You are on page 1of 29

Farmakodinamik

Pengertian farmakodinamika dalam ilmu farmakologi sebenarnya memiliki hubungan


yang cukup erat dengan farmakokinetik yang lebih fokus kepada perjalanan obat-obatan di
dalam tubuh maka farmakodinamik lebih fokus membahas dan mempelajari seputar efek
obat-obatan itu sendiri di dalam tubuh baik dari segi fisiologi maupun biokimia berbagai
organ tubuh serta mekanisme kerja obat-obatan itu sendiri di dalam tubuh manusia.
Kurva Kadar Obat dalam Plasma vs Waktu
Kurva ini didapat kalo kita ngukur konsentras obat dalam cuplikan plasma pada berbagai
waktu. trus diplotin jd kurva.

Waktu sebagai variabel bebas (karena kita yang nentuin ngambil kapan) ada di sumbu x

Konsentrasi obat sebagai variabel tergantung ada di sumbu y

Beberapa parameter yang harus kita perhatikan dalam grafik ini:

1. MEC atau Minimum Effect Concentration merupakan kadar minimal yang harus dicapai
obat agar berefek. Jika konsentrasi obat masih dibawa MEC maka obat belum berefek

2.MTC atau Minimum Toxic Concentration merupakan kadar dimana obat mulai bersifat
toksis bagi tubuh.

3. Therapeutic Range merupakan konsentrasi dimana obat berefek dalam batas yang aman
dan tidak toksik. beberapa obat seperti digoksin memiliki therapeutic range yang sempit
sehingga dalam pengobatan harus berhati-hati karena jika berlebihan dapat menyebabkan
toksisitas

4. Onset merupakan waktu dimana obat mulai berefek atau memasuki MEC

5. t max merupakan waktu dimana kadar obat dalam plasma sampai pada puncaknya

6. Cmax merupakan kadar maksimum yang dapat dicapai obat pada plasma

7. AUC atau Area Under Curve menunjukkan jumlah obat di dalam plasma

8. Duration of Action menunjukkan rentang waktu dimana obat berefek (memasuki MEC)
sampai tidak berefek (turun dari MEC)
Selain itu ada pula yang disebut Frekuensi Pemberian. Frekuensi Pemberian merupakan jarak
(interval) antar pemberian obat.

Dari grafik di atas dapat kita lihat:

1. Jika frekuensi pemberian kecil berarti eliminasi obat lebih lambat

2. Jika tan alfa dari grafik (kadar/waktu) lebih besar, berarti eliminasi lebih cepat

3. Jika t1/2 (waktu dimana obat tereliminasi 1/2nya) lebih kecil (cepat). berati eliminasinya
lebih cepat

obat yg t1/2nya kecil lebih cepet dieksresiin daripada obat dengan t1/2 lebih gede (lama)

Parameter Farmakokinetik
merupakan besaran yang diturunkan secara matematis dari hasil pengukuran obat atau
metabolit aktif dalam darah atau urin.

Parameter farmakokinetik dibagi menjadi:

1. Parameter primer

Merupakan parameter yang harganya dipengaruhi secara langsung oleh variabel fisiologis,
yaitu:

a.) Clearance (Cl) menunjukkan berapa banyak urin yang dikeluarkan per waktu /
kemampuan mengeliminasi (satuannya: volume/waktu)

parameter ini dipengaruhi oleh ginjal.

Rumus : Cl = Konstanta eliminasi (Ke) x Vd (Volume distribusi)

b.) Volume distribusi (Vd) menggambarkan volume teoritis dimana obat terdistribusi pada
plasma darah

Rumus: Vd = Dosis (Do) dibagi Cpo (kadar) <- hanya untuk 1 kompartemen terbuka

c.) Tetapan Kecepatan absorbsi (Ka) dipengaruhi oleh enzim, luas permukaan, fili dan
fisiologi usus

2. Parameter sekunder

dipengaruhi oleh parameter primer

a.) waktu paruh (t1/2) Jika terjadi gangguan pada ginjal yang menyebabkan clearance
terganggu maka waktu paruh juga terpengaruh
Jika Clearance naik maka t1/2 turun -> karena obat cepet dieksresi

Jika Clearance turun maka t1/2 naik -> karena obat lama dieksresi

3. Parameter turunan

parameter ini dipengaruhi oleh parameter primer, sekuinder maupun besaran lain

misalnya

Area Under Curve (AUC) yang dipengaruhi oleh Clearance. Jika fungsi eliminasi turun
maka AUC akan naik dan sebaliknya.

