Pengobatan Myasthenia Gravis

You might also like

You are on page 1of 33

Pengobatan Myasthenia Gravis

Tidak dikenal adanya penyembuhan untuk Myasthenia Gravis, namun saat ini Myasthenia
Gravis bisa dikontrol dengan beberapa terapi yang ada, yang dirasakan cukup efektif untuk
membantu para penderita Myasthenia Gravis. Terapi-terapi tersebut bisa berupa obat-
obatan maupun beberapa tindakan medis, yaitu :

Obat-obatan

A. Anticholinesterase

Anticholinesterase (contohnya mestinon) memperkenankan asetilkolin untuk tinggal pada


persimpangan neuromuskular lebih lama dari biasanya sehingga dengan begitu, lebih
banyak tempat penerima yang bisa diaktifkan. Neostigmin dapat menginaktifkan atau
menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tak segera dihancurkan. Akibatnya,
aktivitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90 % dari kekuatan dan
daya tahan semula. Selain neostigmin (Prostigmin), dapat juga digunakan piridostigmin
(Mestinon) dan ambenonium klorida (Mytelase), yang merupakan obat-obat analog sintetik
lain dari fisostigmin (Eserine).
Obat-obat ini tidak melakukan apapun untuk menyembuhkan MG, tapi obat-obatan ini
dapat memberikan pertolongan sementara untuk menolong pasien menjadi lebih baik.
Beberapa otot mungkin membaik untuk beberapa jam ketika yang lainnya mungkin tidak
merespon atau bahkan bertambah lemah dengan obat-obatan ini.

B. Corticosteroid dan Immunosuppressant


Kortikosteroid (contohnya prednisone) dan immunosupresan (contohnya imuran) bisa
digunakan untuk menekan reaksi tidak normal dari sistem imun yang terjadi pada MG. Di
antara preparat steroid, prednisone paling sesuai untuk Myasthenia Gravis, dan diberikan
sekali sehari selang-seling untuk menghindari efek samping.
Pada kasus yang berat, prednisone dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap
hari, dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera
memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila
sudah ada perbaikan klinis, maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan)
dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisone
secara mendadak harus dihindari.

C. Immunoglobulin
Immunoglobulin (IVIg) dimasukkan ke dalam pembuluh darah terkadang digunakan juga
untuk mempengaruhi fungsi atau produksi dari antibodi yang tidak normal.
Penggunaan immunoglobulin melalui pembuluh darah, sama dengan pertukaran plasma,
yakni untuk menghasilkan perbaikan yang lebih cepat untuk menolong pasien melalui
periode sulit dari kelemahan Myasthenia atau sebelum menjalani pembedahan.
Pengobatan ini memiliki keuntungan yaitu tidak memerlukan peralatan khusus untuk jalan
masuk ke pembuluh darah. Dosis yang umum adalah 400 mg/kg per hari untuk 5 hari
berturut-turut (total dosis = 2 g/kg). Perbaikan terjadi pada sekitar 70 % dari pasien,
dimulai sekitar 4 sampai 5 hari setelah pengobatan dan dilanjutkan beberapa minggu
sampai beberapa bulan. Pengobatan ini tidak memiliki pengaruh yang konsisten pada nilai
atau kadar sirkulasi antibodi AChR.

C. Plasmapheresis
Plasmapheresis atau pertukaran plasma mungkin juga berguna pada pengobatan MG. Cara
ini memindahkan atau mengangkat antibodi tidak normal dari plasma darah. Kemajuan
pada kekuatan otot mungkin terlihat jelas tetapi biasanya tidak bertahan lama karena
produksi antibodi yang tidak normal masih terus berlanjut. Ketika plasmapheresis
dilakukan, ini akan memerlukan pertukaran yang berulang-ulang. Pertukaran plasma
mungkin khususnya berguna pada saat kelemahan MG yang sangat hebat atau sebelum
menjalani pembedahan.
Plasmapheresis (penarikan plasma) adalah sebuah pengobatan jangka pendek yang mahal,
dimana beberapa liter dari darah diangkat dari pembuluh darah pasien, diolah dalam sebuah
mesin, dan sel darah merah dikembalikan melalui pembuluh darah ke dalam plasma tiruan
(albumin dan larutan garam). Plasmapheresis dilakukan berulang-ulang untuk 2 minggu
ketika manfaat pengobatan jangka pendek sangat diperlukan bagi pasien, seperti ketika
sedang mengalami krisis pernafasan atau sebelum menjalani pembedahan atau penyinaran.
Beberapa pasien menjadi lebih kuat beberapa hari setelah menjalani proses ini, tapi
manfaatnya hanya berlangsung beberapa minggu saja.

D. Thymectomy

Thymectomy (pembedahan menghilangkan kelenjar thymus) adalah pengobatan lain yang


digunakan pada sebagian pasien. Kelenjar thymus terletak di belakang tulang dada dan ini
adalah bagian penting dari sistem imun. Ketika ada tumor pada kelenjar thymus (10-15 %),
akan dilakukan pengangkatan dikarenakan resikonya yang berbahaya. Thymectomy
seringkali mengurangi kehebatan dari kelemahan MG setelah beberapa bulan. Pada
beberapa orang, kelemahan mungkin hilang sepenuhnya. Ini disebut masa remisi. Tingkat
sampai dimana thymectomy bisa dikatakan menolong, adalah bervariasi pada setiap pasien.

Dalam sebuah bukunya, Harrison mengatakan bahwa harus dibedakan antara pembedahan
untuk menghilangkan thymoma, dengan thymectomy sebagai pengobatan bagi Myasthenia
Gravis. Pembedahan untuk menghilangkan thymoma diperlukan karena adanya
kemungkinan menyebarnya tumor lokal, walaupun banyak thymoma jinak. Dengan ketidak
adaan tumor, fakta-fakta yang ada memperkirakan hingga 85 % pasien mengalami
perbaikan setelah thymectomy, dan karena ini sekitar 35 % mencapai remisi bebas obat.
Tetapi, perbaikan ini biasanya berjalan lambat hingga hitungan bulan atau tahun.

Keuntungan dari thymectomy yaitu menawarkan manfaat jangka panjang, dalam beberapa
kasus terjadi berkurangnya kebutuhan untuk meneruskan pengobatan medis. Dalam
tinjauan dari potensi manfaat dan resiko, tidak berarti di tangan yang ahli, thymectomy
memperoleh penerimaan yang cukup luas sebagai pengobatan bagi MG. Dengan
kesepakatan bahwa thymectomy harus dilakukan pada pasien-pasien MG umum antara usia
puber dan kurang dari 55 tahun, apakah thymectomy direkomendasikan untuk anak-anak
dan orang dewasa diatas 55 tahun, dan apakah thymectomy juga perlu dilakukan pada
pasien yang kelemahannya terbatas hanya pada mata saja, hal ini masih merupakan perkara
yang diperdebatkan. Thymectomy harus dilakukan di rumah sakit yang sudah terbiasa
melakukannya dan memiliki staf yang berpengalaman dalam proses sebelum dan sesudah
pembedahan, pembiusan serta teknik pembedahan thymectomy.

