Professional Documents
Culture Documents
Pengobatan Myasthenia Gravis
Pengobatan Myasthenia Gravis
Pengobatan Myasthenia Gravis
Tidak dikenal adanya penyembuhan untuk Myasthenia Gravis, namun saat ini Myasthenia
Gravis bisa dikontrol dengan beberapa terapi yang ada, yang dirasakan cukup efektif untuk
membantu para penderita Myasthenia Gravis. Terapi-terapi tersebut bisa berupa obat-
obatan maupun beberapa tindakan medis, yaitu :
Obat-obatan
A. Anticholinesterase
C. Immunoglobulin
Immunoglobulin (IVIg) dimasukkan ke dalam pembuluh darah terkadang digunakan juga
untuk mempengaruhi fungsi atau produksi dari antibodi yang tidak normal.
Penggunaan immunoglobulin melalui pembuluh darah, sama dengan pertukaran plasma,
yakni untuk menghasilkan perbaikan yang lebih cepat untuk menolong pasien melalui
periode sulit dari kelemahan Myasthenia atau sebelum menjalani pembedahan.
Pengobatan ini memiliki keuntungan yaitu tidak memerlukan peralatan khusus untuk jalan
masuk ke pembuluh darah. Dosis yang umum adalah 400 mg/kg per hari untuk 5 hari
berturut-turut (total dosis = 2 g/kg). Perbaikan terjadi pada sekitar 70 % dari pasien,
dimulai sekitar 4 sampai 5 hari setelah pengobatan dan dilanjutkan beberapa minggu
sampai beberapa bulan. Pengobatan ini tidak memiliki pengaruh yang konsisten pada nilai
atau kadar sirkulasi antibodi AChR.
C. Plasmapheresis
Plasmapheresis atau pertukaran plasma mungkin juga berguna pada pengobatan MG. Cara
ini memindahkan atau mengangkat antibodi tidak normal dari plasma darah. Kemajuan
pada kekuatan otot mungkin terlihat jelas tetapi biasanya tidak bertahan lama karena
produksi antibodi yang tidak normal masih terus berlanjut. Ketika plasmapheresis
dilakukan, ini akan memerlukan pertukaran yang berulang-ulang. Pertukaran plasma
mungkin khususnya berguna pada saat kelemahan MG yang sangat hebat atau sebelum
menjalani pembedahan.
Plasmapheresis (penarikan plasma) adalah sebuah pengobatan jangka pendek yang mahal,
dimana beberapa liter dari darah diangkat dari pembuluh darah pasien, diolah dalam sebuah
mesin, dan sel darah merah dikembalikan melalui pembuluh darah ke dalam plasma tiruan
(albumin dan larutan garam). Plasmapheresis dilakukan berulang-ulang untuk 2 minggu
ketika manfaat pengobatan jangka pendek sangat diperlukan bagi pasien, seperti ketika
sedang mengalami krisis pernafasan atau sebelum menjalani pembedahan atau penyinaran.
Beberapa pasien menjadi lebih kuat beberapa hari setelah menjalani proses ini, tapi
manfaatnya hanya berlangsung beberapa minggu saja.
D. Thymectomy
Dalam sebuah bukunya, Harrison mengatakan bahwa harus dibedakan antara pembedahan
untuk menghilangkan thymoma, dengan thymectomy sebagai pengobatan bagi Myasthenia
Gravis. Pembedahan untuk menghilangkan thymoma diperlukan karena adanya
kemungkinan menyebarnya tumor lokal, walaupun banyak thymoma jinak. Dengan ketidak
adaan tumor, fakta-fakta yang ada memperkirakan hingga 85 % pasien mengalami
perbaikan setelah thymectomy, dan karena ini sekitar 35 % mencapai remisi bebas obat.
Tetapi, perbaikan ini biasanya berjalan lambat hingga hitungan bulan atau tahun.
Keuntungan dari thymectomy yaitu menawarkan manfaat jangka panjang, dalam beberapa
kasus terjadi berkurangnya kebutuhan untuk meneruskan pengobatan medis. Dalam
tinjauan dari potensi manfaat dan resiko, tidak berarti di tangan yang ahli, thymectomy
memperoleh penerimaan yang cukup luas sebagai pengobatan bagi MG. Dengan
kesepakatan bahwa thymectomy harus dilakukan pada pasien-pasien MG umum antara usia
puber dan kurang dari 55 tahun, apakah thymectomy direkomendasikan untuk anak-anak
dan orang dewasa diatas 55 tahun, dan apakah thymectomy juga perlu dilakukan pada
pasien yang kelemahannya terbatas hanya pada mata saja, hal ini masih merupakan perkara
yang diperdebatkan. Thymectomy harus dilakukan di rumah sakit yang sudah terbiasa
melakukannya dan memiliki staf yang berpengalaman dalam proses sebelum dan sesudah
pembedahan, pembiusan serta teknik pembedahan thymectomy.
Sumber :
1. INTRODUKSI
A. Latar Belakang
Myasthenia gravis (MG) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan
kelemahan otot rangka dan fatigability tenaga. Gambaran klinik pertama dilaporkan
tahun 1672 oleh Thomas Willis.
B. Pathofisiologi
Antibody pada pasien myasternia gravis bekerja lansung menyerang reseptor
achetylcolin (AchR) di neuromuscular junction pada otot skeletal. Pada tahun 1960,
Strauss mengatakan bahwa serum antibody pada orang dengan myasternia gravis
dapat membuktikan adanya patofisiologis gangguan autoimun.
Untuk mengetahui tentang myasternia gravis, kita harus memahami bagaimana
fisiologis dan anatomi dari neuromuscular junction (NMJ). NMJ merupakan ujung
terminal serabut syaraf motorik, biasa disebut sebagai terminal syaraf (terminal
bulb). Disinilah akhir dari impuls sepanjang serabut syaraf berakhir. NMJ terdiri
dari membran presynap (membrane syaraf), membrane postsynaps (membrane otot),
dan synaptic cleft (celah diaantara kedua membrane tersebut).
Pada membrane presynaps terdapat vesikel-vesikel yang berisi achetylcolin (Ach).
