Professional Documents
Culture Documents
Dasar-Dasar Teknologi Pengolahan Limbah Cair
Dasar-Dasar Teknologi Pengolahan Limbah Cair
Industri primer pengolahan hasil hutan merupakan salah satu penyumbang limbah cair yang
berbahaya bagi lingkungan. Bagi industri-industri besar, seperti industri pulp dan kertas,
teknologi pengolahan limbah cair yang dihasilkannya mungkin sudah memadai, namun tidak
demikian bagi industri kecil atau sedang. Namun demikian, mengingat penting dan besarnya
dampak yang ditimbulkan limbah cair bagi lingkungan, penting bagi sektor industri
kehutanan untuk memahami dasar-dasar teknologi pengolahan limbah cair.
Teknologi pengolahan air limbah adalah kunci dalam memelihara kelestarian lingkungan.
Apapun macam teknologi pengolahan air limbah domestik maupun industri yang dibangun
harus dapat dioperasikan dan dipelihara oleh masyarakat setempat. Jadi teknologi
pengolahan yang dipilih harus sesuai dengan kemampuan teknologi masyarakat yang
bersangkutan.
Berbagai teknik pengolahan air buangan untuk menyisihkan bahan polutannya telah dicoba
dan dikembangkan selama ini. Teknik-teknik pengolahan air buangan yang telah
dikembangkan tersebut secara umum terbagi menjadi 3 metode pengolahan:
1. pengolahan secara fisika
2. pengolahan secara kimia
3. pengolahan secara biologi
Untuk suatu jenis air buangan tertentu, ketiga metode pengolahan tersebut dapat
diaplikasikan secara sendiri-sendiri atau secara kombinasi.
Pemekatan
Flotasi
Tipe bertekanan
Tipe gravitasi
Filtrasi precoat
Ultra filter
Reverse osmosis
Dialisis elektris
Dewatering Filter vacuum rotasi
Filter tekan/press
Belt press
Proses flotasi banyak digunakan untuk menyisihkan bahan-bahan yang mengapung seperti
minyak dan lemak agar tidak mengganggu proses pengolahan berikutnya. Flotasi juga dapat
digunakan sebagai cara penyisihan bahan-bahan tersuspensi (clarification) atau pemekatan
lumpur endapan (sludge thickening) dengan memberikan aliran udara ke atas (air
flotation).
Proses filtrasi di dalam pengolahan air buangan, biasanya dilakukan untuk mendahului
proses adsorbsi atau proses reverse osmosis-nya, akan dilaksanakan untuk menyisihkan
sebanyak mungkin partikel tersuspensi dari dalam air agar tidak mengganggu proses
adsorbsi atau menyumbat membran yang dipergunakan dalam proses osmosa.
Proses adsorbsi, biasanya dengan karbon aktif, dilakukan untuk menyisihkan senyawa
aromatik (misalnya: fenol) dan senyawa organik terlarut lainnya, terutama jika diinginkan
untuk menggunakan kembali air buangan tersebut.
Teknologi membran (reverse osmosis) biasanya diaplikasikan untuk unit-unit pengolahan
kecil, terutama jika pengolahan ditujukan untuk menggunakan kembali air yang diolah.
Biaya instalasi dan operasinya sangat mahal.
Netralisasi
Pengolahan
Koagulasi & Flokulasi
Kimia - Fisik
Oksidasi dan/atau Reduksi
Oksidasi kimia/reduksi
Aerasi
Elektrolisis
Ozonisasi
UV
Adsorbsi Karbon aktif
Alumina aktif
Penukar ion Resin penukar kation
Resin penukar anion
Resin penukar anion
Zeolite
Koagulasi &
Pengendapan bahan tersuspensi yang tak mudah larut dilakukan dengan membubuhkan
elektrolit yang mempunyai muatan yang berlawanan dengan muatan koloidnya agar terjadi
netralisasi muatan koloid tersebut, sehingga akhirnya dapat diendapkan. Penyisihan logam
berat dan senyawa fosfor dilakukan dengan membubuhkan larutan alkali (air kapur
misalnya) sehingga terbentuk endapan hidroksida logam-logam tersebut atau endapan
hidroksiapatit. Endapan logam tersebut akan lebih stabil jika pH air > 10,5 dan untuk
hidroksiapatit pada pH > 9,5. Khusus untuk krom heksavalen, sebelum diendapkan sebagai
krom hidroksida [Cr(OH)3], terlebih dahulu direduksi menjadi krom trivalent dengan
membubuhkan reduktor (FeSO4, SO2, atau Na2S2O5).
Penyisihan bahan-bahan organik beracun seperti fenol dan sianida pada konsentrasi rendah
dapat dilakukan dengan mengoksidasinya dengan klor (Cl 2), kalsium permanganat, aerasi,
ozon hidrogen peroksida.
Pada dasarnya kita dapat memperoleh efisiensi tinggi dengan pengolahan secara kimia,
akan tetapi biaya pengolahan menjadi mahal karena memerlukan bahan kimia.
Pengolahan aerob
Pengolahan
Proses lumpur aktif
Biologi
Metode standar
Aerasi
Saluran oksidasi
Aerasi kontak
Proses UASB
Dalam prakteknya saat ini, teknologi pengolahan limbah cair mungkin tidak lagi
sesederhana seperti dalam uraian di atas. Namun pada prinsipnya, semua limbah yang
dihasilkan harus melalui beberapa langkah pengolahan sebelum dibuang ke lingkungan
atau kembali dimanfaatkan dalam proses produksi, dimana uraian di atas dapat
oleh kegiatan manusia dan proses alam, sehingga kualitas air/udara menjadi kurang
atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya.
Pencemaran air
Pencemaran udara
Pencemaran tanah
Limbah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri
maupun domestik (rumah tangga, yang lebih dikenal sebagai sampah), yang
kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan
karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri
dari bahan kimia organik dan anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu,
kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi
kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat
bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan
karakteristik limbah.
Karakteristik limbah:
1. Berukuran mikro
2. Dinamis
3. Berdampak luas (penyebarannya)
4. Berdampak jangka panjang (antar generasi)
1. Volume limbah
2. Kandungan bahan pencemar
3. Frekuensi pembuangan limbah
1. Limbah cair
2. Limbah padat
3. Limbah gas dan partikel
4. Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)
Untuk mengatasi limbah ini diperlukan pengolahan dan penanganan limbah. Pada
dasarnya pengolahan limbah ini dapat dibedakan menjadi:
Indikasi pencemaran air dapat kita ketahui baik secara visual maupun pengujian.
2. Perubahan warna, bau dan rasa Air normak dan air bersih tidak akan berwarna,
sehingga tampak bening / jernih. Bila kondisi air warnanya berubah maka hal tersebut
merupakan salah satu indikasi bahwa air telah tercemar. Timbulnya bau pada air
lingkungan merupakan indikasi kuat bahwa air telah tercemar. Air yang bau dapat
berasal darilimba industri atau dari hasil degradasioleh mikroba. Mikroba yang hidup
dalam air akan mengubah organik menjadi bahan yang mudah menguap dan berbau
sehingga mengubah rasa.