Model Farmakokinetik
Model farmakokinetik diperlukan sebagai model yang menggambarkan distribusi obat

1. Model Mammillary

merupakan model yang paling umum digunakan.

terdiri dari satu / lebih kompartemen perifer yang dihubungkan ke kompartemen sentral

Kompartemen sentral mewakili jaringan2 yang kesetimbangan obatnya cepat terjadi


Ka menunjukkan tetapan laju absorpsi

2. Model Caternary

Model ini terdiri atas kompartemen2 yang berderet

bedanya dengan moel Mammilliary:

Model Mammiliary terdiri atas kompartemen2 perifer yang mengelilingi kompartemen


sentral.

Sementara model Caternary tidak menunjukkan hal tersebut


Sehingga model caternary tidak banyak digunakan

3. Model Fisiologik

Dikenal juga sebagai model aliran darah atau model perfusi

merupakan model farmakokinetik yang didasarkan atas data anatomik dan fisiologik

Metode ini lebih akurat tapi ribet

Hukum Michaelis Menten


intinya sih hukum ini menunujukkan model kinetika enzim

S menunjukkan jumlah substrat

V menunjukkan kecepatan reaksi

Pada saat kita ngasih obat, kecepatan reaksi akan naik perlahan2 karena obat itu gandeng
substrat.

Jika kita ngasih substrat terus2an maka grafik akan lurus. mengapa? karena jumlah enzim itu
terbatas!

g bisa gandeng setiap substrat yang kita kasih.

pada saat substrat belum jenuh, maka akan ada sebuah garis lurus (linier) itulah dimana reaksi
orde 1 digambarkan terjadi
sementara saat enzim sudah tidak bisa gandeng lagi dan mencapai vmax (saturasi) itulah
reaksi orde nol

Perbedaan antara orde 1 dan nol

Zero order

1. t1/2 tergantung dosis

2. eliminasi jenuh (saturasi)

3. Non linier farmakokinetik

First order

1. t1/2 tidak tergantung dosis

2. Eliminasi non jenuh

3. Linier farmakokinetik

Persamaan orde 1 dan nol


langsung ditulis secara ringkasnya ya. kalo integral2nya bisa dibaca sendiri hehe

Persamaan2 mengikuti persamaan garis y = bx + a

dimana x merupakan t

b dan a tergantung dari ordenya

Persamaan reaksi orde 1

Ln At = Ln Ao – Kt

At = obat yang siap beraksi pada waktu ke t

Ao= obat yang siap beraksi mula2

K= tetapan kecepatan reaksi orde 1

t= waktu

sehingga

a=Ln Ao

b=K
*harga negatif menunjukkan arah kemiringan grafiknya

dari persamaan itu kita bisa ubah2:

K= (LnAo – LnAt) / t

seperti yang sudah kita ketahui bahwa reaksi orde satu waktu eliminasinya tidak tergantung
dosis, sehingga persamaan t1/2 nya:

t1/2 = 0,693 / K

Persamaan reaksi orde nol

At = Ao – kt

At = obat yang siap beraksi pada waktu ke t

Ao= obat yang siap beraksi mula2

K= tetapan kecepatan reaksi orde 1

t= waktu

dari persamaan itu kita bisa ubah2:

K= (Ao – At) / t

seperti yang sudah kita ketahui bahwa reaksi orde nol waktu eliminasinya tergantung dosis,
sehingga persamaan t1/2 nya:

t1/2 = Ao / 2Ko

Persamaan antara kedua orde itu sebenernya sama. Jd ngapalinnya kalo yg orde 1 cuma
ditambah ln kalo orde nol g usah.

sehingga

a=Ao

b=K

*harga negatif menunjukkan arah kemiringan grafiknya


farmakokinetika sediaan obat melalui rectal, parenteral, mata, paru-paru dan
kulit.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Obat dapat diberikan kepada pasien dengan berbagai cara, antara lain : peroral, perektal,
parenteral, topikal, dan lain-lain. Cara pemberian obat dipilih yang tepat agar efek obat atau hasil
pengobatan sesuai dengan yang diinginkan. Disamping itu, perlu dipahami dan dilaksanakan secara
benar oleh penderita. Oleh karenanya dokter penulis resep, perlu memberikan penjelasan secara
lisan kepada pasien, dan ditulis secara jelas dalam resep.