Sumber :

 Harrison. Priciple of Internal Medicine Fourteenth Edition (New York : McGraw-


Hill, 1998), p 2472
 Price, Sylvia Anderson dan Wilson, Lorraine McCarty. Fisiologi Proses-Proses
Penyakit (Clinical Concepts of Disease Processes) (Penerbit Buku Kedokteran
EGC), p 1001-1002
 MGFA, Inc. Facts About Autoimmune Myasthenia Gravis for Patients & Families
(www.myasthenia.org, 2001)
 Harsono. Op.cit.hlm.297 & 301
 Office of Communications and Public Liaison National Institute of Neurological
Disorders and Stroke National Institute of Health Bethesda, Maryland.Loc.cit.
 MYASTHENIA GRAVIS
 Author: Aashit K Shah, MD, Associate Professor of Neurology, Wayne State University; Program
Director, Clinical Neurophysiology Fellowship, Department of Neurology, Detroit Medical Center
Contributor Information and Disclosures
 Updated: Jun 21, 2010

 1. INTRODUKSI
 A. Latar Belakang
 Myasthenia gravis (MG) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan
kelemahan otot rangka dan fatigability tenaga. Gambaran klinik pertama dilaporkan
tahun 1672 oleh Thomas Willis.
 B. Pathofisiologi
 Antibody pada pasien myasternia gravis bekerja lansung menyerang reseptor
achetylcolin (AchR) di neuromuscular junction pada otot skeletal. Pada tahun 1960,
Strauss mengatakan bahwa serum antibody pada orang dengan myasternia gravis
dapat membuktikan adanya patofisiologis gangguan autoimun.
 Untuk mengetahui tentang myasternia gravis, kita harus memahami bagaimana
fisiologis dan anatomi dari neuromuscular junction (NMJ). NMJ merupakan ujung
terminal serabut syaraf motorik, biasa disebut sebagai terminal syaraf (terminal
bulb). Disinilah akhir dari impuls sepanjang serabut syaraf berakhir. NMJ terdiri
dari membran presynap (membrane syaraf), membrane postsynaps (membrane otot),
dan synaptic cleft (celah diaantara kedua membrane tersebut).
 Pada membrane presynaps terdapat vesikel-vesikel yang berisi achetylcolin (Ach).
Pada saat aksi potensial sampai ke ujung syaraf motorik maka vesikel-vesikel
tersebut akan keluar kecelah antara kedua membrane tersebut (synaptic cleft),
selanjutnya Ach didalam vesikel-vesikel akan keluar secara difusi dan akan
berikatan dengan AchR pada membrane postsynaps.
 Reseptor Ach merupakan ligan kanal sodium yang berfungsi sebagai pintu gerbang
dan akan membuka secra cepat pada saat Ach dikeluarkan. Hal ini dapat
menyebabkan masuknya ion-ion sodium kedalam sel otot, dimana hal ini dapat
mengakibatkan depolarisasi pada membran postsynaps dan eksitasi aksi potensial.
Apabila jumlah kanal sodium yang terbuka sudah terisi penuh maka reseptor akan
turun dan menyebarkan aksi potensial keseluh membrane otot. Apabila terdapat Ach
yang berlebih dalam NMJ maka Ach akan dihancurkan oleh acetylcolinestrase
(AchE). Pada area permukaan membrane postsynaps terjadi peningkatan akibat dari
menempelnya membrane pada ujung syaraf. Hal ini memungkinkan dalam merilis
Ach. Jumlah AchR pada membrane otot sangat sedikit tapi memiliki konsentrasi
yang besar pada ujung syaraf.
 Pada AchR yang sudah matur terdiri dari 5 subunit (2 alpha, dan masing-masing
beta, gamma, dan delta), dimana setiap unitnya hanya pada satu membrane-
spanning molekul protein. Setiap subunit AchR berbeda pada tiap spesies,
tergantung pada saat pengkodean gen. setiap satu unit akan mengatur 1 sirkulasi,
membentuk tiap-tiap kanal sodium.
 Mekanisme autoimun sangat berperan dalam patofisiologis penyakit ini. Perlu
dilakukan observasi gejala klinis gangguan autoimun pada pasien dengan myestrnia
gravis untuk mengetahui adanya syndrome atau beberapa ganguan autoimun lainnya.
Seperti autoimmune thyroidytis, SLE, rheumathoid arthritis. Pada bayi yang baru
lahir dari ibu yang menderita myasternia gravis dapat mengalami syndrome
myasternia. Pada pasien myasternia gravis dapat diberikan terpai yaitu dengan cara
memberikan terpi immunomodulating seperti plasmapharesi, corticosteroid,
immunoglobulin intravena (IVIg), atau immunosupresant lainnya dan thectomy.
 Antibody Anti-AchR pada psien dengan myasternia gravis ditemukan hampir 80-
90%. Sehingga dilakukan percobaan untuk membuktikan penyebab autoimun,
sebagai berikut :
  Menginduksi seekor tikus dengan cara menyuntikan IgG dari pasien dengan
myasternia gravis sehingga mengalami syndrome myasternia.
  IgG dan komplemen postsynaps dari pasien dengan myasternia gravis akan
diinduksikan pada AchR kelinci.
 Mekanisme penelitian tersebut dengan cara menghilangkan terlebih dahulu system
toleran pada imunterhadap Ach. Sedangkan mekanisme dari antigen sendiri tidak
diketahui. Pada Myasternia Gravis terjadi gangguan produksi antibody oleh sel B,
sehingga terbentuk antibody terhadap Ach Reseptor. Autoantibody (anti Ach R)
akan merusak Ach Reseptor, sehingga ikatan antara Ach dan Ach Reseptor akan
berkurang. Hal itu dapat menyebabkan gangguan transmisi pada neuromuscular.
 Walaupun demikian, peran sel T juga sangat penting dalam meningkatkan dampak
penyakit Myasternia Gravis. Thymus merupakan pusat regulasi sel T, dan gangguan
pada kelenjar thymus seperti hyperplasia atau thymoma dapat timbul sebagai gejala
pada pasien mysthenic.
 Respon antibody pada Myasternia Gravis bersifat polyclonal. Pada setiap pasien,
setiap antibody terbentuk oleh subklas IgG yang berbeda. Sebagai contohnya, 1
antibody dapat berbeda area immunogeniknya pada satu subunit alpha. Setiap
subunit alpha selalu ada pada saat pelepasan Ach , namun tempat pelepasan Ach
tidak pada area immunogenic yang sama. Pengikatan antibody Reseptor Ach akan
mengakibatkan rusaknya reseptor Ach sehinga menyebabkan rusaknya beberapa
transmisi neuromuskular. Termasuk sebagai berikut :
 a) Karna banyaknya reseptor Ach yang diikat oleh antibody reseptor Ach, akan
mempercepat internalisasi dan kerusakan molekul reseptor Ach.
 b) Menyebabkan rusaknya komplemen selubung dari membrane postsynap.
 c) Mengeblok pengikatan Ach pada reseptor Ach.
 d) Penurunan jumlah reseptor Ach pada membrane postsynap yang disebabkan
rusaknya selubung membrane postsynaps. Mengakibatkan penurunan area
permukaan untuk sintesa reseptor Ach yang baru.
 Pada pasien tanpa antibody anti Ach-R dikenal sebagai seronegative myasthenia
gravis (SNMG). Banyak dari pasien dengan SNMGA memiliki antibody yang
melawa muscle-specifik kinase (MuSK). MuSK berada pada saat diferensiasi
postsynap dab pengelompokan Ach. Pasien wanita lebih banyak memiliki antibody
terhadap anti-MuSK, pasien sering mengalami gangguan pada system respirasi dan
otot bibar, tonjolan pada leher dan bahu, kelelhan bernafas.
 C. Frekunsi
 Penyakit myasternia di US masih tergolong langka, hanya terdapat 2 penderita dari
1.000.000 penduduk.
 D. Mortalitas dan morbiditas
 Hasil terakhir menunjukan bahwa terdapat penurunan angka kematian pada pasien
setelah diberikan terapi. Saat ini mencapai 3-4% dengan factor resiko terbanyak
diatas usia 40 tahun dan thymoma. Sebelumnya, kematian mencapai 30-40%.
 E. Jenis kelamin
 Perbandingan antara wanita : laki-laki adalah 6:4.
 F. Usia
 Myasthenia gravis dapat menyerang berbagi usia. Pada wanita lebih banyak
diserang dengan usia 28 tahun, sedangkan pada laki-laki usia yang diserang yaitu 42
tahun. Ditemukan juga bayi dengan myasternia gravis yang didapat melalui ibu
dengan myasternia gravia, hal itu terjadi akibat transfer IgG melalui placenta.

