You are on page 1of 12

JURNAL AWAL PRAKTIKUM FARMASI FISIKA

STABILITAS

DISUSUN OLEH:
GOLONGAN I
KELOMPOK 5

LUH PUTU AYU MERYTA (1608551028)


NI PUTU AYU INTEN ARTANIA (1608551029)
I KETUT GEDE GILANG GAMA H. (1608551030)
GEDE WIKA ANDRI PRATAMA (1608551031)
NURHIDAYATULLAH (1608551032)
WAYAN RISMA ISWARI (1608551033)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
STABILITAS

0
I. TUJUAN PRAKTIKUM
1.1 Mengetahui pengaruh suhu terhadap kestabilan dari sediaan larutan vitamin
C.
1.2 Mengetahui reaksi degradasi yang terjadi pada sediaan.
II. PENDAHULUAN
(LATAR BELAKANG)
III. TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Asam Askorbat (Vitamin C)
Asam Askorbat (Vitamin C) mempunyai rumus molekul C 6H8O6, dan
memiliki berat molekul 176,13. Asam Askorbat mengandung tidak kurang dari
99,0% dan tidak lebih dari 100, 5% C6H8O6. Asam Askorbat berbentuk hablur atau
serbuk putih atau agak kuning. Oleh pengaruh cahaya lambat laun menjadi
berwarna gelap. Dalam keadaan kering stabil di udara, dalam larutan cepat
teroksidasi. Melebur pada suhu kurang 190C. Asam Askorbat mudah larut dalam
air, agak sukar larut dalam etanol; tidak larut dalam kloroform, dalam eter dan
dalam benzena (Depkes RI, 1995).

Gambar 2.1. Struktur bangun Asam Askorbat (Akhilender, 2003)

Vitamin C merupakan vitamin larut air yang memiliki peranan penting dalam
metabolisme asam amino, penyembuhan bagian tubuh yang sakit atau rusak,
pembentukan tulang dan gigi. Vitamin C juga berguna untuk pembentukan
kolagen, membantu proses penyembuhan luka, menjaga kesehatan gusi, menjaga
daya tahan tubuh melawan infeksi. Kekurangan vitamin C dapat menyebabkan
penyakit yang disebut dengan skorbut merupakan suatu pendarahan pada
sekeliling gusi dan tulang terasa nyeri bila disentuh, gigi mudah tanggal, sendi
dapat membengkak, terasa lemah kemudia kesembuhan yang lambat merupakan
gejala-gejala kekurangan vitanmin C (Combs, 1992).

1
3.2 Asam Sulfat (H2SO4)
Asam sulfat mempunyai rumus molekul H2SO4 dan memiliki berat molekul
98,07. Asam Sulfat mengndung tidak kurang dari 95,0% dan tidak lebih dari 98,0%
b/b H2SO4. Asam Sulfat berbentuk cairan jernih, seperti minyak, tidak berwarna,
bau sangat tajam dan korosif. Bobot jenis lebih kurang 1,84. Asam Sulfat
bercampur dengan air dan dengan etanol dengan menimbulkan panas. Bila Asam
Sulfat akan dicampur dengan cairan lain, selalu tambahkan asam ke dalam cairan
pengencer dan lakukan dengan sangat hati – hati (Depkes RI, 1995).
3.3 Natrium Tiosulfat (Na2S2O3)
Natrium Tiosulfat mempunyai rumus molekul Na2S2O3.5H2O dan memiliki
berat molekul 248,17. Natrium Tiosulfat mengandung tidak kurang dari 99,0% dan
tidak lebih dari 100,5% Na2S2O3 dihitung terhadap zat anhidrat (BM 158,10).
Natrium Tiosulfat berbentuk hablur besar tidak berwarna atau serbuk hablur kasar.
Memgkilap dalam udara lembab dan mekar dalam udara kering pada suhu lebih
dari 33. Larutannya netral atau basa lemah terhadap lakmus. Natrium Tiosulfat
sangat mudah larut dalam air; tidak larut dalam etanol (Depkes RI, 1995).
3.4 Kalium Iodat

Kalium iodat (KIO3) mengandung tidak kurang dari 99,8% KIO 3, dihitung
terhadap zat yang telah dikeringkan. Kalium iodat memiliki pemerian berupa
serbuk hablur berwarna putih dan larut dalam air (Depkes RI, 1979). Kalium Iodat
P (KIO3) memiliki berat molekul 214,00 dan merupakan murni pereaksi (Depkes
RI, 1995).