3. Timbulnya endapan, koloid dan bahan terlarut Endapan, koloid dan bahan terlarut
berasal dari adanya limbah industri yang berbentuk padat. Limbah industri yang
berbentuk padat, bila tidak larut sempurna akan mengendapdidsar sungai, dan yang
larut sebagian akan menjadi koloid dan akan menghalangibahan-bahan organik yang
sulit diukur melalui uji BOD karena sulit didegradasi melalui reaksi biokimia, namun
dapat diukur menjadi uji COD. Adapun komponen pencemaran air pada umumnya
terdiri dari :
Tampilan
← Halaman
← Pembicaraan
← Sunting
← ↑
← Versi terdahulu
Peralatan pribadi
← Masuk log / buat akun
Navigasi
← Halaman Utama
← Perubahan terbaru
← Peristiwa terkini
← Halaman sembarang
Pencarian
Tuju ke Cari
Komunitas
← Warung Kopi
← Portal komunitas
← Bantuan
wikipedia
← Perihal Wikipedia
← Pancapilar
← Kebijakan
← Menyumbang
Kotak peralatan
← Pranala balik
← Perubahan terkait
← Halaman istimewa
← Versi cetak
← Pranala permanen
← Kutip artikel ini
Bahasa lain
← English
← Suomi
← Français
← 日本語
← Português
← Türkçe
← 中文
Teknologi Pengolahan Air Limbah:
http://funnyfree.net/results03/teknologi_pengolahan_limbah_cair.html
By Wahyu Hidayat on 1 January 2008 34 Comments Print this article Email this
article
Pembuangan air limbah baik yang bersumber dari kegiatan domestik (rumah tangga)
maupun industri ke badan air dapat menyebabkan pencemaran lingkungan apabila
kualitas air limbah tidak memenuhi baku mutu limbah. Sebagai contoh, mari kita lihat
Kota Jakarta. Jakarta merupakan sebuah ibukota yang amat padat sehingga letak
septic tank, cubluk (balong), dan pembuangan sampah berdekatan dengan sumber air
tanah. Terdapat sebuah penelitian yang mengemukakan bahwa 285 sampel dari 636
titik sampel sumber air tanah telah tercemar oleh bakteri coli. Secara kimiawi, 75%
dari sumber tersebut tidak memenuhi baku mutu air minum yang parameternya dinilai
dari unsur nitrat, nitrit, besi, dan mangan.
Trickling filter. Sebuah trickling filter bed yang menggunakan plastic media.
Bagaimana dengan air limbah industri? Dalam kegiatan industri, air limbah akan
mengandung zat-zat/kontaminan yang dihasilkan dari sisa bahan baku, sisa pelarut
atau bahan aditif, produk terbuang atau gagal, pencucian dan pembilasan peralatan,
blowdown beberapa peralatan seperti kettle boiler dan sistem air pendingin, serta
sanitary wastes. Agar dapat memenuhi baku mutu, industri harus menerapkan prinsip
pengendalin limbah secara cermat dan terpadu baik di dalam proses produksi (in-pipe
pollution prevention) dan setelah proses produksi (end-pipe pollution prevention).
Pengendalian dalam proses produksi bertujuan untuk meminimalkan volume limbah
yang ditimbulkan, juga konsentrasi dan toksisitas kontaminannya. Sedangkan
pengendalian setelah proses produksi dimaksudkan untuk menurunkan kadar bahan
peencemar sehingga pada akhirnya air tersebut memenuhi baku mutu yang sudah
ditetapkan.
Namun walaupun begitu, masalah air limbah tidak sesederhana yang dibayangkan
karena pengolahan air limbah memerlukan biaya investasi yang besar dan biaya
operasi yang tidak sedikit. Untuk itu, pengolahan air limbah harus dilakukan dengan
cermat, dimulai dari perencanaan yang teliti, pelaksanaan pembangunan fasilitas
instalasi pengolahan air limbah (IPAL) atau unit pengolahan limbah (UPL) yang
benar, serta pengoperasian yang cermat.
Dalam pengolahan air limbah itu sendiri, terdapat beberapa parameter kualitas yang
digunakan. Parameter kualitas air limbah dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu
parameter organik, karakteristik fisik, dan kontaminan spesifik. Parameter organik
merupakan ukuran jumlah zat organik yang terdapat dalam limbah. Parameter ini
terdiri dari total organic carbon (TOC), chemical oxygen demand (COD),
biochemical oxygen demand (BOD), minyak dan lemak (O&G), dan total petrolum
hydrocarbons (TPH). Karakteristik fisik dalam air limbah dapat dilihat dari parameter
total suspended solids (TSS), pH, temperatur, warna, bau, dan potensial reduksi.
Sedangkan kontaminan spesifik dalam air limbah dapat berupa senyawa organik atau
inorganik.
Tujuan utama pengolahan air limbah ialah untuk mengurai kandungan bahan
pencemar di dalam air terutama senyawa organik, padatan tersuspensi, mikroba
patogen, dan senyawa organik yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme yang
terdapat di alam. Pengolahan air limbah tersebut dapat dibagi menjadi 5 (lima) tahap:
Pemilihan Teknologi
Bottomline, perlu kita semua sadari bahwa limbah tetaplah limbah. Solusi terbaik dari
pengolahan limbah pada dasarnya ialah menghilangkan limbah itu sendiri. Produksi
bersih (cleaner production) yang bertujuan untuk mencegah, mengurangi, dan
menghilangkan terbentuknya limbah langsung pada sumbernya di seluruh bagian-
bagian proses dapat dicapai dengan penerapan kebijaksanaan pencegahan, penguasaan
teknologi bersih, serta perubahan mendasar pada sikap dan perilaku manajemen.
Treatment versus Prevention? Mana yang menurut teman-teman lebih baik?? Saya
yakin kita semua tahu jawabannya. Reduce, recyle, and reuse.
Definisi limbah B3 berdasarkan BAPEDAL (1995) ialah setiap bahan sisa (limbah)
suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3)
karena sifat (toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau
jumlahnya yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak,
mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia.
Primary sludge, yaitu limbah yang berasal dari tangki sedimentasi pada
pemisahan awal dan banyak mengandung biomassa senyawa organik yang
stabil dan mudah menguap
Chemical sludge, yaitu limbah yang dihasilkan dari proses koagulasi dan
flokulasi
Excess activated sludge, yaitu limbah yang berasal dari proses pengolahan
dengn lumpur aktif sehingga banyak mengandung padatan organik berupa
lumpur dari hasil proses tersebut
Digested sludge, yaitu limbah yang berasal dari pengolahan biologi dengan
digested aerobic maupun anaerobic di mana padatan/lumpur yang dihasilkan
cukup stabil dan banyak mengandung padatan organik.
