You are on page 1of 24

 

BAB II
DASAR TEORI

II.1 Penginderaan Jauh (Remote Sensing)

Remote sensing dalam bahasa Indonesia yaitu penginderaan jauh, dapat diartikan
suatu teknik pengumpulan data atau informasi objek permukaan bumi secara tidak
langsung (instrumen tidak kontak langsung dengan objek) melalui analisis pengumpulan
datanya, yang didapatkan dari perekaman sensor yang menerima pantulan sinyal
gelombang dari objek, wahana dari instrumen ini dapat berupa satelit luar angkasa
(spaceborne) dan dapat juga berupa wahana pesawat (airborne), ilustrasinya dapat
dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini.
Satelit

Pesawat

Gambar 2.1 Ilustrasi pengambilan data secara remote sensing melalui wahana terbang
(airborne) dan angkasa (spaceborne)

Airborne remote sensing atau penginderaan melalui wahana pesawat memiliki


sensor yang mengarah kebawah ataupun kesamping, yang terpasang menjulang pada
suatu pesawat untuk memperoleh citra dari permukaan bumi, keuntungan dari wahana
pesawat penginderaan jauh ini dibandingkan satelit penginderaan jauh (spaceborne
remote sensing) adalah kemampuan resolusi spasial yang sangat tinggi yaitu 20 cm
sampai dibawahnya. Selain itu, terdapat kekurangan dari penggunaan wahana pesawat
ini yaitu low coverage maksudnya cakupan objek yang didapat sangat kecil dan biaya

 
 
 

yang dibutuhkan sangat tinggi dalam satu cakupan pada area permukaan bumi serta
tidak sangat efektif jika penggunaan wahana pesawat ini untuk memperoleh informasi
permukaan bumi yang sangat luas. Sementara satelit penginderaan jauh menawarkan
kemampuan memonitor secara kontinyu dari informasi permukaan bumi untuk banyak
hal keperluan, walaupun kemampuan resolusi spasialnya lebih kecil dibandingkan
teknik wahana pesawat [sumber : www.crisp.nus.edu.sg].

II.1.1 Penginderaan Jauh Optik (Optical Remote Sensing)

Penginderaan jauh optik merupakan sensor optik untuk mendeteksi radiasi sinyal
matahari dalam gelombang visible dan near infrared (disingkat menjadi VNIR) yang
dipantulkan atau di hamburkan dari permukaan bumi, bentuk citranya seperti fotografi
dengan kamera tinggi pada wahana luar angkasa. Perbedaan material permukaan seperti
air, tanah, pepohonan, gedung dan jalan, pada pantulan gelombang tampak dan infrared
nya akan menghasilkan berbeda pula. Mereka memiliki perbedaan warna dan
kecerahanya hasil dari proses tersebut. Interpretasi citra optis membutuhkan
pengetahuan dari spektral reflektansi untuk berbagai material baik alami ataupun buatan
manusia yang mencakup seluruh permukaan di bumi. Biasanya sensor infrared
mengukur radiasi suhu yang dipancarkan dari bumi, yang berasal baik dari daratan
ataupun perairan. Ilustrasi penginderaan jauh optik ini dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Satelit 

Pancaran sinar   Gelombang 
pantulan 
Atmosfer

Bangunga

Pepohonan  perairan

rerumputan Aspal 

Gambar 2.2 Prinsip penginderaan jauh optik

 
 
 

Penginderaan jauh optik menggunakan sinar tampak yaitu near visible, near
infrared dan short-wave infrared sensor dalam pencitraan permukaan bumi dengan
mendeteksi pantulan sinar radiasi dari target. Perbedaan pantulan dan penyerapan dari
material secara jelas berbeda pada setiap panjang gelombang (dapat dilihat pada
Gambar 2.4). Dengan demikian target dapat dibedakan oleh spektral reflektansinya pada
citra penginderaan jauh ini. Terdapat 2 tipe pencitraan dengan sistem optik ini, secara
umum [sumber : www.crisp.nus.edu.sg], diantaranya :

• Sistem pencitraan pankromatik : terdiri atas satu saluran pendeteksi (single channel
detector) dan sensitif terhadap radiasi dengan sebuah panjang gelombang yang jelas.
Jika jarak panjang gelombang yang diterima bertepatan dengan jarak tampak, maka
akan menghasilkan fotografi hitam-putih diambil dari angkasa. Kuantitas fisiknya
dapat dilihat dari tingkat kecerahan dari target, tetapi untuk informasi spektral atau
warna dari targetnya tidak ada. Contohnya sistem pencitraan pankromatik adalah
IKONOS PAN, SPOT, HRV-PAN.

• Sistem pencitraan multispektral : terdiri atas sensor multi saluran pendeteksi


(multichannel detector), setiap salurannya sensitif terhadap radiasi pada sebuah batas
band panjang gelombangnya. Hasil citra ini berupa multi layer dimana berisikan
tingkat kecerahan dan informasi spektral dari target yang diamati. Contohnya sistem
multispektral adalah LANDSAT MSS, LANDSAT TM, SPOTHRV-XS, IKONOS MS.

