You are on page 1of 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan Perkembangan Tanah

Fungsi tanah sebagai media tumbuh dimulai sejak peradaban manusia

mulai beralih dari manusia pengumpul pangan yang tidak menetap menjadi

manusia pemukim yang mulai melakukan pemindahan tanaman pangan/non

pangan ke areal dekat mereka tinggal. Tanah adalah hasil pengalihragaman bahan

mineral dan organik yang berlangsung di muka daratan bumi di bawah pengaruh

faktor-faktor lingkungan yang bekerja selama waktu sangat panjang, dan

berwujud sebagai suatu tubuh dengan organisasi dan morfologi teraktifkan

(Notohadiprawiro, 1998).

Tanah merupakan produk alami dari gabungan mineral dan bahan organik

pada permukaan bumi. Peranan tanah sebagai tempat hidup tumbuhan menjadikan

tanah dasar dari ekosistem teresterial. Tanah merupakan tempat terjadinya

dekomposisi materi organik dan tempat kembalinya elemen mineral pada siklus

materi. Tanah juga merupakan habitat hewan, penyedia air dan nutrisi bagi

tumbuhan. Pada dasarnya tanah merupakan tubuh alam. Namun demikian banyak

tanah yang memperlihatkan tanda-tanda pengaruh antropogen (Notohadiprawiro,

1998).

Tanah pada masa kini didefinisikan sebagai lapisan permukaan bumi yang

secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh berkembangnya perakaran penopang

tegak tumbuhnya tanaman dan penyuplai kebutuhan air dan udara, secara kimiawi

berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi (senyawa organik dan
anorganik sederhana dan unsur-unsur esensial seperti N, P, K, Ca, Mg, S, Cu, Zn,

Fe, Mn, B, Cl, dan lain-lain), dan secara biologis berfungsi sebagai habitat biota

(organisme) yang berpartisipasi aktif dalam penyediaan hara tersebut dan zat-zat

aditif (pemacu tumbuh, proteksi) bagi tanaman (Hanafiah, 2014).

Menurut Hardjowigeno (2010) dalam definisi ilmiahnya, tanah (soil)

adalah kumpulan dari benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam

horizon-horizon, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan

udara, dan merupakan media untuk tumbuhnya tanaman.

Menurut Darmawijaya (1990) beberapa istilah lapisan tanah yang khusus

sebagai berikut :

1. Solum (Tubuh Tanah)

Tanah yang berkembang secara genetis oleh gaya genese tanah, artinya lapisan

tanah mineral dari atas sampai sedikit di bawah batas atas horizon C.

2. Topsoil (Tanah Atasan)

Lapisan tanah paling atas yang subur dan biasanya mengandung banyak bahan

organik.

3. Surface Soil (Tanah Permukaan)

Lapisan tanah permukaan yang biasanya terpindahkan waktu penggarapan

tanah, atau lapisan tanah yang memiliki permukaan setebal 12 – 20 cm (5 – 8

inchi) yang biasanya tererosi.

4. Subsurface Soil (Tanah Bawah Permukaan)

Bagian horizon A yang terdapat di bawah surface soil.

5. Subsoil (Tanah Bawahan)


Horizon B bagi tanah-tanah yang profilnya jelas, sedang bagi yang belum

berkembang berarti lapisan tanah di bawah tanah permukaan dalam dimana

terdapat pertumbuhan akar yang normal.

6. Substratum (Lapisan Bawah Tanah)

Tiap lapisan di bawah solum, baik horizon C ataupun horizon R.

2.2 Luas Area Tambang dan Permasalahannya

2.2.1 Luas Area Pertambangan

Kegiatan operasional pertambangan yang berjalan relatif besar dimulai

pertengahan 1970-an. Sebelum tahun 1970, kegiatan penambangan juga telah

dilakukan, namun masih dalam skala yang relatif kecil. Sampai dengan tahun

2009, dari total lahan yang telah diberi izin eksploitasi yaitu 2.205.348 ha, lahan

yang telah dibuka untuk areal tambang dan infrastrukur hanya 135.000 ha, dengan

luas total yang telah direklamasi 33.767,58 ha (Direktorat Teknik dan Lingkungan

Mineral, Batubara, dan Panas Bumi, 2009).

2.3.2 Permasalahan

Sumber daya mineral dan batu bara di Indonesia sebagian besar terdapat

pada lapisan bumi yang dekat permukaan tanah, oleh karena itu penambangannya

banyak dilakukan dengan cara terbuka (open pit mine methode). Sistem ini

menyebabkan perubahan unsur-unsur bentang alam, seperti topografi, vegetasi

penutup, pola hidrologi, dan kerusakan tubuh tanah (Mulyanto, 2008), sehingga

menyulitkan proses reklamasinya. Beberapa permasalahan teknis yang sering

timbul, antara lain :

1. Limbah Tailing
Limbah tailing dari prosesing bijih tambang dapat menutupi lansekap baik

di dalam maupun di luar lokasi penambangan. Limbah ini mempunyai daya

dukung yang sangat rendah untuk kehidupan flora maupun fauna, misalnya

limbah tambang dari Timah di Bangka-Belitung dimana tekstur tanah didominasi

pasir kuarsa (>90%), dengan C-organik <1%, sehingga kemampuan memegang

hara dan air sangat rendah. Selain itu, kandungan hara, Kapasitas Tukat Kation

(KTK), dan Kejenuhan Basa (KB), tidak mendukung persyaratan tumbuh tanaman

(Subadja, dkk. 2010).

2. Tercampurnya tanah pucuk dengan overburden (bahan galian)

Setiap tahun sekitar 1,2 milyar m3 tumpukan bahan galian (overburden)

dihasilkan dari proses penambangan batu bara, sedangkan dari penambangan

bahan mineral dan logam diperkirakan sekitar 0,3 milyar m3. Jika mengikuti tata

cara penambangan yang benar, bagian tanah yang paling atas (tanah pucuk),

seharusnya dipisahkan dari bahan galian di bawahnya untuk kepentingan

reklamasi, namun kenyataannya sebagian besar tanah pucuk tercampur dengan

overburden, sehingga daya dukung lahan menjadi sangat terbatas (Subadja, dkk.

2010).

