You are on page 1of 18

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN


DENGAN DIAGNOSA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF AKUT (PPOK)
DI BANGSAL MELATI 4 RSUP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN

Tugas Mandiri
Stase Praktek Keperawatan Medikal Bedah

Disusun oleh:
ANIS RAHMAWATI
16/406305/KU/19311

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

A. Pengertian
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai
oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau
reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya. Bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk
kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut -
turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Emfisema adalah Suatu kelainan anatomis paru
yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan
dinding alveoli (PDPI, 2003).
The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD) tahun 2014
mendefinisikan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebagai penyakit respirasi kronis
yang dapat dicegah dan dapat diobati, ditandai adanya hambatan aliran udara yang
persisten dan biasanya bersifat progresif serta berhubungan dengan peningkatan respons
inflamasi kronis saluran napas yang disebabkan oleh gas atau partikel iritan tertentu.
Eksaserbasi dan komorbid berperan pada keseluruhan beratnya penyakit pada seorang
pasien (Soeroto, 2014)
B. Anatomi Fisiologi Paru
Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian samping dibatasi
oleh otot dan rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat.
Paru-paru ada dua bagian yaitu paru-paru kanan (pulmo dekster) yang terdiri atas 3 lobus
dan paru-paru kiri (pulmo sinister) yang terdiri atas 2 lobus.
Paru-paru dibungkus oleh dua selaput yang tipis, disebut pleura. Selaput bagian
dalam yang langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura dalam (pleura
visceralis) dan selaput yang menyelaputi rongga dada yang bersebelahan dengan tulang
rusuk disebut pleura luar (pleura parietalis).
Antara selaput luar dan selaput dalam terdapat rongga berisi cairan pleura yang
berfungsi sebagai pelumas paru-paru. Cairan pleura berasal dari plasma darah yang
masuk secara eksudasi. Dinding rongga pleura bersifat permeabel terhadap air dan zat-
zat lain.
Paru-paru tersusun oleh bronkiolus, alveolus, jaringan elastik, dan pembuluh darah.
Paru-paru berstruktur seperti spon yang elastis dengan daerah permukaan dalam yang
sangat lebar untuk pertukaran gas.
Di dalam paru-paru, bronkiolus bercabang-cabang halus dengan diameter ± 1 mm,
dindingnya makin menipis jika dibanding dengan bronkus. Bronkiolus ini memiliki
gelembung-gelembung halus yang disebut alveolus. Bronkiolus memiliki dinding yang
tipis, tidak bertulang rawan, dan tidak bersilia.
Gas memakai tekanannya sendiri sesuai dengan persentasenya dalam campuran,
terlepas dari keberadaan gas lain (hukum dalton). Bronkiolus tidak mempunyi tulang
rawan, tetapi rongganya masih mempunyai silia dan di bagian ujung mempunyai
epitelium berbentuk kubus bersilia. Pada bagian distal kemungkinan tidak bersilia.
Bronkiolus berakhir pada gugus kantung udara (alveolus).
Alveolus terdapat pada ujung akhir bronkiolus berupa kantong kecil yang salah satu
sisinya terbuka sehingga menyerupai busa atau mirip sarang tawon. Oleh karena
alveolus berselaput tipis dan di situ banyak bermuara kapiler darah maka memungkinkan
terjadinya difusi gas pernapasan (Smeltzer & Bare, 2008)

C. Etiologi
PPOK dapat disebabkan oleh dua faktor dibawah ini (Davey, 2006):
1. Faktor lingkungan: merokok merupakan penyebab utama, disertai risiko tambahan
akibat polutan udara di tempat kerja atau di dalam kota. Sebagian pasien memiliki
asma kronis yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati
2. Genetik: defisiensi α1 – antitripsin merupakan predisposisi untuk berkembangnya
PPOK dini.

