim kita kenal sebagai media transmisi penyakit, yakni : udara, air, tanah atau
pangan, binatang atau serangga, dan manusia atau langsung. Media transmisi tidak akan
memiliki potensi penyakit kalau di dalamnya tidak mengandung bibit penyakit atau agent
penyakit.
Penyebaran penyakit filariasis melalui nyamuk Anopheles sp, Aedes aegypti, dan Culex
yang menggigit penderita penyakit filariasis, kemudian nyamuk tersebut memindahkan penyakit
filariasis ke orang sehat melalui gigitan nyamuk tersebut. Proses penularan filariasis dapat terjadi
bila ada tiga unsur yaitu:
Adanya sumber penularan yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung
mikrofilaria dalam darahnya.
4
Manusia Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk
infektif (mengandung larva stadium
Nyamuk infektif mendapat mikrofilaria dari pengedap baik pengidap dengan gejala klinis
maupun pengidap yang tidak menunjukkan gejala klinis.
Pada daerah endemis filariasis tidak semua orang terinfeksi filariasis dan tidak semua
orang yang terinfeksi filariasis menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis
tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis
didalam tubuhnya. Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai resiko
terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non
endemis ke daerah endemis misalnya transmigran walaupun pada pemeriksaan darah jari belum
atau sedikit mengandung mikrofilaria akan tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih
berat.
Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan
resevoir). Dari semua spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di Indonesia, hanya
Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung
(Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan kucing (Felis catus). Pengendalian filariasis
pada hewan resevoir ini tidak mudah, oleh karena itu juga akan menyulitkan upaya
pemberantasan filariasis pada manusia. (Utama, 2008)
Adanya vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis dan Manusia yang rentan
terhadap filariasis Seseorang dapat tertular filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan
nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3-L3). Pada saat
nyamuk infektif menggigit manusia maka larva L3 akan keluar dari proboscis dan tinggal di kulit
sekitar lubang gigitan nyamuk, pada saat nyamuk menarik probosisnya larva L3 akan masuk
melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe.
Cara penularan tersebut menyebabkan tidak mudahnya penularan filariasis dari satu
orang ke orang lain pada suatu wilayah tertentu, sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang
dapat terinfeksi filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk ribuan kali. (Hasyim,
2008) Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun
waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan waktu kurang lebih
9 bulan. Disamping sulit terjadinya penularan dari nyamuk ke manusia, sebenarnya kemampuan
5
nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria
juga sangat terbatas.
Nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi
jika mikrofilaria yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium
larva L3 yang akan ditularkan. Kepadatan vektor, suhu dan kelembaban sangat berpengaruh
terhadap penularan filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap umur nyamuk.
sehingga mikrofilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktunya untuk tumbuh
menjadi larva infektif L3 (masa inkubasi ekstrinsik dari parasit).
Masa inkubasi untuk ekstrinsik untuk Wuchereria bancrofti antara 10-14 hari sedangkan
Brugia malayi dan Brugia timori antara 8-10 hari. Periodisitas mikrofilaria dan perilaku
menggigit nyamuk berpengaruh terhadap resiko penularan. Mikrofilaria yang bersifat periodik
nokturna (mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam) memiliki vektor
yang aktif mencari darah pada waktu malam, sehingga penularan juga terjadi pada malam hari.
Di daerah dengan mikrofilaria sub periodik nokturna dan non periodik penularan dapat terjadi
siang dan malam hari (Utama, 2008).
c) SIMPUL 3 :
Perilaku Pemajanan (Behavioural Exposure) Agent penyakit dengan atau tanpa
menunjang komponen lingkungan lain, masuk ke dalam tubuh melalui satu proses yang kita
kenal sebagai proses hubungan interaktif. Hubungan interaktif antara komponen lingkungan
dengan penduduk berikut perilakunya, dapat diukur dengan konsep yang disebut sebagai perilaku
pemajanan atau behavioural exposure (Achmadi, 1985).