3. Erosi dan aliran permukaan yang tidak terkendali

Salah satu ciri khas dari areal bekas tambang yang belum direklamasi

adalah kondisi lahan yang tidak bervegetasi, dengan bentuk permukaan yang tidak

beraturan. Pada kondisi ini, tanah pucuk atau bahan (overburden) merupakan

bagian tanah yang paling mudah tererosi, baik oleh curah hujan langsung, maupun

oleh aliran permukaan yang tidak terkendali, akibat rusaknya saluran drainase

alami (Subadja, dkk. 2010).


4. Pencemaran logam berat

Beberapa aktivitas penambangan diidentifikasi menghasilkan bahan-bahan

pencemar dalam bentuk air asam dan logam berat. Misalnya, aktivitas

penambangan emas menghasilkan pencemaran logam berat berbahaya berupa Hg.

Aktivitas penambangan umumnya menghasilkan bahan pencemar yang

ditunjukkan oleh kadar logam-logam berat dalam tanaman yang melebihi kadar

normal (Subadja, dkk. 2010).

2.4 Logam Berat

2.4.1 Mangan

Mangan merupakan unsur logam yang termasuk golongan VII, dengan

berat atom 54,93, titik lebur 1247 0C, dan titik didihnya 2032 0C. Mangan (Mn)

adalah metal berwarna kelabu-kemerahan, di alam mangan (Mn) umumnya

ditemui dalam bentuk senyawa dengan berbagai macam valensi. Air yang

mengandung mangan (Mn) berlebih menimbulkan rasa, warna (coklat/ ungu/

hitam), dan kekeruhan (Fauziah, 2010).

Toksisitas mangan relatif sudah tampak pada konsentrasi rendah.

Kandungan mangan yang diizinkan dalam air yang digunakan untuk keperluan

domestik yaitu dibawah 0,05 mg/l. Air yang berasal dari sumber tambang asam

dapat mengandung mangan terlarut dengan konsentrasi ±1 mg/l. Pada pH yang

agak tinggi dan kondisi aerob terbentuk mangan yang tidak larut seperti MnO2,

Mn3O4 atau MnCO3 meskipun oksidasi dari Mn2+ itu berjalan relatif lambat

(Achmad, 2004).
Dalam jumlah yang kecil (<0,5 mg/l) , mangan (Mn) dalam air tidak

menimbulkan gangguan kesehatan, melainkan bermanfaat dalam menjaga

kesehatan otak dan tulang, berperan dalam pertumbuhan rambut dan kuku, serta

membantu menghasilkan enzim untuk metabolisme tubuh untuk mengubah

karbohidrat dan protein membentuk energy yang akan digunakan. (Anonymous,

2010).

Tetapi dalam jumlah yang besar (>0,5 mg/l), mangan (Mn) dalam air

minum bersifat neurotoksik. Gejala yang timbul berupa gejala susunan syaraf,

insomnia, kemudian lemah pada kaki dan otot muka sehingga ekspresi muka

menjadi beku dan muka tampak seperti topeng/mask (Slamet, 2007). Teknologi

penurunan kandungan besi dan mangan dapat dilakukan dengan beberapa

cara, antara lain :

1. Oksidasi

2. Ion Exchange

3. Mangan Zeolit Filtration

4. Sequestering Process

5. Lime Softening

6. Adsorpsi (Penjerapan)

7. Filtration (Penyaringan)

2.4.2 Kadar Mangan (Mn)

Mangan adalah logam berwarna abu-abu putih. Mangan adalah unsur

reaktif yang mudah menggabungkan dengan ion dalam air dan udara. Di bumi,

mangan ditemukan dalam sejumlah mineral kimia yang berbeda dengan sifat

fisiknya, tetapi tidak pernah ditemukan sebagai logam bebas di alam. Mineral
yang paling penting adalah pyrolusite, karena merupakan mineral biji utama untuk

mangan. Kehadiran mangan dalam air tanah bersamaan dengan besi yang berasal

dari tanah dan bebatuan. Mangan dalam air berbentuk mangan bikarbonat

(Mn(HCO3)2), mangan klorida (MnCl2) dan mangan sulfat (MnSO4)3

(Pacini,2005).

Menurut Fauziah (2010) air yang mengandung mangan (Mn) berlebih

menimbulkan rasa, warna (coklat/ungu/hitam), dan kekeruhan. Toksisitas mangan

relatif sudah tampak pada konsentrasi rendah. Kandungan mangan yang diizinkan

dalam air yang digunakan untuk keperluan domestik yaitu dibawah 0,05 mg/l. Air

yang berasal dari sumber tambang asam dapat mengandung mangan terlarut

dengan konsentrasi ±1 mg/l. Pada pH yang agak tinggi dan kondisi aerob

terbentuk mangan yang tidak larut seperti MnO2, Mn3O4 atau MnCO3 meskipun

oksidasi dari Mn2+ itu berjalan relatif lambat.

Dalam jumlah yang kecil (<0,5 mg/l), mangan (Mn) dalam air tidak

menimbulkan gangguan kesehatan, melainkan bermanfaat dalam menjaga

kesehatan otak dan tulang, berperan dalam pertumbuhan rambut dan kuku, serta

membantu menghasilkan enzim untuk metabolisme tubuh untuk mengubah

karbohidrat dan protein membentuk energi yang akan digunakan (Febrina dan

Ayuna, 2015).

2.5 Batubara

Batubara merupakan mineral organik, proses terbentuknya berawal dari

sisa tumbuhan purba yang mengendap dan selanjutnya berubah bentuk akibat

proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun. Periode
pembentukan karbon (Carboniferus Period) merupakan zaman awal dari

pembentukan batubara yang dikenal sebagai zaman batubara pertama yang

berlangsung antara 290 juta hingga 360 juta tahun yang lalu. Endapan tumbuhan

berubah menjadi gambut (peat) merupakan proses awal yang selanjutnya berubah

menjadi batubara muda (lignite) atau disebut pula batubara coklat (brown coal)

(Billah, 2010).

2.5.1 Jenis Batubara

Batubara terbentuk dengan cara yang sangat komplek dan memerlukanm

waktu yang lama (puluhan sampai jutaan tahun) dibawah pengaruh fisika, kimia,

ataupun keadaan geologi.