Berapa kali (frekuensi) obat diberikan, perlu mepertimbangkan faktor farmakokinetik obat,
bentuk sediaan yang dipilih, dan yang paling mudah dilaksanakan pasien, agar pasien semakin taat
mengikuti jadwal pemberian obat. Waktu yang tepat minum obat perlu diperhatikan, agar obat
memberikan efek yang optimal, aman, dan mudah diikuti pasien.

obat adalah zat yang digunakan untuk diagnosis, mengurangi rasa sakit, serta mengobati atau
mencegah penyakit pada manusia atau hewan. Obat dalam arti luas ialah setiap zat kimia yang dapat
mempengaruhi proses hidup, maka farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya.
Namun untuk seorang dokter, ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat untuk
maksud pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit. Selain itu, agar mengerti bahwa
penggunaan obat dapat mengakibatkan berbagai gejala penyakit.

Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umunya mengalami
absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian
dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini disebut
dengan proses farmakokinetika dan berjalan serentak.

Disamping faktor formulasi, cara pembarian obat turut menentukan kacepatan dan kelengkapan
resorpsi obat. tergantung pada efek yang diinginkan, yaitu efek sistemik (di seluruh tubuh) atau efek
local (setempat), keadaan pasien dan banyak cara untuk memeberikan obat antara lain melalui
rektum, mata, paru-paru, kulit dan parenteral yang akan dibahas dalam makalah ini.
1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain :

a. Untuk mengetahui biofarmasi sediaan obat melalui rectal, parenteral, mata, paru-paru dan
kulit.

b. Untuk dapat memahami berbagai sediaan obat yang diberikan melalui rectum, mata, paru-paru, kulit
dan parenteral

c. Untuk menyelesaikan tugas dari dosen Mata Kuliah Farmakologi dasar.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengantar Tentang Obat

Obat merupakan salah satu komponen yang tidak dapat tergantikan dalam pelayanan
kesehatan. Obat berbeda dengan komoditas perdagangan, karena selain merupakan komoditas
perdagangan, obat juga memiliki fungsi sosial. Obat berperan sangat penting dalam pelayanan
kesehatan karena penanganan dan pencegahan berbagai penyakit tidak dapat yang telah dituliskan
pada pengertian obat diatas, maka peran obat secara umum adalah sebagai berikut:

1) Penetapan diagnosa

2) Untuk pencegahan penyakit

3) Menyembuhkan penyakit

4) Memulihkan (rehabilitasi) kesehatan

5) Mengubah fungsi normal tubuh untuk tujuan tertentu

6) Peningkatan kesehatan

7) Mengurangi rasa sakit

a. Farmakokinetika

Farmakokinetika merupakan aspek farmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh yaitu
absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya(ADME). Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui
berbagai cara pemberian umunya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di
tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi
dari dalam tubuh. Seluruh proses ini disebut dengan proses farmakokinetika dan berjalan serentak.

1) Absorpsi dan Bioavailabilitas

Kedua istilah tersebut tidak sama artinya. Absorpsi, yang merupakan proses penyerapan obat
dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan
dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih penting
ialah bioavailabilitas. Istilah ini menyatakan jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang
mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini terjadi karena untuk obat-obat tertentu,
tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sestemik. Sebagaian
akan dimetabolisme oleh enzim di dinding ususpada pemberian oral dan/atau di hati pada lintasan
pertamanya melalui organ-organ tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme atau eliminasi
lintas pertama (first pass metabolism or elimination) atau eliminasi prasistemik. Obat demikian
mempunyai bioavailabilitas oral yang tidak begitu tinggi meskipun absorpsi oralnya mungkin hampir
sempurna. Jadi istilah bioavailabilitas menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi
sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi lintas pertama ini dapat
dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral (misalnya lidokain), sublingual (misalnya
nitrogliserin), rektal, atau memberikannya bersama makanan.

2) Distribusi

Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain
tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat
dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi
segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal,
dan otak. Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya
tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan lemak. Distribusi ini baru
mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang interstisial jaringan terjadi
karena celah antarsel endotel kapiler mampu melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di
otak. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam
otak, sedangkan obat yang tidak larut dalammlemak akan sulit menembus membran sel sehingga
distribusinya terbatas terurama di cairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada
protein plasma, hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan
obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar
proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena
adanya defisiensi protein.

