You are on page 1of 27

LAPORAN KASUS

PNEUMONIA

Pembimbing : dr. Erwina Mei A, Sp.A

Disusun Oleh :

Teti Puspita Sari

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


INTERNSIP ANGKATAN III
RSUD PLOSO JOMBANG
2018
BAB I

PENDAHULUAN

Pneumonia adalah suatu sindrom yang disebabkan oleh infeksi akut,


biasanya disebabkan oleh bakteri yang mengakibatkan adanya konsolidasi
sebagian dari salah satu atau kedua paru. Bronkopneumonia sebagai penyakit
yang menimbulkan gangguan pada sistem pernafasan, merupakan salah satu
bentuk pneumonia yang terletak pada alveoli paru.1
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama
pada anak di Negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas anak berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan
hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita,
meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan
Asia Tenggara. Menurut survey kesehatan nasional (SKN), 2001, 27,6 %,
kematian bayi dan 22,8 % kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit
system respiratori, terutama pneumonia.1
Menurut WHO, hampir 1 dari 5 balita di negara berkembang meninggal
disebabkan oleh pneumonia. Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai
parenkim paru. Sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme
(virus/bakteri).Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan
proses infeksi akut pada bronkus yang disebut dengan bronkopneumonia atau
pneumonia lobularis.2
Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka
mortalitas pneumonia pada anak balita di Negara berkembang. Faktor resiko
tersebut adalah : pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah
(BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi,
defisiensi vitamin A, tingginya prevalens kolonisai bakteri pathogen di nasofaring,
dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok).

Bronkopneumonia lebih sering menyerang bayi dan anak kecil. Hal ini
dikarenakan respon imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik.
Tercatat bakteri sebagai penyebab tersering bronkopneumonia pada bayi dan anak
adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae.2

Anak dengan daya tahan terganggu akan menderita bronkopneumonia


berulang atau bahkan bisa anak tersebut tidak mampu mengatasi penyakit ini
dengan sempurna. Selain faktor imunitas, faktor iatrogen juga memacu timbulnya
penyakit ini, misalnya trauma pada paru, anestesia, pengobatan dengan antibiotika
yang tidak sempurna.1

Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan yang mencolok


walaupun ada berbagai kemajuan dalam bidang antibiotik. Hal di atas disebabkan
oleh munculnya organisme nosokomial (didapat dari rumah sakit) yang resisten
terhadap antibiotik. Adanya organisme-organisme baru dan penyakit seperti AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome) yang semakin memperluas spektrum dan
derajat kemungkinan terjadinya bronkopneumonia ini.1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Paru2

Struktur dasar jalan nafas telah ada sejak lahir dan berkembang selama

neonatus dan dewasa menjadi sistem bronkhopulmonal. Jalan nafas pada setiap

usia tidak simetris. Apabila dibagi menjadi dua bagian, ada perbedaan bentuk dan

jumlah cabang yang tergantung dari lokasinya. Variasi tersebut menyebabkan

implikasi fisiologi yang berbeda. Alur yang berbeda menyebabkan perbedaan

resistensi terhadap aliran udara, sehingga menyebabkan distribusi udara atau

partikel yang terhisap tidak merata. Cabang dari bronkus mengalami pengecilan

ukuran dan kehilangan kartilago, yang kemudian disebut bronkhiolus.

Bronkhiolus terminalis membuka saat pertukaran udara dalam paru-paru.

Jalan nafas dilapisi oleh membran epitel yang berganti secara bertahap dari

epitel kolumner bertingkat bersilia di bronkus menjadi epitel kubus bersilia pada

area tempat pertukaran udara. Sillia berfungsi untuk menghantarkan mukus dari

pinggir jalan nafas ke faring. Sistem transport mukosilier ini berperan penting

dalam mekanisme pertahanan paru. Sel goblet pada trakhea dan bronkhus

memproduksi musin dalam retikulum endoplasma kasar dan apparatus golgi. Sel

goblet meningkat jumlahnya pada beberapa gangguan seperti bronkhitis kronis

yang hasilnya terjadi hipersekresi mukus dan peningkatan produksi sputum.


Unit pertukaran udara (terminal respiratory) terdiri dari bronkhiolus distal

sampai terminal : bronkhiolus respiratorius, duktus alveolaris dan alveoli.