II.1.1.1 Iradiasi sinar matahari

Penginderaan jauh optis bergantung pada matahari yang menyinari permukaan


bumi yang dicitrakan. Spektrum iradiasi matahari diatas atmosfer dapat dimodelkan oleh
spektrum radiasi black body dengan memiliki temperatur sumber yaitu sekitar 5250 K
dengan puncak iradiasinya pada panjang gelombang 500 nm. Pengukuran fisik dari
iradiasi matahari dilakukan dengan sensor dipermukaan bumi dan wahana pesawat.
Setelah melewati atmosfer, spektrum iradasi matahari pada permukaan
dimodulasikan oleh atmospheric transmission windows, Sisa energi signifikan yaitu
hanya pada jarak panjang gelombang 2.5 – 3 µm [sumber : www.crisp.nus.edu.sg].
10 

 
 
 

Sinar matahari diatas Atmosfer

Radiasi  Spektral Black Body, 5250o C 

 sinar  

w/m2/μ Radiasi pada Permukaan laut  
m
Penyerapan Bands  

Panjang Gelombang μm 

Gambar 2.3 Spektra Iradiasi Matahari diatas atmosfer dan permukaan laut [sumber :
http://atmoz.org]

Dapat dilihat pada Gambar 2.3 diatas, bahwa semakin besar panjang gelombang
yang digunakan (visible – infrared) maka radiasi yang diterima akan semakin kecil dan
sebaliknya, jika panjang gelombang yang digunakan semakin kecil (infrared – visible)
maka radiasi yang diterima akan semakin besar, oleh karena itu penginderaan jauh
dengan sistem optik ini sinar tampak atau visible light.

II.1.1.2 Spektral reflektansi

Ketika radiasi matahari menyentuh sebuah target permukaan, lalu dipancarkan,


diserap ataupun dipantulkan. Perbedaan pantulan dan penyerapan dari suatu material
dan perbedaan panjang gelombang yang digunakan akan menghasilkan reflektansi yang
berbeda pula. Grafik spektral reflektansi dari sebuah material ialah plot radiasi pantulan
yang merupakan fungsi dari incident wavelength dan sifat khusus dimiliki (yang
direkam oleh sensor) pada material tersebut. Secara prinsip, sebuah material dapat di
identifikasi dari spektral reflektansinya.

11 

 
 
 

Contoh grafik dari spektral reflektansi dari 8 material diantaranya ; air, bersih,
air keruh, tanah terbuka dan dua tipe vegetasi dapat dilihat pada Gambar 4.2 di bawah
ini.

Vegetasi 2 Vegetasi 1 

Reflektansi (%) 
Air Keruh

Tanah Kosong 

Air Bersih

Panjang gelombang μm 

Gambar 2.4 Spektral reflektansi dari 8 jenis tutupan lahan [sumber: www.crisp.nus.edu.sg]

Pada Gambar 2.4, dapat dilihat spektral reflektansi yang diterima dengan sensor
sensitif pada panjang gelombang tersebut. Pada vegetasi, spektral reflektansinya
bervariasi dikarenakan proses fotosintesis yang dilakukannya, sementara untuk air keruh
dan air bersih cenderung menjadi sedikit spektral reflektansi ini diakibatkan kebutuhan
akan radiasi matahari dari hewan dan tumbuhan air (plankton, dsb) dan proses fisik pada
saat radiasi matahari masuk ke medium air, sementara untuk tanah kosong spektral
reflektansinya cenderung meningkat, ini diakibatkan oleh radiasi mataharinya tidak
mengalami proses apapun ketika saat mengenai objek tersebut (tanah kosong) dan
langsung kembali dihamburkan.

12 

 
 
 

II.1.2 Pencitraan Radar (microwave remote sensing)

Penginderaan jauh dengan radar ini ialah pencitraan dengan memancarkan


radiasi gelombang radar ke suatu permukaan bumi yang akan dicitrakan. Citra dari
permukaan bumi dibentuk oleh pantulan atau hamburan energi gelombang radar dari
permukaan baik daratan ataupun lautan dan sinyal gelombangnya dikembalikan lagi ke
sensor. Kelebihan dengan menggunakan pencitraan ini adalah dapat dilakukan pada
kondisi siang hari ataupun malam hari, serta penetrasi gelombangnya dapat menembus
awan, pepohonan serta perairan dangkal tergantung dari jenis band yang digunakan.
Penetrasi gelombang radar dalam medium udara dipengaruhi oleh spektrum
gelombang elektromagnetik yang digunakan, nilainya diantara frekuensi 300 Mhz
hingga 30 Ghz atau pada panjang gelombang 1 cm sampai 1 m dengan polarisasi
gelombang satu bidang vertikal atau horizontal. Spektrum gelombang elektromagnetik
itu sendiri dikelompokan menjadi band – band, dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut,
[Sabins, 1978] :

Tabel 2.1 Klasifikasi Band dari panjang gelombang dan frekuensinya


Band Panjang Gelombang (cm) Frekuensi (MHz)

Ka 0,8 – 1,1 40.000 – 26.500


K 1,1 – 1,7 26.500 – 18.000
Ku 1,7 – 2,4 18.000 – 12.500
X 2,4 - 3,8 12.500 – 8.000
C 3,8 – 7,5 8.000 – 4.000
S 7,5 – 15,0 4.000 – 2.000
L 15,0 – 30,0 2.000 – 1.000
P 30,0 – 100,0 1.000 - 300

Citra radar yang diperoleh merepresentasikan jumlah energi pantul yang diterima
oleh sensor. Besar kecilnya panjang gelombang yang digunakan berpengaruh pada citra
yang diperoleh, semakin besar panjang maka semakin kuat daya tembus medium
perantaranya (kanopi, perairan, salju, dsb) gelombangnya (dengan menganggap bahwa
konstanta dielektrik medium atmosfer sama).

