You are on page 1of 2

Sepi Pun Menari di Tepi Hari

24 suara

Kabar gembira datang pagi hari.

Selasa, 19 Agustus 1997. Di hadapan lebih dari 500 undangan yang memenuhi Aula
Serbaguna RW 18, Kelurahan Pondok Petir, pinggir selatan ibukota, telah dinikahkan
secara resmi Ir Gulian Putra Ariandaru, M.A, 29 tahun, dengan Arsih, 22 tahun.

Senyum itu. Misteri.

Daun bibirnya yang penuh, menggurat garis lunak di atas dagunya yang hampir tepat
setengah lingkaran. Seperti menyatakan dari kejauhan: hidup itu empuk. Karena itu,
salahmu sendiri jika kau tak dapat tidur nyenyak. Lalu, matanya menipis ketika
bibir itu terbuka perlahan, seperti tawanya yang mengalun. Selesailah dunia! Dengan
garis-garis wajah yang tertarik kuat dan wajar seperti itu, perempuan akan mengisi
tatapan kosong setiap lelaki. Perempuan yang menciptakan jarak setiap langkah.
Perempuan-perempuan Picasso yang merambati gelap dengan cahayanya.

Namanya Arsih. Kujumpai pertama, kedua, dan ketiga kalinya selalu di pertengahan
pertunjukan wayang kulit. Ketika punakawan muncul hanya untuk menihilkan awal dan
akhir cerita. Suara tawanya, entah kenapa, mengejutkan dan membuatku segera
berpaling ke arahnya. Suara itu mengembang dan mengambang seperti langkah tak
berjejak dan memaksaku tersenyum. “Itu, Arsih. Anak Yu Katiyem.” Sudri, informan
dalam kerja risetku, menyahut cepat pertanyaanku. “Baru 20 tahun,” sambungnya.
Entah dengan maksud apa.

Pertemuan kelima di panggung dangdut. Kami berkenalan. Bapaknya petani palawija,


ibunya membuka kios gado-gado. Aku meraih master enam bulan kemudian. Tiga tahun
berikutnya, kami, aku dan Arsih, hampir memiliki anak. Kandungannya lemah, ia gugur
hanya karena Arsih bersepeda ke pasar.

Dia? Ah, biasa saja. Anak kota. Gayanya. Bajunya selalu putih, mentereng. Jadi,
kelihatannya bersih terus. Ngomongnya juga di-sopan-sopanin. Biar lancar
kerjaannya. Kerjaannya apa sih? Nyatet melulu, kayak juru tulis kelurahan. Aku tahu
dia sering melirik aku. Sejak wayang Petruk Dadi Ratu-nya kiai Sumprit, dalang edan
itu. Kenalan? Aku dipaksa Mbakyu Tumi. Kan ndak ada ruginya, kata Mbakyu.

Mauku, mau mbok dan bapakku, kawin di kampung. Cara kawin di kota, aku gak ngerti.
Gak kerasa. Tapi, sudahlah. Mas Guli memang baik. Aku mau apa saja dikasih.
Kebetulan, kata Mbakyu Tumi. Porotin saja, katanya. Aku gak mau. Bukan ndak setuju,
tapi males saja. Tapi, Mas Guli jarang di rumah. Temanku pembantu. Lebih dari
teman. Seperti saudara. Lebih dekat dari Mas Guli sendiri.

Aku nonton video porno, diajak Yu Ti, pembantu. Juga gambar-gambar asli. Asli
bener. Aku kok jadi pusing. Gak tahan. Minum pil dan tidur. Mimpi ndak? tanya Yu
Ti. Enggak tuh. Enak gak tidurnya? Biasa saja, tuh. Mau nonton lagi? Enggak dulu.
Tak bikinin jamu, ya? Buat apa, Yu? Perempuan tiga puluhan itu tersenyum. Ke dapur,
membuat jamu. Tidak kuminum sampai esoknya. Ini jamu siapa, kata Mas Guli saat
datang agak malam. Yu Ti, kataku gugup. Bibir Mas monyong. Dia lihat agak lama
gelas jamu itu. Lalu, pergi mandi.

Lebih tiga tahun perkawinan, kami belum sukses memproduksi anak. Dia sudah lima
kali keguguran. Dokter bilang, sudah sulit sekali. Dan aku tak menunggu mukjizat.
Aku tak percaya keajaiban, terutama kalau berhubungan denganku. Usaha keras, hanya
itu prinsip hidupku. Begitu aku bekerja. Entah untuk apa. Karier? Uang? Gengsi?
Rasanya bukan. Sekadar kewajiban. Termasuk, utamanya, kewajiban memenuhi hajat dan
keinginan istriku. Arsih tidak banya minta, melalui mulutnya. Tapi, lewat sudut
mata dan sikap tubuhnya. Aku harus mengerti apa yang ia mau. Selendang biru, tempat
tidur baru, piring makan, penyejuk udara, kiriman tambahan orangtuanya, modal
dagang mbakyunya, atau sandal jepit dari Jepang, katanya.

Entah dari mana ia tahu itu semua. Hampir sebagian besar permintaannya tak
terpakai. Dia tetap Arsih. Daster kembang, rambut digulung atau kepang, dan radio
wayang kulit. Juga tentu televisi, melulu dua program: India dan dangdut. Stasiun
teve seperti setia meladeninya. Bicara? Hampir seluruh topik adalah

You might also like