You are on page 1of 59

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberculosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia,

menurut laporan WHO (1999) diperkirakan 9 juta pasien TB baru dan 3 juta

kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98%

kematian akibat TB di dunia, terjadi pada negara berkembang. Sekitar 75% pasien

TB adalah kelompok usia produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Demikian

juga di Indonesia, yang menempati urutan ke 3 dalam jumlah penderita TB atau

10% dari penderita TB sedunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada

539.000 kasus baru dan kematian 101 orang. Insidensi kasus TB BTA positif

sekitar 110 per 100.000 penduduk (Depkes RI Gerdunas TB, 2008).

Ancaman TB Paru yang lain adalah adanya Multiple Drug Resistance (MDR) yang

terjadi karena penderita TB tidak patuh dalam mengkonsumsi Obat Anti TBC

(OAT) secara teratur, hal ini disebabkan karena beberapa hal salah satunya adalah

kurangnya pengetahuan tentang pengobatan TB Paru pada Pengawas Menelan

Obat (PMO) dan penderita itu sendiri. Hal tersebut bisa terjadi tidak tuntasnya

pengobatan TB Paru yang relatif lama dan kebosanan pada penderita dalam

mengkonsumsi OAT, karena pengobatan TB memerlukan waktu yang relatif lama.

Dengan demikian untuk mendukung keberhasilan pemerintah dalam penyakit TB,

prioritas utama ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, penggunaan obat


yang rasional dan paduan obat yang sesuai dengan strategi Directly Observed

Treatment Shortcourse (DOTS) (Gerdunas TB, 2005).

OAT yang tersedia saat ini harus dikonsumsi penderita dalam jumlah tablet yang

cukup banyak dan dapat menyebabkan kelalaian pada penderita, oleh karena itu

dikembangkan dan digunakan sejak 2003 OAT jenis FDC yaitu kombinasi OAT

dalam jumlah tablet yang lebih sedikit dengan jumlah kandungan masing-masing

komponen sudah disesuaikan dengan dosis yang diperlukan. Diharapkan dengan

penggunaan Obat Anti TBC jenis Fixed Dose Combination (OAT-FDC) atau

Kombinasi Dosis Tetap (KDT) dapat menyederhanakan proses pengobatan,

meminimalkan kesalahan pemberian obat dan mengurangi efek samping (Rahmat,

2002).

Berdasarkan Data dari Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah tahun 2007

untuk TB Paru penemuan kasus baru BTA (+) tahun 2005 sebanyak 17.523 orang,

tahun 2006 sebanyak 17.304 orang dan tahun 2007 tribulan II sebanyak 8.225

orang, diketahui jumlah kasus baru BTA (+) setiap tahun mengalami trend yang

sama (stabil) (Hartanto, 2007).

Berdasarkan Data Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen tahun 2008, penemuan

kasus penderita TB dengan BTA (+) sejumlah 755 kasus dengan jumlah suspek

9.088 kasus, kasus BTA neg, Rontgen positif sejumlah 905 kasus. Angka

kesembuhan berjumlah 679 kasus, Angka CDR 57%, proporsi angka BTA (+)

45%. Sedangkan berdasarkan profil Puskesmas Klirong I pada tahun 2008 sampai

dengan sekarang jumlah pasien TB Paru BTA (+) sejumlah 31 kasus, BTA (–)
Rontgen (+) sejumlah 11 kasus, pasien luar wilayah 18 kasus. BTA Rate 7,8 %,

CDR 56%, Proporsi BTA (+) berjumlah 81 %, pengobatan lengkap 4 kasus, dan

angka kesembuhan sebesar 80 %, walaupun angka kesembuhannya baik tetapi

kepatuhan penderita berobat masih rendah karena masih tergantung kunjungan

rumah dari PMO. Dari data tingkat kepatuhan pasien berobat di Puskesmas

Klirong I pada tahun 2008 sejumlah 12 orang (50 %), pada tahun 2009 sejumlah 7

orang (38,8 %). Ketidakpatuhan pasien berobat di Puskesmas Klirong ini

meliputi: ketidaktepatan pasien berkunjung untuk mengambil obat sesuai jadwal,

menelan obat sesuai jumlah dan waktu minum obat yang ditentukan. Penderita

akan meminum obat bila PMO datang berkunjung ke rumahnya dan

mengambilkan obatnya ke Puskesmas. Ketidakpatuhan (mangkir) penderita

menelan OAT selama 1 – 2 minggu masih bisa ditolerir dengan melanjutkan

pengobatan yang terputus, sementara ketidakpatuhan menelan OAT selama lebih

dari 2 minggu akan mengulangi pengobatan dari awal dengan tetap memeriksakan

sputum di laboratorium (Gerdunas TB, 2005)