13 

 
 
 

Pada permukaan bumi, pulsa gelombang radar dipancarkan ke segala arah,


sebagian pantulannya diterima kembali oleh sensor. Intensitas dari gelombang pantulan
ini sangat lemah dibandingkan ketika dipancarkan, dapat dilihat pada ilustrasi Gambar
2.5 dibawah ini.

Satelit (T1)
Satelit (T2) 

Sinyal 

Hamburan

Gambar 2.5 Iustrasi gelombang hamburan dari permukaan bumi

Ketika wahana memancarkan sinyal radar, memiliki bentuk geometri pencitraan


tersendiri. Berikut ini adalah faktor-faktor geometri pada pencitraan radar, yaitu :
• Incidence Angle
Merupakan sudut yang dibentuk antara pancaran gelombang radar dengan garis
yang tegak lurus terhadap permukaan objek
• Depression Angle
Adalah sudut yang dibentuk dari arah horisontal ke arah garis pancaran gelombang
radar
• Look Angle
Merupakan sudut antara utara geografis dan arah pancaran gelombang radar atau
dengan garis yang tegak lurus arah terbang wahana.
• Look Direction
Merupakan arah antena pada saat melakukan pencintraan

14 

 
 
 

Sistem pencitraan gelombang mikro atau radar dapat menghasilkan gambar


resolusi tinggi dari permukaan bumi ialah synthetic aperture radar (SAR). Intensitas
dalam SAR bergantung jumlah dari hamburan kembalian dari target dan diterima
kembali oleh SAR antena. Mekanisme fisik untuk hamburan kembali berbeda untuk
gelombang radar dibandingkan dengan radiasi visible atau infrared. Interpretasi dari
citra SAR membutuhkan pengetahuan sinyal ketika berinteraksi dengan target.
Ketika gelombang radar mengenai permukaan bumi, energi yang dihamburkan
kembali ke sensor bergantung dalam pada beberapa faktor sebagai berikut [sumber :
www.crisp.nus.edu.sg]:
• Faktor fisik seperti konstanta dielektrik dari material permukaan dimana bergantung
pada konten uapnya, Gelombang radar yang dikirimkan dari sensor dan kembali
diterima oleh sensor tersebut, penjalaran gelombang tersebut melewati medium
atmosfer yang konten didalamnya salah satunya adalah uap air, kandungan dari uap
air (yang berisikan konstanta dielektrik) tersebut yang memperanguhi kualitas
gelombang kembalian dari dari pantulan objek (semakin sedikit kandungan uap
airnya semakin baik).
• Faktor geometrik seperti kekasaran permukaan, beda tinggi, orientasi dari objek
yang relatif kepada arah sinyal radar. faktor geometrik tersebut terkait dengan sinyal
datang dari sensor lalu di pantulkan kembali oleh objek dari permukaan bumi,
geometri pengamatan dan objeknya akan mempengaruhi geometri sinyal kembalian
ke sensor, semakin cocok (match) antara keduanya (geometri pengamatan dan
objek) maka sinyal kembaliannya semakin banyak, sehingga kualitas dari
informasinya semakin baik pula.
• Jenis dari tutupan lahan (tanah, vegetasi, atau buatan manusia objek), informasi
dari objek yang akan dicitrakan ini, berkaitan dengan informasi apa yang ingin kita
dapatkan dan penggunaan dari karakteristik gelombang yang harus digunakan,
contohnya untuk mendapatkan informasi topografi permukaan tanah dari suatu area
berkanopi atau pepohonan sangat cocok menggunakan gelombang band – L, karena
dapat menembus kanopi tersebut.

15 

 
 
 

II.2 Pencitraan Radar Kesamping (Side Looking)

II.2.1 Real - Aperture Radar (RAR)

Real aperture Aperture (RAR) merupakan sistem pencitraan radar dengan


mengarah kesamping (side looking) dengan geometri pengamatannya seperti tinggi
terbang, sudut pengamatan, panjang gelombang yang digunakan dan lain sebagainya
tergantung dari satelit yang digunakan (dapat dilihat pada Gambar 2.6). Dalam sistem
RAR ini hanya informasi amplitudo (dan bukan fase) dari setiap sinyal kembalian yang
dilakukan pengambilan datanya serta dilakukan prosesnya.