3) Biotransformasi / Metabolisme

Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi
dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar,
artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi
melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat
berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif,
atau tidak toksik. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan oleh enzim
biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut dan/atau diekskresi
sehingga kerjanya berakhir. Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan
berdasarkan letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma
halus (yang pada isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan enzim non-mikrosom. Kedua macam
enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain
misalnya ginjal, paru, epitel, saluran cerna, dan plasma.

4) Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil
biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat
daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang
terpenting. Ekskresi disini merupakan resultante dari 3 proses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi
aktif di tubuli proksimal, dan rearbsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal. Ekskresi obat melalui
ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu diturunkan atau intercal pemberian
Bersihan kreatinin dapat dijadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah
yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan
sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu. Rambut pun dapat digunakan
untuk menemukan logam toksik, misalnya arsen,pada kedokteran forensik.

b. Farmakodinamika

Farmakodinamika mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia berbagai organ
tubuh serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti
efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta
spektrum efek dan respon yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar
terapi rasional dan berguna dalam sintesis obat baru.

1) Mekanisme Kerja Obat

Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu organisme.
Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang
merupakan respons khas untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan komponen makromolekul
fungsional yang mencakup 2 konsep penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan
kegiatan faal tubuh. Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya
memodulasi fungsi yang sudah ada. Walaupun tidak berlaku bagi terapi gen, secara umum konsep ini
masih berlaku sampai sekarang. Setiap komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai
reseptor obat, tetapi sekelompok reseptor obat tertentu juga berperan sebagai reseptor yang ligand
endogen (hormon, neurotransmitor). Substansi yang efeknya menyerupai senyawa endogen disebut
agonis. Sebaliknya, senyawa yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara
kompetitif efek suatu agonis di tempat ikatan agonis (agonist binding site) disebut antagonis.

2) Reseptor Obat

Struktur kimia suatu obat berhubunga dengan afinitasnya terhadap reseptor dan aktivitas
intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya perubahan stereoisomer, dapat
menimbulkan perubahan besar dalam sidat farmakologinya. Pengetahuan mengenai hubungan
struktur aktivitas bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru, sintesis obat yang rasio
terapinya lebih baik, atau sintesis obat yang selektif terhadap jaringan tertentu. Dalam keadaan
tertentu, molekul reseptor berinteraksi secara erat dengan protein seluler lain membentuk sistem
reseptor-efektor sebelum menimbulkan respons.

3) Transmisi Sinyal Biologis

Penghantaran sinyal biologis ialah proses yang menyebabkan suatu substansi ekstraseluler
(extracellular chemical messenger) menimbulkan suatu respons seluler fisiologis yang spesifik.
Sistem hantaran ini dimulai dengan pendudukan reseptor yang terdapat di membran sel atau di
dalam sitoplasmaoleh transmitor. Kebanyakan messenger ini bersifat polar. Contoh, transmitor
untuk reseptor yang terdapat di membran sel ialah katekolamin, TRH, LH. Sedangkan untuk reseptor
yang terdapat dalam sitoplasma ialah steroid (adrenal dan gonadal), tiroksin, vit. D.

4) Interaksi Obat-Reseptor

Ikatan antara obat dan reseptor misalnya ikatan substrat dengan enzim, biasanya merupakan
ikatan lemah (ikatan ion, hidrogen, hidrofobik, van der Waals), dan jarang berupa ikatan kovalen.

5) Antagonisme Farmakodinamika

Secara farmakodinamika dapat dibedakan 2 jenis antagonisme, yaitu antagonisme fisiologik


dan antagonisme pada reseptor. Selain itu, antagonisme pada reseptor dapat bersifat kompetitif
atau nonkompetitif. Antagonisme merupakan peristiwa pengurangan atau penghapusan efek suatu
obat oleh obat lain. Peristiwa ini termasuk interaksi obat. Obat yang menyebabkan pengurangan
efek disebut antagonis, sedang obat yang efeknya dikurangi atau ditiadakan disebut agonis. Secara
umum obat yang efeknya dipengaruhi oleh obat lain disebut obat objek, sedangkan obat yang
mempengaruhi efek obat lain disebut obat presipitan.