D. Faktor Risiko
Beberapa hal berikut ini merupakan faktor risiko penyebab seseorang terkena penyakit
PPOK, diantaranya (PDPI, 2003) :
1. Merokok. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan
riwayat merokok perlu diperhatikan riwayat merokok dan derajat berat merokok.
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja (partikel berbahaya)
3. Hipereaktiviti bronkus
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia
6. Usia
7. Status sosioekonomi
E. Patogenesis
Merokok menyebabkan hipertrofi kelenjar mukus bronkial dan meningkatkan produksi
mukus, menyebabkan batuk produktif. Pada bronkitis kronis (batuk produktif > 3
bulan/tahun selama > 2 tahun) perubahan awal terjadi pada saluran udara yang kecil.
Selain itu, terjadi destruksi jaringan paru disertai dilatasi rongga udara distal (emfisema),
yang menyebabkan hilangnya elastic recoil. Hiperinflasi, terperangkapnya udara dan
peningkatan usaha untuk bernafas, sehingga terjadi sesak nafas. Dengan berkembangnya
penyakit kadar CO2 meningkat dan dorongan respirasi bergeser dari CO2 ke hipoksemia.
Jika oksigen tambahan menghilangkan hipoksemia, dorongan pernafasan juga mungkin
akan hilang, sehingga memicu terjadinya gagal nafas. (Davey, 2005)
Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel
goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema
ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding
alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema (PDPI, 2003; Soeroto &
Suryadinata, 2014):
1. Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer,
terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama
2. Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan
terbanyak pada paru bagian bawah
3. Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal,
duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan
struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan
hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.
F. Tanda dan Gejala
Menurut Devay tahun 2005 adanya gejala batuk dan napas pendek yang bersifat
progresif lambat dalam beberapa tahun pada perokok atau mantan perokok cukup untuk
menegakkan diagnosis. Beratnya penyakit ditentukan berdasarkan derajat obstruksi
saluran pernafasan (volume ekspirasi paksa 1 detik (FEV1) :
- Penyakit ringan : FEV1 60-80% dari perkiraan usia/ jenis kelamin – batuk,
dispnea minimal, pemeriksaan fisis minimal
- Penyakit sedang: FEV1 40-50% - batuk, sesak nafas saaat aktivitas yang tidak
terlalu berat, mengi, hiperinflasi, dan penurunan udara yang masuk
- Penyakit berat: FEV < 40 % - batuk, sesak nafas saat aktivitas ringan; tanda-
tanda PPOK sedang dan kemungkinan gagal nafas serta kor pulmonal
Gejala yang paling sering terjadi pada pasien PPOK adalah sesak napas. Sesak
napas juga biasanya menjadi keluhan utama pada pasien PPOK karena terganggunya
aktivitas fisik akibat gejala ini. Sesak napas biasanya menjadi komplain ketika FEV1
<60% prediksi. Pasien biasanya mendefinisikan sesak napas sebagai peningkatan usaha
untuk bernapas, rasa berat saat bernapas, gasping, dan air hunger. Batuk bisa muncul
secara hilang timbul, tapi biasanya batuk kronis adalah gejala awal perkembangan
PPOK. Gejala ini juga biasanya merupakan gejala klinis yang pertama kali disadari oleh
pasien. Batuk kronis pada PPOK bias juga muncul tanpa adanya dahak (Soeroto &
Suryadinata, 2014).
G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah (PDPI, 2003):
1. Gagal napas
- Gagal napas kronik
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH
normal, penatalaksanaan :
a. Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
b. Bronkodilator adekuat
c. Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
d. Antioksidan
e. Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :
a. Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
b. Sputum bertambah dan purulent
c. Demam
d. Kesadaran menurun
2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik
ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit
darah
3. Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal
jantung kanan
H. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
• Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i leher
dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
• Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
• Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorong ke bawah
• Auskultasi
- Suara napas vesikuler normal, atau melemah
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
- Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh
2. Pemeriksaan rutin
a. Faal paru
• Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya
PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
• Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter.
-Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE <
20% nilai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
b. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
c. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi dissertai hilangnya batas paru serta jantung tampak kecil (Davey,
2005)
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
• Normal
• Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
3. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
a. Faal paru
-Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total
(KPT), VR/KRF,
VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
b. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
c. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK
terdapat hipereaktiviti
bronkus derajat ringan
d. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison
atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2 minggu yaitu
peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada
PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian
kortikosteroid
e. Analisis gas darah
pada hipoksemia kronis kadar hemoglobin bisa meningkat (Davey, 2005). AGD
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
f. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
-Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula
yang tidak
terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
g. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.
h. Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
i. bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi
diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang
tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi
akut pada penderita PPOK di Indonesia.
j. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia
muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi (PDPI, 2003; Davey, 2005):
1. Edukasi
skala priority bahan edukasi sebagai berikut :
a. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK
ditegakkan
b. Pengunaan obat - obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau kalau
perlu
saja )
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
c. Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
d. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
e. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
f. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
g. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
2. Obat – obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ). Pemilihan
bentuk obat diutamaka inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan
jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (
slow release ) atau obat berefek panjang ( long acting ).
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti
uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator
meningkat > 20% dan minimal 250 mg
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin, makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid baru
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.
3. Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel
baik di otot maupun organ - organ lainnya.
4. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas
akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat
berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di
ruang ICU atau di rumah.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
- ventilasi mekanik dengan intubasi
- ventilasi mekanik tanpa intubasi
5. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energy akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena
hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi
malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat
penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah
6. Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki
kualiti hidup penderita PPOK Penderita yang dimasukkan ke dalam program
rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang
disertai :
- Simptom pernapasan berat
- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
- Kualiti hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim
multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog.
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan
latihan pernapasan.
J. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada pasien BPH dengan menggunakan
diagnosa NANDA antara lain adalah:
1) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus,
bronkokontriksi dan iritan jalan napas.
2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi
3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan
kebutuhan oksigen.
4) Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan posisi.
5) Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan
upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.