Gambar 2.6 Ilustriasi geometri observasi dari sistem Real - Aperture Radar

Resolusi spasial dari sistem RAR ini ditentukan terutama oleh ukuran antena
yang digunakan, semakin besar ukuran antenanya maka semakin baik resolusi
spasialnya. faktor lain yang menentukan antara lain, durasi pulsa dan beamwidth dari
antenanya. Dalam sistem Real Aperture Radar (RAR) resolusi spasial dibagi atas 2 hal,
yaitu sebagai berikut :

16 

 
 
 

Resolusi range

Resolusi range didefinisikan merupakan jarak terkecil antara dua titik dalam
permukaan (ground), dengan memproyeksikan resolusi slant range ke dalam permukaan
di formulasikan sebagai berikut [Usai, 2001] :

Rgr = c .τ (2.2.1.1)
2.sinθ
Dimana :

Rgr = Resolusi ground range c = Kecepatan cahaya

τ = panjang pulsa θ = Look angle

Resolusi azimuth

Resolusi azimuth dipengaruhi oleh beamwidth antena tersebut. Sinyal radar dari
antena menyebar dan lalu meningkatkan jaraknya ke permukaan bumi lalu dipantulkan
kembali dan beberapa sinyal hamburan yang diterima kembali oleh platform dengan
membawa informasi melalui pulsa yang dipancarkan dan diterima tersebut, akibatnya
resolusi azimuth memburuk, tapi pada intinya beamwidth antena dikontrol dengan :
1. Dikontrol oleh panjang fisik dari antena
2. Dikontrol keefektifan sintesis panjang dari antena
Sementara untuk azimuth resolusi dalam sistem RAR ini diformulasikan sebagai
berikut [Usai, 2001]:

Ra = λ . r (2.2.1.2)
La
Dimana :

Ra = Resolusi Azimuth λ = Panjang gelombang

r = Jarak dari sensor ke permukaan La =Panjang antena

Sistem ini dimana beamwidthnya dikontrol oleh fisik dari panjang antena,
contohnya untuk resolusi spasial sampai 10 km, dengan mengumpamakan pengamatan
jarak sebesar 1000 km.
17 

 
 
 

II.2.2 Synthetic - Aperture Radar (SAR)

SAR mengambil keuntungan dari sistem Doppler terutama dari gema radar yang
dihasilkan dari perputaran suatu benda di depan satelit untuk mensintesis sebuah antena
besar. Ini memberikan hasil ketelitian tinggi dari resolusi azimuth pada citranya, dengan
ukuran antena secara fisik adalah kecil. Ketika satelit radar ini bergerak pada posisinya
dan memancarkan setiap pulsanya, pengembalian terobosan gema ke receiver dan
direkam dalam tempat penyimpanan gema (signal storage) [ESA, 2007].

Dalam SAR ini menggunakan sistem Doppler, dimana prinsip Doppler itu
sendiri yaitu frekuensi suatu sumber bunyi akan terdengar berubah apabila sumber
bunyi tersebut berubah posisinya relatif terhadap sensor (pendengar). Prinsip doppler
ini berlaku pula untuk gelombang elektromagnetik. Dengan adanya prinsip doppler ini
maka akan terjadi perubahan frekuensi yang memenuhi persamaan 2.2.2.1 dibawah ini
[Merril,1980]. berikut yang kemudian dinamakan “Perubahan Frekuensi Doppler” (The
Doppler Frequency Shift)

(2.2.2.1)
dengan :
f = Perubahan Frekeunsi Doppler f = Frekuensi Transmisi
d 0

v = Kecepatan target bergerak relatif terhadap sensor λ = Panjang Gelombang


r
8
c = Cepat rambat cahaya (3.10 m/s)
Focusing merupakan rekontruksi dari kontribusi setiap 5 m sel (pixel), dimana
untuk meningkatkan ketelitian diperkirakan membutuhkan waktu ribuan kali RAR, oleh
karena itu pemprosesannya yang dilakukan secara antena buatan (sintesis aperture)
sama dengan 20 km panjang antena RAR, oleh karena itu kenapa dinamakan Synthetic
Aperture Radar [ESA, 2007], dapat dilihat ilustrasi pada Gambar 2.7 berikut :

18 

 
  (a) Real Aperture Radar  (b) Synthetic Aperture Radar  
 

(c) Sama dengan antena besar RAR  

Gambar 2.7 Ilustrasi pemanfaatan prinsip doppler dalam sistem pencitraan kesamping
[Sumber: sang ho yun (disertation)]

Pada dasarnya, pengembalian sinyal dari bagian pusat beamwidth dapat


dibedakan dengan mendeteksi perubahan frekuensi doppler, dimana perubahan
gelombang frekuensinya hasil dari kecepatan relatif antara pengirim and pemantulnya
(objek). dengan sinar wide antenna, unsur kembalian sinyal dari depan area platform
akan dinaikkan atau lebih tinggi hasil frekuensi dari efek Doppler, dan sebaliknya
pengembalian unsur dari belakang platform akan diturunkan atau frekuensi rendah,
sementara pengembalian dari dekat garis pusat beamwidth (sering disebut zero Doppler
line) akan secara langsung tidak ada perubahan pada frekuensinya.
Amplitudo dan fase dari sinyal pengembalian dari objek akan direkam oleh
tempat penyimpanan gema (echo store), secara keseluruhan dalam periode waktu
penyinaran objeknya melalui perubahan antena tersebut. Dengan pengolahan sinyal
sesuai dengan prinsip doppler tadi, sangat kecil keefektifan beamwidth antena dapat
tercapai, dalam range yang jauh, tanpa membutuhkan sebuah fisik antena baik yaitu
dengan ukuran panjang ataupun pendek pada operasi panjang gelombangnya.
Catatan bahwa dengan panjang antena sintetik ini tak hanya resolusi azimuth
yang peningkatannya besar (kaitannya dengan pembatasan keefektifitasan dari
beamwidth). juga pada resolusi azimuth, pada dasarnya terbebas dari range (jarak),
karena panjang range objek sinar atau gelombang lebih panjang, maka kembalinya itu