Berdasarkan tingkatannya batubara dikelompokkan menjadi beberapa kelas :

1. Lignite

Lignite merupakan batubara peringkat rendah dimana kedudukan lignite dalam

tingkat klasifikasi batubara berada pada daerah transisi dari jenis gambut ke

batubara. Lignite adalah batubara yang berwarna hitam dan memiliki tekstur

seperti kayu.

2. Sub-bitumine

Batubara jenis ini merupakan peralihan antara jenis lignite dan bitumine.

Batubara jenis ini memiliki warna hitam yang mempunyai kandungan air, zat

terbang, dan oksigen yang tinggi serta memiliki kandungan karbon yang rendah.

Sifat-sifat tersebut menunjukkan bahwa batubara jenis sub-bitumine ini

merupakan batubara jenis rendah.

3. Bitumine
Batubara jenis ini merupakan batubara yang berwarna hitam dengan tekstur

ikatan yang baik.

4. Antrasit

Antrasit merupakan batubara paling tinggi tingkatannya yang mempunyai

kandungan karbon lebih dari 93 % dan kandungan zat terbang kurang dari 10 %.

Antrasit umumnya lebih keras, kuat dan sering kali berwarna hitam mengkilat

seperti kaca.

2.5.2 Sifat-sifat Batubara

Batubara merupakan suatu campuran padatan yang heterogen dan terdapat

di alam dalam tingkat atau grade yang berbeda mulai dari lignite, subbitumine,

bitumine, antrasit. (Sukandarrumidi. 1998). Di dalam perdagangan dikenal dengan

istilah Hard Coal dan Brown Coal. Hard Coal adalah jenis batubara yang

menghasilkan gross kalori leboh dari 5.700 kcal/kg dan dibagi :

a. Kandungan zat terbang (volatile matter) hingga 33%.

b. Kandungan zat terbang (volatile matter) lebih besar 33 %.

Hard coal merupakan jenis batubara dengan hasil kalori yang lebih tinggi

dibandingkan dengan bitumine atau subbitumine, dan lignite (brown coal).

1) Sifat batubara jenis antrasit :

a. Warna hitam sangat mngkilap, kompak

b. Nilai kalor sangat tinggi, kandungan karbon sangat tinggi

c. Kandungan air sangat sedikit

d. Kandungan abu sangat sedikit

e. Kandungan sulfur sangat sedikit.

2) Sifat batubara jenis Bituminu/subbituminu:


a. Warna hitam sangat mengkilap, kurang kompak

b. Nilai kalor sangat tinggi, kandungan karbon relative tinggi

c. Kandungan air sangat sedikit.

d. Kandungan abu sangat ssedikit.

e. Kandungan sulfur sedikit.

3) Sifat betubara jenis lignite :

a. Warna hitam sangat rapuh

b. Nilai kalor rendah, kandugan karbon sedikit.

c. Kandungan air tinggi

d. Kandungan abu banyak

e. Kandungan sulfur banyak. (Billah, 2010)

2.6 Adsorpsi

Adsorpsi adalah suatu proses penyerapan komponen-komponen tertentu

dari fasa cair ke permukaan fasa padat yang menyerapnya. Molekul-molekul yang

ada dalam fasa padat mendapat gaya-gaya yang sama dari segala arah, sedangkan

molekul-molekul pada permukaannya mendapat gaya yang tidak sama sehingga

untuk mengimbangi gaya-gaya bagian dalam, fasa gas atau cair menjadi tertarik

kepermukaan. Gaya yang relatif lemah ini disebut gaya Van der Walls. Dalam

proses adsorpsi, zat yang tertarik oleh permukaan zat padat disebut adsorbat,

sedangkan zat penyerap adsorbat disebut adsorben. Menurut Atkins (1997),

berdasarkan jenis ikatan yang terdapat antara bahan yang diadsorpsi dengan

adsorbennya, maka adsorpsi dibagi menjadi dua macam, yaitu adsorpsi fisika dan

adsorpsi kimia.
Adsorpsi fisika terdapat interaksi gaya Van der Walls antara adsorbat dan

adsorben dengan jarak jauh, lemah, dan energi yang dilepaskan jika partikel

terfisisorpsi mempunyai orde besaran yang sama dengan entalpi kondensasi.

Entalpi yang kecil ini tidak cukup untuk menghasilkan pemutusan ikatan,

sehingga molekul yang terfisisorpsi tetap mempertahankan identitasnya, walaupun

molekulitu dapat terdistorsi dengan adanya permukaan. Adsorpsi fisika umumnya

terjadipada temperatur rendah dan dengan bertambahnya temperatur jumlah

adsorpsi berkurang dengan mencolok. Panas adsorpsi yang menyertai adsorpsi

fisika adalah rendah yaitu kurang dari 20,92 kJ mol-1 (Danarto, 2007).

Adsorpsi kimia (chemisorption), dalam hal ini partikel melekat pada

permukaan dengan membentuk ikatan kimia (kovalen), dan cenderung mencari

tempat yang memaksimumkan bilangan koordinasinya dengan adsorben. Molekul

yang terkimisorpsi, dapat terpisah karena tuntutan valensi atom permukaan,

sebagai hasil kimisorpsi. Pada adsorpsi kimia, molekul-molekul yang teradsorpsi

pada permukaan bereaksi secara kimia. Mekanisme adsorpsi dapat digambarkan

sebagai proses dimana molekul meninggalkan larutan dan menempel pada

permukaan zat adsorben (Reynolds, 1982).

Pada proses adsorpsi terbagi menjadi 4 tahap yaitu:

1. Transfer molekul-molekul zat terlarut yang teradsorpsi menuju lapisan film

yang mengelilingi adsorben.

2. Difusi zat terlarut yang teradsorpsi melalui lapisan film (film diffusion

process).

3. Difusi zat terlarut yang teradsopsi melalui kapiler/pori dalam adsorben (pore

diffusion process).
4. Adsorpsi zat terlarut yang teradsorpsi pada dinding pori atau

permukaanadsorben (proses adsorpsi sebenarnya).

Menurut Syauqiah et al (2011) faktor-faktor yang mempengaruhi proses

adsorpsi adalah sebagai berikut:

1. Luas permukaan

Semakin luas permukaan adsorben, maka makin banyak zat yang teradsorpsi.