3.5 Kalium Iodida


Kalium Iodida (KI) memiliki berat molekul 166,00. Kalium Iodida
mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 101,5% KI, dihitung
terhadap zat yang telah dikeringkan. Kalium Iodida berbentuk hablur heksahedral,
transparan atau tidak berwarna atau agak buram dan putih atau serbuk granul putih;
agak higroskopik. Larutan menunjukkan reaksi netral atau basa terhadap lakmus.

2
Kalium Iodida sangat mudah larut dalam air, terlebih dalam air mendidih; mudah
larut dalam gliserin; larut dalam etanol (Depkes RI, 1995).
3.6 Indikator Kanji
Kanji atau amilum/pati merupakan serbuk putih, hablur. Kanji larut dalam air
panas, membentuk atau menghasilkan larutan agak keruh (Depkes RI, 1979).
Konsentrasi 0,5% yang dibuat segar dengan menggunakan pati larut yaitu β-
amilosa. Kanji larut P menggunakan pati larut P (untuk iodometri); murni pereaksi
(Depkes RI, 1995).
Penggunaan indikator kanji digunakan pada saat titrasi yaitu untuk
menentukan titik akhir titrasi dari vitamin C, dimana larutan kanji dengan iodium
yang dititrasi dengan Na2S2O3 dapat membentuk suatu senyawa absorbsi dengan
memberikan perubahan warna menjadi bening ( Underwood, 1986 ).
3.7 Stabilitas
Stabilitas obat adalah derajat degradasi suatu obat dipandang dari segi
kimia. Stabilitas obat dapat diketahui dari ada tidaknya penurunan kadar selama
penyimpanan (Connors et al., 1986). Stabilitas dalam arti luas dapat didefinisikan
sebagai ketahanan suatu produk sesuai dengan batas-batas tertentu selama
penyimpanan dan penggunaannya atau umur simpan suatu produk dimana produk
tersebut masih mempunyai sifat dan karakteristik yang sama seperti pada waktu
pembuatan. Banyak faktor yang mempengaruhi stabilitas dari sediaan farmasi,
antara lain stabilitas bahan aktif, interaksi antara bahan aktif dengan bahan
tambahan, proses pembuatan bentuk sediaan, kemasan, cara pengemasan dan
kondisi lingkungan yang dialami selama pengiriman, penyimpanan, penanganan
dan jarak waktu antara pembuatan dan penggunaan. Faktor lingkungan seperti
temperatur, radiasi cahaya dan udara (khususnya oksigen, karbon dioksida dan
uap air) juga mempengaruhi stabilitas. Demikian pula faktor formulasi seperti
ukuran partikel, pH, sifat dari air dan sifat pelarutnya dapat mempengaruhi
stabilitas (Osol, 1980; USP,1990).
Stabilitas sediaan farmasi merupakan salah satu kriteria yang amat penting
untuk suatu hasil produksi yang baik. Ketidakstabilan produk obat dapat
mengakibatkan terjadinya penurunan sampai dengan hilangnya khasiat obat, obat
dapat berubah menjadi toksis, atau terjadinya perubahan penampilan sediaan

3
(warna, bau, rasa, konsistensi dan lain-lain) yang akibatnya merugikan bagi
si pemakai. Ketidakstabilan suatu sediaan farmasi dapat dideteksi melalui
perubahan sifat fisika, kimia serta penampilan dari suatu sediaan farmasi.
Besarnya perubahan kimia sediaan farmasi ditentukan dari laju peruraian obat
melalui hubungan antara kadar obat dengan waktu, atau berdasarkan derajat
degradasi dari suatu obat yang jika dipandang dari segi kimia, stabilitas obat dapat
diketahui dari ada atau tidaknya penurunan kadar selama penyimpanan. Secara
fisiologis, larutan obat harus diformulasikan sedekat mungkin ke pH stabilitas
optimumnya karena besarnya laju reaksi hidrolitik dipengaruhi/dikatalisis oleh
gugus hidroksi (Lachman et al., 1986; Ansel, 1989).