19 

 
 
 

direkam dengan sebuah jarak yang lebih panjang [ESA, 2007]. Dalam SAR resolusinya
dibagi atas 2 hal, yaitu sebagai berikut :
Resolusi range
Resolusi dari pulsa sistem radar adalah secara mendasar dibatasi oleh bandwidth
(B) dari pancaran pulsa gelombang (c), dengan semakin lebar pada bandwidthnya maka
range resolusinya akan semakin lebih baik, lebar bandwidth tersebut dapat dicapai
dengan pulsa berdurasi pendek. secara matematis dapat diformulasikan sebagai berikut,
[ESA, 2007] :

Slant range = c / (2.B) (2.2.2.2)

Resolusi Azimuth
Prinsip pengukuran dari SAR bergantung dari penggunaan radiasi koherennya,
bersama dengan informasi yang diterima dari suatu titik dari pulsa radar tersebut. Untuk
sebuah pengamat yang berplatform dan berpindah – pindah, sehingga jarak dari radar ke
target juga secara kontinyu berubah, menyebabkan fase dari pantulan sinyal berubah
sesuai dengan hukum diberikan oleh observasi geometri, (formula ini adalah formula
deterministik), karena itu kemungkinan untuk mengkoreksi fase dari sinyal kembali dari
satu sama lainnya, sehingga batas efeknya sebanding dengan sinyal yang diterima secara
terus menerus oleh antena dengan panjangnya tidak lebih dari panjang dari sinyal radar
yang direkam. Dengan cara ini, antena sintesis dapat mengatasi tingkat elemen radiasi
bebas, dimana dipisahkan sejak pengulangan pulsa frekuensi dan kecepatan platform.
Perubahan fase berhubungan dengan waktu frekuensi angular doppler, serta resolusi
azimuth ditentukan oleh bandwidth Doppler dari sinyal yang diterima [ESA, 2007].
Dengan menggunakan antena seperti ini, sehingga rumus resolusi azimuthnya
menjadi [Usai, 2001] :

R a = La (2.2.2.3)
2

20 

 
 
 

Dimana :
Ra = Resolusi azimuth La = Panjang antena
Beberapa hal perlu diperhatikan dalam sistem SAR ini [ESA, 2007], diantaranya:
• Frekeunsi dalam SAR
Gelombang radio merupakan bagian spektrum elektromagnetik dimana
memiliki panjang gelombang lebih dari sinar tampak (visible light) dalam sub
sentimeter. Penetrasi merupakan faktor kunci dalam pemilihan frekuensi, untuk
wavelength yang lebih panjang (untuk frekuensinya lebih pendek) kekuatan penetrasi
masuk menembus vegetasi hingga mencapai tanah. Informasi frekuensi atau panjang
panjang gelombangnya pada Tabel 2.2, sebagai berikut :
Tabel 2.2 Klasifikasi Band dan pemanfaatannya
No Jenis Band Panjang Gelombang (λ) Wahana Pemanfaatan
1 Band - P 65 cm pesawat AIRSAR
2 Band - L 23 cm pesawat & satelit JERS-1, ALOS
3 Band - S 10 cm pesawat & satelit Almaz-1
4 Band - C 5 cm pesawat & satelit ERS-1/2,
RADARSAT,
ENVISAT
5 Band - X 3 cm pesawat & satelit TerraSAR-X,
Cosmos
Skymed
6 Band - K 1.2 cm pesawat militer

• Polarisasi
Tanpa bergantung pada panjang gelombang, sinyal radar dapat di kirimkan
secara horizontal (H) maupun vertikal (V) dari bidang vektor, dan sinyal kembali
diterima juga secara horizontal atau vertikal, dan ataupun kedua – duanya (ilustrasinya
dapat dilihat pada Gambar 2.8). Dasar proses fisik dilakukan untuk polarisasi (HH atau
W) kembali yaitu quasispecular pantulan permukaan dan permukaan atau volume
hamburan. Cross-polarised (HV atau VH) kembali adalah biasanya lemahnya serta
seringnya menyatu dengan banyak hamburan yang kaitannya dengan kekasaran dan

21 

 
 
 

banyak volume hamburan. Mekanisme hamburan atau kembalinya dari perbedaan


permukaan mungkin biasanya sering bertukar – tukar dengan jelas pada sudut pandang
radar.

Gambar 2.8 Ilustrasi polarisasi H dan V [sumber : www.ccrs.nrcan.gc.ca]

• Radar Look Angle


Sudut pandang atau look angle (θ) radar merupakan sudut yang dibentuk oleh
sinar pancaran radar dan sebuah garis tegak lurus dengan permukaan. Interaksi
gelombang radar dengan permukaan ialah sangat kompleks dan perbedaan mekanisme
hamburan mungkin diakibatkan perbedaan sudut arah yang datang, kembalinya tersebut
terkait dengan permukaan hamburannya, biasanya kuat untuk penurunan sudut pandang
atau look angle radar dan lemah dengan kenaikan look angle radar.
Kembalinya volume hamburan dari bermacam – macam perantara cenderung
menjadi lebih seragam untuk semua look angle radar, jadi pantulan hamburan sangat
bergantung pada sudut dan ini potensial untuk memilih konfigurasi yang optimal dalam
aplikasi yang berbeda.