Pada saat aksi potensial sampai ke ujung syaraf motorik maka vesikel-vesikel
tersebut akan keluar kecelah antara kedua membrane tersebut (synaptic cleft),
selanjutnya Ach didalam vesikel-vesikel akan keluar secara difusi dan akan
berikatan dengan AchR pada membrane postsynaps.
Reseptor Ach merupakan ligan kanal sodium yang berfungsi sebagai pintu gerbang
dan akan membuka secra cepat pada saat Ach dikeluarkan. Hal ini dapat
menyebabkan masuknya ion-ion sodium kedalam sel otot, dimana hal ini dapat
mengakibatkan depolarisasi pada membran postsynaps dan eksitasi aksi potensial.
Apabila jumlah kanal sodium yang terbuka sudah terisi penuh maka reseptor akan
turun dan menyebarkan aksi potensial keseluh membrane otot. Apabila terdapat Ach
yang berlebih dalam NMJ maka Ach akan dihancurkan oleh acetylcolinestrase
(AchE). Pada area permukaan membrane postsynaps terjadi peningkatan akibat dari
menempelnya membrane pada ujung syaraf. Hal ini memungkinkan dalam merilis
Ach. Jumlah AchR pada membrane otot sangat sedikit tapi memiliki konsentrasi
yang besar pada ujung syaraf.
Pada AchR yang sudah matur terdiri dari 5 subunit (2 alpha, dan masing-masing
beta, gamma, dan delta), dimana setiap unitnya hanya pada satu membrane-
spanning molekul protein. Setiap subunit AchR berbeda pada tiap spesies,
tergantung pada saat pengkodean gen. setiap satu unit akan mengatur 1 sirkulasi,
membentuk tiap-tiap kanal sodium.
Mekanisme autoimun sangat berperan dalam patofisiologis penyakit ini. Perlu
dilakukan observasi gejala klinis gangguan autoimun pada pasien dengan myestrnia
gravis untuk mengetahui adanya syndrome atau beberapa ganguan autoimun lainnya.
Seperti autoimmune thyroidytis, SLE, rheumathoid arthritis. Pada bayi yang baru
lahir dari ibu yang menderita myasternia gravis dapat mengalami syndrome
myasternia. Pada pasien myasternia gravis dapat diberikan terpai yaitu dengan cara
memberikan terpi immunomodulating seperti plasmapharesi, corticosteroid,
immunoglobulin intravena (IVIg), atau immunosupresant lainnya dan thectomy.
Antibody Anti-AchR pada psien dengan myasternia gravis ditemukan hampir 80-
90%. Sehingga dilakukan percobaan untuk membuktikan penyebab autoimun,
sebagai berikut :
Menginduksi seekor tikus dengan cara menyuntikan IgG dari pasien dengan
myasternia gravis sehingga mengalami syndrome myasternia.
IgG dan komplemen postsynaps dari pasien dengan myasternia gravis akan
diinduksikan pada AchR kelinci.
Mekanisme penelitian tersebut dengan cara menghilangkan terlebih dahulu system
toleran pada imunterhadap Ach. Sedangkan mekanisme dari antigen sendiri tidak
diketahui. Pada Myasternia Gravis terjadi gangguan produksi antibody oleh sel B,
sehingga terbentuk antibody terhadap Ach Reseptor. Autoantibody (anti Ach R)
akan merusak Ach Reseptor, sehingga ikatan antara Ach dan Ach Reseptor akan
berkurang. Hal itu dapat menyebabkan gangguan transmisi pada neuromuscular.
Walaupun demikian, peran sel T juga sangat penting dalam meningkatkan dampak
penyakit Myasternia Gravis. Thymus merupakan pusat regulasi sel T, dan gangguan
pada kelenjar thymus seperti hyperplasia atau thymoma dapat timbul sebagai gejala
pada pasien mysthenic.
Respon antibody pada Myasternia Gravis bersifat polyclonal. Pada setiap pasien,
setiap antibody terbentuk oleh subklas IgG yang berbeda. Sebagai contohnya, 1
antibody dapat berbeda area immunogeniknya pada satu subunit alpha. Setiap
subunit alpha selalu ada pada saat pelepasan Ach , namun tempat pelepasan Ach
tidak pada area immunogenic yang sama. Pengikatan antibody Reseptor Ach akan
mengakibatkan rusaknya reseptor Ach sehinga menyebabkan rusaknya beberapa
transmisi neuromuskular. Termasuk sebagai berikut :
a) Karna banyaknya reseptor Ach yang diikat oleh antibody reseptor Ach, akan
mempercepat internalisasi dan kerusakan molekul reseptor Ach.
b) Menyebabkan rusaknya komplemen selubung dari membrane postsynap.
c) Mengeblok pengikatan Ach pada reseptor Ach.
d) Penurunan jumlah reseptor Ach pada membrane postsynap yang disebabkan
rusaknya selubung membrane postsynaps. Mengakibatkan penurunan area
permukaan untuk sintesa reseptor Ach yang baru.
Pada pasien tanpa antibody anti Ach-R dikenal sebagai seronegative myasthenia
gravis (SNMG). Banyak dari pasien dengan SNMGA memiliki antibody yang
melawa muscle-specifik kinase (MuSK). MuSK berada pada saat diferensiasi
postsynap dab pengelompokan Ach. Pasien wanita lebih banyak memiliki antibody
terhadap anti-MuSK, pasien sering mengalami gangguan pada system respirasi dan
otot bibar, tonjolan pada leher dan bahu, kelelhan bernafas.
C. Frekunsi
Penyakit myasternia di US masih tergolong langka, hanya terdapat 2 penderita dari
1.000.000 penduduk.
D. Mortalitas dan morbiditas
Hasil terakhir menunjukan bahwa terdapat penurunan angka kematian pada pasien
setelah diberikan terapi. Saat ini mencapai 3-4% dengan factor resiko terbanyak
diatas usia 40 tahun dan thymoma. Sebelumnya, kematian mencapai 30-40%.
E. Jenis kelamin
Perbandingan antara wanita : laki-laki adalah 6:4.
F. Usia
Myasthenia gravis dapat menyerang berbagi usia. Pada wanita lebih banyak
diserang dengan usia 28 tahun, sedangkan pada laki-laki usia yang diserang yaitu 42
tahun. Ditemukan juga bayi dengan myasternia gravis yang didapat melalui ibu
dengan myasternia gravia, hal itu terjadi akibat transfer IgG melalui placenta.