6) Kerja Obat yang tidak Diperantarai Reseptor

Dalam menimbulkan efek, obat tertentu tidak berikatan dengan reseptor. Obat-obat ini
mungkin mengubah sifat cairan tubuh, berinteraksi dengan ion atau molekul kecil, atau masuk ke
komponen sel.

7) Efek Obat

Efek obat yaitu perubahan fungsi struktur (organ)/proses/tingkah laku organisme hidup
akibat kerja obat.
2.1 Sediaan Obat Melalui Rektum

Penggunaan rute rektal untuk obat adalah untuk tujuan memperoleh efek lokal dan efek
sistemik. Bentuk sadiaan obat yang digunakan adalah larutan, supositoria dan salep. Penggunaan
salep pada rektum dimaksudkan untuk efek local, sedang berupa yang larutan digunakan untuk
larutan pembersih.

Penggunaan salep pada rektum dimaksudkan untuk efek lokal dan sistemik. Pengunaan salep
rektal umumnya terbatas pada keadaan setempat. Bila supusitoria dimasukan kedalam rektum maka
akan melunak atau larut dalam cairan rektum. Rektum dan kolom mampu menyerap banyak obat
yang diberikan secara rektal untuk tujuan memperoleh efek sistemik, hal ini dapat menghindari
perusakan obat atau obat menjadi tidak aktif karena pengaruh lingkungan perut dan usus. Juga
memberi obat per-rektal dilakukan bila pasien muntah atau sulit menelan obat.

Absorpsi pemakaian melalui Rektum, obat yang di absorpsi melalui rektal beredar dalam
darah tidak melalui hati dulu hingga tidak mengalami detoksikasi atau bio-transformasi yang
mengakibatkan obat terhindar dari tidak aktif, karena bagian yang di absorpsi dalam 2/3 bagian
bawah rektum langsung mencapai vena cava inferior dan tidak melalui vena porta. Akan tetapi
kuosien absopsi umumnya jelas lebih rendah dari pada pemakaian secara oral dan di samping itu
terdapat penyimpangan dalam individu dan antar individu.

Kerugiaan pemberian obat melalui rectum adalah tidak menyenangkan dan absorpsi obatnya
tidak teratur dan sukar diramalkan. Cara penggunaannya melalui dubur atau anus. Tujuannya
mempercepat kerja obat serta sifatnya lokal dan sistemik. Obat oral sulit/tidak dapat dilakukan
karena iritasi lambung, terurai di lambung, terjadi efek lintas pertama. Contoh, asetosal,
parasetamol, indometasin, teofilin, barbiturat.

2.2 Sediaan Obat Melalui Mata

larutan dan suspensi untuk mata adalah sediaan berair yang steril, dengan kualitas lain, yang
penting untuk keamanan dan kesenangan pasien. Salep mata harus steril dan juga bebas dari
butiran-butiran yang kasar. Sediaan untuk mata biasanya tidak digunakan untuk efek sistemik
walaupun sediaan untuk mata diabsorpsi dalam jumlah besar.

Absorpsi pemakaian pada mata, Pada pemakaian pada mata, sejauh obat harus menembus
bagian dalam mata, baik struktur lipofil maupun struktur hidrofil harus ditembusi. Epitel kornea dan
endotel kornea berfungsi sebagai pembatas lipofil, sedangkan hanya zat-zat hidrofil yang dapat
berdifusi melalui stroma. Dengan demikian kondisi penembusan akan sangat menguntungkan untuk
obat apabila obat tersebut menunjukkkan sifat lipofil dan hidrofil bersama-sama. Ini terutama terjadi
pada asam lemah dan basa lemahyang sebagian dalam bentuk tak terionisasi sehingga bersifat larut
dalam lemak dan sebagian dalam bentuk terionisasi sehingga bersifat larut dalam air.

2.3 Sediaan Obat Melalui Paru-paru

Paru-paru merupakan daerah absorpsi yang baik pada penggunaan sediaan gas atau kabut
dari aerosol dengan pertikel yang sngat halus dari cairan atau padatan. Gas yang digunakan
terutama adalah oksigen dan obat-obat enestetika umum yang biasa diberikan kepada pasien yang
akan di operasi karena adanya daerah kapiler dan alveoli paru-paru yang luas dapat mengabsorpsi
obat dan member efek secara cepat. Ukuran partikel dapt menentukan kemampuaan penetrasinya
kedalam alveoli paru-paru. Makin kecil ukuran partikel makin tinggi ukuran penetrasinya.