Contoh limbah B3 ialah logam berat seperti Al, Cr, Cd, Cu, Fe, Pb, Mn, Hg, dan Zn
serta zat kimia seperti pestisida, sianida, sulfida, fenol dan sebagainya. Cd dihasilkan
dari lumpur dan limbah industri kimia tertentu sedangkan Hg dihasilkan dari industri
klor-alkali, industri cat, kegiatan pertambangan, industri kertas, serta pembakaran
bahan bakar fosil. Pb dihasilkan dari peleburan timah hitam dan accu. Logam-logam
berat pada umumnya bersifat racun sekalipun dalam konsentrasi rendah. Daftar
lengkap limbah B3 dapat dilihat di PP No. 85 Tahun 1999: Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Silakan klik link tersebut untuk daftar lengkap
yang juga mencakup peraturan resmi dari Pemerintah Indonesia.
Penanganan atau pengolahan limbah padat atau lumpur B3 pada dasarnya dapat
dilaksanakan di dalam unit kegiatan industri (on-site treatment) maupun oleh pihak
ketiga (off-site treatment) di pusat pengolahan limbah industri. Apabila pengolahan
dilaksanakan secara on-site treatment, perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
jenis dan karakteristik limbah padat yang harus diketahui secara pasti agar
teknologi pengolahan dapat ditentukan dengan tepat; selain itu, antisipasi
terhadap jenis limbah di masa mendatang juga perlu dipertimbangkan
jumlah limbah yang dihasilkan harus cukup memadai sehingga dapat
menjustifikasi biaya yang akan dikeluarkan dan perlu dipertimbangkan pula
berapa jumlah limbah dalam waktu mendatang (1 hingga 2 tahun ke depan)
pengolahan on-site memerlukan tenaga tetap (in-house staff) yang menangani
proses pengolahan sehingga perlu dipertimbangkan manajemen sumber daya
manusianya
peraturan yang berlaku dan antisipasi peraturan yang akan dikeluarkan
Pemerintah di masa mendatang agar teknologi yang dipilih tetap dapat
memenuhi standar
Teknologi Pengolahan
Terdapat banyak metode pengolahan limbah B3 di industri, tiga metode yang paling
populer di antaranya ialah chemical conditioning, solidification/Stabilization, dan
incineration.
1. Chemical Conditioning
Salah satu teknologi pengolahan limbah B3 ialah chemical conditioning.
TUjuan utama dari chemical conditioning ialah:
o menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung di dalam
lumpur
o mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air dalam lumpur
o mendestruksi organisme patogen
o memanfaatkan hasil samping proses chemical conditioning yang masih
memiliki nilai ekonomi seperti gas methane yang dihasilkan pada
proses digestion
o mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan dalam
keadaan aman dan dapat diterima lingkungan
1. Concentration thickening
Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi volume lumpur yang akan diolah dengan
cara meningkatkan kandungan padatan. Alat yang umumnya digunakan pada tahapan
ini ialah gravity thickener dan solid bowl centrifuge. Tahapan ini pada dasarnya
merupakan tahapan awal sebelum limbah dikurangi kadar airnya pada tahapan de-
watering selanjutnya. Walaupun tidak sepopuler gravity thickener dan centrifuge,
beberapa unit pengolahan limbah menggunakan proses flotation pada tahapan awal
ini.
2. Treatment, stabilization, and conditioning
Tahapan kedua ini bertujuan untuk menstabilkan senyawa organik dan
menghancurkan patogen. Proses stabilisasi dapat dilakukan melalui
proses pengkondisian secara kimia, fisika, dan biologi. Pengkondisian
secara kimia berlangsung dengan adanya proses pembentukan ikatan
bahan-bahan kimia dengan partikel koloid. Pengkondisian secara fisika
berlangsung dengan jalan memisahkan bahan-bahan kimia dan koloid
dengan cara pencucian dan destruksi. Pengkondisian secara biologi
berlangsung dengan adanya proses destruksi dengan bantuan enzim
dan reaksi oksidasi. Proses-proses yang terlibat pada tahapan ini ialah
lagooning, anaerobic digestion, aerobic digestion, heat treatment,
polyelectrolite flocculation, chemical conditioning, dan elutriation.
3. De-watering and drying
De-watering and drying bertujuan untuk menghilangkan atau
mengurangi kandungan air dan sekaligus mengurangi volume lumpur.
Proses yang terlibat pada tahapan ini umumnya ialah pengeringan dan
filtrasi. Alat yang biasa digunakan adalah drying bed, filter press,
centrifuge, vacuum filter, dan belt press.
4. Disposal
Disposal ialah proses pembuangan akhir limbah B3. Beberapa proses
yang terjadi sebelum limbah B3 dibuang ialah pyrolysis, wet air
oxidation, dan composting. Tempat pembuangan akhir limbah B3
umumnya ialah sanitary landfill, crop land, atau injection well.
2. Solidification/Stabilization
Di samping chemical conditiong, teknologi solidification/stabilization juga
dapat diterapkan untuk mengolah limbah B3. Secara umum stabilisasi dapat
didefinisikan sebagai proses pencapuran limbah dengan bahan tambahan
(aditif) dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari limbah
serta untuk mengurangi toksisitas limbah tersebut. Sedangkan solidifikasi
didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan
penambahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali terkait sehingga sering
dianggap mempunyai arti yang sama. Proses solidifikasi/stabilisasi
berdasarkan mekanismenya dapat dibagi menjadi 6 golongan, yaitu:
1. Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan berbahaya dalam limbah
dibungkus dalam matriks struktur yang besar
2. Microencapsulation, yaitu proses yang mirip macroencapsulation
tetapi bahan pencemar terbungkus secara fisik dalam struktur kristal
pada tingkat mikroskopik
3. Precipitation
4. Adsorpsi, yaitu proses dimana bahan pencemar diikat secara
elektrokimia pada bahan pemadat melalui mekanisme adsorpsi.
5. Absorbsi, yaitu proses solidifikasi bahan pencemar dengan
menyerapkannya ke bahan padat
6. Detoxification, yaitu proses mengubah suatu senyawa beracun menjadi
senyawa lain yang tingkat toksisitasnya lebih rendah atau bahkan
hilang sama sekali
Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi (heating
value) limbah. Selain menentukan kemampuan dalam mempertahankan
berlangsungnya proses pembakaran, heating value juga menentukan
banyaknya energi yang dapat diperoleh dari sistem insinerasi. Jenis insinerator
yang paling umum diterapkan untuk membakar limbah padat B3 ialah rotary
kiln, multiple hearth, fluidized bed, open pit, single chamber, multiple
chamber, aqueous waste injection, dan starved air unit. Dari semua jenis
insinerator tersebut, rotary kiln mempunyai kelebihan karena alat tersebut
dapat mengolah limbah padat, cair, dan gas secara simultan.