 2. Clinical
 A. Sejarah
 Myasthenia gravis mempunyai karateristik tertentu yaitu peningkatan kelemahan
otot yang fluktuatif. Peningkatan kelemahan tersebut meningkat sewaktu-waktu dan
bertambah berat pada saat istirahat.
  Kelemahan pada otot ekstraokular (EOM) atau ptosis awalnya terjadi pada 50%
penderita dan dalam perjalan penyakitnya bertambah sekitar 90%. Otot bulbar juga
bisa mengalami kelemahan, termasuk dalam proses ekstensi dan fleksi.
  Kelemahan dapat melibatkan otot anggota badan dengan kelemahan
myopathiclike proksimal yang lebih besar dari kelemahan pada otot distal.
  Kelemahan otot anggota badan sebagian kurang menampakkan gejala. Penderita
lebih sedikit dari 10%.
  Perubahan derajat sakit pasien dari ringan ke berat terjadi selama mingguan
hingga bulanan. Penyebaran kelemahan cenderung terjadi dari otot ocular atau otot
wajah menuju otot bulbar hingga otot truncal dan otot anggota badan.
  Pada sisi yang lain, dapat meninggalkan sedikit gejala sisa dari otot ekstraokular
(EOM) dan otot kelopak mata selama beberapa tahun.
  Pada pasien dengan derajar sakit yang berat, kelemahan yang terjadi jarang
terkait dengan kelemahan otot ocular.
  Sisa penyakit yang mengenai ocular hanya 16% penderita. Sebanyak 87%
penderita keadaannya membaik 13 bulan setelah serangan.
  Pasien dengan penyakit yang sama, interval dari serangan kelemahan yang berat
kurang dari 36 bulan pada 83% penderita.
  Adanya riwayat penyakit dan pengobatan dapat memperparah kelemahan,
mempercepat krisis gangguan fungsi neuromuscular dan pernafasan cepat.
  Remisi spontan jarang terjadi. Remisi yang lengkap dan panjang bahkan jarang
terjadi. Mayoritas remisi yang terjadi setelah pengobatan adalah selam 3 tahun
pertama timbulnya penyakit.
  Medical Scientific Advisory Board (MSAB) dari Myasthenia Gravis
Foundation of America (MGFA) membentuk satuan tugas (Task Force) pada Mei
1997 untuk mengatasi kebutuhan penerimaan klasifikasi secara universal, sistem
grade, dan metode analisis untuk pasien yang sedang menjalankan terapi dan untuk
digunakan dalam penelitian percobaan terapi. Dengan demikian, MGFA Clinical
Classification di buat.
  Kelas I
 o Setiap kelemahan otot ocular
 o Mungkin terdapat kelemahan pada gerakan mentup mata
 o Semua kekuatan otot lainnya masih normal
  Kelas II
 o Kelemahan ringan selain pada otot ocular
 o Mungkin terdapat kelemahan otot ocular pada semua tingkat keparahan
  Kelas IIa
 o Terutama yang mempengaruhi anggota badan, otot aksial, atau keduanya
 o Mungkin juga memiliki keterlibatan (lebih rendah) dengan otot orofaringeal
  Kelas IIb
 o Terutama yang mempengaruhi orofaringeal, otot pernafasan, atau keduanya
 o Mungkin juga memiliki keterlibatan (lebih rendah atau sama) dengan anggota
badan, otot aksial, atau keduanya
  Kelas III
 o Kelemahan sedang yang mempengaruhi selain pada otot ocular
 o Mungkin terdapat kelemahan otot ocular pada semua tingkat keparahan
  Kelas IIIa
 o Terutama yang mempengaruhi anggota badan, otot aksial, atau keduanya
 o Mungkin juga memiliki keterlibatan (lebih rendah) dengan otot orofaringeal
  Kelas IIIb
 o Terutama yang mempengaruhi orofaringeal, otot pernafasan, atau keduanya
 o Mungkin juga memiliki keterlibatan (lebih rendah atau sama) dengan anggota
badan, otot aksial, atau keduanya
  Kelas IV
 o Kelemahan parah yang mempengaruhi selain pada otot okuler
 o Mungkin juga memiliki kelemahan otot okular pada semua tingkat keparahan
  Kelas IVa
 o Terutama yang mempengaruhi anggota tubuh dan / atau otot aksial
 o Mungkin juga memiliki keterlibatan (lebih rendah) dengan otot orofaringeal
  Kelas IVb
 o Terutama yang mempengaruhi orofaringeal, otot pernafasan, atau keduanya
 o Mungkin juga memiliki keterlibatan (lebih rendah atau sama) dengan anggota
badan, otot aksial, atau keduanya
  Kelas V
 o Intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanis, kecuali bila digunakan pada
tatalaksana pasca operasi rutin.
 o Penggunaan tabung tempat makan tanpa intubasi pada penderita dalam kelas IVb.

 3. Tanda – Tanda Fisik


 Kelemahan bisa terlihat sangat jelas, seperti diagnosa yang salah karena ada bagian
ataupun tahap yang terlewatkan pada saat pemeriksaan. Seorang paramedis harus
dengan dapata membandingkan otot-otot dan golongan otot dengan hati-hati sebagai
patokan diagnosa dan pengobatan yang benar.
 Pemeriksaan lain yang dibutuhkan juga untuk mengetahui kegawat daruratn pada
sistem pernafasan.
 Tanda- tanda yang tampak dapat berupa
 - Kelemahan dapat diketahui dari jenis otot yang berbeda dan biasanya otot
menahan ke arah proximal dan simetris
 - Pemeriksaan sensoris dan reflek tendon yang dangkal masih dikatakan normal
 - Kelemahan otot wajah sepert ; ptosis, bibir yang tidak simetris, proptosis ringan,
kelemahan otot wajah, dan lain lain.
 - Kelemahan otot bulbar, seperti kesulitan mengunyah, kelemahan otot palatal.
 - Kelemahan rahang yang berat , ( bibir sulit menutup).
 - Kesulitan menelan, saat menelan harus dengan bantuan air.
 - Kelemahan otot leher
 - Kelemahan otot badan . Biasanya kelemahan pada ekstremitasa atas sering
terjadi dari pada ekstremitas bawah.
 - Kelemahan otot pernafasan .
 Seperti kegagalan pernafasan akut,kelemhan otot faringeal yang dapat
menyebabkan kolaps pada saluran nafas atas. Pada keadaan seperti ini volume tidal
dan pernafasanharus tetap di pantau.
 - Kelemahan otot okular seperti nistagmus, kelemahan otot lateral dan medial
 - Penyakit autoimun : myastenia gravis. Frekuensi yang banyak pada myestenia
gravis adalahg penderita hipertiroidism. Pada penderita hipertiroidism tampak
eksoftalmus dan taikardi.