Absorpsi melalui paru-paru, Yang cocok untuk absorpsi melalui paru-paru ialah terutama zat
dalam bentuk gas. Walaupun paru-paru dengan luas permukaan alveolarnya yang besar (70-100m2)
mampu juga mengabsorpsi cairan dan zat padat, aerosol berfungsi terutama untuk terapi lokal
dalam daerah saluran pernafasan (misalnya pengobatan asma bronkhus).

Gas, zat terbang, atau larutan sering kali diberikan dengan inhalasi (aerosol), yaitu obat yang
disemprotkan ke dalam mulut dengan alat aerosol. semprotan obat dihirup dengan udara dan
diresorpsi terjadi oleh mukosa mulut, tenggorokan dan saluran nafas. tanpa melalui hati obat
dengan cepat memasuki peredaran darah dan menghasilkan efeknya.

Mengenai partikel obat ukurannya sebagian besar menentukan kedalaman penetrasi obat
kedalam alveoli daya melarutnya, tingkat mana obat tersebut diabsorpsi. Setelah kontak dengan
permukaan bagian dalam dari paru-paru, partikel obat yang tidak larut ditahan dalam lendir dan
bergerak ke atas dalam btang paru-paru jarena kerja dari rambut-rambut yang halus. Partikel obat
yang dapat larut berukuran kira-kira 0,5 sampai 1,0 µ mencapai kantung-kantung alveoli yang sangat
kecil dan memberikan efek sistemik yang paling cepat dan efisien. Partikel-partikel yang lebih kecil
dari 0,5 µ berakhir pada beberapa tingkatan, jadi absorpsinya tidak sempurna tapi bervariasi.
Partikel-pertikel dengan ukuran 1 sampai 10 µ mencapai akhir dari bronkiole dengan efektif dan
kebeberapa bagian saluran alveolar dan membantu pengobatan setempat.

2.4 Sediaan Obat Melalui Kulit

Penggunaan obat untuk kulit dimaksudkan untuk efek local tidak untuk sistemik. Bentuk
sediaan yang digunakan untuk kulit adalah salep, krim, pasta dengan basis yang bermacam-macam
dan mempunyai sifat yang bermacam-macam seperti hidrofil suka air atau hidrofob. Tiap obat
menghendaki basis yang cocok dan tidak ada basis yang bersifat umum karena ini berhubungan
dengan sifat fisika dan kimia obat dengan basis. Basis harus mudah melepaskan obatnya bila salep
digunakan pada kulit agar obat dapat diserap melalui kulit.

Sediaan farmasi yang digunakan pada kulit adalah untuk memberi aksi lokal dan aksinya
dapat lama pada tempat yang sakit dan sedikit mungkin diabsorpsi. Oleh karena itu sediaan untuk
obat biasanya pemakaian pada kulit digunakan sebagai anti septik, anti fungi, anti inflamasi,
anestetik lokal, amolien, pelindung terhadap sinar matahari, udara dan iritasi zat kimia dan biasanya
bentuk sediannya berupa salep, krim dan pasta, sedangkan sediaan lain yang juga dugunakan adalah
berupa serbuk tabur, aerosol, semprot, larutan, lotion.

Bila diinginkan pemakaian topikal dalam bentuk cairan lain dari solution maka lotoilah yang
paling serimg digunakan. Lotio biasanya berupa suspensi dari bahan-bahan padat dalam suatu
pembawa air, walaupun emulsi-emulsi tertentu dan juga beberapa solution yang sesungguhnya,
diberi tanda sebagai lotio baik karena rupanya maupun karena pemakaiannya. Lotio mungkin lebih
disukai dripada sediaan semi solid karena sifatnya yang tidak berminyak dan kemampuan menyebar
yang ditingkatkan pada permukaan kulit yang luas.

Absorpsi pemakaian pada kulit, Absorpsi melalui kulit, yang secara fisiologi tidak memiliki
fungsi absorpsi, terjadi terutama transepidermal, disamping transfolikular, tapi kemampuan absorpsi
melalui kulit utuh mungkin lebih rendah dibandingkan melalui mukosa.

