Professional Documents
Culture Documents
Referat Apendisitis
Referat Apendisitis
Referat Apendisitis
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Pada orang dewasa, rata-rata panjang appendiks adalah 6 hingga 9 cm; namun,
dapat bervariasi antara <1 dan >30 cm. Diameter luarnya bervariasi antara 3 dan 8 mm,
sedangkan diameter luminal antara 1 dan 3 mm, dan berpangkal di caecum. Lumennya
sempit di bagian proximal dan melebar di bagian distal. Pada bayi appendiks berbentuk
kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit diujungnya. Pangkalnya terletak pada
posteromedial caecum. Appendiks terletak dikuadran kanan bawah abdomen. Tepatnya di
ileosecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera, taenia colica, dan
taenia omentum). Dari topografianatomi, letak pangkal appendiks berada pada titik Mc
Burney, yaitu titik pada garis antara umbilicus dan SIAS kanan yang berjarak 1/3 dari
SIAS kanan.4
Appendiks vermiformis disangga oleh mesoappendiks (mesenteriolum) yang
bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale.
Mesenteriolum berisi a. Apendikularis (cabang a.ileocolica). Orificiumnya terletak 2,5
cm dari katup ileocecal. Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak yang
mempunyai pembuluh appendiceal dan terkadang juga memiliki limfonodi kecil. Pada
65% kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan
appendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoappendiks
penggantungnya.4
Jenis posisi:
2
Gambar: Jenis posisi dan letak appendiks
1. 12 o clock : Retrocolic or retrocecal (dibelakang cecum atau colon)
Appendiks mendapat vaskularisasi dari appendicular branch dari ileocolic artery. Arteri
ini berasal dari belakang ileum terminal, memasuki mesoappendiks dekat dengan basis
appendiks. Pendarahan appendiks berasal dari arteri Appendikularis, cabang dari
a.Ileocecalis, cabang dari a. Mesenterica superior. A. Appendikularis merupakan arteri
tanpa kolateral. Drainase limfatik dari appendiks mengalir ke kelenjar getah bening
(KGB) yang berada sepanjang ileocolic artery. Inervasi appendiks berasal dari elemen
simpatis oleh pleksus mesenterik superior (T10-L1) dan aferen dari elemen parasimpatis
3
oleh nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis.
Oleh karena itu, nyeri viseral pada Appendisitis bermula di sekitar umbilikus.4
Secara histologis, appendiks dibungkus oleh 3 lapisan, yaitu lapisan luar serosa,
merupakan ekstensi dari peritoneum; lapisan muskularis, yang tidak well defined dan
bisa tidak ada pada lokasi tertentu; dan lapisan submukosa dan mukosa. Agregrat limfoid
terjadi pada lapisan submukosa dan dapat menyebar hingga muskularis mukosa. Saluran
limfatik terlihat jelas pada daerah agregat limfoid ini. Mukosanya mirip dengan kolon,
kecuali densitas dari folikel limfoidnya. Kriptusnya berukuran dan berbentuk ireguler,
kontras dengan kriptus kolon yang tampak lebih seragam. Kompleks neuroendokrin
terbentuk oleh sel ganglion, sel Schwann, serat neural, dan sel neurosekretorik yang
terletak tepat di bawah kriptus.4
2.2 Fisiologi
Selama beberapa tahun, appendiks secara keliru diyakini sebagai organ vestigial
tanpa fungsi yang diketahui. Saat ini appendiks dianggap sebagai organ imunologik yang
secara aktif ikut berpartisipasi dalam sekresi imunoglobulin, khususnya imunoglobulin
A. Walau tidak ada peran yang jelas untuk appendiks dalam timbulnya penyakit manusia,
telah dilaporkan adanya asosiasi terbalik antara apendektomi dan timbulnya kolitis
4
ulseratif, menunjukkan fungsi protektif dari apendektomi. Namun, asosiasi ini hanya
ditemukan pada pasien yang diterapi apendektomi untuk Appendisitis sebelum usia 20.5
Asosiasi antara Crohn’s disease dan apendektomi lebih kurang jelas. Walaupun penelitian
terdahulu menunjukkan bahwa apendektomi meningkatkan resiko timbulnya Crohn’s
disease, penelitian lebih baru dengan teliti menilai waktu apendektomi berhubungan
dengan onset Crohn’s disease membuktikan tidak adanya hubungan. Sebuah meta-
analisis baru menunjukkan resiko signifikan Crohn’s disease tidak lama setelah
Appendisitis. Resiko ini selanjutnya memudar, menunjukkan adanya hubungan
diagnostik (salah mengidentifikasi Crohn’s disease sebagai Appendisitis) daripada
hubungan fisiologis antara apendektomi dan Crohn’s disease.5
Appendiks dapat berfungsi sebagai tempat penyimpanan untuk rekolonisasi kolon
dengan bakteri sehat. Satu penelitian retrospektif membuktikan bahwa apendektomi
sebelumnya mungkin memiliki hubungan terbalik dengan infeksi Clostridium difficile
berulang. Namun, pada penelitian retrospektif lain, apendektomi sebelumnya tidak
mempengaruhi terjadinya infeksi C. difficile. Peran appendiks dalam merekolonisasi
kolon tetap dicari kejelasannya.5
2.3 Definisi
Appendiks disebut juga umbai cacing, istilah usus buntu yang dikenal di
masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus buntu sebenarnya adalah sekum.