 4. Penyebab
 Penyebab Myasthenia gravis
  Myasthenia gravis adalah idiopatik pada kebanyakan pasien.
  Penisilamin diketahui menyebabkan berbagai gangguan autoimun, termasuk
myasthenia gravis.
  ACHR antibodi yang hadir di sekitar 90% dari pasien mengembangkan
myasthenia gravis sekunder untuk eksposur penicillamine.
  Berbagai obat bisa memperburuk gejala myasthenia gravis.
  Antibiotik (misalnya, aminoglikosida, siprofloksasin, eritromisin, ampisilin)
  Beta-adrenergik reseptor memblokir agen (misalnya, propranolol, oxprenolol)
  Lithium
  Magnesium
  Procainamide
  verapamil
  kinidina
  Klorokuin
  Prednisone
  timolol (yaitu, agen beta-blocking topikal digunakan untuk glaucoma)
  Antikolinergik (misalnya, trihexyphenidyl)
  agen memblokir neuromuskular, termasuk vecuronium dan curare, harus
digunakan hati-hati dalam myasthenics untuk menghindari blokade neuromuskuler
yang berkepanjangan.

 5. Diferensial Diagnosa
 A. Multiple sclerosis
 Adalah suatu penyakit dimana syaraf-syaraf dari sistim syaraf pusat (otak dan
sumsum tulang belakang atau spinal cord) memburuk atau degenerasi.
 B. Sarcoidosis and neuropathy
 Sarcoidosis adalah penyakit yang dihasilkan dari peradangan jenis terntu pada
jaringan tubuh. Peradangan dapat muncul di hampir semua organ tubuh. Namun
yang paling sering muncul di paru-paru atau kelenjar getah bening
 C. Neuropathy adalah
 D. Thyroid disease adalah
 Kelainan yang berhubungan dengan hormon tiroid.
 dikelompokkan menjadi hipotiroid dan hipertiroid.
 E. Hipotiroidisme adalah suatu keadaan dimana kelenjar tiroid kurang aktif dan
menghasilkan terlalu sedikit hormon tiroid. Gejalah(Kekurangan hormon tiroid
menyebabkan melambatnya fungsi tubuh. Gejalanya ringan dan timbul secara
bertahap, Ekspresi wajah menjadi tumpul, suara menjadi serak dan berbicara
menjadi lambat, kelopak mata menutup dan mata serta wajah menjadi bengkak.)
Hipertiroidisme adalah suatu keadaan dimana kelenjar tiroid bekerja secara
berlebihan, sehingga menghasilkan sejumlah besar hormon tiroid. ( GEJALA Pada
hipertiroidisme, apapun penyebabnya, terjadi peningkatan fungsi tubuh:
  Jantung berdetak lebih cepat dan bisa terjadi kelainan irama jantung, yang bisa
menyebabkan palpitasi (jantung berdebar-debar)
  Tekanan darah cenderung meningkat
  Penderita merasakan hangat meskipun berada dalam ruangan yang sejuk
  Kulit menjadi lembab dan cenderung mengeluarkan keringat yang berlebihan
 F. Tolosa-hunt syndrome
 G. Lambert eaton Myasthenic syndrome adalah gangguan autoimun
yang mempengaruhi canal calcium di presinap pada neuromuscular junction
 H. Amiotropic lateral sclerosis
 I. Basilar artery thrombosis
 J. Cavernous sinus syndrome
 K. Dernatomyosistis/polymyositis
 L. Brainstem gliomas

 6. Labolatory Study
 Anti-asetilkolin reseptor antibody
 Test ini dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis pada penyakit autoimmune
khususnya penyakit myasthenia gravis. Dari hasil pemeriksaannya didapatkan
antibody anti-AChR positif pada 74% pasien yang mengalami myasthenia gravis.
  Dari seluruh pemeriksaan pada Pasien dengan myatenia gravis umum
ditemukan hasil positif sebesar 80% dan pada pasien dengan myastenia ocular
murni ditemukan hasil positif sebesar 50%.
  Dengan demikian, hasil tes anti-ACHR Ab negatif lebih sering ditemukan pada
pasien dengan myastenia ocular murni.
  Di laporkan juga bahwa hasil positif yang tidak benar pada anti-AChR Ab
dapat terlihat pada :
 o Thymoma tanpa myasthenia gravis
 o Pada pasien dengan sindrom Lambert-Eaton miasthenik,
 o Kanker paru-paru sel kecil,
 o Pasien Rematik yang menjalani pengobatan dengan penicillamine,
 o dan 1-3% ditemukan pada pasien dengan usia > 70 tahun.
 Tindall ACHR memperlihatkan hasil dari Ab dan titer Ab pada kelompok pasien
dengan myasthenia gravis dapat di lihat seperti yang di tunjukan pada Tabel 1
 Tabel 1 : Prevalensi dan titer dari ACHR Ab pada pasien dengan Myasthenia Gravis

Osserman Class Mean Antibody Titer Percent


(x 10-9 M) Positive

R 0.79 24

I 2.17 55

IIA 49.8 80

IIB 57.9 100

III 78.5 100

IV 205.3 89

Osserman Class Mean Antibody Titer Percent


(x 10-9 M) Positive

R 0.79 24

I 2.17 55
IIA 49.8 80

IIB 57.9 100

III 78.5 100

IV 205.3 89

 Classification:
 R = remission,
 I = hanya occular,
 IIA = mild generalized,
 IIB = moderate generalized,
 III = acute severe,
 IV = chronic severe
 Dari data di atas dapat di lihat bahwa titer Ab mempengaruhi tingkat penyakit,,
tetapi kadar titer tidak predictive pada setiap individual pasien. Perubahan pada titer
AChR Ab dapat dipengaruhi korelasi dari pemakaian prednisone atau azathioprine
dalam jangka panjang. Perubahan yang sama dapat di lihat pada pasien yang sedang
menjalani thymectomy. Bagaimanapun, perubahan ini tidak konsisten dan tidak
reliable. Dan titer antibody tersebut tidak digunakan untuk menilai respon pasien.