2. Clinical
A. Sejarah
Myasthenia gravis mempunyai karateristik tertentu yaitu peningkatan kelemahan
otot yang fluktuatif. Peningkatan kelemahan tersebut meningkat sewaktu-waktu dan
bertambah berat pada saat istirahat.
Kelemahan pada otot ekstraokular (EOM) atau ptosis awalnya terjadi pada 50%
penderita dan dalam perjalan penyakitnya bertambah sekitar 90%. Otot bulbar juga
bisa mengalami kelemahan, termasuk dalam proses ekstensi dan fleksi.
Kelemahan dapat melibatkan otot anggota badan dengan kelemahan
myopathiclike proksimal yang lebih besar dari kelemahan pada otot distal.
Kelemahan otot anggota badan sebagian kurang menampakkan gejala. Penderita
lebih sedikit dari 10%.
Perubahan derajat sakit pasien dari ringan ke berat terjadi selama mingguan
hingga bulanan. Penyebaran kelemahan cenderung terjadi dari otot ocular atau otot
wajah menuju otot bulbar hingga otot truncal dan otot anggota badan.
Pada sisi yang lain, dapat meninggalkan sedikit gejala sisa dari otot ekstraokular
(EOM) dan otot kelopak mata selama beberapa tahun.
Pada pasien dengan derajar sakit yang berat, kelemahan yang terjadi jarang
terkait dengan kelemahan otot ocular.
Sisa penyakit yang mengenai ocular hanya 16% penderita. Sebanyak 87%
penderita keadaannya membaik 13 bulan setelah serangan.
Pasien dengan penyakit yang sama, interval dari serangan kelemahan yang berat
kurang dari 36 bulan pada 83% penderita.
Adanya riwayat penyakit dan pengobatan dapat memperparah kelemahan,
mempercepat krisis gangguan fungsi neuromuscular dan pernafasan cepat.
Remisi spontan jarang terjadi. Remisi yang lengkap dan panjang bahkan jarang
terjadi. Mayoritas remisi yang terjadi setelah pengobatan adalah selam 3 tahun
pertama timbulnya penyakit.
Medical Scientific Advisory Board (MSAB) dari Myasthenia Gravis
Foundation of America (MGFA) membentuk satuan tugas (Task Force) pada Mei
1997 untuk mengatasi kebutuhan penerimaan klasifikasi secara universal, sistem
grade, dan metode analisis untuk pasien yang sedang menjalankan terapi dan untuk
digunakan dalam penelitian percobaan terapi. Dengan demikian, MGFA Clinical
Classification di buat.
Kelas I
o Setiap kelemahan otot ocular
o Mungkin terdapat kelemahan pada gerakan mentup mata
o Semua kekuatan otot lainnya masih normal
Kelas II
o Kelemahan ringan selain pada otot ocular
o Mungkin terdapat kelemahan otot ocular pada semua tingkat keparahan
Kelas IIa
o Terutama yang mempengaruhi anggota badan, otot aksial, atau keduanya
o Mungkin juga memiliki keterlibatan (lebih rendah) dengan otot orofaringeal
Kelas IIb
o Terutama yang mempengaruhi orofaringeal, otot pernafasan, atau keduanya
o Mungkin juga memiliki keterlibatan (lebih rendah atau sama) dengan anggota
badan, otot aksial, atau keduanya
Kelas III
o Kelemahan sedang yang mempengaruhi selain pada otot ocular
o Mungkin terdapat kelemahan otot ocular pada semua tingkat keparahan
Kelas IIIa
o Terutama yang mempengaruhi anggota badan, otot aksial, atau keduanya
o Mungkin juga memiliki keterlibatan (lebih rendah) dengan otot orofaringeal
Kelas IIIb
o Terutama yang mempengaruhi orofaringeal, otot pernafasan, atau keduanya
o Mungkin juga memiliki keterlibatan (lebih rendah atau sama) dengan anggota
badan, otot aksial, atau keduanya
Kelas IV
o Kelemahan parah yang mempengaruhi selain pada otot okuler
o Mungkin juga memiliki kelemahan otot okular pada semua tingkat keparahan
Kelas IVa
o Terutama yang mempengaruhi anggota tubuh dan / atau otot aksial
o Mungkin juga memiliki keterlibatan (lebih rendah) dengan otot orofaringeal
Kelas IVb
o Terutama yang mempengaruhi orofaringeal, otot pernafasan, atau keduanya
o Mungkin juga memiliki keterlibatan (lebih rendah atau sama) dengan anggota
badan, otot aksial, atau keduanya
Kelas V
o Intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanis, kecuali bila digunakan pada
tatalaksana pasca operasi rutin.
o Penggunaan tabung tempat makan tanpa intubasi pada penderita dalam kelas IVb.
4. Penyebab
Penyebab Myasthenia gravis
Myasthenia gravis adalah idiopatik pada kebanyakan pasien.
Penisilamin diketahui menyebabkan berbagai gangguan autoimun, termasuk
myasthenia gravis.
ACHR antibodi yang hadir di sekitar 90% dari pasien mengembangkan
myasthenia gravis sekunder untuk eksposur penicillamine.
Berbagai obat bisa memperburuk gejala myasthenia gravis.
Antibiotik (misalnya, aminoglikosida, siprofloksasin, eritromisin, ampisilin)
Beta-adrenergik reseptor memblokir agen (misalnya, propranolol, oxprenolol)
Lithium
Magnesium
Procainamide
verapamil
kinidina
Klorokuin
Prednisone
timolol (yaitu, agen beta-blocking topikal digunakan untuk glaucoma)
Antikolinergik (misalnya, trihexyphenidyl)
agen memblokir neuromuskular, termasuk vecuronium dan curare, harus
digunakan hati-hati dalam myasthenics untuk menghindari blokade neuromuskuler
yang berkepanjangan.
5. Diferensial Diagnosa
A. Multiple sclerosis
Adalah suatu penyakit dimana syaraf-syaraf dari sistim syaraf pusat (otak dan
sumsum tulang belakang atau spinal cord) memburuk atau degenerasi.