Organ yang tidak diketahui fungsinya ini sering menimbulkan masalah kesehatan.
Peradangan akut appendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah
komplikasi yang umumnya berbahaya.6
Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun
jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu
menurun. Insidens pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur
20-30 tahun, insidens lelaki lebih tinggi.6
2.4 Epidemiologi
Resiko seumur hidup timbulnya Appendisitis adalah 8,6% untuk laki-laki dan
6,7% untuk perempuan, dengan insiden tertinggi pada dekade kedua dan ketiga. Jumlah
apendektomi untuk Appendisitis telah menurun sejak 1950an pada sebagian besar
negara. Di Amerika, mencapai jumlah insiden terendah menjadi 15 per 10.000 penduduk
pada tahun 1990an. Sejak saat itu, terjadi kenaikan insidensi Appendisitis non-perforasi.
5
Alasannya tidak jelas, tetapi disarankan bahwa peningkatan penggunaan pencitraan
diagnostik menyebabkan deteksi yang lebih tinggi dari Appendisitis ringan yang
mungkin tidak terdeteksi.5
2.5 Etiologi
Appendisitis akut merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal berperan mencetuskan
terjadinya Appendisitis akut. Antaranya adalah sumbatan lumen appendiks yang diajukan
sebagai pencetus. Di samping hyperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor appendiks dan
cacing askariasis dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab lain diduga dapat menimbul
Appendisitis akut adalah erosi mukosa appendiks akibat parasit seperti E.histolitica. Pada
penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya Appendisitis. Konstipasi akan menaikan tekanan
intrasekal yang mengakibatkan sumbatan fungsional appendiks dan meningkatkan
pertumbuhan kuman flora normal kolon biasa, keadaan ini mempermudahkan timbulnya
Appendisitis akut.7
2.6 Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.8
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya dan
berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa appendiks yang distensi.
Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan.
Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas
lumen appendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat
meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH20. Manusia merupakan salah satu dari
sedikit makhluk hidup yang dapat mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup
tinggi sehingga menjadi gangrene atau terjadi perforasi.9
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan appendiks mengalami hipoksia,
menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi
menyebabkan pembengkakan appendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena
terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding appendiks). Pada saat inilah terjadi
Appendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas
6
dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien
karena ditentukan banyak faktor.9 Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus
meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan
bakteri akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut
dengan Appendisitis supuratif akut.9
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding appendiks yang diikuti dengan
gangrene. Stadium ini disebut dengan Appendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah
rapuh itu pecah, akan terjadi Appendisitis perforasi.9
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak kearah appendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate
apendikularis. Peradangan appendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.9
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi Appendisitis yang dimulai dimukosa
dan melibatkan seluruh lapisan dinding appendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini
merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup
appendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa
periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat
mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, Appendisitis akan sembuh dan massa
periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri.6
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan appendiks lebih panjang, dinding
appendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih
kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah
terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.9 Kecepatan rentetan peristiwa tersebut
tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding
appendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti
vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini.
Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul
peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup kuat
menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu pendeita harus
benar-benar istirahat (bedrest).