Luas permukaan adsorben ditentukan oleh ukuran partikel dan jumlah dari

adsorben.

2. Jenis adsorbat

Peningkatan polarisabilitas adsorbat akan meningkatkan kemampu-an

adsorpsi molekul yang mempunyai polarisabilitas yang tinggi (polar)

memiliki kemampuan tarik menarik terhadap molekul lain dibandingkan

molekul yang tidak dapat membentuk dipol (non polar). Peningkatan berat

molekul adsorbat dapat meningkatkan kemampuan adsorpsi. Adsorbat dengan

rantai yang bercabang biasanya lebih mudah diadsorbsi dibandingkan rantai

yang lurus.

3. Struktur molekul adsorbat

Hidroksil dan amino dapat mengurangi kemampuan penyisihan sedangkan

Nitrogen meningkatkan kemampuan penyisihan.

4. Konsentrasi Adsorbat

Semakin besar konsentrasi adsorbat yang digunakan dalam larutan maka

semakin banyak jumlah substansi yang terkumpul pada permukaan adsorben,

sebaliknya semakin kecil konsentrasi adsorbat yang digunakan dalam larutan

maka semakin kecil jumlah substansi yang terkumpul pada permukaannya.


5. Temperatur

Pemanasan atau pengaktifan adsorben akan meningkatkan daya serap

adsorben terhadap adsorbat menyebabkan pori-pori adsorben lebih terbuka

pemanasan yang terlalu tinggi menyebabkan rusaknya adsorben sehingga

kemampuan penyerapannya menurun.

6. pH

pH larutan mempengaruhi kelarutan ion logam, aktivitas gugus fungsi pada

biosorben dan kompetisi ion logam dalam proses adsorpsi.

7. Kecepatan pengadukan

Menentukan kecepatan waktu kontak adsorben dan adsorbat. Bila

pengadukan terlalu lambat maka proses adsorpsi berlangsung lambat pula,

tetapi bila pengadukan terlalu cepat kemungkinan struktur adsorben cepat

rusak, sehingga proses adsorpsi kurang optimal.

8. Waktu Kontak

Penentuan waktu kontak yang menghasilkan kapasitas adsorpsi maksimum

terjadi pada waktu kesetimbangan.

2.6.1 Adsorpsi pada Dinding Berpori

Perpindahan massa dari cairan dalam pori ke dinding pori proses

umumnya berlangsung sangat cepat sehingga tidak mengontrol. Adsorpsi pada

dinding pori proses umumnya juga berlangsung relative sangat cepat, sehingga

tidak mengontrol juga. Jadi yang umumnya mengontrol kecepatan proses adsorpsi

adalah proses a atau proses b atau keduanya. Jika butir-butir sangat kecil (seperti

serbuk) maka difusi dari permukaan ke dalam butir (proses b) berlangsung relative

sangat cepat sehingga tidak mengontrol. Akibatnya yang mengontrol adalah


perpindahan massa dari cairan ke permukaan butir. Sebaliknya, jika butir-butir

berukuran besar, difusi dari permukaan ke dalam butir relative sangat lambat,

sehingga yang mengontrol adalah proses difusinya (Billah, 2010).

Gambar 3. Rangkaian Kolom Fixed Bed

(Sumber: Acharya dan Kumar, 2012)

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi adalah:

1. Sifat-sifat fisika dan kimia dari adsorben.

Selain komposisi dn polaritas, struktur pori merupakan factor yang penting

untukdiperhatikan. Struktur pori berhubungan dengan luas permukaan. Semakin

kecil pori-poriadsorben, mengakibatkan luas permukaan semakin besar. Dengan

demikian kecepatan adsorbs bertambah. Untuk meningkatkan kecepatan adsorbs

dianjurkan agar menggunakan adsorben yang telah dihaluskan.

2. Sifat-sifat fisika dan kimia dari zat yang diserap.

Banyak senyawa yang dapat diadsorbsi oleh adsorben tetapi

kemampuannya untuk mengadsorbsi berbeda untuk masing-masing senyawa.

Adsorbsi akanbertambah besar sesuai dengan bertambahnya ukuran molekul


serapan dari struktur yang sama seperti dalam deret homolog. Adsorsi juga

dipengaruhi oleh gugus fungsi, posisi gugus fungsi, ikatan rangkap, struktur rantai

dan senyawa serapan

3. Konsentrasi dari zat yang diserap dalam larutan.

Semakin tinggi konsentrasi dari zat yang diserap dalam larutan maka

semakin banyak jumlah adsorben yang akan digunakan.

4. Sifat-sifat dari liquid, misalnya pH, temperature.

Adsorbsi semakin meningkat bila pH diturunkan yaitu dengan

penambahan asam-asam mineral, sebaliknya bila pH dinaikkan yaitu dengan

menambahkan alkali, adosrbsi akan berkurang sebagai akibat terbentuknya garam.

5. Waktu tinggal dalam system

Bila adsorben ditambahkan dalam suatu cairan dibutuhkan waktu untuk

mencapai keseimbangan. Waktu yang dibutuhkan berbanding terbalik dengan

jumlah adsorben yang digunakan. Untuk larutan yang mempunyai viskositas

tinggi diperlukan waktu tinggal yang lebih lama.

Kesetimbangan adsorbsi terjadi pada saar adsorbat yang terkandung dalam

larutan telah bercampur dengan adsorben, molekul-molekul adsorbat berpidah dari

larutannya ke permukaan adsorbent hingga konsentrasi adsorbet dalam larutan

sebanding dengan konsentrasi adsorbat pada permukaan solid adsorbent (Billah,

2010).

2.7 Pirolisis Batubara

Pirolisis batubara merupakan proses dekomposisi thermal batubara pada

kondisi udara terbatas. Pada tahap ini terjadi perengkahan termal bahan bakar

padat menjadi senyawa-senyawa CO, CO2,CH4, H2, H2O, tar dan arang. Gas-gas
yang terbentuk pada tahap pirolisis akan menjadi reaktan pada tahap oksidasi dan

tahap reduksi. Kebutuhan bahang untuk tahap piroiisis dipenuhi oleh bahan reaksi

reduksi dan oksidasi. Semakin besar difusivitas bahan melalui laju pemanasan

bahan akan semakin tinggi, berarti laju pirolisis akan semakin tinggi. Sehingga

laju pembentukan gas akan semakin tinggi.


o
Pirolisis pada temperatur 200 C hanya uap air yang dilepaskan.