Penanganan Limbah B3
Limbah B3 harus ditangani dengan perlakuan khusus mengingat bahaya dan resiko
yang mungkin ditimbulkan apabila limbah ini menyebar ke lingkungan. Hal tersebut
termasuk proses pengemasan, penyimpanan, dan pengangkutannya. Pengemasan
limbah B3 dilakukan sesuai dengan karakteristik limbah yang bersangkutan. Namun
secara umum dapat dikatakan bahwa kemasan limbah B3 harus memiliki kondisi yang
baik, bebas dari karat dan kebocoran, serta harus dibuat dari bahan yang tidak
bereaksi dengan limbah yang disimpan di dalamnya. Untuk limbah yang mudah
meledak, kemasan harus dibuat rangkap di mana kemasan bagian dalam harus dapat
menahan agar zat tidak bergerak dan mampu menahan kenaikan tekanan dari dalam
atau dari luar kemasan. Limbah yang bersifat self-reactive dan peroksida organik juga
memiliki persyaratan khusus dalam pengemasannya. Pembantalan kemasan limbah
jenis tersebut harus dibuat dari bahan yang tidak mudah terbakar dan tidak mengalami
penguraian (dekomposisi) saat berhubungan dengan limbah. Jumlah yang dikemas
pun terbatas sebesar maksimum 50 kg per kemasan sedangkan limbah yang memiliki
aktivitas rendah biasanya dapat dikemas hingga 400 kg per kemasan.
Limbah B3 yang diproduksi dari sebuah unit produksi dalam sebuah pabrik harus
disimpan dengan perlakuan khusus sebelum akhirnya diolah di unit pengolahan
limbah. Penyimpanan harus dilakukan dengan sistem blok dan tiap blok terdiri atas
2×2 kemasan. Limbah-limbah harus diletakkan dan harus dihindari adanya kontak
antara limbah yang tidak kompatibel. Bangunan penyimpan limbah harus dibuat
dengan lantai kedap air, tidak bergelombang, dan melandai ke arah bak penampung
dengan kemiringan maksimal 1%. Bangunan juga harus memiliki ventilasi yang baik,
terlindung dari masuknya air hujan, dibuat tanpa plafon, dan dilengkapi dengan sistem
penangkal petir. Limbah yang bersifat reaktif atau korosif memerlukan bangunan
penyimpan yang memiliki konstruksi dinding yang mudah dilepas untuk memudahkan
keadaan darurat dan dibuat dari bahan konstruksi yang tahan api dan korosi.
Sebagian dari limbah B3 yang telah diolah atau tidak dapat diolah dengan teknologi
yang tersedia harus berakhir pada pembuangan (disposal). Tempat pembuangan akhir
yang banyak digunakan untuk limbah B3 ialah landfill (lahan urug) dan disposal well
(sumur pembuangan). Di Indonesia, peraturan secara rinci mengenai pembangunan
lahan urug telah diatur oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL)
melalui Kep-04/BAPEDAL/09/1995.
Landfill untuk penimbunan limbah B3 diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu: (1)
secured landfill double liner, (2) secured landfill single liner, dan (3) landfill clay
liner dan masing-masing memiliki ketentuan khusus sesuai dengan limbah B3 yang
ditimbun.
Dimulai dari bawah, bagian dasar secured landfill terdiri atas tanah setempat, lapisan
dasar, sistem deteksi kebocoran, lapisan tanah penghalang, sistem pengumpulan dan
pemindahan lindi (leachate), dan lapisan pelindung. Untuk kasus tertentu, di atas
dan/atau di bawah sistem pengumpulan dan pemindahan lindi harus dilapisi
geomembran. Sedangkan bagian penutup terdiri dari tanah penutup, tanah tudung
penghalang, tudung geomembran, pelapis tudung drainase, dan pelapis tanah untuk
tumbuhan dan vegetasi penutup. Secured landfill harus dilapisi sistem pemantauan
kualitas air tanah dan air pemukiman di sekitar lokasi agar mengetahui apakah
secured landfill bocor atau tidak. Selain itu, lokasi secured landfill tidak boleh
dimanfaatkan agar tidak beresiko bagi manusia dan habitat di sekitarnya.
Deep Injection Well. Pembuangan limbah B3 melalui metode ini masih mejadi
kontroversi dan masih diperlukan pengkajian yang komprehensif terhadap efek yang
mungkin ditimbulkan. Data menunjukkan bahwa pembuatan sumur injeksi di Amerika
Serikat paling banyak dilakukan pada tahun 1965-1974 dan hampir tidak ada sumur
baru yang dibangun setelah tahun 1980.
Sumur injeksi atau sumur dalam (deep well injection) digunakan di Amerika Serikat
sebagai salah satu tempat pembuangan limbah B3 cair (liquid hazardous wastes).
Pembuangan limbah ke sumur dalam merupakan suatu usaha membuang limbah B3
ke dalam formasi geologi yang berada jauh di bawah permukaan bumi yang memiliki
kemampuan mengikat limbah, sama halnya formasi tersebut memiliki kemampuan
menyimpan cadangan minyak dan gas bumi. Hal yang penting untuk diperhatikan
dalam pemilihan tempat ialah strktur dan kestabilan geologi serta hidrogeologi
wilayah setempat.
Limbah B3 diinjeksikan se dalam suatu formasi berpori yang berada jauh di bawah
lapisan yang mengandung air tanah. Di antara lapisan tersebut harus terdapat lapisan
impermeable seperti shale atau tanah liat yang cukup tebal sehingga cairan limbah
tidak dapat bermigrasi. Kedalaman sumur ini sekitar 0,5 hingga 2 mil dari permukaan
tanah.
Tidak semua jenis limbah B3 dapat dibuang dalam sumur injeksi karena beberapa
jenis limbah dapat mengakibatkan gangguan dan kerusakan pada sumur dan formasi
penerima limbah. Hal tersebut dapat dihindari dengan tidak memasukkan limbah yang
dapat mengalami presipitasi, memiliki partikel padatan, dapat membentuk emulsi,
bersifat asam kuat atau basa kuat, bersifat aktif secara kimia, dan memiliki densitas
dan viskositas yang lebih rendah daripada cairan alami dalam formasi geologi.
Hingga saat ini di Indonesia belum ada ketentuan mengenai pembuangan limbah B3
ke sumur dalam (deep injection well). Ketentuan yang ada mengenai hal ini ditetapkan
oleh Amerika Serikat dan dalam ketentuan itu disebutkah bahwa:
1. Dalam kurun waktu 10.000 tahun, limbah B3 tidak boleh bermigrasi secara
vertikal keluar dari zona injeksi atau secara lateral ke titik temu dengan
sumber air tanah.
2. Sebelum limbah yang diinjeksikan bermigrasi dalam arah seperti disebutkan di
atas, limbah telah mengalami perubahan higga tidak lagi bersifat berbahaya
dan beracun.
Pembuangan air limbah baik yang bersumber dari kegiatan domestik (rumah tangga)
maupun industri ke badan air dapat menyebabkan pencemaran lingkungan apabila
kualitas air limbah tidak memenuhi baku mutu limbah. Sebagai contoh, mari kita lihat
Kota Jakarta. Jakarta merupakan sebuah ibukota yang amat padat sehingga letak
septic tank, cubluk (balong), dan pembuangan sampah berdekatan dengan sumber air
tanah. Terdapat sebuah penelitian yang mengemukakan bahwa 285 sampel dari 636
titik sampel sumber air tanah telah tercemar oleh bakteri coli. Secara kimiawi, 75%
dari sumber tersebut tidak memenuhi baku mutu air minum yang parameternya dinilai
dari unsur nitrat, nitrit, besi, dan mangan.