B. Sarcoidosis and neuropathy
Sarcoidosis adalah penyakit yang dihasilkan dari peradangan jenis terntu pada
jaringan tubuh. Peradangan dapat muncul di hampir semua organ tubuh. Namun
yang paling sering muncul di paru-paru atau kelenjar getah bening
C. Neuropathy adalah
D. Thyroid disease adalah
Kelainan yang berhubungan dengan hormon tiroid.
dikelompokkan menjadi hipotiroid dan hipertiroid.
E. Hipotiroidisme adalah suatu keadaan dimana kelenjar tiroid kurang aktif dan
menghasilkan terlalu sedikit hormon tiroid. Gejalah(Kekurangan hormon tiroid
menyebabkan melambatnya fungsi tubuh. Gejalanya ringan dan timbul secara
bertahap, Ekspresi wajah menjadi tumpul, suara menjadi serak dan berbicara
menjadi lambat, kelopak mata menutup dan mata serta wajah menjadi bengkak.)
Hipertiroidisme adalah suatu keadaan dimana kelenjar tiroid bekerja secara
berlebihan, sehingga menghasilkan sejumlah besar hormon tiroid. ( GEJALA Pada
hipertiroidisme, apapun penyebabnya, terjadi peningkatan fungsi tubuh:
Jantung berdetak lebih cepat dan bisa terjadi kelainan irama jantung, yang bisa
menyebabkan palpitasi (jantung berdebar-debar)
Tekanan darah cenderung meningkat
Penderita merasakan hangat meskipun berada dalam ruangan yang sejuk
Kulit menjadi lembab dan cenderung mengeluarkan keringat yang berlebihan
F. Tolosa-hunt syndrome
G. Lambert eaton Myasthenic syndrome adalah gangguan autoimun
yang mempengaruhi canal calcium di presinap pada neuromuscular junction
H. Amiotropic lateral sclerosis
I. Basilar artery thrombosis
J. Cavernous sinus syndrome
K. Dernatomyosistis/polymyositis
L. Brainstem gliomas
6. Labolatory Study
Anti-asetilkolin reseptor antibody
Test ini dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis pada penyakit autoimmune
khususnya penyakit myasthenia gravis. Dari hasil pemeriksaannya didapatkan
antibody anti-AChR positif pada 74% pasien yang mengalami myasthenia gravis.
Dari seluruh pemeriksaan pada Pasien dengan myatenia gravis umum
ditemukan hasil positif sebesar 80% dan pada pasien dengan myastenia ocular
murni ditemukan hasil positif sebesar 50%.
Dengan demikian, hasil tes anti-ACHR Ab negatif lebih sering ditemukan pada
pasien dengan myastenia ocular murni.
Di laporkan juga bahwa hasil positif yang tidak benar pada anti-AChR Ab
dapat terlihat pada :
o Thymoma tanpa myasthenia gravis
o Pada pasien dengan sindrom Lambert-Eaton miasthenik,
o Kanker paru-paru sel kecil,
o Pasien Rematik yang menjalani pengobatan dengan penicillamine,
o dan 1-3% ditemukan pada pasien dengan usia > 70 tahun.
Tindall ACHR memperlihatkan hasil dari Ab dan titer Ab pada kelompok pasien
dengan myasthenia gravis dapat di lihat seperti yang di tunjukan pada Tabel 1
Tabel 1 : Prevalensi dan titer dari ACHR Ab pada pasien dengan Myasthenia Gravis
R 0.79 24
I 2.17 55
IIA 49.8 80
IV 205.3 89
R 0.79 24
I 2.17 55
IIA 49.8 80
IV 205.3 89
Classification:
R = remission,
I = hanya occular,
IIA = mild generalized,
IIB = moderate generalized,
III = acute severe,
IV = chronic severe
Dari data di atas dapat di lihat bahwa titer Ab mempengaruhi tingkat penyakit,,
tetapi kadar titer tidak predictive pada setiap individual pasien. Perubahan pada titer
AChR Ab dapat dipengaruhi korelasi dari pemakaian prednisone atau azathioprine
dalam jangka panjang. Perubahan yang sama dapat di lihat pada pasien yang sedang
menjalani thymectomy. Bagaimanapun, perubahan ini tidak konsisten dan tidak
reliable. Dan titer antibody tersebut tidak digunakan untuk menilai respon pasien.
Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuromuscular melalui 2 teknik :
a. Repetitive Nerve Stimulation( R N S )
Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,
sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
b. Single-fiber Electromyography( S F E M G )
Menggunakan jarums i n g l e - f i b e r, yang memiliki permukaan kecil untuk
merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatuj i t t e r (variabilitas
pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit
yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal
yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek
transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang
normal
Beberapa hal yang dapat mempengaruhi hasil RNS:
menurunkan suhu meningkatkan amplitudo CMAPs.pasien dengan myastenia
gravis dapat melaporkan peningkatan klinis yang signifikan pada suhu dingin.
Biasanya semakin memburuknya ptosis pada saat sinar matahari cerah atau pada
hari yang hangat. Oleh karena untuk menjaga suhu konstan dan mungkin lebih
tinggi selama pengujian RNS adalah penting untuk mengetahui kelainan fungsi dari
NMJ.pengujian setidaknya dilakukan pada suhu 34°C.
Posttetanic potensiasi dan kelelahan posttetanic
kontraksi tetanic dari otot diikuti oleh 2 fase berbeda:yang pertama 2 menit
setelah kontraksi tetani,terjadinya posttetanic potension ini diikuti oleh kelelahan
posttetanic.
Selama posttetanic potentasion,akumulasi dari kalsium di dalam terminal akson
menyebabkan peningkatan moblisasi dan pengeluaran ACH,yang mana
berkurangnya jumlah dari ACH pada saat NMJ dan hasil EPSPs lebih besar dengan
tambahan perekrutan dari serat otot, sehingga menghasilkan CMAP lebih besar.
Pada saat fase kelelahan posttetanic,NMJ yang kurang bekerja dan bahkan lebih
sedikit EPSPs mencapai ambang.kemudian,beberapa pasian dengan abnormalitas
equivocal pada RNS selama fase istirahat mungkin menunjukkan kelainan yang
jelas selama fase kelelahan posttetanic. pada gaya maksimum dapat mencapai
tujuan yang sama tanpa rasa tidak nyaman dan lebih disukai
Kontraksi tetani di otot dapat dapat dicapai oleh stimulasi listrik saraf pada
tingkat 50 per detik. Namun, ini menyakitkan.kontraksi volunter dari otot 10 detik
pada saat kekuatan maksimum.