 7. Diagnosa Dan Pemeriksaan Penunjang


 DIAGNOSA
 Laboratorium:
 1. Pemeriksaan edrophonium chloride (Tensilon)
 2. Antibodi terhadap asetylcholine receptor (AchR)
 Penunjang:
 1. Repetitive Nerve Stimulation
 2. Simple filter EMG (electromyogram)
 Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu
miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang
berbeda, biasanya mengenai bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua
anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas
norma. Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada
otot wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-
like face dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal.
 Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis.
Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan
suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi
makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita
miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan
makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk
dan tersedak saat minum.
 Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis menyebakan penderita sulit
untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan
tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada
saat fleksi serta ekstensi dari leher.Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami
kelemahan lebih sering dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana
otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-
otot anggota tubuh bawah.
 Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan
sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh
dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat
melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan
dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki4.
 Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut,
dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat
sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat
menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya
hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran
napas atas, pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia
gravis fase akut sangat diperlukan.
 Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan
sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas
pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini merupakan tanda yang
sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada
muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu
pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan
adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi

 Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai


berikut :
 a) Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama
kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang
terang. Penderita menjadi anartris dan afonis.
 b) Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama
kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak
ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya
akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.
 Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara
lain:
 a. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
 Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat
reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera
sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti
misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uiji ini
kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena
efektivitas tensilon sangat singkat.
 b. Uji Prostigmin (neostigmin)
 Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan itu
benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis,
strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
 c. Uji Kinin
 Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet
lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan
bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar
gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.
 Pemeriksaan Laboratorium
 a. Anti-asetilkolin reseptor antibodi
 Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia
gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita
miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni
menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasienth
y m o m a tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR
antibody.
 b. Antistriated muscle (anti-SM) antibody
 Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini
menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderitath y m o m a
dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpath y m o m a dengan usia lebih
dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
 c. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
 Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab
negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-
MuSK Ab.
 d. Antistriational antibodies
 Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya
antibody yang berikatan dalam polar cross seksional pada otot rangka dan otot
jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin
dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasienth y m o m a
dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody
merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanyath y m o m a pada pasien muda
dengan miastenia gravis.
 Imaging
 a. Chest x-ray (foto roentgen thorak)
 Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak,th y
m o m a dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.
 b. Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanyath y m o
m a ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk
mengidentifikasith y m o m a pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada
penderita dengan usia tua.
 c.
MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin.
MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada
saraf otak

 Pendekatan Elektrodiagnostik
 Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuromuscular melalui 2 teknik :
 a. Repetitive Nerve Stimulation( R N S )
 Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,
sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
 b. Single-fiber Electromyography( S F E M G )
 Menggunakan jarums i n g l e - f i b e r, yang memiliki permukaan kecil untuk
merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatuj i t t e r (variabilitas
pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit
yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal
yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek
transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang
normal
  Beberapa hal yang dapat mempengaruhi hasil RNS:
  menurunkan suhu meningkatkan amplitudo CMAPs.pasien dengan myastenia
gravis dapat melaporkan peningkatan klinis yang signifikan pada suhu dingin.
Biasanya semakin memburuknya ptosis pada saat sinar matahari cerah atau pada
hari yang hangat. Oleh karena untuk menjaga suhu konstan dan mungkin lebih
tinggi selama pengujian RNS adalah penting untuk mengetahui kelainan fungsi dari
NMJ.pengujian setidaknya dilakukan pada suhu 34°C.
  Posttetanic potensiasi dan kelelahan posttetanic
  kontraksi tetanic dari otot diikuti oleh 2 fase berbeda:yang pertama 2 menit
setelah kontraksi tetani,terjadinya posttetanic potension ini diikuti oleh kelelahan
posttetanic.
  Selama posttetanic potentasion,akumulasi dari kalsium di dalam terminal akson
menyebabkan peningkatan moblisasi dan pengeluaran ACH,yang mana
berkurangnya jumlah dari ACH pada saat NMJ dan hasil EPSPs lebih besar dengan
tambahan perekrutan dari serat otot, sehingga menghasilkan CMAP lebih besar.
  Pada saat fase kelelahan posttetanic,NMJ yang kurang bekerja dan bahkan lebih
sedikit EPSPs mencapai ambang.kemudian,beberapa pasian dengan abnormalitas
equivocal pada RNS selama fase istirahat mungkin menunjukkan kelainan yang
jelas selama fase kelelahan posttetanic. pada gaya maksimum dapat mencapai
tujuan yang sama tanpa rasa tidak nyaman dan lebih disukai
  Kontraksi tetani di otot dapat dapat dicapai oleh stimulasi listrik saraf pada
tingkat 50 per detik. Namun, ini menyakitkan.kontraksi volunter dari otot 10 detik
pada saat kekuatan maksimum.
  Tes Farmakologi (edophronium atau tensilon tes) untuk diagnosis myastenia
gravis
  pada pasien dengan myastenia gravis,terdapat penurunan jumlah dari AchR
pada NMJ.hasil pada penurunan jumlah dari interaksi antara ACH dan
reseptornya.ACH dilepas dari motor nervus terminalis di metabolisme oleh Ache.
  Farmakologi inhibisi dari AchE peningkatan konsentrasi ACH pada NMJ.
meningkatkan kesempatan untuk interaksi antara ach dan reseptor.Edroponium
adalah short-acting AchE inhibitor yang memperbaiki kelemahan otot pada
pasiendengan myastenia gravis.
  Evaluasi kelemahan (ex.ptosis,parsial atau komplit ophtalmplegia) sebelum dan
sesudah melakukan tensilon tes. Menimbulkan ketidak validan pemeriksa dan
peningkatan pasien pengujian validitas.
  Sinus bradycardia yang timbul karena stimulasi berlebihan kolinergik jantung
adalah komplikasi serius. sebuah ampul atropin harus tersedia di samping tempat
tidur atau di ruang klinik saat melakukan tes.
  Untuk melakukan test,dosis test edrophonium adalah 0,1 mL dari 10
mg/mL.jika tidak ada respon dan efek yang tidan di inginkan maka sisa obat (o,9
mL) di injeksikan.
  sedangkan menafsirkan tes ini, penting untuk diingat bahwa obat ini dapat
memperbaiki kelemahan dalam penyakit selain gravis mysthenia, seperti clerosis
lateral sclerosis, poliomielitis dan beberapa neuropati perifer.