Trickling filter. Sebuah trickling filter bed yang menggunakan plastic media.
Bagaimana dengan air limbah industri? Dalam kegiatan industri, air limbah akan
mengandung zat-zat/kontaminan yang dihasilkan dari sisa bahan baku, sisa pelarut
atau bahan aditif, produk terbuang atau gagal, pencucian dan pembilasan peralatan,
blowdown beberapa peralatan seperti kettle boiler dan sistem air pendingin, serta
sanitary wastes. Agar dapat memenuhi baku mutu, industri harus menerapkan prinsip
pengendalin limbah secara cermat dan terpadu baik di dalam proses produksi (in-pipe
pollution prevention) dan setelah proses produksi (end-pipe pollution prevention).
Pengendalian dalam proses produksi bertujuan untuk meminimalkan volume limbah
yang ditimbulkan, juga konsentrasi dan toksisitas kontaminannya. Sedangkan
pengendalian setelah proses produksi dimaksudkan untuk menurunkan kadar bahan
peencemar sehingga pada akhirnya air tersebut memenuhi baku mutu yang sudah
ditetapkan.
Namun walaupun begitu, masalah air limbah tidak sesederhana yang dibayangkan
karena pengolahan air limbah memerlukan biaya investasi yang besar dan biaya
operasi yang tidak sedikit. Untuk itu, pengolahan air limbah harus dilakukan dengan
cermat, dimulai dari perencanaan yang teliti, pelaksanaan pembangunan fasilitas
instalasi pengolahan air limbah (IPAL) atau unit pengolahan limbah (UPL) yang
benar, serta pengoperasian yang cermat.
Dalam pengolahan air limbah itu sendiri, terdapat beberapa parameter kualitas yang
digunakan. Parameter kualitas air limbah dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu
parameter organik, karakteristik fisik, dan kontaminan spesifik. Parameter organik
merupakan ukuran jumlah zat organik yang terdapat dalam limbah. Parameter ini
terdiri dari total organic carbon (TOC), chemical oxygen demand (COD),
biochemical oxygen demand (BOD), minyak dan lemak (O&G), dan total petrolum
hydrocarbons (TPH). Karakteristik fisik dalam air limbah dapat dilihat dari parameter
total suspended solids (TSS), pH, temperatur, warna, bau, dan potensial reduksi.
Sedangkan kontaminan spesifik dalam air limbah dapat berupa senyawa organik atau
inorganik.
Tujuan utama pengolahan air limbah ialah untuk mengurai kandungan bahan
pencemar di dalam air terutama senyawa organik, padatan tersuspensi, mikroba
patogen, dan senyawa organik yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme yang
terdapat di alam. Pengolahan air limbah tersebut dapat dibagi menjadi 5 (lima) tahap:
Pemilihan Teknologi
Bottomline, perlu kita semua sadari bahwa limbah tetaplah limbah. Solusi terbaik dari
pengolahan limbah pada dasarnya ialah menghilangkan limbah itu sendiri. Produksi
bersih (cleaner production) yang bertujuan untuk mencegah, mengurangi, dan
menghilangkan terbentuknya limbah langsung pada sumbernya di seluruh bagian-
bagian proses dapat dicapai dengan penerapan kebijaksanaan pencegahan, penguasaan
teknologi bersih, serta perubahan mendasar pada sikap dan perilaku manajemen.
Treatment versus Prevention? Mana yang menurut teman-teman lebih baik?? Saya
yakin kita semua tahu jawabannya. Reduce, recyle, and reuse.
Definisi
Membrane separation yaitu suatu teknik pemisahan campuran 2 atau lebih komponen
tanpa menggunakan panas. Komponen-komponen akan terpisah berdasarkan ukuran
dan bentuknya, dengan bantuan tekanan dan selaput semi-permeable. Hasil pemisahan
berupa retentate (bagian dari campuran yang tidak melewati membran) dan permeate
(bagian dari campuran yang melewati membran).
Struktur Membran
Reverse Osmosis
Salah satu teknologi membran yang banyak digunakan saat ini yaitu reverse osmosis
(RO). Proses ini merupakan kebalikan dari osmosis. Pada osmosis, pelarut berpindah
dari daerah berkonsentrasi rendah (hipotonik) ke daerah berkonsentrasi tinggi
(hipertonik) sehingga konsentrasi di kedua daerah menjadi berimbang. Proses ini
terjadi secara alami sehingga tidak membutuhkan energi. Contoh osmosis yang terjadi
di alam yaitu penyerapan air oleh akar tanaman. Berbeda dengan osmosis, RO terjadi
dengan arah yang berlawanan yaitu dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah.
Untuk melawan gradien konsentrasi, dibutuhkan energi eksternal berupa tekanan.
Menurut Ir. Teuku Zulkarnain, MT, kandidat doktor teknik lingkungan Institut
Teknologi Bandung, Keunggulan RO yang paling superior dibandingkan metode-
metode pemisahan lainnya yaitu kemampuan dalam memisahkan zat-zat dengan berat
molekul rendah seperti garam anorganik atau molekul organik kecil seperti glukosa
dan sukrosa. Keunggulan lain dari RO ini yaitu tidak membutuhkan zat kimia, dapat
dioperasikan pada suhu kamar, dan adanya penghalang absolut terhadap aliran
kontaminan, yaitu membran itu sendiri. Selain itu, ukuran penyaringannya yang
mendekati pikometer, juga mampu memisahkan virus dan bakteri.
Teknologi RO cocok digunakan dalam pemurnian air minum dan air buangan. Di
bidang industri, teknologi RO dapat digunakan untuk memurnikan air umpan boiler.
Selain itu, Karena kemampuannya dalam memisahkan garam-garaman, teknologi
reverse osmosis cocok digunakan dalam pengolahan air laut menjadi air tawar
(desalinasi). Pengolahan ini terdiri dari beberapa tahap:
Selain untuk desalinasi, RO juga digunakan dalam dialisis untuk proses cuci darah
penderita penyakit ginjal. Ginjal berfungsi sebagai penyaring darah terhadap
pengotor-pengotor hasil metabolisme tubuh seperti urea, yang kemudian dikeluarkan
melalui urin. Mesin dialisis berfungsi sebagai “ginjal” tersebut. Darah dikeluarkan
dari tubuh menuju mesin dialisis yang di dalamnya terdapat membran. Darah yang
telah melewati membran dikembalikan lagi ke dalam tubuh.
Teknologi membran berkembang dengan sangat pesat. Dewasa ini, banyak membran
dapat dioperasikan pada tekanan rendah sehingga memungkinkan dioprerasikan di
rumah tinggal, tempat pengungsian, bahkan dapat digerakkan dengan genset berskala
kecil. Selain itu, kemajuan dalam bidang material membran juga memungkinkan
proses pemisahan menggunakan membran dapat dilakukan dengan lebih ekonomis.