Tes Farmakologi (edophronium atau tensilon tes) untuk diagnosis myastenia
gravis
pada pasien dengan myastenia gravis,terdapat penurunan jumlah dari AchR
pada NMJ.hasil pada penurunan jumlah dari interaksi antara ACH dan
reseptornya.ACH dilepas dari motor nervus terminalis di metabolisme oleh Ache.
Farmakologi inhibisi dari AchE peningkatan konsentrasi ACH pada NMJ.
meningkatkan kesempatan untuk interaksi antara ach dan reseptor.Edroponium
adalah short-acting AchE inhibitor yang memperbaiki kelemahan otot pada
pasiendengan myastenia gravis.
Evaluasi kelemahan (ex.ptosis,parsial atau komplit ophtalmplegia) sebelum dan
sesudah melakukan tensilon tes. Menimbulkan ketidak validan pemeriksa dan
peningkatan pasien pengujian validitas.
Sinus bradycardia yang timbul karena stimulasi berlebihan kolinergik jantung
adalah komplikasi serius. sebuah ampul atropin harus tersedia di samping tempat
tidur atau di ruang klinik saat melakukan tes.
Untuk melakukan test,dosis test edrophonium adalah 0,1 mL dari 10
mg/mL.jika tidak ada respon dan efek yang tidan di inginkan maka sisa obat (o,9
mL) di injeksikan.
sedangkan menafsirkan tes ini, penting untuk diingat bahwa obat ini dapat
memperbaiki kelemahan dalam penyakit selain gravis mysthenia, seperti clerosis
lateral sclerosis, poliomielitis dan beberapa neuropati perifer.
8. Treatment
A. Temuan histologist
Hiperplasia Lymphofollicular medulla thymus terjadi pada 65% pasien dengan
myasthenia gravis, thymoma, di 15%.
B. Medical Care
Perawatan Medis
Meskipun ada uji perlakuan diuji secara ketat telah dilaporkan dan tidak ada
konsensus yang jelas ada pada strategi pengobatan, myasthenia gravis adalah salah
satu gangguan neurologis yang paling mudah diobati. Beberapa faktor (misalnya,
tingkat keparahan, distribusi, kecepatan pengembangan penyakit) harus
dipertimbangkan sebelum memulai atau mengubah terapi. Immunomodulation dapat
dicapai dengan berbagai obat-obatan, seperti kortikosteroid yang umum digunakan.
obat lain yang digunakan untuk mengobati kasus-kasus yang lebih sulit termasuk
azathioprine, mycophenolate mofetil, siklosporin, siklofosfamid, dan rituximab.
Namun demikian, efektivitas dari banyak obat-obat ini jauh dari terbukti dan hati-
hati harus dianjurkan terhadap penggunaan mereka lightly.
AChE inhibitor dan terapi imunomodulasi adalah andalan pengobatan. Dalam
bentuk ringan dari penyakit, inhibitor AChE digunakan pada awalnya. Kebanyakan
pasien dengan myasthenia gravis imunomodulasi umum membutuhkan terapi
tambahan.
Plasmapheresis dan thymectomy merupakan modalitas penting untuk
mengobati myasthenia gravis. Mereka tidak tradisional imunomodulasi terapi medis,
tetapi mereka berfungsi dengan memodifikasi sistem kekebalan tubuh.
Plasmapheresis atau penggantian plasma
pertukaran Plasma (PE) adalah pengobatan yang efektif untuk myasthenia gravis,
terutama dalam persiapan untuk operasi atau karena manajemen jangka pendek
suatu eksaserbasi. Peningkatan kekuatan dapat membantu untuk mencapai
pemulihan pasca operasi cepat dan untuk memperpendek periode ventilasi dibantu.
Kelemahan meningkatkan dalam beberapa hari, namun peningkatan tersebut
hanya berlangsung 6-8 minggu.
PE biasanya digunakan sebagai tambahan pada terapi imunomodulator lain dan
sebagai alat untuk manajemen krisis.
PE reguler o jangka panjang secara mingguan atau bulanan dapat digunakan jika
pengobatan lainnya tidak dapat mengendalikan penyakit.
Komplikasi PE terbatas terutama komplikasi akses intravena (misalnya,
penempatan garis pusat), tetapi juga termasuk kurang umum gangguan hipotensi
dan koagulasi.
PE berpikir untuk bertindak dengan menghapus beredar faktor humoral (yaitu,
ACHR Ab dan kompleks imun).
C. Surgical Care
Thymectomy merupakan pilihan pengobatan yang penting dalam myasthenia gravis,
terutama jika thymoma hadir.
Pengaruh menguntungkan dari thymectomy dilaporkan sejak tahun 1930-an dan
1940-an dalam berbagai laporan kasus dan seri kecil.
Meskipun tidak ada uji coba terkontrol untuk menilai efikasi thymectomy di
myasthenia gravis telah dilaporkan, thymectomy telah menjadi standar perawatan
dan harus dilakukan pada semua pasien dengan thymoma dan pada pasien berusia
10-55 tahun tanpa thymoma tetapi dengan myasthenia gravis umum . Thymectomy
telah diusulkan sebagai terapi lini pertama pada kebanyakan pasien dengan gravis
umum. Saat ini, percobaan multicenter adalah merekrut pasien untuk menentukan
apakah thymectomy dikombinasikan dengan terapi prednison lebih bermanfaat
dalam mengobati myasthenia gravis nonthymomatous daripada terapi prednison saja.
Thymectomy dapat menyebabkan remisi. Hal ini terjadi lebih sering pada
pasien muda dengan durasi singkat penyakit, timus hiperplastik, lebih gejala parah
dan titer antibodi yang tinggi, meskipun titer tinggi antibodi tidak konsisten terkait
untuk lebih outcome.16 meningkat
Tingkat Remisi dengan waktu: pada 7-10 tahun setelah operasi, mencapai 40-
60% dalam semua kategori pasien kecuali mereka yang thymoma.