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk
jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan
ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ
ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.6
7
2.7 Manifestasi Klinis
1. Gejala
Appendisitis umumnya dimulai dengan nyeri menyebar di sekitar umbilikus
yang nantinya terlokalisasi pada kuadran kanan bawah (sensitivitas 81%, spesifisitas
53%). Walaupun nyeri kuadran kanan bawah adalah salah satu tanda paling sensitif
dari Appendisitis, nyeri pada lokasi atipikal atau nyeri minimal sering menjadi
presentasi awal. Variasi lokasi anatomis dari appendiks dapat berperan dalam
membedakan perbedaan presentasi dari fase somatis nyeri.
Appendisitis juga memiliki hubungan dengan gejala gastrointestinal seperti
mual (sensitivitas 58%, spesifisitas 45%) dan anoreksia (sensitivitas 68%, spesifisitas
36%). Gejala gastrointestinal yang timbul sebelum timbulnya nyeri menyarankan
etiologi yang berbeda seperti gastroenteritis. Banyak pasien mengeluhkan sensasi
obstipasi sebelum gejala nyeri timbul dan merasa bahwa defekasi dapat meredakan
gejala nyeri abdomen. Diare dapat terjadi berhubungan dengan perforasi, terutama
pada anak-anak.5
2. Tanda
Awalnya, tanda vital dapat berubah secara minimal. Suhu tubuh dan nadi dapat
normal atau sedikit meningkat. Perubahan yang lebih besar mengindikasikan
terjadinya komplikasi atau diagnosa lain perlu dipertimbangkan.
Penemuan fisik ditentukan dari ada tidaknya iritasi peritoneum dan dipengaruhi oleh
ruptur tidaknya organ saat pertama kali diperiksa. Pasien Appendisitis biasanya
bergerak perlahan dan lebih memilih berbaring telentang karena iritasi peritoneum.
Pada palpasi abdomen, ditemukan nyeri tekan maksimal pada atau sekitar titik
McBurney. Pada palpasi dalam, sering dirasakan adanya resisten muskular (guarding)
pada fossa iliaca dextra, lebih jelas dibandingkan dengan sisi sinistra. Saat tekanan
dari tangan pemeriksa dilepaskan secara mendadak, pasien merasakan nyeri
mendadak, yang disebut sebagai nyeri lepas (rebound tenderness). Nyeri tekan tidak
langsung (Rovsing’s sign) dan nyeri lepas tidak langsung (nyeri pada kuadran kanan
bawah saat kuadran kiri bawah dipalpasi) adalah bukti kuat terjadinya iritasi
peritoneum. Nyeri lepas dirasa sangat tajam dan tidak nyaman bagi pasien. Sehingga
8
disarankan untuk memulai memeriksa nyeri lepas tidak langsung dan nyeri ketok
langsung terlebih dahulu.
Variasi anatomis pada appendiks yang meradang berujung pada deviasi
penemuan fisik yang umum. Dengan appendiks retrocecal, penemuan pada abdomen
bisa menjadi kurang jelas, dan nyeri tekan paling jelas pada pinggang (flank). Saat
appendiks tergantung di dalam pelvis, penemuan pada abdomen bisa sama sekali tidak
ditemukan, dan diagnosa Appendisitis dapat terlewatkan. Nyeri rektal sisi kanan
dikatakan dapat membantu dalam situasi ini, tetapi nilai diagnostiknya rendah. Nyeri
pada ekstensi dari kaki kanan (psoas sign) mengindikasikan adanya fokus iritasi pada
bagian proksimal dari muskulus psoas (menunjukkan appendiks retrosekal).
Peregangan muskulus obturator internus melalui rotasi internal dari paha terfleksi
(obturator sign) menyarankan inflamasi di dekat otot (menunjukkan appendiks
pelvis). Peningkatan nyeri yang dirasakan saat batuk disebu Dunphy sign.5
2.8 Diagnosa
1. Anamnesa
Keluhan appendiksitis biasanya bermula dari nyeri didaerah umbilikus atau
periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri akan beralih
ke kuadran kanan bawah yang akan menetap dan diperberat bila jalan atau batuk.
Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi.
Biasanya juga terdapat konstipasi, tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual, dan
muntah.
Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap.
Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan akan semakin progresif, dan
dengan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan satu titik dengan nyeri
maksimal. Perkusi jaringan pada kuadran kanan bawah dapat membantu menentukan
lokasi nyeri. Nyeri lepas dan spasme biasanya juga muncul. Bila tanda rovsing, psoas,
dan obtutor positif akan semakin meyakinkan diagnosa klinis appendisitis.8
2. Pemeriksaan Fisik
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5C. Bila suhu lebih tinggi,
mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal
sampai 1C.
