Professional Documents
Culture Documents
13 Manajemen Perioperative Pasien Asma 05 08 2016 Word
13 Manajemen Perioperative Pasien Asma 05 08 2016 Word
Review Artikel
Oleh :
dr. Nanang Nurofik
Pembimbing :
dr. Ira Pitaloka SpAnKIC KAP
PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit paru kronis yang ditandai dengan adanya inflamasi dan
hiperreaktivitas dari saluran nafas yang menyebabkan terjadinya episode wheezing, batuk,
sesak, dan obstruksi.1,2,3 Obstruksi jalan napas pada asma bersifat reversible dan merupakan
akibat dari konstriksi otot polos bronkial, edema, dan peningkatan sekresi saluran napas. 2
Patofisiologi asma adalah pengurangan diameter saluran napas karena kontraksi otot polos,
kongesti vaskular, edema dari dinding bronkus, dan sekresi terus menerus. 4
Gambar 1 Gambaran bronkus normal dan bronkus pada orang dengan asma
Penderita asma akan mengalami peningkatan resiko komplikasi perioperatif yang akan
menjadi tantangan tersendiri bagi dokter anestesi. Oleh karena itu diperlukan tatalaksana
yang baik selama masa perioperatif untuk mencegah terjadinya komplikasi.
MANAJEMEN PRE-OPERATIF
Tujuan utama evaluasi preoperative pada pasien dengan asma adalah untuk memformulasikan
rencana anestesi yang bisa mencegah atau blunting obstruksi saluran napas.5 Anamnesa
terkait riwayat penyakit yang menyeluruh dan pemeriksaan fisik yang baik akan memberikan
Page |3
informasi yang tepat untuk membantu dokter anestesi melakukan stratifikasi tingkat penyakit,
derajat kontrol penyakit dan stratifikasi resiko anestesi. 1,2 Evaluasi preoperative pasien
dengan asma ditekankan pada derajat penyakit dan apakah pasien pernah dirawat di rumah
sakit untuk serangan asma akut, termasuk riwayat intubasi endotrakeal akibat serangan asma,
alergi dan riwayat operasi atau anestesi sebelumnya serta memastikan bahwa pasien dalam
kondisi optimal. 1,2 Selain itu, regimen pengobatan yang dijalani oleh pasien bisa memberikan
informasi terkait derajat beratnya asma.1 Asma yang terkontrol dengan baik belum terbukti
sebagai factor resiko terjadinya komplikasi durante ataupun pasca operasi. 2 Pasien dengan
asma yang akan menjalani operasi harus berada dalam kondisi optimal, tidak ada sesak,
mengi atau batuk. 2
Pemeriksaan fisik preoperative pada pasien dengan asma antara lain vital sign, status hidrasi
dan pemeriksaan suara napas serta penggunaan otot-otot bantu napas. Napas yang tersengal-
sengal, penggunaan otot bantu napas dan ekspirasi yang memanjang menujukkan bahwa
penyakit asma belum terkontrol dengan baik. 1 Wheezing perioperative merupakan salah satu
predictor bahwa akan terjadi penyulit perioperative. 4
Pemeriksaan laboratorium tidak rutin dikerjakan pada pasien dengan asma. Akan tetapi, pada
penyakit asma yang berat, dapat dilakukan pemeriksaan analisa gas darah untuk mengetahui
baseline oksigenasi, retensi karbondioksida dan status asam basa dari pasien. 1,2,4 Selain itu,
pada kasus yang berat, tes faal paru dilakukan untuk mengetahui derajat gangguan respirasi.
Pemeriksaan foto thoraks dapat membantu menilai adanya hiperinflasi paru atau air trapping.1
Selain itu, tes spirometri dapat dilakukan untuk menilai Forced Expiratory Volume (FEV1)
yang berguna untuk menilai derajat obstruksi jalan napas. 1,4
Page |4
Gambar 2 Perubahan Spirografik pasien normal (A) dan pasien dengan bronkospasme (B). Forced Expiratory
Volume dalam 1 detik (FEV1) pada pasien dengan bronkospasme menurun kurang dari 80% Vital Capacity.