 8. Treatment
 A. Temuan histologist
 Hiperplasia Lymphofollicular medulla thymus terjadi pada 65% pasien dengan
myasthenia gravis, thymoma, di 15%.
 B. Medical Care
  Perawatan Medis
 Meskipun ada uji perlakuan diuji secara ketat telah dilaporkan dan tidak ada
konsensus yang jelas ada pada strategi pengobatan, myasthenia gravis adalah salah
satu gangguan neurologis yang paling mudah diobati. Beberapa faktor (misalnya,
tingkat keparahan, distribusi, kecepatan pengembangan penyakit) harus
dipertimbangkan sebelum memulai atau mengubah terapi. Immunomodulation dapat
dicapai dengan berbagai obat-obatan, seperti kortikosteroid yang umum digunakan.
obat lain yang digunakan untuk mengobati kasus-kasus yang lebih sulit termasuk
azathioprine, mycophenolate mofetil, siklosporin, siklofosfamid, dan rituximab.
Namun demikian, efektivitas dari banyak obat-obat ini jauh dari terbukti dan hati-
hati harus dianjurkan terhadap penggunaan mereka lightly.
  AChE inhibitor dan terapi imunomodulasi adalah andalan pengobatan. Dalam
bentuk ringan dari penyakit, inhibitor AChE digunakan pada awalnya. Kebanyakan
pasien dengan myasthenia gravis imunomodulasi umum membutuhkan terapi
tambahan.
  Plasmapheresis dan thymectomy merupakan modalitas penting untuk
mengobati myasthenia gravis. Mereka tidak tradisional imunomodulasi terapi medis,
tetapi mereka berfungsi dengan memodifikasi sistem kekebalan tubuh.
  Plasmapheresis atau penggantian plasma
  pertukaran Plasma (PE) adalah pengobatan yang efektif untuk myasthenia gravis,
terutama dalam persiapan untuk operasi atau karena manajemen jangka pendek
suatu eksaserbasi. Peningkatan kekuatan dapat membantu untuk mencapai
pemulihan pasca operasi cepat dan untuk memperpendek periode ventilasi dibantu.
  Kelemahan meningkatkan dalam beberapa hari, namun peningkatan tersebut
hanya berlangsung 6-8 minggu.
  PE biasanya digunakan sebagai tambahan pada terapi imunomodulator lain dan
sebagai alat untuk manajemen krisis.
  PE reguler o jangka panjang secara mingguan atau bulanan dapat digunakan jika
pengobatan lainnya tidak dapat mengendalikan penyakit.
  Komplikasi PE terbatas terutama komplikasi akses intravena (misalnya,
penempatan garis pusat), tetapi juga termasuk kurang umum gangguan hipotensi
dan koagulasi.
  PE berpikir untuk bertindak dengan menghapus beredar faktor humoral (yaitu,
ACHR Ab dan kompleks imun).
 C. Surgical Care
 Thymectomy merupakan pilihan pengobatan yang penting dalam myasthenia gravis,
terutama jika thymoma hadir.
  Pengaruh menguntungkan dari thymectomy dilaporkan sejak tahun 1930-an dan
1940-an dalam berbagai laporan kasus dan seri kecil.
  Meskipun tidak ada uji coba terkontrol untuk menilai efikasi thymectomy di
myasthenia gravis telah dilaporkan, thymectomy telah menjadi standar perawatan
dan harus dilakukan pada semua pasien dengan thymoma dan pada pasien berusia
10-55 tahun tanpa thymoma tetapi dengan myasthenia gravis umum . Thymectomy
telah diusulkan sebagai terapi lini pertama pada kebanyakan pasien dengan gravis
umum. Saat ini, percobaan multicenter adalah merekrut pasien untuk menentukan
apakah thymectomy dikombinasikan dengan terapi prednison lebih bermanfaat
dalam mengobati myasthenia gravis nonthymomatous daripada terapi prednison saja.
  Thymectomy dapat menyebabkan remisi. Hal ini terjadi lebih sering pada
pasien muda dengan durasi singkat penyakit, timus hiperplastik, lebih gejala parah
dan titer antibodi yang tinggi, meskipun titer tinggi antibodi tidak konsisten terkait
untuk lebih outcome.16 meningkat
  Tingkat Remisi dengan waktu: pada 7-10 tahun setelah operasi, mencapai 40-
60% dalam semua kategori pasien kecuali mereka yang thymoma.
  Selama bertahun-tahun, berbagai teknik telah diterapkan untuk melakukan
thymectomy. Meskipun umumnya percaya bahwa penghapusan lengkap jaringan
thymus lebih baik, bukan merupakan fakta mapan. Tidak ada konsensus apakah satu
teknik lebih unggul dari yang lain dalam mencapai keuntungan atau meminimalkan
risiko. The Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) telah mengusulkan
skema klasifikasi untuk thymectomy terutama didasarkan pada teknik yang
dijelaskan dalam berbagai diterbitkan reports.6 Baru-baru ini, pendekatan minimal
invasif robot untuk thymectomy telah digunakan, meskipun keuntungan dari
pendekatan ini perlu dibentuk. 17 Klasifikasi thymectomy MGFA adalah sebagai
berikut:
  T-1 thymectomy transcervical
 1. Dasar
 2. Luas
  T-2 thymectomy videoscopic
 1. Klasik atau tong (bedah dada bantuan video)
 2. VATET (video-dibantu thymectomy diperpanjang thoracoscopic)
  T-3 thymectomy transsternal
 1. Standar
 2. Luas
  T-4 thymectomy transcervical dan transsternal
 D. Konsultasi
 Berkoordinasi perawatan dengan dokter perawatan primer.
 Diet
  Pasien dengan myasthenia gravis mungkin mengalami kesulitan mengunyah
dan menelan karena kelemahan orofaringeal. Mungkin sulit bagi pasien untuk
mengunyah daging atau sayuran karena kelemahan otot pengunyah.
  Jika disfagia berkembang, biasanya paling parah untuk cairan tipis karena
kelemahan otot faring. Untuk menghindari regurgitasi nasal atau aspirasi jujur,
cairan harus mengental.
 E. Aktifitas
 Mendidik pasien tentang sifat fluktuasi kelemahan dan latihan-fatigability induced.
Pasien harus sebagai aktif mungkin tetapi harus beristirahat sering dan menghindari
aktivitas fisik yang berkelanjutan.

 9. Medicasi
 Inhibitor AchE (Acetyl Collin Esterase) dipertimbangkan sebagai treatment dasar
dari Myasthenia Gravis. Penggunaan Corticosteroid sebagai Terapi jangka panjang
dan obat-obat immunosuppressive lainnya juga efektif digunakan.
 A. Inhibitor Ache
 Obat ini menghambat AchE, sehingga dapat meningkatkan konsentrasi dari Ach
pada NMJ (NeuroMuscular Junction) dan juga meningkatkan aktivasi AchR (Acetyl
colline Receptor)/ melakukan Up Regulasi pada Receptor Ach. Beberapa medikasi
yang meningkatkan aktifitas AchR dapat menimbulkan efek yang diharapkan pada
penatalaksanaan Myasthenia gravis.
 B. Pyridostigmine bromide (Mestinon)
 Merupakan obat yang tingkat menengah, yang lebih sering digunakan pada
penerapan klinis dari pada bromida neostigmine yang tipe Short-acting
(Neostigmin) atau Longer-acting ambenonium klorida (Mytelase).Obat ini sudah
mulai bekerja setelah 30-60 menit; serta efeknya berlangsung 3-6 jam. Juga tersedia
tablet yang rentang waktunya berbeda (Time Span) yaitu efeknya terakhir 2,5 kali
lebih lama.Time Span tablet juga bermanfaat sebagai terapi tambahan pada terapi
pyridostigmine rutin yang fungsinya sebagai kontrol gejala miasthenik di malam
hari. Penyerapan dan bioavailabilitas Time Span tablet bervariasi tiap individu.
Time Span tablet Ini harus digunakan hanya pada waktu tidur, dan pasien harus
mendapat monitoring ketat terhadap efek samping kolinergik.
 Dosis tiap pasien selalu sifatnya individual karena myasthenia gravis tidak
mempengaruhi semua otot rangka secara sama rata, semua gejala tidak dapat
dikendalikan secara smpurna tanpa menghasilkan efek samping. Pada pasien denga
penyakit yang kritis atau pasca operasi, pengelolaan medikasinya diberikan secara
IV. Di US, tersedia dalam 3 bentuk: 60 mg tab bijian, 180 mg Time Span tab , dan
60 mg / 5 mL sirup.
 Dosis :
 - Dewasa
 Pengaturan dosis Individual Pasien 60-960 mg/hari dengan dosis yang terbagi
 2 mg IV/IM q2-3h atau 1/30th dosis PO (per os/oral) ; dosis IV paliang baik
diberikan melalui infuse 1/30th dari total dosis sehari selama 24 jam; hindari rute IM
jika mungkin dikarenakan proses absorbsi yang tidak teratur/ tidak tentu (erratic).
 - Pediatri
 7mg/kg/hari PO dengan dosis terbagi
 C. Neostigmine (Prostigmine)
 Inhibitor AchE short-acting ini tersedia dalam bentuk PO (15 mg Tab) dan bentuk
obat yang diberikan secara IV / IM /SC. Waktu Parohnya 45-60 menit.
Penyerapannya buruk di saluran pencernaan (GI Tract), karena itu Noeostigmin
baru digunakan jika pyridostigmine tidak tersedia. Serta dosis individual untuk
semua pasien.
 Dosis :
 - Dewasa
 15 mg/dose PO q3-4h
 0,5-2,5 mg IV/IM/SC q1-3h atau 1/30th dosis PO; tidak melebihi 10 mg/ hari
 - Pediatri
 2 mg/kg/hari PO dengan dosis yang terbagi q3-4h
 0,01-0,04 mg/kg melalui IV/IM/SC q2-4h atau 1/30th dosis PO