Sedangkan pada temperatar 200-280 oC, CO2, asam asetat, dan uap air drlepaskan.

Proses pirolisis pada temperatur 280-500 oC menghasilkan gas dalam jumlah yang

besar. Pada temperatur 500-700 oC gas yang dihasilkan lebih sedikit dan

mengandung hidrogen. Proses pirolisis yang terjadi pada molekul tratubara dapat

dilihat pada Gambar 4. Pemanasan terhadap partikel batubara menyebabkan

pemutusan ikatan kimia dan ikatan yang lemah diikuti ikatan yang lebih kuat.

Pada tahap pertama ikatan hidrogen terputus dan batubara melembek yang disebut

metaplasth (Riswan, dkk, 2013).

Gambar 4. Perubahan Struktur Molekul Penyusun Batubara Selama Proses

Pirolisis

(Sumber : Riswan, dkk, 2013)


2.8 Biochar

Biochar merupakan arang berpori yang diberikan ke sistem tanah dan

tanaman sebagai bahan pembenah tanah. Proses pembuatan biochar hampir sama

dengan arang yang umumnya digunakan sebagai bahan bakar. Biochar dihasilkan

dari proses pirolisis atau pembakaran bahan organik dalam kondisi oksigen yang

terbatas. Berbeda dengan bahan organik, biochar tersusun dari cincin karbon

aromatis sehingga lebih stabil dan tahan lama di dalam tanah (Maguire dan

Aglevor, 2010).

Sebagai bahan pembenah tanah, biochar banyak digunakan untuk

mengatasi permasalahan pada tanah. Aplikasi biochar dapat meningkatkan pH

pada tanah masam (Solaiman dan Anawar, 2015), meningkatkan KTK tanah

(Tambunan, et al, 2014), menyediakan unsur hara N, P dan K (Schnell, et al.

2011). Biochar menjaga kelembaban tanah sehingga kapasitas menahan air tinggi

(Endriani, et al, 2013) dan meremediasi tanah yang tercemar logam berat seperti

(Pb, Cu, Cd dan Ni) (Ippolito, et al. 2012). Selain itu, pemberian biochar pada

tanah juga mampu meningkatkan pertumbuhan serta serapan hara pada tanaman

(Satriawan dan Handyanto, 2015).

Kualitas biochar ditentukan oleh proses pembuatan dan bahan bakunya.

Biochar dapat diproduksi dari berbagai bahan yang mengandung lignin selulosa,

seperti kayu, sisa tanaman (jerami padi, sekam padi, tandan kosong kelapa sawit

dan limbah sagu) dan pupuk kandang (Maguire dan Aglevor, 2010). Penggunaan

biochar sebagai amandemen, diharapkan mampu mengatasi permasalahan pada

tanah Ultisol. Tanah ultisol memiliki sebaran yang luas dan banyak digunakan

dibidang pertanian. Masalah tanah Ultisol seperti pH tanah yang rendah, kadar
bahan organik rendah, unsur hara seperti N, P dan K rendah dan kemantapan

agregatnya yang lemah, dapat menggangu pertumbuhan tanaman

(Notohadiprawiro, 2006).

Atas dasar fungsi biochar terhadap tanah dan salah satu penentu kualitas

biochar adalah bahan baku, maka perlu dilakukan percobaan pemanfaatan biochar

dari bahan baku jerami padi, tandan kosong kelapa sawit, kulit durian dan kotoran

sapi, kemudian diaplikasikan dan diuji pada tanah Ultisol dan tanaman jagung.

Banyak bahan dapat digunakan sebagai bahan baku, termasuk lumpur,

bahan tanaman dan pupuk kandang. Meski penggunakan arang (biochar kayu)

sudah ada dan sudah umum sejak penelitian pertama, ide untuk menggunakan

bahan baku yang lain untuk memproduksi biochar baru relatif tidak dieksplorasi.

Biasanya biochar memiliki pertukaran kation dan basa, biochar memiliki banyak

manfaat potensial pada sifat tanah sebagai peningkatan aktivitas biologis tanah

(Paz-Ferreiro,dkk. 2014), Mengurangi hasil emisi gas rumah kaca dari sumber

pertanian dan dengan demikian meningkatkan penyerapan karbon tanah karena isi

muatan bentuk karbon yang kuat (Gasco, dkk. 2012). Perubahan yang disebabkan

oleh penambahan biochar ke tanah akan menyebabkan perubahan kualitas tanah

(Paz-Ferreiro, dkk. 2014).

2.8.1 Mekanisme Interaksi antara Biochar dan Logam Berat

Karakteristik biochar dapat dilihat dari faktor jenis bahan baku, ukuran

partikel bahan, suhu dan kondisi pirolisa. Berbagai karakteristik yang mungkin

dimiliki oleh biochar , beberapa bahan baku tertentu lebih cocok daripada bahan

baku yang lain untuk menyerap logam berat yang berbeda. Karena itu, saat

memilih biochar untuk tujuan remediasi tidak hanya tipe tanah dan karakteristik
tetapi juga pada bahan biochar. Adapun hal lain yang mempengaruhi sifat dari

biochar seperti luas permukaan, pH, abu dan karbon agar dapat menangulangi

logam berat secara efektif (Lima, dkk. 2014).

Salah satu karakteristik biochar adalah memiliki luas permukaan besar,

dimana kapasitas tinggi untuk logam berat di permukaannya. Permukaan

penyerapan logam berat pada biochar telah ditunjukkan pada penelitian

menggunakan mikroskop elektron scanning (Beesley dan Marmiroli, 2011).

Adsorpsi ini bisa disebabkan interaksi logam berat dengan kelompok fungsional

yang berbeda dalam biochar, karena pertukaran logam berat dengan kation yang

terkait dengan biochar, seperti Ca+2 dan Mg+2 , K+, Na+ dan S (Uchimiya, dkk.

2011), atau karena adsorpsi fisik (Lu et al., 2012). Oksigen juga sebagai kelompok

fungsional untuk menstabilkan logam berat di permukaan biochar, khususnya

untuk asam yang lebih lembut seperti Pb,, Cd, Fe, Mn, Cr dan Cu.