22 

 
 
 

II.3 Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR)

II.3.1 Prinsip SAR Interferometri


Sistem SAR interferometri (Synthetic Aperture Radar) menyinari bumi dengan
sinar dari radiasi koherensi gelombang radar, dengan mempertahankan informasi fase
dan amplitudo dalam gema radar selama akuisisi data (pengambilan data) dan
pengolahannya. Radiasi ini dapat di gambarkan melalui 3 properti utama, sebagai
berikut :
1. Panjang gelombang, jarak antar puncak dalam gelombang.
2. Amplitudo, pergeseran dari puncak dari gelombang.
3. Fase, gambaran pergeseran dari gelombang (baik degree maupun shift) dari
beberapa gelombang lain.

Gambar 2.9 Ilustrasi pengamatan perubahan fase

Dapat dilihat pada Gambar 2.9, SAR Interferometri (InSAR) memanfaatkan


koheren dalam pengukuran fase untuk mendapatkan beda jarak dan perubahan jarak
dari dua atau lebih citra SAR yang memiliki nilai compleks dari permukaan yang sama,
ini cara untuk mendapatkan informasi lebih tentang objek dibanding hanya mendapatkan
satu citra saja. Hasil perbedaan dari fase menghasilkan jenis citra baru yang disebut
inteferogram, dimana pola fringes mengisikan semua informasi geometri relatif.

23 

 
 
 

Agar diperoleh topografi dari citra, harus dipenuhi dua buah syarat, yaitu objek
di permukaan bumi yang akan dicitrakan dapat terlihat dengan jelas, dan bentuk
geometri pengamatan citra tersebut memiliki posisi tiga dimensi yang cukup sehingga
daerah yang dipetakan dapat diketahui topografinya. Kedua hal tersebut hanya dapat
dipenuhi oleh teknik InSAR.
Teknik interferometri mencitrakan suatu objek di permukaan bumi dengan cara
melakukan pengamatan terhadap beda fase dua gelombang pendar yang berasal dari satu
objek.

Gambar 2.10 Ilustrasi 2 satelit dalama pengambilan data SAR Interferometri

Pada Gambar 2.10 diatas tampak bahwa S dan S merupakan 2 buah sensor
1 2

yang berbeda, memancarkan gelombang radar pada suatu objek dengan tinggi objek
tersebut sebesar Z dari bidang referensi. R dan R adalah jarak geometris objek terhadap
1 2

sensor radar, disebut juga Slant Range. Fase kedua sinyal tersebut memenuhi persamaan
[Gens, dkk, 1995] :

24 

 
 
 

φ = 4.π.R1 φ = 4.π.R2 (2.3.1.1)


1 2
λ λ
Sehingga beda fase (φ) antara kedua sinyal yang diterima dari elemen
permukaan yang sama pada kedua posisi antena dapat dituliskan sebagai persamaan
2.3.1.2 [Gens, dkk, 1995]
φ = 4.π.dR (2.3.1.2)
λ
Dengan
φ = Beda fase λ = Panjang gelombang
dR = Selisih jarak dari titik ke sensor
r dan r ialah jarak antara masing-masing antena dengan objek yang sama. maka
1 2

dapat dihitung tinggi titik Z dengan persamaan 2.3.1.3 [Gens, dkk, 1995] :
z (x , y) = H – R cos θ (2.3.1.3)
1

Dengan :
H = tinggi terbang θ = incidence angle

II.3.2 Teknik SAR Interferometri


Citra kedua SAR untuk menyediakan informasi tambahan, itu harus diperoleh
melalui mengabaikan perbedaan posisi sensor. Perbedaan antara akuisisi dari citra
pertama dan kedua menentukan hasil interferometer atau interferogramnya. Beberapa
bentuk umum dari interferometri, diantaranya :
a. Across – Track (range), Dalam kasus yang sama (single-pass InSAR) pencitraan dari
2 antena yang terpisah, kedua antena tersebut memiliki fungsi memancarkan dan
menerima sinyal radar. Dalam kasus dimana satu antena melakukan pencitraan
kembali pada posisi yang sama dan area yang sama pada permukaan bumi setelah
beberapa hari atau minggu, metode ini disebut dengan repeat-pass Interferometry,
dimana metode dimana setiap antena dari keduanya itu sebagai pemancar dan
penerima. Perbedaan r1 dan r2 (Δr) dapat diukur oleh fase yang berbeda diantara 2
citra kompleks SAR. Ini dilakukan oleh perbanyakan satu citra melalui konjugasi
kompleks dari citra lain, dimana interferogram dibentuk dari kepemilikan fase pada

25 

 
 