Gambar 1. Anatomi Unit pertukaran udara

Gambar 2. Unit pernafasan terminal


Pada pemeriksaan luar pulmo dekstra lebih pendek dan lebih berat
dibanding pulmo sinistra. Pulmo dekstra dan sinistra dibagi oleh alur yang disebut
incissura interlobaris dalam beberapa Lobus Pulmonis. Pulmo dekstra dibagi
menjadi 3 lobi, yaitu:

1. Lobus Superior
Dibagi menjadi 3 segmen: apikal, posterior, inferior

2. Lobus Medius
Dibagi menjadi 2 segmen: lateralis dan medialis

3. Lobus Inferior
Dibagi menjadi 5 segmen: apikal, mediobasal, anterobasal, laterobasal,
posterobasal

Pulmo sinistra dibagi menjadi 2 lobi, yaitu:

1. Lobus Superior
Dibagi menjadi segmen: apikoposterior, anterior, lingularis superior,
lingularis inferior.

2. Lobus Inferior

Dibagi menjadi 4 segmen: apikal, anteromediobasal, laterobasal,dan


posterobasal
Gambar 3. Lobus dan segmentasi paru

2.2 Definisi 2,3

Bronkopneumonia merupakan infeksi pada parenkim paru yang terbatas


pada alveoli kemudian menyebar secara berdekatan ke bronkus distal terminalis.
Pada pemeriksaan histologis terdapat reaksi inflamasi dan pengumpulan eksudat
yang dapat ditimbulkan oleh berbagai penyebab dan berlangsung dalam jangka
waktu yang bervariasi. Berbagai spesies bakteri, klamidia, riketsia, virus, fungi
dan parasit dapat menjadi penyebab.
Bronchopneumonia adalah suatu infeksi saluran pernafasan akut bagian
bawah dari parenkim paru yang melibatkan bronkus / bronkiolus yang berupa
distribusi berbentuk bercak-bercak yang disebabkan oleh bermacam-macam
etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing.

Bronchopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau


beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak Infiltrat.

Bronchopneumina adalah frekuensi komplikasi pulmonary, batuk


produktif yang lama, tanda dan gejalanya biasanya suhu meningkat, nadi
meningkat, pernapasan meningkat (Suzanne G. Bare, 1993).

Bronchopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-


paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing.

Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang


mengenai parenkim paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi:

1) Pneumonia lobaris
2) Pneumonia interstisial
3) Bronkopneumonia.
Gambar 4, jenis-jenis pneumonia

Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu


peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai
bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-
anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri,
virus, jamur dan benda asing.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa


Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa
lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang
disebabkan oleh bakteri,virus, jamur dan benda asing.

2.3 Epidemiologi

Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama
pada anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas anak berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan
hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita,
meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan
Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian
bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem
repiratori, terutama pneumonia.4

Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka


mortalitas pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko
tersebut adalah: pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah
(BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi,
defisiensi vitamin A, tingginya prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring,
dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok).4

diagram 1, penyebab kematian anak dibawah 5 tahun menurut WHO 7

2.4 Etiologi

Tabel 1. Etiologi Pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negara maju.
5

Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang

Lahir-20 hari Bakteri Bakteri

E. colli Bakteri anaerob

Streptococcus group B Streptococcus group D

Listeria moonocytogenes Haemophillus influenzae


Streptococcus
pneumoniae

Ureaplasma urealyticum

Virus

Virus Sitomegalo

Virus Herpes Simpleks

Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang

3 minggu-3 bulan Bakteri Bakteri

Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis

Streptococcus pneumonia Haemophillus influenzae


tipe B

Virus Moraxella catharalis

Virus Adeno Staphylococcus aureus

Virus Influenza Ureaplasma urealyticum

Virus Parainflueza 1,2,3 Virus

Respiratory Syncytial Virus Sitomegalo


virus

Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang

4 bulan-5 tahun Bakteri Bakteri

Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae


tipe B

Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis

Streptococcus pneumonia Neisseria meningitidis

Virus Staphylococcus aureus

Virus Adeno Virus


Virus Influenza Virus Varisela-Zoster

Virus Parainfluenza

Virus Rino

Respiratory Syncytial
virus

Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang

5 tahun-remaja Bakteri Bakteri

Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae

Mycoplasma pneumoniae Legionella sp

Streptococcus pneumonia Staphylococcus aureus

Virus

Virus Adeno

Virus Epstein-Barr

Virus Influenza

Virus Parainfluenza

Virus Rino

Respiratory Syncytial
virus

Virus Varisela-Zoster

Sumber: Said M. Pneumonia. Buku Ajar Respirologi Anak. Badan Penerbit IDAI.
Jakarta:Cetakan Kedua;350-365 5