Selama bertahun-tahun, berbagai teknik telah diterapkan untuk melakukan
thymectomy. Meskipun umumnya percaya bahwa penghapusan lengkap jaringan
thymus lebih baik, bukan merupakan fakta mapan. Tidak ada konsensus apakah satu
teknik lebih unggul dari yang lain dalam mencapai keuntungan atau meminimalkan
risiko. The Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) telah mengusulkan
skema klasifikasi untuk thymectomy terutama didasarkan pada teknik yang
dijelaskan dalam berbagai diterbitkan reports.6 Baru-baru ini, pendekatan minimal
invasif robot untuk thymectomy telah digunakan, meskipun keuntungan dari
pendekatan ini perlu dibentuk. 17 Klasifikasi thymectomy MGFA adalah sebagai
berikut:
T-1 thymectomy transcervical
1. Dasar
2. Luas
T-2 thymectomy videoscopic
1. Klasik atau tong (bedah dada bantuan video)
2. VATET (video-dibantu thymectomy diperpanjang thoracoscopic)
T-3 thymectomy transsternal
1. Standar
2. Luas
T-4 thymectomy transcervical dan transsternal
D. Konsultasi
Berkoordinasi perawatan dengan dokter perawatan primer.
Diet
Pasien dengan myasthenia gravis mungkin mengalami kesulitan mengunyah
dan menelan karena kelemahan orofaringeal. Mungkin sulit bagi pasien untuk
mengunyah daging atau sayuran karena kelemahan otot pengunyah.
Jika disfagia berkembang, biasanya paling parah untuk cairan tipis karena
kelemahan otot faring. Untuk menghindari regurgitasi nasal atau aspirasi jujur,
cairan harus mengental.
E. Aktifitas
Mendidik pasien tentang sifat fluktuasi kelemahan dan latihan-fatigability induced.
Pasien harus sebagai aktif mungkin tetapi harus beristirahat sering dan menghindari
aktivitas fisik yang berkelanjutan.
9. Medicasi
Inhibitor AchE (Acetyl Collin Esterase) dipertimbangkan sebagai treatment dasar
dari Myasthenia Gravis. Penggunaan Corticosteroid sebagai Terapi jangka panjang
dan obat-obat immunosuppressive lainnya juga efektif digunakan.
A. Inhibitor Ache
Obat ini menghambat AchE, sehingga dapat meningkatkan konsentrasi dari Ach
pada NMJ (NeuroMuscular Junction) dan juga meningkatkan aktivasi AchR (Acetyl
colline Receptor)/ melakukan Up Regulasi pada Receptor Ach. Beberapa medikasi
yang meningkatkan aktifitas AchR dapat menimbulkan efek yang diharapkan pada
penatalaksanaan Myasthenia gravis.
B. Pyridostigmine bromide (Mestinon)
Merupakan obat yang tingkat menengah, yang lebih sering digunakan pada
penerapan klinis dari pada bromida neostigmine yang tipe Short-acting
(Neostigmin) atau Longer-acting ambenonium klorida (Mytelase).Obat ini sudah
mulai bekerja setelah 30-60 menit; serta efeknya berlangsung 3-6 jam. Juga tersedia
tablet yang rentang waktunya berbeda (Time Span) yaitu efeknya terakhir 2,5 kali
lebih lama.Time Span tablet juga bermanfaat sebagai terapi tambahan pada terapi
pyridostigmine rutin yang fungsinya sebagai kontrol gejala miasthenik di malam
hari. Penyerapan dan bioavailabilitas Time Span tablet bervariasi tiap individu.
Time Span tablet Ini harus digunakan hanya pada waktu tidur, dan pasien harus
mendapat monitoring ketat terhadap efek samping kolinergik.
Dosis tiap pasien selalu sifatnya individual karena myasthenia gravis tidak
mempengaruhi semua otot rangka secara sama rata, semua gejala tidak dapat
dikendalikan secara smpurna tanpa menghasilkan efek samping. Pada pasien denga
penyakit yang kritis atau pasca operasi, pengelolaan medikasinya diberikan secara
IV. Di US, tersedia dalam 3 bentuk: 60 mg tab bijian, 180 mg Time Span tab , dan
60 mg / 5 mL sirup.
Dosis :
- Dewasa
Pengaturan dosis Individual Pasien 60-960 mg/hari dengan dosis yang terbagi
2 mg IV/IM q2-3h atau 1/30th dosis PO (per os/oral) ; dosis IV paliang baik
diberikan melalui infuse 1/30th dari total dosis sehari selama 24 jam; hindari rute IM
jika mungkin dikarenakan proses absorbsi yang tidak teratur/ tidak tentu (erratic).
- Pediatri
7mg/kg/hari PO dengan dosis terbagi
C. Neostigmine (Prostigmine)
Inhibitor AchE short-acting ini tersedia dalam bentuk PO (15 mg Tab) dan bentuk
obat yang diberikan secara IV / IM /SC. Waktu Parohnya 45-60 menit.
Penyerapannya buruk di saluran pencernaan (GI Tract), karena itu Noeostigmin
baru digunakan jika pyridostigmine tidak tersedia. Serta dosis individual untuk
semua pasien.
Dosis :
- Dewasa
15 mg/dose PO q3-4h
0,5-2,5 mg IV/IM/SC q1-3h atau 1/30th dosis PO; tidak melebihi 10 mg/ hari
- Pediatri
2 mg/kg/hari PO dengan dosis yang terbagi q3-4h
0,01-0,04 mg/kg melalui IV/IM/SC q2-4h atau 1/30th dosis PO
D. Terapi Immunosupressan
Myasthenia gravis merupakan salah satu penyakit autoimmune. Dan terapi
immunosupressan telah digunakan untuk mengobati penyakit autoimmune ini sejak
ditemukannya steroid. Walaupun tidak ada clinical trial yang secara tepat
menjelaskan efektifitas dari terapi imunosupressi pada myasthenia gravis,beberapa
uncontrolled trial dan studi retrospektif mendukung penggunaan terapi tersebut.
Terapi ini diterapkan pada myasthenia gravis menggunakan prednisone,
azathioprine, IVIg, plasmapheresis, dan siklosporine.