.
NO DIAGNOSA NOC NIC
1 Pola nafas tidak efektif(00032) Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Respiratory monitoring (3350)
berhubungan dengan : ........... pola nafas efektif dengan kriteria hasil:  Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
 Hiperventilasi/ Hipoventilasi Status respiratori ventilasi (0403) Pasang mayo bila perlu
 Penurunan energi/kelelahan Status respirasi : kepatenan jalan napas (0410)  Lakukan fisioterapi dada
 kerusakan/kelemahan muskulo-skeletal Status tanda vital (0802)  Ajarkan bagaimana batuk efektif
 Kelelahan otot pernafasan  Klien mampu mendemonstrasikan batuk efektif  Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
 Nyeri,kecemasan,obesitas dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan  Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
 Disfungsi neuromuskuler dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, tambahan
 Injuri tulang belakang mampu bernafas dg mudah, tidak ada pursed lips)  Berikan bronkodilator
 Klien menunjukkan kepatenan jalan nafas (klien  Berikan pelembab udara
Data subyektif tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi  Atur intake cairan .
 Dyspneu pernafasan dalam rentang normal)  Monitor respirasi dan status 02
 . …………………………..  Tidak ada suara nafas abnormal  Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
 ……………………………  HR klien dalam kisaran :  Pertahankan kepatenan jalan napas.
0– 3 bln : 85 -200 x/mt  Informasikan pada pasien dan keluarga tentang
Data obyektif 3 bl-2 th : 100–190x/mt tehnik relaksasi untuk memperbaiki pola nafas.
 Penurunan tekanan inspirasi/ekspirasi 2 th-10 th : 60-140 x/mt
 Monitor adanya kecemasan pasien terhadap
 Penurunan pertukaran udara per menit  Respirasi Rate klien dalam kisaran : oksigenasi
 Menggunakan otot pernafasan < 1 th 30 -40x/ mt  Monitor vital sign
tambahan 2 th - 5 th 20-30 x/mt  Observasi adanya tanda hipoventilasi
 Orthopnea/dyspneu/bradypneu 5 th-12 th 15 -20 x/mt
 Pernafasan pursed-lips > 12 th 12 –16 x/mt
 Ekspirasi berlangsung lama
 Penurunan kapasitas vital Respirasi
 .................................................