Selain itu, Méndez et Al. (2009) mengamati bahwa penyerapan Cu+ 2

berhubungan dengan permukaan beroksigen tinggi dan juga dengan diameter pori,

kerapatan muatan superfisial yang tinggi dan Ca+2 dan Mg+2 bertukar kandungan

dengan biochar. Mekanisme Adsorpsi sangat tergantung pada jenis tanah dan

kation pada biochar dan tanah. Beberapa komponen terdapat dalam abu, seperti

karbonat, fosfat atau sulfat, juga dapat membantu menstabilkan logam berat

dengan pengendapan dari senyawa ini dengan polutan.

Alkalinitas biochar juga dapat menjadi tanggung jawab, sebagian

konsentrasi yang lebih rendah dari logam berat yang tersedia ditemukan di

biochar pada tanah. Nilai pH yang lebih tinggi setelah penambahan biochar dapat

menyebabkan presipitasi logam berat di tanah. pH biochar meningkat dengan


suhu pirolisa, yang telah dikaitkan dengan proporsi yang lebih tinggi dari

kandungan abu. Biochar juga bisa mengurangi mobilitas logam berat,

penambahan biochar dapat menyebabkan transformasi Cr+6 ke Cr+3 berkurang.

Stabilisasi logam berat dalam tanah dengan penerapan biochar dapat melibatkan

sejumlah mekanisme, karena diilustrasikan pada Gambar. 3.

Gambar 5. Gambaran Mekanisme Penyerapan Logam Berat oleh Biochar

(Sumber: Lu, dkk, 2012)

Pada gambar di atas memberikan contoh mekanisme penyerapan Pb2+ oleh

lumpur biochar yang dapat mencakup, bursa Pb2+ dengan Ca2+, Mg2+, dan kation

lainnya yang ada pada biochar, yang terpresipitasi bersama dan kompleksasi

innersphere dengan kompleks materi humat dan oksida - oksida mineral dari

biochar, kompleksasi permukaan logam berat dengan gugus fungsional yang

berbeda, dan kompleksasi dengan mineral oksida hidroksil bebas dan mengendap

pada permukaan lainnya, fisik adsorpsi innersphere dan presipitasi permukaan

yang berkontribusi terhadap stabilisasi Pb.


2.8.2 Studi Tentang Pengaruh Biochar pada Logam Berat Tanah

Potensi penggunaan biochar untuk menghilangkan daya toksisitas logam

berat pada limbah tambang telah di lakukan oleh banyak peneliti diantara; Fellet

et al. (2011), dengan menggunakan biochar yang berasal dari sampah kebun di

empat level pemberian biochar (0%, 1%, 5%, dan 10%) pada limbah tambang).

Hasilnya terjadi peningkatan pH, tukar kation kapasitas, dan kapasitas

daya pegang air meningkat seiring dengan peningkat jumlah biochar yang

diberikan dan terjadi penurunan bioavailabilitas Cd, Pb, dan Zn, dan Cd memiliki

penurunan terbesar. Biochar tangkai kapas untuk menghilang Cd-tercemar pada

tanah dan mengurangi penyerapan Cd oleh kubis dan hasil menujukan bahwa

biochar tangkai kapas dapat mengurangi bioavailabilitas tanah Cd melalui

adsorpsi atau co-presipitasi.

Table 2. Studi yang mempertimbangkan pengaruh aplikasi biochar pada logam

berat tanah

No Bahan/suhu Jenis Tanah Logam berat Referensi

1. Limbah Lumpur Haplic Cu, Ni, Zn, Cd,

Cambisol Pb Méndez,dkk. 2012

2. Sekam padi, jerami

padi dan dedak (400


o
C)

Technosol As, Cd, Pb, Zn Zheng, dkk 2012

As, Cd, Cr,


3. lumpur (550 ◦ C) Chromosol Hossain, dkk 2010
Cu, Pb , Ni,
Se, Zn,

Sb, B, Ag, Ba,

Be, Co, Sn, Sr

4. Serasah (350 dan Abruptic Uchimiya, dkk.

700 ◦C) Durixeralfs Cu, Cd, Ni 2010

5. lumpur (550 ◦ C) Cu, Pb, Zn Sizmur, dkk. 2011

6. Kotoran ayam (550


0
C), limbah dedaunan

(550 oC)

Cd, Cu, Pb Park, dkk. 2011

7. Limbah hutan (600–

800 ◦C) Peat Cu Buss, dkk. 2012

8. Campuran kayu keras Beesley dan

(400 ◦C) As, Cd, Zn Marmiroli, 2011

9. Campuran kayu keras

(400 ◦C) Technosol Pb, Cu Karami, dkk. 2011

As, Cd, Cu, Pb, Namgay, dkkl.

10. Eucalyptus Zn 2010

11. Tepung gandum

(350–550 ◦C) Technosol Cd Cui, dkk. 2011


12. Tepung gandum

(350–550 ◦C) Technosol Cd Cui, dkk. 2012

13. Jerami padi Ultisol Cu, Cd, Pb Jiang, dkk. 2012

14. Kotoran ayam (550



C), sampah hutan

(550 oC) Cd, Pb Park, dkk. 2013

15. Limbah kertas bekas

tinta (300 dan 500 ◦C) Vertisol Ni Méndez,dkk. 2014

Pada Tabel 2. menunjukkan ringkasan singkat penelitian terbaru tentang

efek biochar pada logam berat pada tanah. Fellet dkk. (2011) mencoba

menggunakan biochar untuk memperbaiki tambang multikontaminasi tanah.

Penambahan biochar tidak mengakibatkan penurunan total. Namun, kandungan

logam berat dari tanah, bagaimanapun penambhan biochar mengurangi

bioavailabilitas Cd, Pb dan Zn dan mobilitasnya (diukur dengan menggunakan

percobaan pelindian) dari Cd, Cr dan Pb.