2.5 Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan,
dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa
ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi
terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan. 5
a. Berdasarkan lokasi lesi di paru
Pneumonia lobaris
Pneumonia lobularis
Pneumonia intersitialis
b. Berdasarkan asal infeksi
Pneumonia yang didapat dari masyarakat (community acquired
pneumonia)
Pneumonia yang didapat dari Rumah Sakit (hospital based pneumonia)
c. Berdasarkan mikroorganisme penyebab
Pneumonia bakteri
Pneumonia virus
Pneumonia mikoplasma
Pneumonia jamur
d. Berdasarkan karakteristik penyakit pneumonia
Pneumonia tipikal
Pneumonia atipikal
e. Berdasarkan lama penyakit
Pneumonia akut
Pneumonia persisten
Klasifikasi berdasarkan Lingkungan dan Pejamu
Tipe Klinis Epidemiologi

Pneumonia Komunitas Sporadis atau endemis; orang tua atau orang


muda

Pneumonia Nosokomial Didahului perawatan di RS

Pneumonia Rekurens Terdapat dasar penyakit paru kronik

Pneumonia Aspirasi Alkoholik, usia tua

Pneumonia pada gangguan Pasien transplantasi, onkologi, AIDS


imun

Klasifikasi berdasarkan WHO


WHO merekomendasikan penggunaan peningkatan frekuensi napas dan retraksi
subkosta untuk mengklasifikasikan pneumonia dinegara berkembang, namun
demikian kriteria tersebut mempunyai sensitivitas yang buruk untuk anak
malnutrisi dan sering overlapping dengan malaria.
Klasifikasi pneumonia
- Bayi <2 bulan
1. Pneumonia berat : napas cepat atau retraksi yang berat
2. Pneumonia sangat berat : tidak mau menetek/ minum, kejang, letargis,
demam atau hipotermia, bradipnea atau pernapasan ireguler.
- Anak umur 2 bulan–5 tahun
1. Pneumonia ringan : napas cepat
2. Pneumonia berat : retraksi
3. Pneumonia sangat berat : tidak dapat minum/makan, kejang, letargis,
malnutrisi
Takipneu berdasarkan WHO:

a. Usia < 2 bulan : ≥ 60 x/menit

b. Usia 2-12 bulan : ≥ 50 x/menit

c. Usia 1-5 tahun : ≥ 40 x/menit

d. Usia 6-12 tahun : ≥ 28 x/menit

2.5 Patogenesis 2,3


Proses patogenesis terkait dengan 3 faktor, yaitu imunitas host,
mikroorganisme yang menyerang, dan lingkungan yang berinteraksi. Cara
terjadinya penularan berkaitan dengan jenis kuman, misalnya infeksi melalui
droplet sering disebabkan Streptococcus pneumonia, melalui selang infus oleh
Staphylococcus aureus, sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator oleh
Enterobacter dan P. aeruginosa. Pada masa sekarang, terlihat perubahan pola
mikrorganisme adanya perubahan keadaan pasien seperti gangguan kekebalan,
penyakit kronik, polusi lingkungan, dan penggunaan antibiotic yang tidak tepat
menimbulkan perubahan karakteristik kuman. Dijumpai peningkatan pathogenesis
kuman akibat adanya berbagai mekanisme terutama oleh S. aureus, H. influenza
dan Enterobacteriaceae serta berbagai bakteri gram negative.
Patogen mikrobial dapat berasal dari flora orofaringeal termasuk S.
pneumonia, S. pyogens, M. pneumonia, H. influenza, Moraxalla catarrhalis.
Kolonisasi bakteri ini meningi merusak fibronektin, glikoprotein yang melapisi
permukaan mukosa. Fibronektin merupakan reseptor bagi flora normal gram
positif orofaring. Hilangnya fibronektin menyebabkan reseptor pada permukaan
sel terpajan oleh bakteri gram negative. Sumber basil gram negative dapat berasal
dari lambung pasien sendiri atau alat respirasi yang tercemar.
Penyebaran hematogen ke seluruh paru biasanya dengan infeksi S. aureus
dapat terjadi pada pasien seperti pada keadaan penyalahgunaan obat melalui
intravena, atau pada pasien dengan infeksi akibat kateter intravena. Dua jalur
penyebaran bakteri ke paru lainya adalah melalui jalan inokulasi langsung sebagai
akibat intubasi trakeaatau luka tusuk dada yang berdekatan denga tempat infeksi
yang berbatasan.
Usia merupakan predictor lain yang penting untuk meramalkan
mikroorganisme penyebab infeksi. Chlamidia trachomatis dan virus sisitial
pernafasan sering terdapat pada bayi berusia dibawah 6 bulan. H. influenza pada
anak berusia antara 6 bulan sampai 5 tahun, M. pneumonia dan C. pneumonia
pada orang dewasa muda dan H. influenza serta M. catarrhalis pada pasie lanjut
usia dengan penyakit paru kronis. H. influenza juga lebih sering didapatkan pada
pasien perokok. Bakteri gram negative lebih sering pada pasien lansia.
Pseudomonas aeruginosa pada pasien bronkiektasis, terapi steroid, malnutrisi dan
imunisupresi disertai lekopeni.

Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di nasopharing dan


bersifat asimptomatik pada kurang lebih 50% orang sehat. Adanya infeksi virus
akan memudahkan Streptococcus pneumoniae berikatan dengan reseptor sel epitel
pernafasan. Jika Streptococcus pneumoniae sampai di alveolus akan menginfeksi
sel pneumatosit tipe II. Selanjutnya Streptococcus pneumoniae akan mengadakan
multiplikasi dan menyebabkan invasi terhadap sel epitel alveolus. Streptococcus
pneumoniae akan menyebar dari alveolus ke alveolus melalui pori dari Kohn.
Bakteri yang masuk kedalam alveolus menyebabkan reaksi radang berupa edema
dari seluruh alveolus disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN.
Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu :

1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)


Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari
sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-
mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel
mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama
dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler
paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.

Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang


interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan
alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan
jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka
perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

2. Stadium II (48 jam berikutnya)

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna
paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini
udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah
sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

Gambar 1. tampak alveolus terisi sel darah merah dan sel sel inflamasi
(netrofil)

3. Stadium III (3 – 8 hari)

Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih


mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu
dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

Gambar 2. tampak alveolus terisi dengan eksudat dan netrofil

4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman atau
penyebaran langsung kuman dari respiratorik atas. Hanya sebagian kecil
merupakan akibat sekunder dari bakterimia atau viremia atau penyebaran dari
infeksi intra abdomen. Dalam keadaan normal mulai dari sublaring hingga unit
terminal adalah steril. Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan
mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme
pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh,
mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat masuk,
berkembang biak dan menimbulkan penyakit.

Paru terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme :

 Filtrasi partikel di hidung


 Pencegahan aspirasi dengan refleks epiglottis
 Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk
 Pembersihan kearah kranial oleh mukosiliar
 Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar
 Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal
 Drainase melalui sistem limfatik.
2.6 Manifestasi Klinis 2

Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian


atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39 0-400C dan
mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu,
pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di
sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak
akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk
kering kemudian menjadi produktif.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan :

 Inspeksi : pernafasan cuping hidung(+), sianosis sekitar hidung dan


mulut, retraksi sela iga.
 Palpasi : Stem fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit.
 Perkusi : Sonor memendek sampai beda
 Auskultasi : Suara pernafasan mengeras ( vesikuler mengeras )
disertai ronki basah gelembung halus sampai sedang.

Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya


daerah yang terkena.Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya
kelainan.Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus
sampai sedang. Pada stadium resolusi ronki dapat terdengar lagi.Tanpa
pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi antara 2-3 minggu.

2.7 Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan
infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam
tinggi terus-menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada
anak), kejang (pada bayi), dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka
berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda sering menunjukkan gejala
non spesifik seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang atau
kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen
disertai muntah.

2. Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok
umur tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding
dada, grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih besar jarang
ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat adalah takipneu, retraksi,
sianosis, batuk, panas, dan iritabel.

Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk
(non produktif / produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai dengan
retraksi dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja, dapat
dijumpai panas, batuk (non produktif / produktif), nyeri dada, nyeri kepala,
dehidrasi dan letargi.