Apr 17, '08 2:25
Upaya Penanganan Limbah Nuklir dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir AM
(PLTN) for everyone
Secara umum, pengelolaan limbah nuklir yang lazim digunakan oleh negara-negara
maju meliputi tiga pendekatan pokok yang bergantung pada besar kecilnya volume
limbah, tinggi rendahnya aktivitas zat radioaktif yang terkandung dalam limbah serta
sifat-sifat fisika dan kimia limbah tersebut. Tiga pendekatan pokok itu meliputi:
Pada PLTN sebagian besar limbah yang dihasilkan adalah limbah aktivitas rendah (70
– 80
%). Sedangkan limbah aktivitas tinggi dihasilkan pada proses daur ulang elemen
bakar nuklir bekas, sehingga apabila elemen bakar bekasnya tidak didaur ulang,
limbah aktivitas tinggi ini jumlahnya sangat sedikit. Penangan limbah radioaktif
aktivitas rendah, sedang maupun aktivitas tinggi pada umumnya mengikuti tiga
prinsip, yaitu :
Pengolahan limbah padat adalah dengan cara diperkecil volumenya melalui proses
insenerasi/pembakaran, selanjutnya abunya disementasi. Sedangkan limbah yang
tidak dapat dibakar diperkecil volumenya dengan kompaksi/penekanan dan
dipadatkan dalam drum/beton dengan semen. Sedangkan limbah yang tidak dapat
dibakar/dikompaksi, harus dipotong-potong dan dimasukkan dalam beton kemudian
dipadatkan dengan semen atau gelas masif (B,xxxx). Proses pemadatan bisa dilakukan
dengan semen (sementasi), aspal (bitumentasi), polimer (polimerisasi) maupun bahan
gelas (vitrifikasi) (Sofyan,1998)
Selanjutnya limbah radioaktif yang telah diolah disimpan secara sementara (10-50
tahun) di gudang penyimpanan limbah yang kedap air sebelum disimpan secara
lestari. Tempat penyimpanan limbah lestari dipilih ditempat/lokasi khusus dengan
kondisi geologi yang stabil dan secara ekonomi tidak bermanfaat (B,xxxx).
Tabel 2 berikut ini merupakan persyaratan minimum yang harus dipenuhi sebagai
lokasi/tempat penyimpanan sementara bahan bakar nuklir bekas maupun
penyimpanan lestari berdasarkan PP No. 27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah
Radioaktif.
Penyimpanan Sementara
Penyimpanan Lestari
Bahan Bakar Nuklir Bekas
Lokasi bebas banjir dan terhindar dari
Lokasi bebas banjir
erosi
Lokasi tahan terhadap gempa dan
Tahan terhadap gempa memenuhi karakteristik materi bumi dan
sifat kimia air
Didesain sehingga terhindar dari Didesain sehingga terhindar dari terjadinya
kekritisan kekritisan
Dilengkapi dengan peralatan proteksi Dilengkapi dengan sistem pemantau
radiasi radiasi dan radioaktivitas lingkungan
Dilengkapi dengan penahan radiasi Dilengkapi dengan sistem pendingin
Dilengkapi dengan sistem proteksi
Dilengkapi dengan sistem penahan radiasi
fisik
Dilengkapi dengan sistem proteksi fisik
Dilengkapi dengan sistem pemantau Memenuhi distribusi populasi penduduk
radiasi dan tata wilayah sekitar lokasi
penyimpanan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan atau pengukungan limbah
antara lain:
a. Keselamatan terpasang
c. Pertahanan berlapis
Selain itu terdapat juga dua pendekatan utama dalam pengelolaan limbah radioaktif
yaitu pendekatan “Dilute and Disperse” dan pendekatan “Concentrate and Contain”.
Pada pendekatan Dilute and Disperse, limbah yang mengandung radionuklida dengan
konsentrasi rendah di buang secara langsung ke lingkungan. Pembuangan atau
pelepasan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui atmosfer (material gas dan
partikulat kasar) dan air pada lingkungan perairan maupun lingkungan air tawar
(cairan, substansi terlarut dan suspended solid). Biasanya dalam fase cair dan gas
yang disebut juga sebagai effluen. Keuntungan pendekatan Dilute and Disperse adalah
dimungkinkan untuk melakukan verifikasi dan kontrol. Pada pendekatan Concentrate
and Contain, limbah dalam fase padat di isolasi dari lingkungan manusia untuk
meminimalkan paparan yang mungkin terjadi. Untuk kasus radionuklida umur pendek
(hanya beberapa tahun), dimungkinkan untuk mengisolasi limbah di tempat
penyimpanan yang aman sampai waktu peluruhan radioaktif berkurang ke level
kurang berbahaya. Hal tersebut berlaku juga untuk limbah radionuklida dalam bentuk
cair dan gas. Limbah yang mengandung radionuklida dengan waktu paruh yang lama
dalam jumlah besar, harus di isolasi ke tempat penyimpanan (repository). Berbagai
alternatif harus di identifikasi dan diperhitungkan termasuk ketersediaan modal,
operasional, biaya perawatan, penerapan pengelolaan limbah, dan efek yang diberikan
baik secara individual maupun kolektif terhadap masyarakat dan pekerja
(Cooper,2003)
Limbah yang mengandung radionuklida dengan level rendah dapat dibuang ke landfill
dengan material limbah biasa. Limbah yang mengandung radionuklida level tinggi
memerlukan standar isolasi yang lebih besar terhadap lingkungan hidup (biosfer).
Limbah bahan nuklir bekas dan hasil belahan berkonsentrasi tinggi, yang mengalami
peningkatan selama reprocessing bahan bakar bekas, harus memenuhi standar
tertinggi pada saat melakukan isolasi limbah. Pembuangan atau penyimpanan limbah
radionuklida dilakukan pada kedalaman ratusan meter di bawah tanah dengan
mempertimbangkan pendekatan pengukungan berlapis. Beberapa hal yang menjadi
pertimbangan terhadap pembuangan limbah antara lain bentuk limbah, kontainer,
fasilitas lining disposal, formasi geologi dimana fasilitas ditempatkan, perlindungan
biosfer terhadap perpindahan radionuklida (Cooper,2003).
Limbah radioaktif dihasilkan dalam fase gas, cair dan padatan melalui proses industri
termasuk listrik yang dihasilkan oleh pembangkit tenaga nuklir. International Atomic
Energy Agency (IAEA) mengeluarkan 9 prinsip pengelolaan limbah radioaktif, yaitu:
1. Limbah radioaktif harus dikelola dengan tingkat keamanan yang dapat melindungi
kesehatan manusia dan lingkungan
2. Limbah radioaktif harus dikelola dalam hal memberikan level yang dapat diterima
guna perlindungan lingkungan
3. Limbah radioaktif harus dikelola untuk menjamin bahwa efek yang mungkin terjadi
pada kesehatan manusia diluar batas standar nasional, turut diperhitungkan
4. Limbah radioaktif harus dikelola dalam memberikan prediksi bahwa dampak terhadap
kesehatan generasi masa depan tidak lebih besar dari yang sekarang di terima
5. Limbah radioaktif hars dikelola dengan cara tertentu yang tidak memberikan
pengaruh atau akibat fatal pada generasi berikutnya
6. Limbah radioaktif harus dikelola dengan tujuan yang sesuai frame work nasinal
termasuk pembagian tanggung jawab dan provisi untuk fungsi kelembagaan
independen.