Perilaku pemajanan adalah jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan
yang mengandung potensi bahaya penyakit (agent penyakit). Perilaku pemajanan pada penyakit
filariasis terdiri dari faktor manusia, faktor nyamuk dan faktor agent.
a. Manusia
Umur Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang
dapat tertular filariasis apabila mendapat tusukan atau gigitan nyamuk infektif
(mengandung larva stadium 3 atau L-3) ribuan kali. (Depkes RI, 2006)
6
Jenis kelamin Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria, pada laki-laki lebih
tinggi daripada insiden filariasis pada perempuan karena umumnya laki-laki lebih sring
kontak dengan vektor karena pekerjaannya (Depkes RI, 2006)
Imunitas Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak terbentuk imunitas
dalam tubuhnya terhadap filaria demikian juga yang tinggal di daerah endemis biasanya
tidak mempunyai imunitas alami terhadap penyakit filariasis. Pada daerah endemis
filariasis tidak semua orang terinfeksi dan orang yang terinfeksi menunjukkan gejala
klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis
biasanya terjadi perubahan-perubahan patologis dalam tubuh.
b. Nyamuk
Nyamuk termasuk serangga yang melangsungkan siklus kehidupan di air, kelangsungan
hidup nyamuk akan terputus apabila tidak ada air. Nyamuk dewasa sekali bertelur sebanyak 100-
300 butir, besar telur sekitar 0,5mm, setelah 1-2 hari menetas menjadi jentik, 8-10 hari menjadi
kepompong (pupa), dan 1-2hari menjadi nyamuk dewasa.
1. Siklus Gonotrofik Yaitu waktu yang diperlukan untuk matangnya telur, waktu ini juga
merupakan interval mengigit nyamuk.
2. Frekuensi Menggigit Manusia Frekuensi membutuhkan atau menghisap darah tergantung
spesiesnya dan dipengaruhi oleh temepratur dan kelembaban yang disebut siklus
gonotrofik. Untuk iklim tropis biasanya ini berlangsung sekitar 48-96 jam.
3. Faktor yang penting Umur nyamuk (longevity) semakin panjang umur nyamuk semakin
besar kemungkinannya untuk menjadi penular atau vektor.
Umur nyamuk bervariasi tergantung dari spesiesnya dan dipengaruhi oleh lingkungan.
Kemampuan nyamuk vektor untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang
mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas, nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu
banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil
jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan. Periodisitas mikrofilaria dan perilaku
menghisap darah nyamuk vektor berpengaruh terhadap resiko penularan.
7
c. Agent
Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe menurut (DepKes RI, 2006) yaitu :
1. Wucheria bancrofti tipe perkotaan (urban) Ditemukan di daerah perkotaan seperti Bekasi,
Tangerang, Pekalongan dan sekitarnya memiliki periodisitas nokturna, ditularkan oleh
nyamuk Cx.quiquefasciatus yang berkembang biak di air limbah rumah tangga.
2. Wuchereria bancrofti tipe Pedesaan (rural) Ditemukan di daerah pedesaan luar Jawa
terutama tersebar luas di Papua dan Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas
nokturna yang ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk Anopheles dan Culex.
3. Brugia malayi tipe periodik nokturna Mikrofilaria ditemukan di darah pada malam hari.
Jenis nyamuk penularannya adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah
persawahan.
4. Brugia malayi tipe subperiodik nokturna Mikrofilaria ditemukan di drah tepi pada siang
dan malam hari, tetapi lebih banyak ditemukan pada malam hari. Jenis nyamuk
penularnya adalah Mansonia spp yang ditemukan di daerah rawa.
5. Brugia malayi tipe non periodik Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik malam
maupun siang hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Mansonia bonneae dan Mansonia
uniformis yang di temukan di hutan rimba
6. Brugia timori tipe periodik nokturna Di temukan di darah pada malam hari. Jenis nyamuk
penularnya adalah An.barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan Nusa Tenggara
Timur, Maluku Tenggara.
d) SIMPUL 4 :
Kejadian Penyakit Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan interaktif antara
penduduk dengan lingkungan yang miliki potensi bahaya gangguan kesehatan. Penyakit filariasis
ini akan menghasilkan 2 kejadian yaitu sehat maupun sakit.
8
di saluran limfe ekstremitas bawah (inguinal dan obturator), ekstremitas atas ( saluran limfe
aksila ), dan untuk W.bancrofti ditambah dengan saluran limfe di daerah genital laki-laki
(epididimidis, testis, kordaspermatikus).
Melalui kopulasi, cacing betina mengeluarkan larva stadium 1 (bentuk embrionik atau
mikrofilaria ) dalam jumlah banyak, dapat lebih dari 10.000 per hari. Mikrofilaria masuk ke
dalam sirkulasi darah mungkin melalui duktus thoracicus, mikrofilaremia ini terutama sering
ditemukan pada malam hari antara tengah malam sampai jam 6 pagi. Pada saat siang hari hanya
sedikit atau bahkan tidak ditemukan mikrofilaremia, pada saat tersebut mikrofilaria berada di
jaringan pembuluh darah paru.