 D. Terapi Immunosupressan
 Myasthenia gravis merupakan salah satu penyakit autoimmune. Dan terapi
immunosupressan telah digunakan untuk mengobati penyakit autoimmune ini sejak
ditemukannya steroid. Walaupun tidak ada clinical trial yang secara tepat
menjelaskan efektifitas dari terapi imunosupressi pada myasthenia gravis,beberapa
uncontrolled trial dan studi retrospektif mendukung penggunaan terapi tersebut.
Terapi ini diterapkan pada myasthenia gravis menggunakan prednisone,
azathioprine, IVIg, plasmapheresis, dan siklosporine.
 E. Prednisone (Sterapred)
 Corticosteroid merupakan agen imunosupressi yang pertama digunakan untuk
menterapi myasthenia gravis dan masih sering digunakan secara efektif. Prednisone
merupakan corticosteroid yang paling sering digunakan di US. Khususnya
digunakan pada kasus dengan derajat sedang atau berat yang dimana tidak ada
respon yang cukup terhadap pemberian AchE inhibitor dan Thymectomy. Terapi
jangka panjang dengan corticosteroid termasuk efektif dan mampu menginduksi
terjadinya remisi atau menyebabkan perkembangan yang bermakna pada
kebanyakan pasien.
 Dosis :
 - Dewasa
 Tidak ada dosis yang ditetapkan dalam pemberian terapi corticosteroid pada
penderita myasthenia gravis; penentuan dosisnya biasanya dimulai dari dosis yang
rendah dan ditingkatkan secara berangsur – angsur; di sisi lain ada juga yang
menggunakan secara langsung dosis tinggi pada awal pemberian terapi yang
tujuanya untuk mencapai respon yang lebih cepat.tidak ada consensus yang tepat
dalam penjadwalan dosis, karena itu para dokter menggunakan dosis rendah pada
awal terapi. Terapi bias dimulai dengan dosis 15 mg/hari PO, ditingkatkan 5 mg q2-
3d sampai respon klinis yang diharapkan tercapai atau maksimum dosis yang
diberikan 50 – 60 mg/hari;dosis yang meruncing dimulai setelah terapi berjalan 3-6
mo dan semua responya dicatat dengan baik.
 Dosis tinggi (20-30mg/hari PO, ditingkatkan 5-10 mg q2-3d sampai maksimum 60
mg/hari) dapat memberikan perkembangan lebih cepat terhadap kelemahan otot; di
samping itu ada yang memulai dosis tingginya dari 60-80 mg/hari dan 100 mg.
Memburuknya kelemahan otot pada awal terapi sebelum munculnya perkembangan
membaik sering terjadi dan perhatian yang serius harus diberikan pada 3 minggu
pertama; komplikasi potensial ini mengindikasikan pemberian imunosupressan
dosis tinggi dengan supervisi yang baik.
 - Pediatri
 4-5 mg/kg/hari PO; alternatifnya : 1-2 mg/kg PO qd; dosis meruncing selama
beberapa bulan sampai gejala hilang.
 F. Azathioprine (Imuran)
 Merupakan terapi imunosupressi kedua yang sering digunakan di myasthenia gravis
setelah prednisone, di gunakan apabila terjadi kegagalan pada terapi steroid atau
terjadi efek yang tidak diinginkan pada penggunaan jangka panjang steroid.dapat
digunakan sebagai terapi pendamping pada terapi steroid dosis rendah. Satu
kekuranganya yaitu onset dari aksi terapi ini baru muncul setelah 6-12 bulan.
 Dosis :
 - Dewasa
 1 mg/kg/hari PO pada dosis awal; ditingkatkan secara berangsur-angsur sampai
muncul efek yang diinginkan, biasanya 2-3 mg/kg/hari qd; dapat di bagi ac jika
terjadi efek samping pada GI Tract yang merugikan. Beberapa ahli menganjurkan
peningkatan dosis sampai RBC MCV >100 fL; dan jangan tingkatkan apabila
pasien mengalami leucopenia
 - Pediatri
 Maintenance; 1-2 mg/kg/hari PO
 G. Immunoglobulin Intravena (Gammaimune, Gammagard, Sandoglobulin)
 Dosis tinggi IVIg telah sukses mengobati myasthenia gravis. Seperti pertukaran
plasma, memiliki onset aksi yang cepat, tetapi sayangnya efeknya berakhir dalam
jangka pendek. Paling baik digunakan saat yang krisis (eg, myasthenic crisis dan
perioperatif period).
 Dosis :
 - Dewasa
 2 g/kg slow/bolus di infuskan IV dalam 2-5 hari
 - Pediatri
 Diberikan sama dengan dewasa
 H. Cyclosporine A ( Neoral, Sandimmune)
 Peptida Fungi dengan aktifitas potensial immunosupressi. Telah terbukti efektif
secara prospektif, double-blind, placebo-controlled clinical trial pada pasien dengan
myasthenia gravis. Terdapat efek samping yang signifikan, sehingga biasanya
dihindari penggunaanya sebagai terapi immunosupressif garis awal/first-line.
Bagaimanapun, pada pasien yang memiliki resiko tinggi terkena efek samping
steroid, CsA dapat digunakan sebagai terapi awal. Onset dari aksi CsA muncul
dalam beberapa minggu sampai bulan, hampir sama dengan prednisone.
 Dosis :