9
a. Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang
perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran
spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi.
Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses periapendikuler.
b. Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda peritonitis lokal
yaitu: - Nyeri tekan di Mc. Burney
- Nyeri lepas
- Defans muscular lokal. Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum parietal.
Pada appendiks letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada
nyeri pinggang.
Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung:
- nyeri tekan kanan bawah pada penekanan perut kiri (Rovsing sign)
- nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)
- nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk,
mengedan.
- Appendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler terlihat dengan adanya
penonjolan di perut kanan bawah.6
c. Perkusi
Nyeri ketok perut kanan bawah. Jika pekak hepar hilang→perforasi.
d. Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada
peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.
e. Pemeriksaan colok dubur akan didapatkan nyeri kuadran kanan pada jam 9-11.
Pada appendisitis pelvika akan didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok
dubur. Pada Appendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci
diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada
anak tidak dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan
pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak appendiks. Uji psoas
dilakukan dengan rangsangan m. psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila
appendiks yang meradang menempel di m.psoas, tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat apakah appendiks yang
10
meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul
kecil. Dengan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang,
pada Appendisitis pelvika akan menimbulkan nyeri.6
Jika sfingter ani longgar→pada peritonitis.
f. Psoas sign.
Nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan. Pasien dimiringkan kekiri.
Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien, pada saat itu ada hambatan pada pinggul
/ pangkal paha kanan.
Dasar anatomi dari tes psoas. Appendiks yang mengalami peradangan kontak
dengan otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver (pemeriksaan).6
g. Tes Obturator
Nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat paha pasien difleksikan. Pemeriksa
menggerakkan tungkai bawah kelateral, pada saat itu ada tahanan pada sisi
samping dari lutut (tanda bintang), menghasilkan rotasi femur kedalam.
Dasar Anatomi dari tes obturator: Peradangan appendiks dipelvis yang kontak
dengan otot obturator internus yang meregang saat dilakukan manuver.6
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan darah: akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus
Appendisitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi, C-reaktif protein
meningkat. Pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat.
b) Pemeriksaan urin: untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam
urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis
banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala
klinis yang hampir sama dengan appendisitis.
b. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fekalit sebagai penyebab appendisitis, adanya
perselubungan di fossa iliaka dextra. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada
anak-anak.
c. USG Abdomen
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG,
terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai
11
untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan
sebagainya. Dapat ditemukan massa infiltrat atau abses.
d. Barium Enema
Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendisitis pada
jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding.
Appendicogram memiliki sensitivitas dan tingkat akurasi yang tinggi sebagai
metode diagnostik untuk menegakkan diagnosis appendisitis khronis. Dimana akan
tampak pelebaran/penebalan dinding mukosa appendiks, disertai penyempitan
lumen hingga sumbatan usus oleh fekalit.
e. CT-scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain itu juga dapat
menunjukkan komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi abses.
f. Laparoskopi
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukan dalam
abdomen, appendiks dapat divisualisasikan secara langsung. Tehnik ini dilakukan
di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini
didapatkan peradangan pada appendiks maka pada saat itu juga dapat langsung
dilakukan pengangkatan appendiks.
g. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk diagnosis
appendisitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai gambaran
histopatologi appendisitis akut. Perbedaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa
belum adanya kriteria gambaran histopatologi appendisitis akut secara universal
dan tidak ada gambaran histopatologi Appendisitis akut pada orang yang tidak
dilakukan operasi. Riber et al, pernah meneliti variasi diagnosis histopatologi
appendisitis akut. Hasilnya adalah perlu adanya komunikasi antara ahli patologi
dan antara ahli patologi dengan ahli bedahnya.
1 Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di lapisan epitel.
12
2 Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel.
Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses mukosa dan
5 keterlibatan lapisan mukosa, bukan Appendisitis akut tetapi periAppendisitis.