Ada lima jenis stabilitas yang umum dikenal, yaitu :

1. Stabilitas kimia, tiap zat aktif mempertahankan keutuhan kimiawi dan


potensi yang tertera pada etiket dalam batas yang dinyatakan.
2. Stabilitas fisika, mempertahankan sifat fisika awal, termasuk penampilan,
kesesuaian, keseragaman, disolusi dan kemampuan untuk disuspensikan.
3. Stabilitas mikrobiologi, sterilisasi atau resistensi terhadap pertumbuhan
mikroba dipertahankan sesuai dengan persyaratan yang tertera. Zat
antimikroba yang ada mempertahankan efektifitas dalam batas yang
ditetapkan.
4. Stabilitas farmakologi, efek terapi tidak berubah selama usia guna sediaan.
5. Stabilitas toksikologi, tidak terjadi peningkatan bermakna dalam toksisitas.
(Depkes RI, 1995)

3.8 Titrasi Iodometri


Iodometri adalah analisa titrimetri yang secara tidak langsung untuk zat
yang bersifat oksidator seperti besi (III), tembaga (II), dimana zat ini akan
mengoksidasi iodida yang ditambahkan membentuk iodin. Metode titrasi
iodometri (tak langsung)menggunakan larutan Na2S2O3 sebagai titran untuk
menentukan kadar iodium yang dibebaskan pada suatu reaksi redoks. Garam ini
biasanya berbentuk sabagai pentahidrat Na2S2O3.5H2O. Larutan tidak boleh
distandarisasi dengan penimbangan secara langsung, tetapi harus distandarisasi
dengan standar primer, larutan natrium tiosulfat tidak stabil untuk waktu yang

4
lama. Tembaga murni dapat digunakan sebagi standar primer untuk natrium
tiosulfat (Svehla, 1987).
Iodometri adalah analisis titmetrik yang secara tidak langsung untuk zat yang
seperti oksidator seperti besi III, tembaga II, dimana zat ini akan mengoksidasi
iodide yang ditambahkan iodin. Iodin yang terbentuk akan ditentukan dengan
larutan baku tiosulfat. Kelarutan iodide adalah serupa dengan klorida dan
bromide. Perak, merkurium (1), merkurium (II), tembaga (I), dan timbel iodide
adalah garam – garamnya yang paling sedikit larut. Reaksi – reaksi ini dapat
dipelajari dengan larutan kalium iodide KI 0,1 N (Svehla, 1987).

IV. METODE KERJA


4.1 ALAT DAN BAHAN
A. Alat
1. Gelas ukur
2. Statif dan buret
3. Erlenmeyer dan gelas beker
4. Labu ukur
5. Ballfiller
6. Neraca analitik
7. Oven
B. Bahan
1. Larutan vitamin C 100 mg/mL
2. Larutan H2SO4 0,5 M
3. Larutan Na2S2O3 0,1 M
4. Larutan KIO3 0,02 M
5. KI
6. Indikator kanji
7. Es batu
8. Aquadest

4.2 PROSEDUR KERJA


A. Penyiapan Larutan Asam Sulfat 0,5 M

5
Dimasukkan akuades secukupnya ke dalam labu ukur

Dipipet H2SO4 kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur dan


ditambahkan akuades sampai tanda batas

Digojog hingga homogen, dimasukkan ke dalam botol kaca gelap

B. Penyiapan Indikator Kanji

Ditimbang kanji, dimasukkan ke dalam gelas beaker.

Ditambahkan akuades secukupnya, kemudian diaduk hingga larut.

Dimasukkan kedalam labu ukur, ditambahkan akuades hingga tanda


batas, kemudian dipanaskan pada penangas air dengan gelas beaker
sampai mendidih.

Disaring saat panas dan dimasukkan ke dalam botol.