 

suatu titik yang didapat melalui perbedaan range secara proporsional. Fase yang
merupakan contain interferogram adalah suatu deskripsi topografi permukaan bumi
yang dicitrakan dalam hal ini sama seperti garis countur.
b. Along – track (azimuth), menggunakan 2 antena yaitu master sebagai pemancar dan
receiver serta slave hanya sebagai penerima saja. Seperti sebuah sistem
mendapatkan 2 citra dari target yang sama, dengan keterlambatan waktu itu hasil
dari perubahan posisi dari along-track ini. Secara khusus waktu keterlambatan ini
diantara 10 microseconds sampai 100 ms. Jika sisa keperluan target diantara
akuisisi, 2 data set yang identik dan ideal dari suatu area dan fase interferometrik
sama dengan nol Walaupun, beberapa pergeseran relatif range dari target diantara
dua citra yang akan dihasilkan dari sebuah fase non-zero interferometric, metode ini
paling sering digunakan adalah ketika sering sekali digunakan untuk pendeteksian
relatif dari polar motion dan arus samudra.
c. Differential, metode ini menggunakan sebuah perbedaan waktu, dalam data ada
yaitu data satu hari untuk satu tahun, dan utamannya digunakan untuk observasi
glacier atau aliran es, jika perbedaan waktunya hanya dalam hari, serta jika
perbedaan waktu itu di ukur dalam hari untuk satu tahun, itu dapat digunakan untuk
observasi pengamatan penurunan muka tanah (subsidence), aktivitas seismik,
aktivitas gunung api, atau pergeseran lempeng

II.3.3 Dekorelasi Interferometri


Interferometrik dekorelasi ialah ketidaksesuaian antara citra utama dengan citra
kedua akibat selisih fase yang terlalu jauh. Nilai perbedaan ini dinyatakan koherensi
yang nilainya memiliki rentang antara 0 hingga 1. untuk nilai koherensi 1 maka pada
pasangan citra tersebut memiliki kesesuaian maksimum, sedangkan nilai koherensi ≠ 1
maka pada pasangan citra terdapat dekorelasi. Nilai koherensinya (γ) tersebut
merupakan total dari korelasi yang mempengaruhinya, secara mudah diformulasikan
sebagai berikut [Hanssen, 2000] :
γtotal = γgeom x γsuhu x γwaktu x γPD x γpengolahan (2.3.3.1)

26 

 
 
 

• Dekorelasi suhu (Thermal Decorrelation)


Pengaruh dari gangguan panas terhadap nilai fase didapatkan dengan memperhatikan
nilai Signal Noise to Ratio (SNR) yang ada. SNR merupakan ukuran kekuatan sinyal
yang berhubungan dengan ukuran panas, dimana ukuran panas tersebut terjadi antara
lain karena proses penguatan (amplification) dari sinyal radar yang di terima oleh
antena. Gangguan ini merupakan hal yang terjadi di luar sistem radar. Dekorelasi
digambarkan dalam persamaan 2.3.3.2 berikut :

(2.3.3.2)
dengan :
ρ = Dekorelasi thermal SNR = Signal Noise to Ratio
th

• Dekorelasi Geometrik (Geometric Decorrelation)


Jika baseline terlalu panjang, penjumlahan koheren radiasi dari gelombang pantul
akan sangat berbeda. Koherensi akan hilang sama sekali apabila panjang baseline nya
tidak melebihi dari panjang baseline kritisnya (٣B), dimana panjang baseline kritis
m. Dekorelasi baseline dinyatakan dengan persamaan 2.3.3.3, 1100 ≥ B٣

(2.3.3.3)
dengan :
ρ = dekorelasi baseline Rr = Resolusi ground range
spatial

r = slant range B = baseline

• Dekorelasi waktu (Temporal Decorrelation)


Pencitraan dengan proses interferometri dengan wahana satelit menggunakan metode
repeat pass (pengulangan lintasan) maka akan terjadi perbedaan waktu. Berbeda
dengan wahana yang menggunakan pesawat udara dengan 2 antena, penginderaan

27 

 
 
 

dilakukan pada saat yang sama tanpa pengaruh beda waktu. Contoh dekorelasi yang
disebabkan oleh perbedaan waktu:
o Permukaan air. Akibat permukaan air yang selalu bergerak maka posisi objek
pencitraan pertama tidak sama dengan pencitraan kedua
o Tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan merupakan makhluk hidup yang
memiliki kemampuan untuk tumbuh dan juga selalu bergerak akibat adanya
angin, sehingga kondisi tumbuhan disaat pencitraan pertama tidak selalu sama
dengan kondisi tumbuhan disaat pecitraan berikutnya.
o Erosi. Perubahan bentuk permukaan tanah yang diakibatkan oleh erosi akan
menyebabkan dekorelasi pada citra utama dan kedua.
o Aktifitas manusia. Aktifitas manusia yang menyebabkan perubahan kondisi
bentuk permukaan bumi dapat menyebabkan dekorelasi citra utama dengan citra
kedua.
• Dekorelasi Orbit (Orbit Decorrelation)
Satelit bergerak pada lintasannya yang disebut orbit. Perubahan orbit pada waktu
melakukan pencitraan pertama dengan orbit pada pencitraan kedua menyebabkan
ketidaksesuaian diantaranya. Hal-hal yang mempengaruhi gerakan satelit diantaranya
medan gravitasi bumi, matahari, bulan, dan planet-planet lainnya.
• Dekorelasi pusat doppler (Centroid Doppler Decorrelation)
Perbedaan frekuensi pusat Doppler diantara kedua pencitraan (ΔF ) akan
d

mengakibatkan terjadinya dekorelasi pada arah azimut. Peningkatan perbedaan


frekuensi Doppler tersebut akan mengakibatkan menurunnya koherensi (dγ),

(2.3.3.4)
dengan Br adalah lebar pita dalam arah azimuth.