13
Peningkatan suhu > 37,30C 1
Jumlah leukosit > 10x103/L 2
Jumlah neutrofil > 75% 1
__________________________________________________
Total skor: 10
2.10 Penatalaksanaan
1. Awal
a. Appendisitis Tanpa Komplikasi
- Tatalaksana Operatif dibanding Non-operatif
Pada pasien dengan Appendisitis tanpa komplikasi, tatalaksana operatif
menjadi standar sejak McBurney melaporkan pengalamannya. Konsep
tatalaksana non-operatif untuk Appendisitis tanpa komplikasi berkembang dari
observasi terhadap dua hal. Pertama, pasien berada dalam lingkungan dimana
tatalaksana operatif tidak tersedia (misalnya kapal selam, ekspedisi ke daerah
terpencil), tatalaksana dengan antibiotik saja telah dibuktikan efektif. Kedua,
banyak pasien dengan tanda dan gejala konsisten dengan Appendisitis yang tidak
mencari pertolongan medis terkadang megalami resolusi spontan.
15
Beberapa penelitian observatif dan controlled trials telah dilaporkan hasil
dari tatalaksana non-operatif dibanding operatif pada kasus yang diduga
Appendisitis tanpa komplikasi. Secara keseluruhan, telah dilaporkan 9%
kegagalan jangka pendek (<30 hari) dengan tatalaksana non-operatif. Pada pasien
yang gagal ditatalaksana secara non-operatif, hampir setengahnya mengalami
Appendisitis dengan komplikasi (perforasi atau gangren). Setelah 1 bulan, sekitar
1% pasien menjalani apendektomi, dan 13% pasien yang awalnya berhasil
ditatalaksana non-operatif mengalami Appendisitis berulang, 18% peluang
mengalami Appendisitis dengan komplikasi. Tindak lanjut dilakukan tidak lebih
dari 1 tahun pada semua penelitian. Sebagai tambahan sepertiga pasien menolak
atau mundur dari tatalaksana non-operatif.
Sebagai perbandingan, apendektomi operatif menunjukkan angka kemunduran
relatif lebih rendah (2%), proporsi Appendisitis dengan komplikasi lebih rendah
(25%), proporsi kecil appendiks normal (5%), dan kemungkinan kecil infeksi
superfisial pada lokasi operasi (3,7%) serta abses intra-abdomen (1,3%).
Hasil penelitian ini harus dilihat dengan hati-hati mengingat tidak jelasnya
seleksi pasien, manejemen diagnostik yang tidak lengkap pada pasien yang tidak
dioperasi, gold standard yang tidak jelas untuk pasien yang dioperasi, dan
tingginya kemungkinan beralih antara pilihan tatalaksana. Konsekuensi dalam hal
penggunaan kasur rumah sakit, lama opname, morbiditas dari tatalaksana operatif
yang ditunda setelah kegagalan tatalaksana non-operatif, diagnosa tertunda untuk
pasien dengan kanker appendiks atau cecum, dan meningkatnya resiko resistensi
terhadap antibiotik masih perlu diteliti lebih lanjut. Sehingga, tatalaksana operatif
kasus yang diduga apendisistis tanpa komplikasi tetap menjadi standar perawatan.
Sebagian sub-grup dengan Appendisitis dengan komplikasi dapat membaik
dengan tatalaksana non-operatif. Pasien yang memilih tatalaksana non-operatif
harus dikonseling dengan baik berkaitan dengan resiko kegagalan tatalaksana dan
Appendisitis berulang.
16
ruang operasi dan tatalaksana non-operatif menjadi tantangan keyakinan bahwa
Appendisitis adalah kedaruratan bedah.
Tiga penelitian retrospektif telah mengevaluasi peran pembedahan darurat
atau segera dalam Appendisitis tanpa komplikasi; grup yang darurat memiliki
waktu untuk sampai ke ruang operasi <12 jam, dimana grup yang segera memiliki
waktu 12-24 jam. Tidak ada peningkatan Appendisitis dengan komplikasi yang
secara statistik berarti pada grup segera dibanding grup darurat. Begitu pula
halnya dengan peluang terjadinya infeksi pada lokasi operasi, abses intra-
abdomen, konversi menjadi luka terbuka, atau waktu operasi tidak menunjukan
perbedaan antara kedua grup. Walau lama opname lebih lama pada grup segera,
secara statistik dan klinis tidak berbeda pada grup darurat. Hal yang dapat
menjadi pertimbangan untuk perawatan operatif segera dibanding darurat
termasuk pemeriksaan klinis, waktu datang dari onset gejala dan durasi
penundaan pembedahan. Pasien dengan tanda klinis perforasi, waktu datang lebih
dari 48 jam setelah onset gejala dan penundaan tatalaksana definitif leih dari 12
jam berada di luar ruang lingkup penelitian ini.