Penurunan FEV1 atau Forced Vital Capacity (FVC) kurang dari 70%, serta rasio FEV1 /
FVC yang kurang dari 65% dari nilai prediksi, biasanya dianggap sebagai faktor risiko untuk
terjadinya komplikasi perioperative5.
Anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang didapat saat pemeriksaan
preoperative harus disintesis untuk mendapatkan gambaran menyeluruh dari derajat penyakit
pasien dan tingkat kontrol penyakit sehingga pasien bisa dikelola dengan baik selama masa
perioperative untuk meminimalisasi komplikasi perioperative.
Pilihan pengobatan sebelum operasi didasarkan pada tingkat keparahan penyakit. Seringkali,
dibutuhkan untuk meningkatkan pengobatan dalam jangka pendek selama masa
perioperative. 1
Page |5
Gambar 3 Volume Paru pada pasien dengan penyakit paru obstruktif jika dibandingkan dengan orang normal.
Pada kondisi obstruktif, Vital Capacity (VC) normal atau menurun, Residual Volume (RV) dan Functional
Residual Capacity (FRC) naik, Total Lung Capacity (TLC) normal atau naik, dan rasio RV/TLC naik.
Asma yang terkontrol mungkin hanya membutuhkan beta agonis short acting sebelum
operasi. Asma yang terkontrol secara moderate, satu minggu sebelum operasi diberikan
tambahan kortikosteroid inhalasi selain beta agonis short acting. Sedangkan asma yang tidak
terkontrol dengan baik diberikan tambahan kortikosteroid oral. 1 Penggunaan oral
kortikosteroid pre operatif telah terbukti menekan produksi sitokin pro-inflamasi dan studi
mengkonfirmasi keamanan kortikosteroid sistemik pre operatif. 1
Pasien harus meneruskan semua regimen terapi sampai hari dilaksanakan operasi. 1,2
Tambahan beta agonis short acting diberikan untuk semua level penyakit, karena memberikan
Page |6
Pada operasi emergensi, pasien asma yang mengalami bronkospasme harus diterapi secara
agresif. Pemberian suplemen oksigen, beta agonis inhalasi dan glukokortikoid intravena dapat
meningkatkan fungsi paru secara cepat. 2
MANAJEMEN INTRA-OPERATIF
Premedikasi
Secara umum, benzodiazepine merupakan obat yang cukup memuaskan untuk digunakan
sebagai obat premedikasi.2 Pemberian obat ansiolitik seperti midazolam akan mengurangi
kejadian bronkospasme akibat kecemasan. 1,2,7 Midazolam 0.5mg/kg per oral cukup aman dan
efektif untuk sedasi pasien asma moderate dan berat.4,9 Obat-obatan antikolinergik tidak
digunakan secara rutin sebagai premedikasi pada pasien asma, kecuali jika terbukti terdapat
sekresi yang berlebihan atau jika induksi anestesi menggunakan ketamine. 2 Penggunaan H2
blocker seperti cimetidine, ranitidine atau famotidine, secara teoritis merugikan, karena
Page |7
Induksi
Ketika anestesi umum dipilih, induksi anestesi yang paling sering dilakukan dengan induksi
menggunakan obat intravena.5 Pilihan agen induksi menjadi kurang penting, jika kedalaman
anestesi yang memadai tercapai sebelum intubasi atau stimulasi bedah.2
Beberapa obat yang dapat digunakan sebagai induksi pada pasien dengan asma antara lain :
1. Propofol
Propofol merupakan agen induksi pilihan pada pasien dengan hemodinamik stabil karena
kemampuannya untuk mengurangi respon bronkospasme akibat intubasi baik pada pasien
dengan asma ataupun tidak dengan asma.1 Kejadian bronkokonstriksi dikatakan lebih kecil
jika induksi dilakukan dengan propofol dibandingkan dengan agen anestesi lainnya. 4
Mekanisme kerja efek bronkodilatasi akibat propofol masih belum diketahui. 5
2. Thiopental