E. Prednisone (Sterapred)
Corticosteroid merupakan agen imunosupressi yang pertama digunakan untuk
menterapi myasthenia gravis dan masih sering digunakan secara efektif. Prednisone
merupakan corticosteroid yang paling sering digunakan di US. Khususnya
digunakan pada kasus dengan derajat sedang atau berat yang dimana tidak ada
respon yang cukup terhadap pemberian AchE inhibitor dan Thymectomy. Terapi
jangka panjang dengan corticosteroid termasuk efektif dan mampu menginduksi
terjadinya remisi atau menyebabkan perkembangan yang bermakna pada
kebanyakan pasien.
Dosis :
- Dewasa
Tidak ada dosis yang ditetapkan dalam pemberian terapi corticosteroid pada
penderita myasthenia gravis; penentuan dosisnya biasanya dimulai dari dosis yang
rendah dan ditingkatkan secara berangsur – angsur; di sisi lain ada juga yang
menggunakan secara langsung dosis tinggi pada awal pemberian terapi yang
tujuanya untuk mencapai respon yang lebih cepat.tidak ada consensus yang tepat
dalam penjadwalan dosis, karena itu para dokter menggunakan dosis rendah pada
awal terapi. Terapi bias dimulai dengan dosis 15 mg/hari PO, ditingkatkan 5 mg q2-
3d sampai respon klinis yang diharapkan tercapai atau maksimum dosis yang
diberikan 50 – 60 mg/hari;dosis yang meruncing dimulai setelah terapi berjalan 3-6
mo dan semua responya dicatat dengan baik.
Dosis tinggi (20-30mg/hari PO, ditingkatkan 5-10 mg q2-3d sampai maksimum 60
mg/hari) dapat memberikan perkembangan lebih cepat terhadap kelemahan otot; di
samping itu ada yang memulai dosis tingginya dari 60-80 mg/hari dan 100 mg.
Memburuknya kelemahan otot pada awal terapi sebelum munculnya perkembangan
membaik sering terjadi dan perhatian yang serius harus diberikan pada 3 minggu
pertama; komplikasi potensial ini mengindikasikan pemberian imunosupressan
dosis tinggi dengan supervisi yang baik.
- Pediatri
4-5 mg/kg/hari PO; alternatifnya : 1-2 mg/kg PO qd; dosis meruncing selama
beberapa bulan sampai gejala hilang.
F. Azathioprine (Imuran)
Merupakan terapi imunosupressi kedua yang sering digunakan di myasthenia gravis
setelah prednisone, di gunakan apabila terjadi kegagalan pada terapi steroid atau
terjadi efek yang tidak diinginkan pada penggunaan jangka panjang steroid.dapat
digunakan sebagai terapi pendamping pada terapi steroid dosis rendah. Satu
kekuranganya yaitu onset dari aksi terapi ini baru muncul setelah 6-12 bulan.
Dosis :
- Dewasa
1 mg/kg/hari PO pada dosis awal; ditingkatkan secara berangsur-angsur sampai
muncul efek yang diinginkan, biasanya 2-3 mg/kg/hari qd; dapat di bagi ac jika
terjadi efek samping pada GI Tract yang merugikan. Beberapa ahli menganjurkan
peningkatan dosis sampai RBC MCV >100 fL; dan jangan tingkatkan apabila
pasien mengalami leucopenia
- Pediatri
Maintenance; 1-2 mg/kg/hari PO
G. Immunoglobulin Intravena (Gammaimune, Gammagard, Sandoglobulin)
Dosis tinggi IVIg telah sukses mengobati myasthenia gravis. Seperti pertukaran
plasma, memiliki onset aksi yang cepat, tetapi sayangnya efeknya berakhir dalam
jangka pendek. Paling baik digunakan saat yang krisis (eg, myasthenic crisis dan
perioperatif period).
Dosis :
- Dewasa
2 g/kg slow/bolus di infuskan IV dalam 2-5 hari
- Pediatri
Diberikan sama dengan dewasa
H. Cyclosporine A ( Neoral, Sandimmune)
Peptida Fungi dengan aktifitas potensial immunosupressi. Telah terbukti efektif
secara prospektif, double-blind, placebo-controlled clinical trial pada pasien dengan
myasthenia gravis. Terdapat efek samping yang signifikan, sehingga biasanya
dihindari penggunaanya sebagai terapi immunosupressif garis awal/first-line.
Bagaimanapun, pada pasien yang memiliki resiko tinggi terkena efek samping
steroid, CsA dapat digunakan sebagai terapi awal. Onset dari aksi CsA muncul
dalam beberapa minggu sampai bulan, hampir sama dengan prednisone.
Dosis :
- Dewasa
Efek klinis dan immunoligis berkolerasi dengan konsentrasi serum; dosis biasanya
ditentukan dari nilai yang didapat pada serum level 100-200 ng/mL (sesuai dengan
yang ditentukan HPLC)
4-10mg/kg/hari PO dibagi bid/tid.
- Pediatri
Sama dengan dewasa
I. Cyclophosphamide (Cytoxan, Neosar)
Agen alkil yang mengganggu proliferasi sel. Secara efektifnya dia melawan B Cell
lebih besar daripada T Cell, sehingga menjadikanya pilihan yang bagus dalam
memberikan terapi penyakit yang antibody-mediated seperti myasthenia gravis.
Karena potensi efek samping yang serius, biasanya digunakan/dimanfaatkan pada
kasus yang berat dimana immunoterapi lebih rutin digunakan telah gagal karena
kurangnya efektifitas atau efek samping yang tak tertoleransi.
Dosis :
- Dewasa
Dosis bervariasi
Dosis standart oral pada clinical trial 1-2 mg/kg/hari dalam satu seri dan 3-
5mg/kg/hari di sisi lain; kebanyakan pasien diterapi dengan 200-250 mg IV untuk 5
hari; dosis IV rentangnya dari 350-1000g/m2.
- Pediatri
Masih belum ditetapkan
J. Mycophenolate Mofetil (Cellcept, Myfortic)
Merupakan inhibitor dari sintesis de novo purin dengan memblok enzim inosine
monophosphate dehydrogenase. Sangat efektif melawan proliferasi limfosit, yang
tidak menggunakan purine salvage pathway.
Dosis :
- Dewasa
1-3g PO qd atau derivate bid
- Pediatri
Masih tidak ada data yang tersedia pada pasien pediatri dengan myasthenia gravis.