2 Gangguan Pertukaran Gas (00030) Respiratory status: gas exchange(0402) Manajemen jalan nafas (3140)
definisi: kelebihan atau defisit pada Keseimbangan asam basa, eletrolit(0600)  buka jalan dengan nafas dengan teknik chin lift atau jaw
oksigenasi dan/atau eliminasi karbondioksida Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama... gangguan thrusrt
pada membram alveolar-kapiler pertukaran gas pasien teratasi dengan kriteria hasil:  Beri posisi ventilasi maksimal
 Status mental dalam batas normal  Identifikasi perlunya intubasi
berhubungan dengan :
 Tidakada sianosis  Pasang nasoparingeal bila dibutuhkan
 Ketidakseimbangan perfusi ventilasi  Tidak ada sesak nafas  Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
 Perubahan membrane kapiler-alveoli  Tidak somnolen
Data subjektif :  Monitor status respirasi adekuat
 PaO2 dalam batas normal 
 Dispnea Kolaborasi brokodilator
 PaCO2 dalam batas normal 
 Gangguan penglihatan Kolaborasi nebulazier
 Ph arteri dalam batas normal
 Sakit kepala ketika bangun
 Saturasi O2 dalam batas normal Manajemen asam basa (1910)
Data objektif :  Nadi dalam bats normal  Pertahankan kepatenan jalan nafas
 Penurunan karbondioksida  Respirasi dalam bats normal  Monitor AGD dan elektrolit
 Takikardi  Sodium, potasium, calcium, magnesium,  Monitor status hemodinamik
 Hiperkapnea albumin,creatinin Bun, Ph urin dalam bats normal  Beri posisi ventilasi adekuat
 Kelelahan  Monitor tanda gagl nafas
 Somnolen  Beri oksigen
 Iritabilitas  Monotor kepatenan respirasi
 Hipoksia  Monitor keseimbangan elektrolit
 Kebingungan
 AGD abnormal
 Sianosis
 Warna kulit abnormal(pucat, kehitam-
hitamna)
 Hipoksemia
 Hierkarbia
 Abnormal frek, irama, kedalaman napas
 Abnormal Ph arteri
 Nafas cuping hidung
3 Intoleransi aktivitas(00092) Setelah dilakukan asuhan keperawatan Terapi aktifitas
Berhubungan dengan : selama…….............intoleransi aktifitas klien  Tentukan penyebab intoleransi aktifitas
 Tirah baring atau imobilisasi teratasi, dengan kriteria hasil :  Berikan periode istirahat saat beraktifitas
 Kelemahan menyeluruh Konservasi energi
 Ketidakseimbangan antara suplei  Istirahat dan aktifitas klien seimbang  Pantau respon kerja kardiopulmonal sebelum dan
oksigen dan kebutuhan  Klien mengetahui keterbatasan energinya setelah aktifitas
 Klien mengubah gaya hidup sesuai tingkat  Minimalkan kerja kardiopulmonal
Data subyektif energi  Tingkatkan aktifitas secara bertahap
 Melaporkan secara verbal adanya
 Klien memelihara nutrisi yang adekuat  Ubah posisi pasien secara perlahan dan monitor
kelelahan atau kelemahan.
 Persediaan energi klien cukup untuk gejala intoleransi aktifitas
 Adanya dyspneu atau
ketidaknyamanan saat beraktivitas.
beraktifitas  Ajarkan klien teknik mengontrol pernafasan saat
Toleransi aktifitas
 ……………………………………… aktifitas.
…………………………………  Saturasi oksigen dalam batas normal/dalam  Monitor dan catat kemampuan untuk
respon aktifitas
mentoleransi aktifitas
 HR klien dalam kisaran :
Data obyektif
0– 3 bln : 85 -200 x/mt
 Monitor intake nutrisi untuk memastian
 Respon abnormal dari tekanan kecukupan sumber energi
darah atau nadi terhadap aktifitas 3 bl-2 th : 100–190x/mt
2 th-10 th : 60-140 x/mt  Kolaborasi dengan fisioterapis untuk peningkatan
 Perubahan ECG : aritmia, iskemia level aktifitas
 ………………………………………  Respirasi Rate klien dalam kisaran :
………………………………… < 1 th 30 -40x/ mt
2 th - 5 th 20-30 x/mt
5 th-12 th 15 -20 x/mt
> 12 th 12 –16 x/mt
 Tekanan darah dalam respon aktifitas