Operasi darurat dibanding segera untuk Appendisitis tanpa komplikasi
bergantung pada institusi dan ahli bedah. Institusi tanpa kamar operasi dan staf
yang langsung tersedia dapat mempertimbangkan apendektomi segera dibanding
darurat.
19
timbulnya Appendisitis di kemudian hari atau mengidentifikasi penyakit lain,
seperti keganasan appendiks.
Hanya ada satu prospective randomized controlled trial kecil (n=40) yang
menginvestigasi subjek ini. Pada literaturnya banyak terdapat small case series
dan retorspective cohort studies; tidak ada meta-analisis yang mengevaluasi
subjek ini. Dari 1434 pasien yang diduga Appendisitis dengan komplikasi dan
telah berhasil ditatalaksana konservatif, 8,8% mengalami Appendisitis berulang
dengan rata-rata follow up selama 35 bulan. Insidensi Appendisitis dengan
komplikasi diikuti oleh kekambuhan rendah (2,4%). Keganasan ditemui pada
1,3% kasus dimana patologi dilaporkan. Banyak pasien tereksklusi dari penelitian
karena gejala menetap, infeksi menetap, atau temuan keganasan pada
kolonoskopi skrining.
Selain itu, dari 344 pasien yang diduga Appendisitis dengan komplikasi,
telah berhasil ditatalaksana konservatif, dan kemudian menjalani apendektomi
interval, komplikasi pembedahan terjadi pada 9,4% pasien. Sebagian besar pasien
menjalani apendektomi interval 2-4 bulan setelah gejala akut. Walau perincian
operatif dan patologis tidak dilaporkan seragam pada pasien ini, banyak yang
berlanjut mengalami tanda Appendisitis atau abses pada waktu apendektomi
interval; 3,6% pasien memiliki keganasan dimana patologi dilaporkan.
Peran apendektomi interval setelah keberhasilan tatalaksana konservatif
Appendisitis dengan komplikasi tidaklah jelas. Close clinical follow-up,
pencarian menyeluruh riwayat gejala menetap, dan kolonoskopi skrining (saat
usia pantas) sebaiknya digunakan untuk membantu mengarahkan diskusi dengan
pasien mengenai peranan apendektomi interval setelah tatalaksana konsertatif
Appendisitis dengan komplikasi.
2. Operatif
a. Open Appendectomy
Pada umumnya pasien pada posisi terlentang dan dalam anastesi umum.
Seluruh abdomen telah disiapkan dan ditutup kain apabila insisi yang lebih besar
dibutuhkan. Untuk Appendisitis awal tanpa perforasi, insisi kuadran kanan bawah
pada titik McBurney (sepertiga jarak dari spina iliaca anterior superior ke
umbilikus) umumnya digunakan. Insisi McBurney (oblique) atau Rocky-Davis
(transversal) pada kuadran kanan bawah dibuat. Jika diduga Appendisitis perforasi
20
atau diagnosa masih diragukan, dipertimbangkan untuk laparotomi garis tengah
bawah. Walau telah dilaporkan bahwa posisi appendiks dapat berubah dengan
kehamilan, penelitian prospektif telah membuktikan bahwa kehamilan tidak
merubah proporsi pasien dengan appendiceal base dalam 2 cm dari titik
McBurney.
Setelah memasuki abdomen, pasien seharusnya diposisikan dalam posisi
sedikit Trendelenburg dengan rotasi kasur ke kiri pasien. Jika appendiks sulit
diidentifikasi, lokasi cecum harus diidentifikasi. Menelusuri taenia libera (taenia
anterior), yang paling terlihat dari 3 taeniae coli, pada distal dasar appendiks dapat
diidentifikasi.