Pedoman klinis membedakan penyebab pneumonia, sebagai berikut :

Pemeriksaan Bakteri Virus Mikoplasma

Anamnesis

Umur Berapapun, bayi Berapapun Usia sekolah

Awitan Mendadak Perlahan Tidak nyata

Sakit serumah Tidak Ya, bersamaan Ya, berselang

Batuk Produktif nonproduktif kering

Gejala penyerta Toksik Mialgia, ruam, Nyeri kepala, otot,


tenggorok
organ bermukosa

Fisik

Keadaan umum Klinis > temuan Klinis ≤ temuan Klinis < temuan

Demam Umumnya ≥ 39ºC Umumnya < 39ºC Umumnya < 39ºC

Auskultasi Ronkhi ±, suara Ronkhi bilateral, Ronkhi unilateral,


mengi. 14
Napas melemah Difus, mengi

3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah pada pneumonia umumnya didapatkan Lekositosis
hingga > 15.000/mm3 seringkali dijumpai dengan dominasi netrofil pada hitung
jenis. Lekosit > 30.000/mm3 dengan dominasi netrofil mengarah ke pneumonia
streptokokus. Trombositosis > 500.000 khas untuk pneumonia bakterial.
Trombositopenia lebih mengarah kepada infeksi virus. Biakan darah merupakan
cara yang spesifik namun hanya positif pada 10-15% kasus terutama pada anak-
anak kecil.

4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologis
Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan untuk menentukan lokasi
anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama pada
pasien bayi. Pada bronkopneumonia bercak-bercak infiltrat didapatkan pada satu
atau beberapa lobus. Jika difus (merata) biasanya disebabkan oleh Staphylokokus
pneumonia.

Gambar 5 : Foto toraks PA pada pneumonia lobaris: tampak bercak-bercak


infiltrat pada paru kanan
Gambar 6 : Foto toraks PA pada bronkopneumonia.

b. C-Reactive Protein
Adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai
respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP distimulai oleh sitokin,
terutama interleukin 6 (IL-6), IL-1 dan tumor necrosis factor (TNF). Secara klinis
CRP digunakan sebagai diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan
non infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis dan profunda.
Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan bakteri. CRP kadang-
kadang digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik.

c. Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada


infeksi bakteri atipik. Peningkatan IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis.

d. Pemeriksaan mikrobiologi

Diagnosis terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan pemeriksaan


mikrobiologi spesimen usap tenggorok, sekresi nasopharing, sputum, aspirasi
trakhea, fungsi pleura. Sayangnya pemeriksaan ini banyak sekali kendalanya, baik
dari segi teknis maupun biaya. Bahkan dalam penelitianpun kuman penyebab
spesifik hanya dapat diidentifikasi pada kurang dari 50% kasus.

2.7.1 Kriteria Diagnosis

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala klinis berikut:

Trias Bronkopneumonia:

1. Sesak napas disertai dengan pernapasan cuping hidung dan retraksi


dinding dada.
2. Demam dengan suhu 39-40oC
3. Ronkhi basah, halus, nyaring (crackles)
 Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000-40.000/mm3
dengan pergeseran ke kiri dan peningkatan LED.
 Foto thoraks menunjukkan gambaran infiltrat difus.
2.8 Diagnosis Banding

 Bronkiolitis

o Hanya pada penderita usia < 2 tahun

o Disebabkan oleh virus, tersering adalah respiratory synctial virus.

o Perjalanan singkat (48-72 jam)

o Gambaran klinis tanpa disertai kenaikan suhu atau hanya subfebris,


sesak napas disertai serangan batuk, pada pemeriksaan terdapat
suara perkusi hipersonor, ekspirium memanjang disertai dengan
mengi (wheezing).

 Asma Bronkial

 TBC Paru

2.9 Penyulit

1. Empiema (paling sering oleh S. Pneumoniae dan S. Aureus


2. Perikarditis
3. Pneumotoraks
4. Pneumatokel
5. Meningitis bakterialis
6. Artritis supuratif
7. Osteomielitis.1

2.10 Penatalaksanaan 7

Indikasi rawat

Kriteria rawat inap, yaitu :

Pada bayi

 saturasi oksigen ≤ 92 %, sianosis


 frekuensi napas > 60 x/menit
 distress pernapasan, apneu intermitten, atau grunting
 tidak mau minum / menetek
 keluarga tidak bisa merawat dirumah
Pada anak

 saturasi oksigen ≤ 92 %, sianosis


 frekuensi napas ≥ 50 x/menit
 distress pernapasan
 grunting
 terdapat tanda dehidrasi
 keluarga tidak bisa merawat dirumah
Kriteria pulang:

 Gejala dan tanda pneumonia menghilang


 Asupan peroral adekuat
 Pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah (peroral)
 Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol
 Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan dirumah
Tatalaksana Umum
Pasien dengan saturasi oksigen < 92% pada saat bernapas dengan udara kamar
harus diberikan terapi O2 nasal kanul, head box, atau sungkup untuk
mempertahankan saturasi O2 >92%
1. Pada pneumonia berat atau asupan peroral kurang diberikan cairan
intravena dan dilakukan balance cairan
2. Fisioterapi dada tidak direkomendasikan untuk anak dengan pneumonia
3. Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan
pasien dan mengontrol batuk.
4. Nebulisasi dengan B2 agonis dan Nacl dapat diberikan untuk mucociliary
clearance
5. Pasien yang mendapat terapi oksigen harus diobservasi setidaknya setiap 4
jam sekali, termasuk pemeriksaan saturasi O2.

Pemberian Antibiotik
- Amoksisilin merupakan pilihan pertama antibiotik oral pada anak <5 tahun
karena efektif melawan sebagian besar patogen yang menyebabkan
pneumonia anak, ditoleransi dengan baik dan murah, alternatif lain adalah
co-amoxiclav, ceflocar, eritromisin, claritromisin, dan azitromisin.
- M. Pneumoniae lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua maka
antibiotik golongan makrolid diberikan sebagai golongan pertama secara
empiris pada anak > 5 tahun.
- Makrolid diberikan jika M. Pneumonia atau C. Pneumonia dicurigai
sebagai penyebab
- Amoksilin diberikan sebagai pilihan pertama jika S.pneumonia sangat
mungkin sebagai penyebabnya.
- Jika S. Aureus dicurigai sebagai penyebab, diberikan makrolid atau
kombinasi flucloxacilin dengan amoksisilin.
- Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak dapat
menerima obat per oral (misal karena muntah) atau termasuk dalam derajat
berat
- Antibiotik intravena yang dianjurkan adalah ampisilin dan kloramfenikol,
co- amoxiclav, ceftriaxon, cefotaxime.
- Pemberian antibitik oral harus dipertimbangkan setelah mengalami
perbaikan dengan antibiotik intravena.

Antibiotik untuk community acquired pneumonia :


- Neonatus – 2 bulan : Ampisilin + gentamisin
- >2 bulan
1. Lini pertama Ampisilin bila dalam 3 hari tidak ada perbaikan dapat
diberikan dengan kloramfenikol
2. Lini kedua ceftriaxon
Nutrisi
- Pada anak dengan distres pernapasan berat pemberian makanan per oral
harus dihindari. Makanan dapat diberikan melalui Nasogastric tube (NGT)
atau intravena. Tetapi perlu diingat pemasangan NGT dapat menekan
pernapasan pernapasan, khususnya pada bayi/ anak dengan ukuran lubang
hidung kecil, jika memang dibutuhkan sebaiknya menggunakan ukuran
paling kecil
- Perlu dilakukan pemantauan balans cairan ketat, agar anak tidak
mengalami overhidrasi, karena pneumonia berat terjadi peningkatan
sekresi hormon antideuretik.

2.11 Prognosis 1,3

Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat yang dimulai


secara dini pada perjalanan penyakit tersebut maka mortalitas selama masa
bayi dan masa kanak-kanak dapat di turunkan sampai kurang 1 % dan
sesuai dengan kenyataan ini morbiditas yang berlangsung lama juga
menjadi rendah. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang
datang terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Alsagaff Hood, Mukty H.Abdul.Pneumonia. Dasar – Dasar Ilmu Penyakit


Paru. Surabaya : Airlangga University Press.th ; 2008. Hal ; 193-7
2. WHO. 2008. Global Action Plan for Prevention and Control Pneumonia
3. Garna H dan Heda M.2005. Pneumonia Dalam Pedoman Diagnosis Dan
Terapi 3rd Ed : Bagian IKA FK UNPAD Bandung.th ; 2010.Hal; 403 – 8
4. Rahajoe Nastiti N, Supriyanto Bambang, dkk. Pneumonia. Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. Th;
2010.hal; 351-363

5. Alihbahasa, Tim Adaptasi Indonesia. Pedoman pelayanan kesehatan anak


di rumah sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten. Jakarta : WHO
Indonesia.th;2008. Hal 86-93.
6. Sectish Theodore C, Prober Charles G. 2004. Nelson Textbook of
Pediatrics : “Pneumonia”. Edisi ke-17. Saunders.

7. Antonius H dkk, 2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak


Indonesia, “ Pneumonia”, IDI.

You might also like