7. Limbah radioaktif yang dihasilkan harus minimum practicable.
8. Keterkaitan antara seluruh tahapan dalam menghasilkan limbah radioaktif serta
pengelolaannya harus dapat diukur atau diperhitungkan.
9. Keamanan fasilitas yang digunakan dalam pengelolaan limbah radioaktif harus
dipastikan selama masa lifetime (Cooper, 2003)
Akan tetapi pelaksanaan 9 prinsip pengelolaan limbah radioaktif tersebut tidak lepas
dari aturan perundangan yang berlaku di Indonesia sehingga butuh adaptasi sebelum
adanya aplikasi.
Dalam pembangkit tenaga nuklir, teknologi penukar ion telah diaplikasikan pada
pemurnian air pendingin, pengolahan limbah utama, pemurnian asam boric untuk
pemakaian ulang serta pengolahan air buangan dan limbah cair. Beberapa faktor
penting yang diperhatikan dalam pemilihan teknologi penukar ion antara lain :
1. Karekteristik limbah. Teknologi penukar ion dapat dilakukan pada limbah dengan
kriteria antara lain kandungan padatan terlarut tidak melebihi 4 mg/L, kandungan
garam kurang dari 2 g/L, radionuklida hadir dalam bentuk ion, mengandung sedikit
kontaminan organik, dan mengandung sedikit senyawa pengoksidasi kuat.
2. Pemilihan penukar ion dan proses pengolahan. Penukar ion harus memiliki
kecocokan dengan karakteristik limbah (pH dan ion) selain temperatur dan tekanan.
Ion exchange merupakan proses reaksi kimia bersifat reversibel dimana suatu ion
(atom atau molekul) yang telah hilang atau memperoleh suatu elektron dan dengan
demikian memperoleh suatu muatan elektrik dalam larutan yang digantikan dengan
ion yang bermuatan sama dari partikel butir padat immobile. Partikel padat ion
exchange ini bisa dalam bentuk anorganik zeolit (alami) dan juga sintetik dalam
bentuk resin organik. Resin organik buatan merupakan jenis yang banyak digunakan
saat ini, sebab memiliki karakteristik yang dapat dikhususkan pada aplikasi spesifik.
Reaksi pada proses ion exchange bersifat reversibel dan stoikiometrik, dan sama
terhadap reaksi fase larutan yang lain. Sebagai contoh:
R mengindikasikan bagian organik resin dan SO3 adalah bagian yang non-mobile dari
kelompok ion aktif. Diperlukan 2 resin untuk ion nikel valensi 2 ( Ni +2). Ion ferric
bervalensi tiga akan memerlukan tiga resin.
Unsur yang bersifat bersifat ion yang terdapat pada air limbah dapat mengalami
pertukaran dengan jenis resin tertentu, dengan demikian akan terjadi pertukaran
sampai resin mengalami kejenuhan. Resin diregenerasi melalui proses pelepasan
exchanged material dan mengkonsentasikannya dalam pengurangan volume yang
banyak. Sebagai contoh, air limbah yang mengandung Cu digantikan dengan logam
lain yang tidak berbahaya seperti Sodium. Efeknya adalah air limbah tersebut dapat
dibuang dan menempatkan Cu pada resin. Proses regenerasi resin akan melepaskan
Cu ke dalam suatu volume kecil konsentrat. Resin mungkin dibuat untuk menukar
jenis cationic atau anionic. Resin juga dimungkinkan untuk memindahkan substansi
khusus / spesifik seperti single metal dari aliran yang tercampur, tetapi hal ini
tergantung dari kondisi sekitar / lingkungannya.
Resin pada ion exchange digolongkan sebagai kation exchanger, yang mana
mempunyai ion positif yang mobile digunakan untuk exchange, dan anion exchanger
yang mempunyai ion negatif yang mobile. Resin anion dan kation diproduksi dari
dasar polimer organik yang sama. Perbedaan terdapat pada kelompok ionizable yang
terikat dengan jaringan / ikatan hidrokarbon. Golongan fungsional ini yang
menentukan perilaku kimia resin. Resin secara luas digolongkan sebagai kation
exchanger asam kuat (contoh SO3H dengan pK=1-2) atau asam lemah (OH dengan
pK=9-10) dan anion exchanger basa kuat (N+ dengan pK=1-2) atau basa lemah (NH2
dengan pK=8-10).
Zeolit adalah mineral dengan struktur kristal alumino silikat yang berbentuk rangka
(framework) tiga dimensi, mempunyai rongga dan saluran, serta mengandung ion Na,
K, Mg, Ca, Fe serta molekul air. Pada beberapa kasus penurunan zat radioaktif Sr-90
dan ion Fe, dikembangkan zeolit modifikasi yaitu Mn-Zeolit (Zamroni, 2000).
Langkah dalam pembuatan Mn-Zeolit adalah sebagai berikut :
1. Zeolit yang digunakan dibersihkan dari kotoran dan batuan lain kemudian dikeringkan
di udara. Zeolit alam dihaluskan dan diayak untuk mendapatkan ukuran partikel zeolit
35-50 mesh. Zeolit dimurnikan dengan cara direfluk dengan air demin selama 24 jam
untuk mendapatkan zeolit bersih dari pengotor.
2. Zeolit murni yang sudah diperoleh kemudian direndam dengan larutan KMnO 4
konsentrasi 0,1M selama 24 jam. Zeolit yang sudah direndam kemudian dicuci
dengan air demin sampai bersih dari larutan KMnO4
3. Zeolit yang sudah bersih tersebut merupakan material Mn-Zeolit, yang kemudian
dipanaskan dengan temperatur 100oC sampai kering.
Mn-Zeolit yang sudah diaktivasi dikontakkan dengan limbah Sr-90 dan Fe2+ dalam
berbagai variasi waktu. Beningan yang didapat kemudian dipisahkan dan dianalisis
menggunakan Liquid Scintillation Chromatography (LSC) dan Atomic Absorbsi
Spectrometer (AAS). Akan tetapi penelitian penerapan zeolit pada limbah radioaktif
perlu dikembangkan lebih lanjut untuk spesifikasi limbah PLTN dengan pertimbangan
struktur zeolit, mekanisme difusi ion, termodinamika dan kinetika reaksi pertukaran
ion, sehingga dapat diaplikasikan untuk jenis limbah radioaktif selain Sr-90.