C. Pembuatan Larutan KIO3 0,02 M

Ditimbang Kristal KIO3 dan dimasukkan ke dalam gelas beaker

Dilarutkan dengan menggunakan akuades secukupnya hingga larut

6
Dimasukkan kedalam labu ukur

Ditambahkan akuades sampai tanda batas

Digojog hingga homogen dan dimasukkan kedalam botol kaca


gelap.
D. Pembuatan Larutan Na2S2O3 0,1 M

Ditimbang Na2S2O3

Dimasukkan ke dalam gelas beaker

Dilarutkan dengan akuades secukupnya kemudian diaduk hingga


larut.

Ditambahkan pengawet Na2CO3 dan dimasukkan kedalam labu


ukur, gelas beaker dibilas dengan menggunakan akuades, lalu
bilasan dituang kedalam labu ukur.

Ditambahkan akuades sampai tanda batas

Digojog homogeny lalu ditampung kedalam botol kaca gelap dan


diulangi sebanyak dua kali

E. Standarisasi Larutan Na2S2O3

Dipipet larutan standar KIO3 lalu dimasukkan ke dalam 3


erlenmeyer berbeda dan diberi label 1, 2, 3

Labu 1 ditambahkan KI dan H2SO40,5 M


7

Dititrasi kembali dengan Na2S2O3, dicatat volume yang digunakan.


Dititrasi dengan Na2S2O3 sampai terbentuk warna kuning pucat,
ditambahkan indikator kanji sampai terbentuk larutan warna biru
kehitaman

Dilakukan hal yang sama pada labu no. 2 dan 3. Ditentukan


konsentrasi molar larutan standar Na2S2O3

F. Uji Stabilitas dan Penetapan Kadar Vitamin C


Disiapkan botol vial

Dimasukkan larutan vitamin C ke dalam masing-masing vial


dengan pipet ukur

DitutupDimasukkan vial ke dalam


kemudian dikeratkan oventali kasur
dengan

Dipanaskan dengan suhu 40oC, 70oC dan 100oC masing-masing


selama 10, 20 dan 30 menit

Sampel yang telah dipanaskan langsung dimasukkan ke dalam


penangas es selama 5 menit
Dipipet larutan standar KIO3 lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer
yang telah berisi larutan vitamin C

Ditambahkan KI dan H2SO40,5 M

Dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 M sampai larutan berwarna


kuning pucat.

8
Ditambah beberapa tetes indikator kanji sampai larutan berwarna
biru kehitaman.
Dititrasi kembali dengan larutan Na2S2O3 0,1 M sampai terjadi
4.3 DATAwarna bening, dicatat volume total Na2S2O3 yang digunakan
PENGAMATAN

No Hasil Pengamatan Paraf

No Hasil Pengamatan Paraf

9
DAFTAR PUSTAKA

10
Akhilender. 2003. Vitamin C In Human Health and Disease Is Still A Mystery? An
Overview. Mysore, India: Departement of Biochemistry and Nutrition,
Central Food Technological Research Institute.

Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Keempat. Jakarta:


Universitas Indonesia Press.

Combs, Jr., G. F. 1992. The Vitamins. San diego: Fundamentl aspects in Nutrition
and Health. 1 Academic Press, Inc.

Connors, K. A., Amidon, G. L., and Stella, V. J. 1986. Chemical Stability of


Pharmaceutical. New york: John Willey and Sons.

Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.

Lachman, L., Lieberman, H.A. and Kanig, J.L. 1986. Teori dan Praktek Farmasi
Industri. Edisi Ketiga. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Press.

Osol, A., Alfonso, R.G., Melvin, R. G., Stewart, C. H. and Robert, E. K. 1980.
Remington’s Pharmaceutical Sciences, 16th ed. Easton-Pensivania: Mack
Publishing Company

Svehla, G. 1985. VOGEL : Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan
Semimikro. Bagian 1, Edisi V. Jakarta: PT. Kalma Media Pustaka.

The United State of Pharmacopeia. 1990. United States Pharmacopeia


Convention, 22th. Rockville: Twin Brook Parway.

Underwood, A.L and Day, R.A. 1986. Analisa Kimia Kuantitatif. Jakarta:
Erlangga.

11

You might also like