Penyebab periodisitas nokturnal ini belum diketahui, namun diduga sebagai bentuk
adaptasi ekologi lokal, saat timbul mikrofilaremia pada malam hari, pada saat itu pula
kebanyakan vektor menggigit manusia. Diduga pula pH darah yang lebihrendah saat malam hari
berperan dalam terjadinya periodisitas nokturnal. Darah yang mengandung mikrofilaria dihisap
nyamuk, dan dalam tubuh nyamuk larva mengalami pertumbuhan menjadi larva stadium 2 dan
kemudian larva stadium 3 dalam waktu 10 ± 12 hari. Cacing dewasa dapat hidup sampai 20
tahun dalam tubuh manusia, rata-rata sekitar 5 tahun. (Anies, 2006)
Pencegahan penyakit kaki gajah dan filasiasis bagi penderita penyakit filariasis
diharapkan untuk memeriksakan kedokter agar mendapatkan penanganan obat – obatan sehingga
tidak menyebabkan penularan kepada masyarakat lainnya. Perlu adanya pendidikan dan
pencegahan serta pengenalan penyakit kaki gajah atau filariasis di wilayah masing – masing
sangatlah penting untuk memutus mata rantai penularan penyakit ini .Membersihkan lingkungan
9
sekitar adalah hal terpenting untuk mencegah terjadinya perkembangan nyamuk diwilayah
tersebut.
Dari dulu sampai sekarang DEC merupakan pilihan obat yang murah dan efektif jika
belum bersifat kronis. Selain DEC, terdapat pula Ivermectin yang sampai sekarang harganya pun
semakin murah. Diethilcarbamazyne (DEC, 6 mg/kgBB/hari untuk 12 hari) bersifat makro dan
mikrofilarisidal merupakan pilihan yang tepat untuk individu dengan filariasis limfe aktif
(mikrofilaremia, antigen positif, atau deteksi USG positif cacing dewasa). Meskipun albendazole
(400 mg dua kali sehari selama 21 hari) juga mampu menunjukan efikasi yang baik. Pada kasus
yang masih bersifat subklinis (hematuria, proteinuria, serta abnormalitas limfosintigrafi)
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari bahasan di atas dapat ditarik kesimpulan :
1. Filariasis adalah penyakit zoonosis menular yang banyak ditemukan di wilayah tropika
seluruh dunia. Penyebabnya adalah edema, infeksi oleh sekelompok cacing nematoda
parasit yang tergabung dalam superfamilia Filarioidea.
2. Penyakit kaki gajah (filariasis) ini umumnya terdeteksi melalui pemeriksaan mikroskopis
darah.
3. Pencegahan Filariasis dapat dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk (mengurangi
kontak dengan vektor).
4. Pengobatan filariasis harus dilakukan secara masal dan pada daerah endemis dengan
menggunakan obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC). DEC dapat membunuh
mikrofilaria dan cacing dewasa pada pengobatan jangka panjang.
3.2 Saran
Perlu dilakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang habitat dan kebiasaan nyamuk,
serta cara-cara pengendalian vektor yang dapat dilakukan masyarakat, seperti kebersihan rumah
dan lingkungan sekitar serta upaya pengelolaan lingkungan alam rangka pencegahan penularan
penyakit filaria. Diharapkan pemerintah dan masyarakat lebih serius mencegah kasus filariasis
karena penyakit ini dapat membuat penderitanya mengalami cacat fisik sehingga akan menjadi
beban keluarga, masyarakat dan Negara.
11
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U. F. 2001. Analisis Kecendrungan Kesehatan Lingkungan Pada Repelita VII dan Era
Globalisasi, serta Perlunya Pendekatan Spasial Dalam Pengembangan Kesehatan di Indonesia.
Ditjen P2M & PL, Depkes RI. Jakarta Achmadi, U. F. 2008. Manajemen Penyakit Berbasis
Wilayah. Penerbit Universitas Indonesia (UI Press). Jakarta Anies. 2006. Manajemen Berbasis
Lingkungan Solusi Mencegah dan Menanggulangi Penyakit Menular. Penerbit Elex Media
Komputindo. Jakarta Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat. 2006. Laporan Kajian
Kebijakan Penanggulangan (Wabah) Penyakit Menular. Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional Tahun 2006 Hasyim, Hamzah. 2008. Manajemen Penyakit Lingkungan Berbasis
Wilayah (Application Management Environmental Disease Based of Spesific Area). Jurnal
Manajemen Pelayanan Kesehatan. Vol. 11. No. 2 Depkes RI, 2006 Depkes RI, 2007
12