Plasma termal telah diaplikasikan pada proses industri di berbagai tempat. Plasma
termal adalah gas terionisasi pada suhu tinggi (diatas 10.000 oC) bila dibandingkan
dengan suhu yang ditemukan di pembakaran atau yang menggunakan pemanasan
elektrik. Plasma termal dibuat dengan menggunakan electric arc, yang diletakkan di
antara dua elektroda logam di dalam sebuah alat yang disebut plasma torch. Bila
sebuah gas, seperti udara, uap dan lainnya, diinjeksikan ke dalam, molekul / atom gas
tersebut akan bertubrukan dengan elektron pada electric arc (elektron terbentuk pada
satu elektroda dan diakselerasi dan dikumpulkan pada elektroda yang satunya). Proses
ini akan menyebabkan ionisasi gas, menghasilkan sebuah jet plasma yang mencapai
suhu tinggi yang disebutkan sebelumnya (Anonim, 1996).
Unit teknologi plasma terdiri dari beberapa unit produksi yaitu tempat masuknya
limbah, ruang proses, sistem penanganan dan pemisahan sisa padatan, sistem
pengelolaan gas, kontrol operasional dan pemantauan. Bagian ini sama untuk semua
jenis proses industri atau jenis limbah. Efisiensi penghancuran dan pemisahan dari
teknologi plasma ini mencapai 99,99%. Plasma termal memiliki beberapa kelebihan
dan kekurangan seperti yang terdapat pada tabel 3 berikut.
Keuntungan Kekurangan
Efisiensi energi yang lebih tinggi, yaitu pada pengolahan denga temperature
sekitar 80% dari 20% yang biasanya tinggi,volatile gas (halogen) akan ikut
didapat pada proses pembakaran biasa terbawa bersama uap udara
Kemungkinan untuk me-recovery grafit elektroda yang digunakan untuk
senyawa organik yang mencemari tanah memproduksi arc dan lining treatment
chamber akan terdegradasi selama siklus
Tidak menghasilkan gas buangan
pelelehan limbah
Tanah yang telah terolah memiliki
diperlukan perawatan unit komponen
kandungan hidrokarbon kurang dari 0.01
untuk menghindari penyebaran
% berat
kontaminasi dari unit tersebut
Operasi yang berjalan secara kontinu
Reverse osmosis (RO) merupakan suatu proses pemaksaan sebuah solvent dari sebuah
daerah berkonsentrasi “solute” tinggi melalui sebuah membran ke sebuah daerah
“solute” rendah dengan menggunakan sebuah tekanan melebihi tekanan osmotik.
Reverse Osmosis mengaplikasikan tekanan yang lebih besar dari tekanan osmotik
(antara 2-10 Mpa) ke dalam larutan konsentrat sehingga menyebabkan larutan
mengalir dari sisi konsentrat membran semipermeabel ke dilute side. RO memiliki
kemampuan menyingkirkan total dissolved inorganic solid 95-99,5% dan dissolved
organic solid 95-97%. Teknologi tersebut telah digunakan untuk menyingkirkan
radionuklida dari limbah cair level rendah seperti limbah uap dari pembangkit tenaga
nuklir. RO dapat menyingkirkan hampir semua kontaminan sehingga produk air yang
dihasilkan dapat dipakai kembali dalam pembangkit tenaga. Air yang telah
dimurnikan tersebut memiliki tingkat aktivitas yang rendah sehingga dimungkinkan
untuk dibuang ke lingkungan (IAEA, 2004).
Membran Ultrafiltration memiliki ukuran pori yang lebih besar dibandingkan dengan
Reverse Osmosis. Koloid, padatan terlarut, molekul organik dengan berat molekul
yang tinggi tidak dapat melalui ultrafiltration. Teknologi ini beroperasi pada tekanan
0,2-1,4 Mpa. Hal ini dimungkinkan karena tekanan osmotik koloid dan molekul
organik berada dalam jumlah yang sedikit. Ukuran pori ultrafiltration berada pada
range 0,001-0,01 m. Unit ultrafiltration beroperasi dengan prinsip cross-flow.
Ultrafiltration sering digunakan untuk menyingkirkan aktivitas alfa dari uap limbah.
Limbah aktinida dalam bentuk koloid atau pseudo-colloidal pada uap limbah
radioaktif dapat disingkirkan secara efektif oleh ultrafiltration dan dapat digunakan
untuk menyingkirkan ion logam terlarut dari larutan dilute aqueous apabila
sebelumnya ion tersebut mendapat perlakukan awal untuk pembentukkan partikel
padatan (IAEA, 2004)
Keuntungan Kerugian
material dan teknologinya mudah peningkatan volume dan densitas yang
dijangkau tinggi for shipping dan disposal
sesuai dengan berbagai jenis limbah dapat mengalami keretakan apabila
biaya sedikit terekspos dengan air
produk sememntasi bersifat stabil
terhadap bahan kimia dan biokimia
produk sementasi tidak mudah terbakar
dan memiliki kestabilan temperature
yang baik
Keuntungan Kerugian
material dan teknologinya mudah
dapat terbakar
dijangkau
tidak larut dalam air proses memerlukan peningkatan temperature
adanya endapan partikulat selama
beban kapasitas limbah yang tinggi
pendinginan
biaya sedikit
kemungkinan adanya reaksi kimia
kemampuan pencampuran yang baik
Copyright 2008
Oleh :
Adolf Leopold SM Sihombing, ST, MT
The most common water softening method called "ion exchange," is a reversible chemical
process of exchanging hard water ions for soft water ions.
Calcium and magnesium are the hardness ions, sodium can be considered the "softness"
ions and they are exchanged to create soft water.
Ion exchange takes place in a "resin bed" made up of tiny bead-like material often made of
styrene and divynlbenzene. The beads, having a negative charge, attract and hold positively
charged ions such as sodium, but will exchange them whenever the beads encounter another
positively charged ion, such as calcium or magnesium minerals. This ion exchange happens
very easily since the sodium ions have a positive charge of only one, while magnesium and
calcium have a more powerful positive charge of two.
Simply stated, Ion Exchange is the giving and receiving of ions between an ion exchange material and a
process liquid. It takes place as the process liquid flows through the ion exchange material. Mobile ions on
the ion exchange material are exchanged with ions in the process fluid. In La Habra Welding's Ion
Exchange applications the ion exchange material is an activated copolymer matrix comprised of porous
beads (resin) and the process fluid is finishing system wastewater.
Ion exchange resin beads (thousands per cubic inch) are placed in a pressure vessel to makeup the ion
exchange resin bed. As process water passes through the resin bed undesirable ions (contaminates) are
exchanged for the more desirable mobile ions in the resin. When the ion exchange resin has exchanged all
its mobile ions and can no longer remove undesirable ions it is deemed exhausted. Exhausted resins must
go through a simple regeneration process before they can remove ions again.
ION exchange columns are at the center of our reliable PLC based flow control system that
can be either semi-automatic or a fully automated operation. When compared to like
capacity precipitation systems, La Habra Welding's Ion Exchange Systems chemical
consumption is very low, comprised primarily of relatively small amounts of acid and base
(required for the regeneration process). Finally, when compared to like capacity
precipitation systems, Our ion exchange system produce 95% less sludge. In fact, Our
systems by-product is de-ionized water (that can be recycled back trough the rinse
system). Finally, La Habra Welding's Ion exchange systems are designed to require
minimum maintenance and operator intervention.
Fill out the form below so we can tell you why La Habra Welding's ION Exchange systems are
the best on the market.