Berdasarkan farmakokinetik dan data keaamanan pada pasien pediatri post renal
transplantation, direkomendasikan dosis dari CellCept suspense oral 600mg/m2 bid.
K. Rituximab (Rituxan)
Antibody secara genetik telah direncanakan chimeric maurine/antibody monoclonal
manusia telah diarahkan untuk melawan antigen CD20 yang ditemukan pada
permukaan limfosit B normal dan maligna. Antibodynya adalah IgG1 kappa
immunoglobulin-yang mengandung rantai ringan dan rantai berat maurine variable
region sequences dan human constant region sequences.
Dosis :
- Dewasa
Masih belum ditetapkan;tidak ada dosis rekomendasi, dapat tidak diberikan pada
penderita myasthenia gravis; dosis mirip dengan penggunaan pada treatment non-
hodgkints limfoma.
- Pediatri
Masih belum ditetapkan
10. Folow Up
Pada pasien rawan jalan :
1. Pasien dengan myasthenia gravis memerlukan penanganan atau tindak lanjut
yang bekerjasama dengan dokter yang berhubungan dekat dengan pasien.
2. Myasthenia gravis adalah penyakit kronis yang akan semakin berat pada
beberapa hari atau minggu ( pada kejadian yang langka dapat memberat pada
beberapa jam saja)
3. Diperlukan evaluasi pada pengobatan yang telah ditentukan oleh dokter.
Obat-obatan pada pasien rawat inap dan rawat jalan
Komplikasi :
1. Kegagalan pernapasan dapat terjadi karena lemahnya otot pernapasan
2. Disfagia terjadi karena lemahnya otot faring, hal ini dapat menyebabkan
pneumonia
3. Penggunaan obat-obatan terapi immune modulasi dalam jangka panjang dapat
menyebabkan pasien myasthenia gravis mengalami komplikasi :
a. penggunaan steroid dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan atau
memperburuk dari osteoporosis, katarak, hyperglikemia, hipertensi dan komplikasi
lainnya.
b. Penggunaan steroid dalam jangka panjang dapat meningkatkan resiko gastritis
atau penyakit ulkus peptikum. Pasien yang mendapatkan terapi steroid juga harus
mendapatkan H2 blocker dan antacid.
c. Beberapa komplikasi umum terjadi pada setiap terapi imunomo dulasi, terutama
jika pasien mendapatkan lebih dari 1 agent. Seperti infeksi tuberculosis, infeksi
jamur sistemik dan pneumonia pneumocytis carinii.
d. Resiko lympho proliverative malignancies dapat meningkat karena immune
supresan.
e. Obat immune suppressive dapat menyebabkan efek teratogenik.
Prognosis :
1. Tingkat kematian pada pembawa myasthenia gravis yang tidak ditindak lanjuti
mencapai 25-31%. Dengan pengobatan saat ini (khususnya yang berkaitan dengan
eksaserbasi akut) angka kematian menurun hingga 4%.
2. Penyakit ini sering timbul (40%) hanya dengan gejala ocular. Namun, EOM
(extraocular muscle) hamper selalu ada pada tahun pertama. Pada pasien yang pada
awalnya hanya mendapatkan gejala ocular, hanya 16% yang tetap mengalami
ocular exolusively sampai akhir tahun kedua.
3. Pada pasien dengan kelemahan umum, kelemahan nadir biasanya ditemukan
maksimal pada 3 tahun pertama. Setengah dari kematian yang berkaitan dengan
penyakit ini, terjadi pada periode ini. Pasien yang dapat bertahan sampai periode ini
biasanya mempunyai keadaan yang stabil. Memberatnya penyakit ini jarang terjadi
setelah 3 tahun.
4. Factor penting yang memperburuk prognosis padapasien dengan umur lebih
dari 40 tahun adalah riwayat singkat penyakit progresif dan thymoma.
KIE
1. Edukasi kepada pasien mengenai kegagalan pernapasan.
a. Terjadinya infeksi dapat memperburuk gejala myasthenia gravis
b. Cuaca panas dapat menyebabkan eksaserbasi ringan
2. Resiko cacat bawaan (arthrogryposis multiplex) dapat meningkat pada
keturunan wanita yang mengalami myasthenia gravis berat.
a. Kelahiran bayi pada wanita dengan myasthenia gravis membutuhkan
pemantauan untuk kegagalan pernapasan pada 1-2 minggu setelah kelahiran.
b. Pada obat imuno supresan tertentu mempunyai potensi teratogenik.
c. Membahas mengenai beberapa aspek dengan perempuan yang dalam masa
reproduktif untuk memulai terapi lebih awal.
3. Pada beberapa obat seperti aminoglycosides, ciprofloxacin, procaine, lithium,
phenytoin, beta-blocker, procainamide, dan quinidin dapat menyebabkan
memperburuk gejala dari myasthenia gravis.
4. Obat-obatan yang menginduksi system hepatic microsomal cytocrome P-450
(contohnya. Corticosteroid) kurang efektif untuk mengurangi kesulitan berbicara.
5. Statins dapat memperburuk myasthenia tanpa melihat dari tipe myasthenia
gravis atau merk statins. Memburuknya kelemahan dapat terjadi secara independen
dari sindrom myalgic dan biasanya menyebabkan gejala ocular dalam waktu 1-16
minggu setelah pengobatan dengan statin.
Medicolegal Pitfalls
1. Kegagalan pernapasan dapat terjadi jika pasien tidak dipantau dengan benar.
Pasien harus dipantau dengan hati-hati, terutama selama masa krisis dengan
mengukur NIF (Negative Inspiratory Force) dan VC (Vital Capacity).
2. Myasthenia gravis transient pada bayi terjadi pada 10-30% dari bayi yang lahir
dari ibu myasthenia. Kemungkinan terjadi selama 7-10 hari pertama kehidupan, dan
bayi harus dipantau secara ketat untuk tanda-tanda gangguan pernapasan.
3. Terjadinya kelemahan sebelum dan selama perbaikan pada kondisi menjadi
perhatian umum dan serius dalam 3 minggu awal terapi imuno modulator,
diperlukannya pengawasan pada komplikasi dari inisisasi warrants pada dosis tinggi.