Stratum korneum yang tidak mengandung kapiler dengan kandungan air yang sangat sedikit
(sekitar 10%) merupakan sawar absorpsi tertinggi pada pemakaian pada kulit dimiliki oleh zat yang
terutama larut dalam lemak, yang masih menunjukkan sedikit larut dalam air. Zat hidrofil serta
lemak dan minyak hanya sedikit diabsorpsi oleh kulit. Sejumlah faktor dapat mempengaruhi absorpsi
kulit. Kenaikan suhu kulit menambahkan kemampuan penetrasi zat yang dipakai melalui kerja panas
dari luar. Demikian juga rangsangan yang menyebabkan hiperemi atau beberapa zat pelarut seperti
dimetilsulfoksid, dapat memperbaiki absorpsi. Pada daerah kulit yang meradang, jumlah absorpsi
dipertinggi.

Sratum korneum dan dengan demikian sawar absorpsi dapat sihilangkan oleh kerusakan
mekanis, kimia atau termal dari permukaan kulit pada cedera, melepuh atau terbakar. Selanjutnya
dibuktikan perbedaan absorpsi melalui kulit yang bergantung pada usia. Pada pemakaian topikal dari
salep yang mengandung glukukortikoidum pada eksem anak-anak seharusnya tidak digunakan
glukokortukoidum yang bekerja kuat. Demikian juga pada usia tua, ketebalan dari stratum korneum
rendah (kulit keras), karena itu berlaku aturan yang sama. Beberapa tahun yang lalu, kulit sebagai
organ absorpsi untuk obat-obat yang bekerja sistemik tak mempunyai arti yang besar, sekarang
dicoba dalam ukuran yang meningkat, dengan kemajuan bentuk-bentuk sediaan yang cocok, untuk
memanfaatkan kulit sebagai tempat pemberian.
Akan tetapi karena disini ketelapan kulit terbatas, hal ini hanya cocok untuk senyawa dengan
dosis rendah (dosis harian sampai 10mg), dan tampaknya pemakaian melalui kulit berguna hanya
jika bahan obat yang digunakan, disamping itu menunjukkan first pass effect yang tinggi dan atau
memiliki waktu paruh plasma rendah.
Kerja sistemik yang tidak diinginkan dapat terjadi pada pemakaian, misalnya
glukokortikoidum pada permukaan kulit yang luas, misalnya pemakaian perkutan secara luas obat
yang menyebabkan hiperemi, sebagai obat gosok, pada penyakit reumatik menyebabkan sedikit
hasil terapeutik yang diinginkan.
2.5 Sediaan Obat Melalui Parenteral
Istilah parenteral berasal dari bahasa Greek yaitu para yang berarti disamping, dan enteron
yang berarti luas, dimana keduannya menunjukkan sesuatu yang diberikan diluar dari usus dan tidak
melalui sistem saluran makanan. Istilah parental yang lain ialah injeksi. Parenteral adalah bahasa
latin yang artinya diluar usus.
Obat yang diberikan dengan cara perenteral adalah sesuatu yang disuntikan melalaui lubang
jarum yang runcing kedalam tubuh pada berbagai tempat dan dengan bermacam-macam
kedalaman.
Biasanya dipilih sediaan melalui parenteral bila diinginkan efek yang cepat, kuat dan lengkap
atau untuk obat yang merangsang atau dirusak oleh getah lambung (hormon), atau tidak di resorpsi
usus (streptomisin), begitu pula pada pasien yang tidak sadar atau tidak mau bekerja sama.
Keberatannya adalah lebih mahal dan nyeri, sukar digunakan oleh pasien sendiri. Selain itu, ada pula
bahaya terkena unfeksi kuman (harus steril) dan bahaya merusak pembuluh atau saraf jika tempat
suntikan tidak dipilih dengan tepat.
Sediaan obat melalui parenteral dapat diberikan melaui, antara lain :
a. Subkutan (hypodermal). Injeksi dibawah kulit dapat dilakukan hanya dengan obat yang tidak
merangsang dan melarut baik dalam air atau minyak. Efeknya tidak secepat injeksi intramuskular
atau intravena. Mudah dilakukan sendiri, misalnya insulin pada pasien penyakit gula.
b. Intrakutan (=di dalam kulit) absobsi sangat lambat, misalnya injeksi tuberkolin dari mantoux.
c. Intramuskular(i.m) dengan injeksi didalam otot, obat yang terlarut berlangsung dalam waktu 10-30
menit. Guna memperlambat resopsi dengan maksud memperpanjang kerja obat, sering kali
digunakan larutan atau suspensi dalam minyak, umpamanya suspensi penisilin dan hormon kelamin.
Tempat injeksi umumnya dipilih pada otot pantat yang tidak memiliki banyak pembuluh dan saraf.
d. Intravena (i.v) injeksi kedalam pembulih darah menghasilkan efek tercepat dalam waktu 18 detik,
yaitu waktu satu peredaran darah, obat sudah tersebar keseluruh jaringan. Tetapi lama kerja obat
biasanya hanya singkat. Cara ini digunakan untuk mencapai pentakaran yang tepat dan dapat
dipercaya, atau efek yang sangat cepat dan kuat. Tidak untuk obat yang tak larut dalam air atau
manimbulkan endapan dengan protein atau butiran darah.
Bahaya injeksi i.v adalah dapat mengakibatkan terganggunya zat-zat koloida darah dengan
reaksi hebat, karena dengan cara ini benda asing langsung dimasukkan ke dalam sirkulasi, misalnya
tekanan darah mendadak turun dan timbulnya shock. Bahaya ini lebih besar bila inkelsi dilakukan
terlalu cepat, sehingga kadar obat setempat dalam darah maningkat terlalu pesat. Oleh karena itu,
setiap injeksi i.v sebaiknya dilakukan dengan amat perlahan, antara 50 dan 70 detik lamanya.
e Intra-arteri, injeksi kepembuluh nadi adakalanya dilakukan untuk “membanjiri” suatu organ,
misalnya hati, dengan obat yang sangat cepat diinaktifkan atau terikat pada jaringan, misalnya obat
kanker nitrogenmustard..
f. Intralumbal (antara ruas tulang belakang pinggang), intraperitoneal (ke dalam ruang selaput perut),
intrapleural (selaput dada), intracardial (jantung), dan intra-artikuler(ke celah-celah sendi) adalah
beberapa cara injeksi lainnya untuk memasukkan obat langsung ke tempat yang diinginkan.
Absorpsi pada pemakaian parental, Pada pemberian obat secara parental ke dalam kulit,
jaringan ikat subkutan atau ke dalam otot,kecepatan absorbsi sangat tergantung sangat bergantung
kepada pasokan darah dari jaringan. Pasokan dari otot sebaliknya bergantung kepada aktifitas otot
yang bersangkutan. Apabila bahan aktif yang disuntikkan secara intra moskular umumnya diabsorbsi
dengan cepat dari otot serat lintang yang dialiri darah dengan baik, maka pada keadaan syok
absorpsi sangat menurun. Pada bagian kapiler, absorbs dipermudah oleh oleh pori endotel.karena
dinding kapiler demikian dengan jari-jari pori sekitar 3 µm merupakan suatu pembatas absorbsi yang
lebih lemah dari lapisan epitel maka zat yang tak larut lemak,atau hidrofil dapat juga berdifusi
dengan cepat melalui kapiler. Hal ini mungkin saja untuk senyawa dengan bobot molekul tinggi,
sebaiknya makromolekul tidak mampu menembus dinding kapiler.