Appendiks sering memiliki penempelan pada dinding lateral atau pelvis
yang dapat dibebaskan dengan diseksi. Membelah mesenterium appendiks terlebih
dahulu dapat memperjelas eksposur dasar appendiks. Appendiceal stump dapat
ditangani dengan ligasi sederhana atau dengan ligasi dan inversi. Selama stump
terlihat jelas dan dasar cecum tidak dilibatkan dalam proses inflamasi, stump dapat
dengan aman diligasi. Obliterasi mukosa dengan electrocautery dengan tujuan
menghindari timbulnya mucocele direkomendasikan oleh beberapa ahli bedah;
namun, tidak ada data yang mengevaluasi resiko atau manfaat manuver
pembedahan ini. Inversi stump dengan lipatan dari cecum juga telah
dideskripsikan. Pemasangan surgical drains baik untuk Appendisitis tanpa dan
dengan komplikasi, dipraktekkan oleh banyak ahli bedah, tidak didukung oleh
penelitian klinis. Nanah di abdomen harus diaspirasi, tetapi irigasi pada
Appendisitis dengan komplikasi tidak dirokemdasikan. Kulit juga dapat langsung
ditutup pada pasien dengan Appendisitis perforasi.
Jika Appendisitis tidak ditemukan, pencarian metodis harus dilakukan
untuk diagnosa alternatif. Cecum dan mesenterium harus diinspeksi. Usus halus
harus dievaluasi dengan cara retrogade dimulai dari katup ileocecal. Keterlibatan
Crohn’s disease atau Meckel’s diverticulum harus menjadi prioritas utama. Pada
pasien perempuan, organ reproduksi harus diinspeksi dengan teliti. Jika ditemukan
cairan purulen atau bilious, asalnya harus diidentifikasi. Sebagai contoh,
Valentino’s Appendisitis, atau ulkus duodenal bergejala seperti Appendisitis, harus
disingkirkan. Ekstensi medial insisi (Fowler-Weir) atau ekstensi superios dari insisi
lateral pantas dilakukan jika evaluasi lebih lanjut dari abdomen bawah atau kolon
kanan diperlukan. Laparoskopi selektif melalui insisi kuadran kanan bawah juga
21
telah dideskripsikan. Jika patologi abdomen atas ditemukan, insisi garis tengah
harus dilakukan.
a. Apendektomi Laparoskopik
Apendektomi laparoskopik yang pertama kali dilaporkan dilakukan pada
tahun 1983 oleh Semm; namun, pendekatan laparoskopik tidak digunakan secara
luas hingga nanti, setelah keberhasilan kolesistektomi laparoskopik. Ini mungkin
karena inisisi kecil sudah umum digunakan dengan open appendectomy.
Apendektomi laparoskopik dilakukan dalam anastesi umum. Oro- atau
nasograstric tube dan kateter urin dipasang. Pasien dalam posisi terlentang dengan
lengan kiri terlipat dan diikat pada meja operasi. Baik ahli bedah dan asisten harus
berdiri di sisi kiri pasien menghadap ke appendiks. Layar laparoskopi diposisikan
pada sisi kanan pasien atau pada kaki kasur. Apendektomi laparoskopik standar
umumnya menggunakan tiga saluran. Umumnya, saluran 10 atau 12 mm dipasang
pada umbilikus, sedangkan saluran 5 mm dipasang pada supra-pubik dan kuadran
kiri bawah. Pasien seharusnya dalam posisi Trendelenburg dan dimiringkan ke kiri.
22
Appendiks harus diidentifikasi sama halnya dengan pembedahan terbuka
dengan menyusuri taenia libera/coli ke dasar appendiks. Melalui saluran supra-
pubik, appendiks dipegang dengan mantap dan dielevasikan ke arah jam 10.
“Appendiceal critical view” seharusnya didapatkan dengan taenia libera pada arah
jam 3, ileum terminal pada arah jam 6 dan appendiks yang ditarik pada arah jam 10
untuk identifikasi dasar appendiks. Melalui saluran infra-umbilikus, mesenterium
harus diseksi secara perlahan dari dasar appendiks dan dibuat jendela. Umumnya
dasar appendiks di-staple setelah stapling mesenterium. Selain itu, mesenterium
dapat dibagi dengan energy device atau clipped dan dasar appendiks ditahan
dengan Endoloop. Stump harus diperiksa dengan seksama untuk memastikan
hemostasis, transeksi komplit, dan memastikan tidak ada stump tertinggal.
Appendiks diambil melalui lubang infra-umbilikus dengan retrieval bag.
b. Laparoskopik Dibanding Open Appendectomy
Sudah terdapat beberapa randomized controlled trials prospektif yang
membandingkan hasil laparoskopik dan open appendectomy. Beberapa meta-
analisis telah dilakukan untuk mengevaluasi hasil kumulatifnya.