28 

 
 
 

II.4 Differensial Interferometri

Informasi fase yang dimiliki oleh suatu interferogram dari hasil pengamatan 2
SAR pada waktu yang berbeda, sebenarnya memiliki unsur sebagai berikut :

φ = φtopografi + φdeformasi + φatmosfer + φnoise (2.4.1)

dimana :
φ = Beda fase (Topografi n+1) ` φtopografi = Fase topografi (sebagai
reference) φdeformasi = Fase Deformasi
φ atmosfer = Fase pengaruh atmosfer φnoise = Fase pengaruh noise

Sehingga untuk mendapatkan sinyal deformasi harus dilakukan metode


differensial interferometri atau mendifferensialkan 2 interferogram dan lalu
menghilangkan pengaruh noise dan atmosfer, pengamatan ini dilakukan dengan
menggunakan teknik repeat-pass interferometry. Artinya satelit InSAR melakukan
pencitraan kembali pada daerah yang sama dengan temporal tertentu. Beberapa metode
yang digunakan dalam membuat differensial interferogram [Hanssen, 2000], sebagai
berikut :

• Metode Two-pass interferometri

Metode ini menggunakan eksternal model elevasi (DEM) yang di konversi kedalam
koordinat radar, diskalakan menggunakan baseline, dan disubtrak dari interferogram.
[Massonnet et al..1993] dengan metode seperti ini tentu kesalahan yang dimiliki
oleh DEM akan mempengaruhi hasil deformasi yang diperoleh, bergantung pada
karakteristik baselinenya.

29 

 
 
 

Gambar 2.11 Alur pengolahan SAR metode two-pass [ESA, 2007]

• Metode Three-pass interferometri

Metode ini menggunakan pasangan topografi yang diperoleh dari citra SAR 1 dan 2
dimana selisih temporal kedua pengamatan tersebut saling berdekatan, sehingga
tidak ada unsur deformasi di dalam model topografi itu atau kita anggap tidak
memiliki kesalahan deformasi. Yang kedua pasangan topografi yang masih
dipengaruhi oleh deformasi diperoleh dari citra SAR 1 dan 3 dimana memiliki
selisih temporal yang cukup berjauhan. Dari kedua pasangan topografi tersebut,
untuk menentukan besarnya deformasi atau pasangan differensialnya pada area
pengamatan kita tinggal menyelisihkan antara pasangan topografi 1 dan 3 dengan
pasangan topografi 1 dan 2.

Gambar 2.12 Alur pengolahan SAR metode three-pass [ESA, 2007]

• Metode Four-pass interferometri

Untuk metode four-pass ini, dimana menggunakan pasangan topografi dan


pasangan deformasi hasil dari kombinasi temporal citra apapun, tetapi pada intinya
untuk mendapatkan pasangan differensialnya sama dengan three-pass method, kita
tinggal menyelisihkan kedua pasangan interferogram tersebut, dengan metode
seperti ini pengaruh perbedaan baseline akan masuk.

30 

 
 
 

II.5 Perbandingan Kinerja InSAR dengan GPS untuk pengamatan Deformasi


   

Selain menggunakan teknologi InSAR (Intereferometric Synthetic Aperture


Radar) untuk memantau fenomena deformasi, dapat juga memanfaatkan teknologi GPS
(GNSS) melalui pengamatan titik – titik di area kajian deformasi. Prinsip dari teknologi
GPS ini untuk pemantauan deformasi atau pergeseran (displacement) adalah dengan
menenentukan vektor pergeseran melalui penyelisihan hasil koordinat 3D dimensi pada
kala sesudah atau kala kedua dengan kala sebelumnya atau kala pertama, hasilnya
semakin baik atau benar merepresentasi deformasi apabila titik yang diamati semakin
banyak (optimal) dan waktu pengamatan GPS yang dilakukan relatif lama. Tabel 2.3
berikut ini beberapa perbedaan InSAR dengan GPS yang dapat menjadi pertimbangan
dalam melakukan pengamatan deformasi suatu objek dipermukaan bumi, sebagai
berikut :

Tabel 2.3 Beberapa perbedaan antara InSAR dengan GPS

No Perbedaan InSAR GPS


1 Pengambilan data Tidak langsung Langsung
2 Data Area (piksel) Titik
2 Ketelitian vertikal Level milimeter Level centimeter
3 Ketelitian horizontal Level Meter Level Millimeter
4 Hasil Model 3D Vektor 3D
5 Keterlibatan SDM Sedikit Cukup banyak
6 Biaya (Minimal data) 5 – 10 juta rupiah per scene 1 juta rupiah per titik
[sumber biaya citra SAR : http://www.ga.gov.au]

Untuk memilih teknologi mana yang murah dengan menggunakan InSAR atau
GPS itu adalah relatif, tergantung dari area pengamatannya atau jumlah titik
pengamatan dan keperluan pemantauan fenomena deformasinya.

31 

You might also like