Insiden wheezing pada pasien dengan asma selama induksi dengan thiopental lebih besar
jika dibandingkan dengan propofol. 4,5 Thiopental tidak menyebabkan bronkospasme,
namun obat ini tidak dapat mensupresi reflek jalan napas atas secara adekuat sehingga
instrumentasi jalan napas dapat mengakibatkan bronkospasme. 5
3. Ketamin
Ketamine mempunyai efek bronkodilatasi dan merupakan obat pilihan pada pasien asma
dengan hemodinamik tidak stabil.2 Ketamine merupakan salah satu obat induksi intravena
pilihan karena efek simpatomimetik dapat mengakibatkan bronkodilatasi dan ketamine
cukup efektif untuk mencegah dan mengatasi wheezing pada pasien asma yang
memerlukan intubasi endotrakea. Ketamin mengakibatkan otot bronkus menjadi relaks dan
mencegah bronkokosntriksi yang disebabkan oleh histamine, sehingga menurunkan
kejadian bronkospasme selama induksi. Meskipun demikian, ketamine juga menyebabkan
peningkatan sekresi bronkial,, sehingga diperlukan pemberian atropine atau glikopirolat
ketika digunakan ketamine.4,5 Ketamine sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan
kadar teofilin tinggi, karena kombinasi kedua obat ini dapat memicu terjadinya kejang. 2
induksi inhalasi. Desflurane merupakan agen anestesi inhalasi yang baunya paling tajam,
dan dapat menyebabkan batuk, spasme laring dan bronkospasme. 2
Reflek bronkospasme sebelum intubasi dapat diblunting dengan penambahan dosis agen
induksi, memberikan ventilasi dengan 2-3 MAC selama 5 menit, atau dengan memberikan
lidocaine intravena atau intratrakeal dengan dosis 1-2 mg/kgBB. 2,5 Lidokain intravena
diberikan 1-3 menit sebelum intubasi. 5 Namun perlu diingat bahwa, lidokain intratrakeal
dapat menyebabkan bronkospasme jika dosis obat induksi tidak adekuat. 2,5
Opioid
Meskipun opioid bisa menyebabkan released histamin, namun penggunaan opioid dianggap
aman untuk pasien dengan peningkatan reaktivitas bronkial. Supresi reflek batuk dan
kedalaman anestesi yang tercapai setelah pemberian opioid akan sangat membantu pada
pasien dengan asma.4.5 Namun, perpanjangan efek opioid dapat menyebabkan depresi
pernapasan pasca operasi.5 Fentanyl dan analognya sering digunakan untuk induksi anestesi,
namun obat ini dapat menyebabkan kekakuan rongga dada yang sering disalah artikan
sebagai bronkospasme.4.5 Efek ini dapat diminimalisasi dengan injeksi yang lebih lambat.4
Selain itu, penggunaan dengan agen anestesi intravena lainnya dan penggunaan pelumpuh
otot juga dapat menurunkan efek ini. 5 Remifentanil dengan dosis 0.05 to 0.1mcg/kg/min
dapat digunakan karena kerjanya sangat pendek dan tidak terakumulasi. 5
Pelumpuh Otot
Apabila dibutuhkan intubasi endotrakeal, maka pelumpuh otot yang menyebabkan histamine
released harus dihindari. Vecuronium, rocuronium dan cis-atracurium aman digunakan pada
pasien asma.1,4 Suksinilkolin menyebabkan released histamine dalam jumlah kecil, namun
terbukti aman digunakan pada pasien dengan asma. Penggunaan reversal pelumpuh otot
dengan inhibitor acetylcholinesterase harus digunakan dengan hati-hati pada penderita asma
karena risiko efek samping muskarinik termasuk bronkospasme.1 Neostigmine dan
physostigmine dapat menyebabkan bradikardi, peningkatan sekresi dan hipereaktivitas
bronkus.4 Sugammadex, yang merupakan reversal pelumpuh otot tanpa efek muskarinik,
dapat digunakan sebagai salah satu alternative. Namun sugammade tidak secara lengkap