 - Dewasa
 Efek klinis dan immunoligis berkolerasi dengan konsentrasi serum; dosis biasanya
ditentukan dari nilai yang didapat pada serum level 100-200 ng/mL (sesuai dengan
yang ditentukan HPLC)
 4-10mg/kg/hari PO dibagi bid/tid.
 - Pediatri
 Sama dengan dewasa
 I. Cyclophosphamide (Cytoxan, Neosar)
 Agen alkil yang mengganggu proliferasi sel. Secara efektifnya dia melawan B Cell
lebih besar daripada T Cell, sehingga menjadikanya pilihan yang bagus dalam
memberikan terapi penyakit yang antibody-mediated seperti myasthenia gravis.
Karena potensi efek samping yang serius, biasanya digunakan/dimanfaatkan pada
kasus yang berat dimana immunoterapi lebih rutin digunakan telah gagal karena
kurangnya efektifitas atau efek samping yang tak tertoleransi.
 Dosis :
 - Dewasa
 Dosis bervariasi
 Dosis standart oral pada clinical trial 1-2 mg/kg/hari dalam satu seri dan 3-
5mg/kg/hari di sisi lain; kebanyakan pasien diterapi dengan 200-250 mg IV untuk 5
hari; dosis IV rentangnya dari 350-1000g/m2.
 - Pediatri
 Masih belum ditetapkan
 J. Mycophenolate Mofetil (Cellcept, Myfortic)
 Merupakan inhibitor dari sintesis de novo purin dengan memblok enzim inosine
monophosphate dehydrogenase. Sangat efektif melawan proliferasi limfosit, yang
tidak menggunakan purine salvage pathway.
 Dosis :
 - Dewasa
 1-3g PO qd atau derivate bid
 - Pediatri
 Masih tidak ada data yang tersedia pada pasien pediatri dengan myasthenia gravis.
 Berdasarkan farmakokinetik dan data keaamanan pada pasien pediatri post renal
transplantation, direkomendasikan dosis dari CellCept suspense oral 600mg/m2 bid.
 K. Rituximab (Rituxan)
 Antibody secara genetik telah direncanakan chimeric maurine/antibody monoclonal
manusia telah diarahkan untuk melawan antigen CD20 yang ditemukan pada
permukaan limfosit B normal dan maligna. Antibodynya adalah IgG1 kappa
immunoglobulin-yang mengandung rantai ringan dan rantai berat maurine variable
region sequences dan human constant region sequences.
 Dosis :
 - Dewasa
 Masih belum ditetapkan;tidak ada dosis rekomendasi, dapat tidak diberikan pada
penderita myasthenia gravis; dosis mirip dengan penggunaan pada treatment non-
hodgkints limfoma.
 - Pediatri
 Masih belum ditetapkan

 10. Folow Up
 Pada pasien rawan jalan :
 1. Pasien dengan myasthenia gravis memerlukan penanganan atau tindak lanjut
yang bekerjasama dengan dokter yang berhubungan dekat dengan pasien.
 2. Myasthenia gravis adalah penyakit kronis yang akan semakin berat pada
beberapa hari atau minggu ( pada kejadian yang langka dapat memberat pada
beberapa jam saja)
 3. Diperlukan evaluasi pada pengobatan yang telah ditentukan oleh dokter.
 Obat-obatan pada pasien rawat inap dan rawat jalan
 Komplikasi :
 1. Kegagalan pernapasan dapat terjadi karena lemahnya otot pernapasan
 2. Disfagia terjadi karena lemahnya otot faring, hal ini dapat menyebabkan
pneumonia
 3. Penggunaan obat-obatan terapi immune modulasi dalam jangka panjang dapat
menyebabkan pasien myasthenia gravis mengalami komplikasi :
 a. penggunaan steroid dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan atau
memperburuk dari osteoporosis, katarak, hyperglikemia, hipertensi dan komplikasi
lainnya.
 b. Penggunaan steroid dalam jangka panjang dapat meningkatkan resiko gastritis
atau penyakit ulkus peptikum. Pasien yang mendapatkan terapi steroid juga harus
mendapatkan H2 blocker dan antacid.
 c. Beberapa komplikasi umum terjadi pada setiap terapi imunomo dulasi, terutama
jika pasien mendapatkan lebih dari 1 agent. Seperti infeksi tuberculosis, infeksi
jamur sistemik dan pneumonia pneumocytis carinii.
 d. Resiko lympho proliverative malignancies dapat meningkat karena immune
supresan.
 e. Obat immune suppressive dapat menyebabkan efek teratogenik.
 Prognosis :
 1. Tingkat kematian pada pembawa myasthenia gravis yang tidak ditindak lanjuti
mencapai 25-31%. Dengan pengobatan saat ini (khususnya yang berkaitan dengan
eksaserbasi akut) angka kematian menurun hingga 4%.
 2. Penyakit ini sering timbul (40%) hanya dengan gejala ocular. Namun, EOM
(extraocular muscle) hamper selalu ada pada tahun pertama. Pada pasien yang pada
awalnya hanya mendapatkan gejala ocular, hanya 16% yang tetap mengalami
ocular exolusively sampai akhir tahun kedua.
 3. Pada pasien dengan kelemahan umum, kelemahan nadir biasanya ditemukan
maksimal pada 3 tahun pertama. Setengah dari kematian yang berkaitan dengan
penyakit ini, terjadi pada periode ini. Pasien yang dapat bertahan sampai periode ini
biasanya mempunyai keadaan yang stabil. Memberatnya penyakit ini jarang terjadi
setelah 3 tahun.
 4. Factor penting yang memperburuk prognosis padapasien dengan umur lebih
dari 40 tahun adalah riwayat singkat penyakit progresif dan thymoma.
 KIE
 1. Edukasi kepada pasien mengenai kegagalan pernapasan.
 a. Terjadinya infeksi dapat memperburuk gejala myasthenia gravis
 b. Cuaca panas dapat menyebabkan eksaserbasi ringan
 2. Resiko cacat bawaan (arthrogryposis multiplex) dapat meningkat pada
keturunan wanita yang mengalami myasthenia gravis berat.
 a. Kelahiran bayi pada wanita dengan myasthenia gravis membutuhkan
pemantauan untuk kegagalan pernapasan pada 1-2 minggu setelah kelahiran.
 b. Pada obat imuno supresan tertentu mempunyai potensi teratogenik.
 c. Membahas mengenai beberapa aspek dengan perempuan yang dalam masa
reproduktif untuk memulai terapi lebih awal.
 3. Pada beberapa obat seperti aminoglycosides, ciprofloxacin, procaine, lithium,
phenytoin, beta-blocker, procainamide, dan quinidin dapat menyebabkan
memperburuk gejala dari myasthenia gravis.
 4. Obat-obatan yang menginduksi system hepatic microsomal cytocrome P-450
(contohnya. Corticosteroid) kurang efektif untuk mengurangi kesulitan berbicara.
 5. Statins dapat memperburuk myasthenia tanpa melihat dari tipe myasthenia
gravis atau merk statins. Memburuknya kelemahan dapat terjadi secara independen
dari sindrom myalgic dan biasanya menyebabkan gejala ocular dalam waktu 1-16
minggu setelah pengobatan dengan statin.
 Medicolegal Pitfalls
 1. Kegagalan pernapasan dapat terjadi jika pasien tidak dipantau dengan benar.
Pasien harus dipantau dengan hati-hati, terutama selama masa krisis dengan
mengukur NIF (Negative Inspiratory Force) dan VC (Vital Capacity).
 2. Myasthenia gravis transient pada bayi terjadi pada 10-30% dari bayi yang lahir
dari ibu myasthenia. Kemungkinan terjadi selama 7-10 hari pertama kehidupan, dan
bayi harus dipantau secara ketat untuk tanda-tanda gangguan pernapasan.
 3. Terjadinya kelemahan sebelum dan selama perbaikan pada kondisi menjadi
perhatian umum dan serius dalam 3 minggu awal terapi imuno modulator,
diperlukannya pengawasan pada komplikasi dari inisisasi warrants pada dosis tinggi.

You might also like