2.9 Spektrofotometer

Spektrometer adalah alat untuk mengukur transmitasi atau absorbansi

suatu contoh sebagai fungsi panjang gelombang. Pengukuran terhadap suatu

deretan contoh pada suatu panjang gelombang tunggal mungkin juga dapat
dilakukan. Alat–alat demikian dapat dikelompokkan baik sebagai manual atau

perekam, maupun sebagai sinar tunggal atau sinar rangkap. Dalam praktek, alat-

alat sinar tunggal biasanya dijalankan dengan tangan dan alat–alat sinar rangkap

biasanya menonjolkan pencatatan spektrum absorbsi, tetapi adalah mungkin untuk

mencatat stau spectrum dengan satu alat tunggal (Day dan Underwood, 1989).

Benda-benda bercahaya seperti matahari atau bola lampu listrik

memancarkan suatu spektrum luas terdiri dari banyak panjang gelombang.

Panjang gelombang itu yang berhubungan dengan cahaya tampak mampu

mempengaruhi retina manusia dan karenanya menyebabkan kesan-kesan subjektif

pada penglihatan. Apabila suatu cahaya putih yang mengadung seluruh spektrum

panjang gelombang melewati suatu kaca berwarna atau suatu larutan kimia yang

jernih terhadap panjang gelombang tertentu tetapi menyerap yang lainnya, maka

medium seakan-akan berwarna bagi pengamat. Karena hanya gelombang-

gelombang yang dipancarkan yang mencapai mata, maka panjang gelombangnya

yang menetapkan warna dari medium (Day dan Underwood, 1990).

Spektrofotometri dapat dianggap sebagai perluasan suatu pemeriksaan

visual, yang dengan studi lebih mendalam dari absorpsi energi radiasi oleh

macam-macam zat kimia memperkenalkan dilakukannya pengukuran ciri-cirinya

serta kuantitatifnya dengan ketelitian yang lebih besar. Dalam penggunaan jaman

sekarang istilah spektrofotometri mengingatkan pengukuran berapa jauh energi

radiasi diserap oleh suatu sistem sebagai fungsi panjang gelombang dari radiasi,

maupun pengukuran terisolasi pada suatu panjang gelombang tertentu. Prinsipnya

cahaya saat mengenai larutan bening akan mengalami dua hal yaitu transmisi dan

absorbs.
Tabel 3. Spektrum tampak dan warna-warna komplementer

Panjang
Warna Warna komplementer
gelombang (nm)

400-435 Ungu Kuning kehijauan

435-480 Biru Kuning

480-490 Hijau kebiruan Oranye

490-500 Biru kehijauan Merah

500-560 Hijau Merah ungu

560-580 Kuning kehijauan Ungu

580-595 Kuning Biru

595-610 Oranye Hijau kebiruan

610-750 Merah Biru kehijauan

(Sumber: Day dan Underwood, 1990)

Cara kerja spektrofotometer secara singkat adalah sebagai berikut.

Tempatkan larutan pembanding, misalnya blanko dalam sel pertama sedangkan

larutan yang akan dianalisis pada sel kedua. Kemudian pilih fotosel yang cocok

200 nm-650 nm (650 nm-1100 nm) agar daerah λ yang diperlukan dapat terliputi.

Dengan ruang fotosel dalam keadaan tertutup “nol” galvanometer dengan

menggunakan tombol dark-current. Pilih yang diinginkan, buka fotosel dan

lewatkan berkas cahaya pada blanko dan “nol” galvanometer didapat dengan

memutar tombol sensitivitas. Dengan menggunakan tombol transmitansi,

kemudian atur besarnya pada 100%. Lewatkan berkas cahaya pada larutan sampel
yang akan dianalisis. Skala absorbansi menunjukkan absorbansi larutan sampel

(Khopkar, 2010).

2.9.1 Spektrofotometer Serapan Atom

Spektrofotometer serapan atom merupakan metode yang memanfaatkan

fenomena penyerapan energi sinar oleh atom netral dalam bentuk gas sebagai

dasar pengukuran dan sangat tepat digunakan utuk analisis zat pada konsentrasi

rendah. Atom-atom bebas bisa dihasilkan dengan cara menyemprotkan sampel

yang berupa larutan atau suspensi dalam nyata. Besarnya kecepatan analik

ditentukan dari besarnya penyerapan berkas sinar garis resonansi yang melewati

nyala.

Cara analisis ini selain atomisasi dengan nyala dapat pula dilakukan

dengan tanpa nyala (flamelles atomizer), yaitu dengan menggunakan energi listrik

dengan batang karbon (Carbon Rod atomizer) atau bahkan apnya saja seperti pada

analisis merkuri. Dalam SSA dengan nyala biasanya terdapat empat jenis nyala

yang digunakan sebagai bahan bakar SSA yaitu :

1. Acetylene-udara, campuran ini banyak digunakan dalam SSA (35 unsur)

suhu yang dihasilkan oleh campuran ini adalah 2300-2400oC dengan

burning vellocity+160 cm/det

2. Nitrous oksida- Acetylene, campuran ini dapat menghasilkan nyala dengan

panas +3200oC tetapi burning vellocity nya cukup besar yaitu +220 cm/det

3. Udara-hidrogen

4. Argon-udara-hidrogen (Suryana,2001)

Metode AAS berprinsip pada absorpsi cahaya oleh atom-atom.Atom-atom

menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat
unsurnya. Misalkan natrium menyerap pada 589 nm, uranium pada 358,5 nm,

sedang kalium pada 766,5 nm. Cahaya pada panjang gelombang ini mempunyai

cukup energi untuk mengubah tingkat elektronik suatu atom.Transisi elektronik

suatu unsur bersifat spesifik.Dengan absorpsi energi, berarti memperoleh lebih

banyak energi, suatu atom pada keadaan dasar dinaikkan tingkat energinya ke

tingkat eksitasi.Tingkat-tingkat eksitasinya pun bermacam-macam.Kita dapat

memilih diantara panjang gelombang ini yang menghasilkan garis spektrum yang

tajam dengan intensitas maksimum.Inilah yang dikenal dengan garis resonansi.

Spektrum atomik untuk masing-masing unsur terdiri atas garis-garis

resonansi. Garis-garis lain yang bukan resonansi dapat berupa spektrum yang

berasosiasi dengan tingkat energi molekul, biasanya berupa pita-pita lebar ataupun

garis tidak berasal dari eksitasi tingkat dasar yang disebabkan proses

atomisasinya. Bagian-bagian AAS adalah sebgai berikut (Day dan Underwood,

1989).

a. Lampu katoda

Lampu katoda merupakan sumber cahaya pada AAS.Lampu katoda

memiliki masa pakai atau umur pemakaian selama 1000 jam. Lampu katoda pada

setiap unsur yang akan diuji berbeda-beda tergantung unsur yang akan diuji,

seperti lampu katoda Cu, hanya bisa digunakan untuk pengukuran unsur Cu.