menghilangkan hipereaktivitas jalan napas pada pasien dengan penyakit dasar. 1
Maintenance
Agen anestesi inhalasi paling sering digunakan untuk maintenance anestesi karena memiliki
efek bronkodilatasi. 1,2 Sevoflurane menjadi agen anestesi inhalasi pilihan karena memiliki
efek bronkodilator paling nyata diantara agen anestesi inhalasi lainnya. 1
Page |9
Bronkospasme yang terjadi selama anestesi, kemungkinan bisa disebabkan oleh reaksi
anafilaksis atau reaksi alergi berat. Obat (antibiotic, NMBA), produk darah (PRC, FFP) dan
allergen lain (latex) merupakan beberapa agen yang umum menjadi penyebabnya.10 Dokter
harus mengidentifikasi penyebab bronkospasme durante operasi, termasuk malfungsi
ventilator, obstruksi ETT (kinking, mucous, plug), intubasi endobronkial, atau kondisi medis
seperti tension pneumothoraks atau emboli paru.1,2
Ekstubasi
Pada akhir operasi, ekstubasi dilakukan saat anestesi masih cukup untuk menekan
hipereaktivitas jalan napas, atau dengan kata lain dilakukan ekstubasi dalam.5 Ekstubasi
dalam akan menurunkan kejadian bronkospasme saat emergence. Lidokain 1.5-2 mg/kg bolus
dapat membantu memblunting reflex jalan napas selama emergence. 2
MANAJEMEN POST-OPERATIF
Manajemen post operatif pasien asma tergantung dengan kondisi durante operasi. Jika operasi
berjalan dengan lancar, dan nyeri, mual, dan status pernafasan yang terkendali dengan baik,
P a g e | 11
penderita asma mungkin aman untuk pulang ke rumah atau ke unit rawat inap yang sesuai
tanpa intervensi lebih lanjut. Namun apabila terjadi komplikasi serius durante operasi, maka
perawatan khusus harus dilakukan untuk memastikan pasien aman selama post operasi. 1
Untuk bronkospasme berulang, pemberian beta agonis sebelum emergence dan selama masa
pemulihan post operatif bisa diberikan.1
DAFTAR PUSTAKA
1. Applegate R, Lauer R, Lenart J, Gatling J, Vadi M (2013) The Perioperative Management of Asthma. J
Aller Ther S11: 007. doi:10.4172/2155- 6121.S11-007
2. Butterworth, John; Mackey, David C; Wasnick, John D. Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5 th
edition. Chapter 24 page 530-534.
3. Bateman ED, Hurd SS, Barnes PJ, Bousquet J, Drazen JM, et al. (2008) Global strategy for asthma
management and prevention: GINA executive summary. Eur Respir J 31: 143-178.
4. Burburan, SM; Xisto, DG; Rocco, PRM.2006. Anaesthetic management in asthma. Minerva
Anestesiologica Vol 73-No.6
5. Roberta L. Hines, Katherine E. Marschall. 2012. Stoelting's anesthesia and co-existing disease. — 6th ed.
Philadelpia : Elseviers Saunders. Chapter 9 page : 182-188
6. Silvanus MT, Groeben H, Peters J (2004) Corticosteroids and inhaled salbutamol in patients with reversible
airway obstruction markedly decrease the incidence of bronchospasm after tracheal intubation.
Anesthesiology 100: 1052-1057.
7. Kil N, Zhu JF, VanWagnen C, Abdulhamid I (2003) The effects of midazolam on pediatric patients with
asthma. Pediatr Dent 25: 137-142.
8. Bosenberg A. Avoiding adverse outcomes in anaesthesia. The relevant As: allergy, asthma airway and
anaphylaxis. South Afr J Anaesth Analg 2013;19(6)
9. R Hirasuna, E Lujan, S Birmingham, B Mecklenburg, P Boyle, R Green. Severe Bronchospasm Following
Bilateral T2-T5 Sympathectomy. The Internet Journal of Anesthesiology. 2006 Volume 12 Number 2
10. Looseley, Alex. Update in Anesthesia : Management of Bronchospasm during General Anesthesia.