Absorpsi melalui cara perenteral tidak saja lebih cepat dari sesudah pemberian oral, tapi
kadar obat dalam darah yang dihasilkan jauh lebih bisa diramalkan, karena sedikit yang hilang
sesudah penyuntikan subkutan atau intrmuskular dan benar-benar tidak ada yang hilang pada
penyuntikan intravena, secara umum ini juga memungkinkan pemberian dosis yang lebih cepat.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari hasil pembahasan terdahulu , maka dapat ditarik kesipulan bahwa Obat dapat diberikan
kepada pasien dengan berbagai cara, antara lain : peroral, perektal, parenteral, topikal, dan lain-lain.
Cara pemberian obat dipilih yang tepat agar efek obat atau hasil pengobatan sesuai dengan yang
diinginkan. Disamping itu, perlu dipahami dan dilaksanakan secara benar oleh penderita.

3.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka dapat disarankan sebagai berikut :

a. dokter penulis resep, perlu memberikan penjelasan secara lisan kepada pasien, dan ditulis secara
jelas dalam resep;
b. penderita perlu memahami dan melaksanakan dangan tepat pemberian obat yang digunakan dalam
pengobatan;
c. Pada pemberian melalui parenteral sebaiknya diperhatikan efek penggunaan yang diinginkan, cepat
atau lambat;

You might also like