Lampu katoda terbagi menjadi dua macam, yaitu :

Lampu Katoda Monologam :Digunakan untuk mengukur satu unsur.

Lampu Katoda Multilogam :Digunakan untuk pengukuran beberapalogam

sekaligus.
b. Tabung gas

Tabung gas pada AAS yang digunakan merupakan tabung gas yang berisi

gas asetilen.Gas asetilen pada AAS memiliki kisaran suhu ± 2000oK, dan ada juga

tabung gas yang berisi gas N2O yang lebih panas dari gas asetilen, dengan kisaran

suhu ± 3000oK. Regulator pada tabung gas asetilen berfungsi untuk pengaturan

banyaknya gas yang akan dikeluarkan, dan gas yang berada di dalam tabung.

Spedometer pada bagian kanan regulator merupakan pengatur tekanan yang

berada di dalam tabung.Gas ini merupakan bahan bakar dalam Spektrofotometri

Serapan Atom.

c. Burner

Burner merupakan bagian paling terpenting di dalam main unit, karena

burner berfungsi sebagai tempat pancampuran gas asetilen, dan aquabides, agar

tercampur merata, dan dapat terbakar pada pemantik api secara baik dan merata.

Lobang yang berada pada burner, merupakan lobang pemantik api.

d. Monokromator

Berkas cahaya dari lampu katoda berongga akan dilewatkan melalui celah

sempit dan difokuskan menggunakan cermin menuju monokromator.

Monokromator dalam alat SSA akan memisahkan, mengisolasi dan mengontrol

intensitas energi yang diteruskan ke detektor. Monokromator yang biasa

digunakan ialah monokromator difraksi grating.

e. Detektor

Detektor merupakan alat yang mengubah energi cahaya menjadi energi

listrik, yang memberikan suatu isyarat listrik berhubungan dengan daya radiasi

yang diserap oleh permukaan yang peka.Fungsi detektor adalah mengubah energi
sinar menjadi energi listrik, dimana energi listrik yang dihasilkan digunakan untuk

mendapatkan data. Detektor AAS tergantung pada jenis monokromatornya, jika

monokromatornya sederhana yang biasa dipakai untuk analisa alkali, detektor

yang digunakan adalah barier layer cell. Tetapi pada umumnya yang digunakan

adalah detektor photomultiplier tube. Photomultiplier tube terdiri dari katoda yang

dilapisi senyawa yang bersifat peka cahaya dan suatu anoda yang mampu

mengumpulkan elektron. Ketika foton menumbuk katoda maka elektron akan

dipancarkan, dan bergerak menuju anoda. Antara katoda dan anoda terdapat

dinoda-dinoda yang mampu menggandakan elektron. Sehingga intensitas elektron

yang sampai menuju anoda besar dan akhirnya dapat dibaca sebagai sinyal listrik.

Untuk menambah kinerja alat maka digunakan suatu mikroprosesor, baik pada

instrumen utama maupun pada alat bantu lain seperti autosampler.

f. Sistem pembacaan

Sistem pembacaan merupakan bagian yang menampilkan suatu angka atau

gambar yang dapat dibaca oleh mata.

g. Ducting

Ducting merupakan bagian cerobong asap untuk menyedot asap atau sisa

pembakaran pada AAS, yang langsung dihubungkan pada cerobong asap bagian

luar pada atap bangunan, agar asap yang dihasilkan oleh AAS, tidak berbahaya

bagi lingkungan sekitar. Asap yang dihasilkan dari pembakaran pada

spektrofotometry serapan atom (AAS), diolah sedemikian rupa di dalam ducting,

agar asap yang dihasilkan tidak berbahaya.

Kelebihan dari metoda SSA yaitu memiliki kepekaan dan ketelitian yang

tinggi karena dapat mengukur kandungan logam dengan satuan ppm, analisisnya
cepat, memerlukan sampel sedikit dan dapat digunakan untuk menentukan kadar

logam yang konsentrasinya kecil tanpa dipisahkan terlebih dahulu

(Khopkar,2010).

2.10 Hukum Bouger dan Lambert

Lambert pada tahun (1760) menerapkan hubungan antara intensitas warna

dari larutan dengan keadaan larutan jika dilalui oleh suatu sinar. Hukum yang

sama telah dikemukakan oleh Bouger pada tahun (1792). Menurut Bouger dan

Lambert kekuatan transmitasi suatu larutan berkurang secara geometrik (eksponen

dan logaritma) seperti dinyatakan oleh persamaan berikut:

T = 10 –a.b.c dimana T = transmitan

a = tetapan absorpsivitas

b = jarak yang ditempuh sinar dalam larutan

c = konsentrasi

Persamaan ini dapat ditulis dalam bentuk logaritma sebagai berikut:

log T = log P/P0

= -a.b.c

2.11 Hukum Lambert-Beer

Kombinasi hukum Bouger-Lambert dan Beer ditulis sebagai berikut:


𝑃𝑡
T= = 10 –a.b.c
𝑃𝑜

1 𝑃
log (𝑇) = log ( 𝑃0 ) = a.b.c = A
𝑡

sehingga:A = a . b. c atau dalam keadaan lain dapat dituliskan

A = ε. b. c

Dimana A = absorbansi
a = tetapan absorpsivitas

ε = koefisien ekstingsi molar

b = tebal kuvet yang dilalui sinar (cm)

c = konsentrasi (mg/L) atau (mol/L)

Tebal kuvet yang dilalui sinar (b) dan konsentrasi (c) adalah faktor yang

sangat menentukan bagi harga absorbansi sehingga harus ditunjukkan secara

jelas.Jika konsentrasi dalam prosedur analisis dinyatakan sebagai mol/L (molar)

maka tetapan disebut absorpsivitas molar (ε).Akan tetapi bila konsentrasi

dinyatakan sebagai gram/L maka tetapan disebut absorpsivitas (a) (Underwood,

1990).

You might also like