Apendektomi laparoskopik berkaitan dengan infeksi lokasi pembedahan yang lebih
sedikit dibanding open appendectomy. Tetapi apendektomi laparoskopik berkaitan
dengan meningkatnya resiko abses intra-abdomen dibanding open appendectomy.
Dengan apendektomi laparoskopik lebih tidak nyeri, lama opname lebih singkat
dan lebih cepat kembali ke aktivitas normal dibanding open appendectomy.
Apendektomi laparoskopik berkaitan dengan meningkatnya durasi opeasi dan
23
biaya ruang operasi; namun rata-rata biaya hampir sama dibanding open
appendectomy. Pasien cenderung lebih puas dengan apendektomi laparoskopik.
Sebagai tambahan, apendektomi laparoskopik memiliki keuntungan ketika
diagnosa dipertanyakan, seperti pada pasien wanita dalam usia reproduktif, pasien
lebih tua dengan kecurigaan keganasan, dan pasien obes dimana dibutuhkan insisi
open appendectomy yang lebih besar.
2.11 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi
bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah mengalami pendindingan berupa
massa yang terdiri atas kumpulan appendiks, sekum, dan lekuk usus halus. 6 Perforasi
dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis generalisata. Tanda-
tanda terjadinya suatu perforasi adalah :
Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen menyeluruh
Suhu tubuh naik tinggi sekali.
Nadi semakin cepat.
Defance Muskular yang menyeluruh
Bising usus berkurang
Perut distended
Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :
1. Pelvic abscess
2. Subphrenic abses
3. Intra peritoneal abses local.
Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk kerongga abdomen,
dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.
2.12 Prognosis
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang akurat serta
pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar 0,2-0,8% dan disebabkan oleh
komplikasi penyakit daripada intervensi bedah. Pada anak, angka ini berkisar 0,1-1%
sedangkan pada pasien di atas 70 tahun angka ini meningkat di atas 20% terutama karena
keterlambatan diagnosa dan terapi.8
BAB III
24
KESIMPULAN
25
adanya Appendisitis akut. Dimulai dari acute focal apendicitis acute suppurative
Apendicitis gangrenous Appendisitis (tahap pertama dari Appendisitis yang mengalami
komplikasi) dapat terjadi 3 kemungkinan:
o perforated Appendisitis, terjadi penyebaran kontaminasi didalam ruang atau
rongga peritoneum akan menimbulkan peritonitis generalisata.
o terjadi Appendicular infiltrat jika pertahanan tubuh baik (massa lama
kelamaan akan mengecil dan menghilang)
o Appendisitis kronis, merupakan serangan ulang Appendisitis yang telah
sembuh.
Appendicular infiltrat dapat didiagnosis dengan didasari anamnesis adanya riwayat
Appendisitis acuta, pemeriksaan fisik berupa teraba massa yang nyeri tekan di RLQ.
Diagnosis Appendicular infiltrat dapat didiagnosis banding dengan tumor Caecum, limfoma
maligna intra abdomen, Appendisitis tuberkulosa, amoeboma, Crohn’s disease, dan juga
kelainan ginekolog seperti KET, adneksitis ataupun torsi kista ovarium.
Terapi Appendicular infiltrat yang terbaik adalah terapi non-operatif (konservatif) yang
diikuti dengan Appendectomy elektif (6-8 minggu kemudian), tetapi apabila massa tetap dan
nyeri perut pasien bertambah berarti sudah terjadi abses dan massa harus segera dibuka dan
dilakukan drainase.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 17th edition.
Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Philadelphia: Elsevier
Saunders. 2004: 1381-93.
2. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery Volume 2. 8th
edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE.
New York: McGraw Hill Companies Inc. 2005:1119-34.
3. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11 edition. Ed:Way
LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2003:668-72.
26
4. Riwanto. Appendiks. Dalam : De Jong W., Sjamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi
3, di terbitkan EGC, Jakarta, 2007 ; hal 755-62
5. Wibisono E, Jeo W. Appendisitis. In: Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta E, ed. by
Kapita selekta kedokteran. 4th ed. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.
6. De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta.
9. Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999. Principles of Surgery sevent edition. Mc-Graw
Hill a Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an Enigma Electronic
Publication.
27