Gangguan pola tidur (00198) Tidur Sleep Enhancement


berhubungan dengan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama  tentukan pola tidur dan aktivitas klien
 suhu dan kelembaban ambient .....................kecemasan klien teratasi dengan kriteria hasil:
 buat perencanaan bersama klien pola tidur dan bangun
 perubahan paparan siang dan malam  Jumlah jam tidur sesuai usia missal dewasa : 7 jam klien
 tidak ada kesulitan untuk memulai tidur
 interupsi : untuk pengobatan, monitoring  tidur tidak terganggu
 monitor pola dan lama tidur klien
tes lab
 tidak ada apneu selama tidur  sesuaiakan lingkungan (cahaya, suara, kelembaban,
 kurangnya privasi tidur  tidak ada mimpi buruk kebersihan) untuk mempermudah tidur
 pencahayaan  tidak ada nocturia  dukung klien melakukan kebiasaan sebelum tiudr
 suara berisik  instruksikan klien menghindari makanan dan minuman
 bau tidak enak yang menyulitkan tidur
 restraint fisik  intruksikan bagaimana relaksasi otot
 partner tidur  berikan massase jika perlu
 dukung tidur siang untuk memenuhi kebutuhan tiudr
Data subyektif
 mengatakan tidak bisa beristirahat
dengan baik
 merasa tidak nyaman dengan tidur
 melaporkan sering terbangun
 melaporkan sulit jatuh tertidur
Data obyektif
 Perubahan pola tidur normal
 Berkurangnya kemampuan untuk
melakkan fungsinya

Kurang perawatan diri Perawatan diri: ADL (0300) Bantuan perawatan diri (1800)
 Makan (00102) Setelah dilakukan asuhan keperawatan  Sediakan bantuan sampai klien mandiri sepenuhnya.
 Mandi (00108) selama……..................................kurang perawatan  Dorong klien untuk melakukan aktivitas sehari hari
 Berpakaian/berhias (00109) diri klien teratasi dengan kriteria hasil: yang normal sesuai kemampuan yang dimiliki.
 Toileting (00110)  Klien mampu melakukan pemenuhan kebutuhan  Dorong untuk melakukan aktifitas secara mandiri,
Berhubungan dengan: perawatan diri berkaitan dengan makan, tetapi beri bantuan ketika klien tidak mampu
 Gangguan perceptual dan kognisi berpakaian, toileting, mandi, kebersihan diri, dan melakukannya.
 Kelemahan ambulasi dengan bantuan minimal.  Ajarkan keluarga untuk mendorong kemandirian
 Kerusakan neuromuskuler  Klien terbebas dari bau badan klien, untuk memberikan bantuan hanya jika klien
 Kerusakan muskuloskeletal  Klien menyatakan kenyamanan terhadap tidak mampu untuk melakukannya.
 Penurunan motivasi kemampuan untuk melakukan ADLs  Pertimbangkan usia klien saat meningkatkan
 Hambatan lingkungan aktivitas perawatan diri
 Ketidakmampuan mencapai bagian  Susun rutinitas perawatan diri
tubuh  Monitor kemampuan klien untuk perawatan diri
 Nyeri secara mandiri
 Monitor kebutuhan klien akan alat-alat bantu untuk
 Kecemasan berat kebersihan diri, berpakaian, berhias, toileting dan
Data subyektif makan.
....................................................................
....................................
Data obyektif
 Tidak mampu mandi
 Tidak mampu berhias/berpakaian
 Tidak mampu makan
 Badan berbau
 Ketidakmampuan toileting
 ............................................................
DAFTAR PUSTAKA.

Bulecheck, G.M., Butcher, H.K., Dochterman, J.M. 2008. Nursing Intervention


Classification (NIC), 5th edition. United States: Mosby.
Davey, P. 2005. At A Glance Medicine. Jakarta: Erlangga
Herdman, T. H., Kamitsuru, S. 2015. NANDA International Nursing Diagnoses: Definition
& Classification 2015-2017. Oxford: Wiley Blakwell.
Moorhead, S., Johnson, M., Mass, M.L., Swanson, E. 2008. Nursing Outcomes
Classification (NOC), 4th edition. United States: Mosby.
PDPI. 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan Di Indonesia. Diakses pada
www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf pada tanggal 6 Februari
2017 pukul 10.30 WIB
Soeroto, A.Y. & Suryadinata, H. 2014. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Ina J Chest Crit
and Emerg Med. Vol. 1, No. 2
Smeltzer, C. S. & Bare, G. B. 2008. Brunner & Suddarth’s Texbook of Medical-Surgical
Nursing11th Edition. Philadelpia: Lippincot Williams & Wilkins

You might also like