Mengingat masih adanya ketidakpatuhan dari penderita yang

memungkinkan resiko pengobatan gagal dan default, maka penatalaksanaan

Penyakit TB harus benar- benar dilaksanakan sesuai dengan kebijakan Program

Pemberantasan Penyakit Tuberculosis (P2TB). Peran dan pengetahuan PMO

sangat penting dalam rangka mencapai kepatuhan berobat dan penyembuhan

penderita TB, sehingga pelaksanaan P2TB sangat diperlukan evaluasi untuk

mengetahui kepatuhan dan kesembuhan dalam Program P2TB di wilayah kerja

Puskesmas Klirong I. Hal tersebut tentunya sesuai dengan program pemerintah


yang tujuannya adalah memutus rantai penularan penyakit TB, mencegah

kekebalan kuman terhadap OAT (MDR) (Gerdunas TB, 2005)

Peran perawat di puskesmas dalam hal ini adalah sebagai fasilitator dan

memonitor PMO dalam melaksanakan pengobatan TB Paru kepada penderita.

Perawat di Puskesmas tidak dapat memantau pengobatan TB kepada masing-

masing penderita TB secara terus menerus, maka perawat memerlukan seorang

PMO untuk membantu jalannya pengobatan TB demi keberhasilan Program

P2TB. Berdasarkan keadaan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti pengetahuan

PMO tentang pengobatan TB Paru jenis FDC dalam membantu perawat

memonitor jalannya pengobatan pasien dan ketidakpatuhan pasien dalam

menjalani pengobatan menggunakan OAT.

B. Perumusan Masalah

Adakah hubungan pengetahuan Pengawas Menelan Obat (PMO) tentang pengobatan

TB Paru jenis FDC (Fixed Dose Combination) terhadap kepatuhan pasien

berobat?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Tujuan Umum
Melakukan evaluasi sejauh mana hubungan pengetahuan PMO tentang

pengobatan TB Paru jenis FDC dalam mendukung kepatuhan penderita

berobat.

2. Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini untuk menggali informasi tentang:

a. Mengidentifikasi pengetahuan PMO tentang pengobatan TB Paru

OAT - FDC

b. Mengidentifikasi kepatuhan pasien dalam berobat.

D. Manfaat Penelitian

a. Bagi Masyarakat

Menambah pengetahuan masyarakat pada umumnya dan PMO pada khususnya

dalam membantu memantau pengobatan TB Paru terutama dalam kepatuhan

pasien menjalani pengobatan.

2. Bagi Puskesmas Klirong I

Diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi bagi pengelola program

P2TB Puskesmas Klirong I.

3. Bagi Pengambil Kebijakan


Sebagai motivator, memberi masukan dan informasi tentang pelayanan

kesehatan masyarakat yang baik khususnya untuk penyakit TBC

4. Bagi Dunia Ilmu Pengetahuan

Mengetahui secara mendalam tentang pengetahuan PMO tentang pengobatan

TB Paru, maka diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan baik

yang bersifat konseptual dan teoritis.

E. Ruang Lingkup Penelitian

a. Lingkup Keilmuan

Bidang Ilmu Keperawatan Komunitas dengan penekanan Epidemiologi

Penyakit Tropis khususnya TB Paru

b. Lingkup Masalah

Masalah dibatasi untuk mengetahui pengetahuan PMO tentang pengobatan TB

Paru OAT FDC dan kepatuhan pasien dalam berobat.

c. Lingkup Sasaran

Sasaran penelitian ini adalah seluruh PMO dan pasien TB Paru di Puskesmas

Klirong I.

d. Lingkup Lokasi

Lokasi penelitian di wilayah kerja Puskesmas Klirong I Kabupaten Kebumen.


e. Lingkup Waktu

Penelitian ini dilakukan pada Bulan Agustus sampai Oktober tahun 2009.

F. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang kami terima selama ini penelitian tentang

hubungan pengetahuan PMO tentang pengobatan TB Paru jenis FDC dengan

kepatuhan pasien berobat di wilayah kerja Puskesmas Klirong I belum pernah

dilakukan, tetapi penelitian sejenis yang pernah dilakukan antara lain oleh:

1. Basuki (2005) dengan judul ” Peran Pengawas Menelan Obat Pada Penderita

TBC Dalam Mengkonsumsi Obat Anti Tuberculosis di Wilayah Kerja

Puskesmas Sempor I dan II ”. Penelitian ini dilakukan

selama 3 bulan dengan jumlah responden sebanyak 98 orang terdiri dari 34

orang responden dari PMO dan 34 orang responden dari pasien TB Paru,

secara umum diperoleh data bahwa 34 orang (100 %) PMO mengetahui

kalau dirinya menjadi PMO dan terdapat 19 orang PMO (55,88 %) tidak

tinggal serumah dengan penderita dan PMO yang tinggal serumah dengan

penderita sebanyak 15 orang (44,12 %), 34 orang PMO (100 %) mengatakan

mengetahui kalau pasien TBC sudah minum OAT, 28 orang pasien TBC

minum obat secara teratur dan 6 orang pasien (17,65 %) tidak minum OAT

secara teratur, hal ini kemungkinan karena PMO tidak tinggal serumah

dengan pasien atau mungkin karena pasien merasa sudah sembuh atau bosan

mengkonsumsi OAT terlalu lama. Persamaan penelitian yang dilakukan


Basuki dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah sama-sama meneliti

PMO dan penderita TBC dalam menjalani pengobatan OAT, sedangkan

perbedaannya adalah penulis mencari hubungan antara pengetahuan PMO

dengan kepatuhan pasien dalam berobat dan juga pengobatan yang

digunakan yaitu menggunakan OAT terbaru yaitu jenis FDC. Selain itu

perbedaan yang lain adalah lokasi penelitian.

2. Sumarwanto (2008) dengan judul ”Tingkat Pengetahuan Kader Tentang

Penyakit TBC Di Puskesmas Klirong II Kabupaten Kebumen” . Penelitian

ini dilakukan selama 2 bulan dengan jumlah responden 33 orang dari 250

orang di wilayah kerja Puskesmas Klirong II, secara umum diperoleh 3

kategori tingkat pengetahuan kader kesehatan Puskesmas Klirong II yaitu:

Berkategori tinggi dengan prosentase 45 % artinya baik dalam pengetahuan

penyakit TBC, Berkategori sedang dengan prosentase 52,5 % artinya kader

cukup baik dalam pengetahuan penyakit TBC dan berkategori rendah

mencapai prosentase 2,5 % artinya kader belum mempunyai pengetahuan

tentang penyakit TBC. Persamaan penelitian yang dilakukan Sumarwanto

dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah sama-sama meneliti

pengetahuan kader atau PMO tentang penyakit TBC tetapi perbedaannya

penulis lebih meneliti ke dalam yaitu pengetahuan tentang pengobatan OAT

dengan jenis FDC, mencari hubungannya dengan kepatuhan pasien dalam

berobat dan lokasi penelitian.


3. Noor, Frida Ani (2008) dengan judul ”Hubungan Pengawas Menelan Obat

(PMO) Keluarga Terhadap Kepatuhan Menelan Obat Pada Penderita TB

Paru Yang Mendapat Program DOTS di Puskesmas Mojo, Surabaya”.

Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan dengan jumlah responden 56 orang

di Puskesmas Mojo, Surabaya, diperoleh adanya hubungan antara PMO

Keluarga dengan kepatuhan berobat pada penderita TB Paru. Persamaan

penelitian yang dilakukan Frida Ani Noor dengan penelitian yang dilakukan

penulis adalah sama-sama meneliti hubungan antara PMO dengan tingkat

kepatuhan berobat pada pasien TB Paru. Sedangkan perbedaannya adalah

penulis meneliti PMO tidak hanya sebatas pada keluarga tetapi seluruh PMO

yaitu tetangga, teman, kader dan tenaga kesehatan di sekitar pasien.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Pengetahuan

a. Definisi

Notoatmojo (2003) mengatakan bahwa pengetahuan adalah hasil

tahu dari manusia, yang menjawab what dan terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan

terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengalaman


manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif

merupakan domain yang yang sangat penting untuk terbentuknya

tindakan seseorang (overt behaviour).

Pengetahuan merupakan proses kognitif dari seseorang atau

individu untuk memberi arti terhadap lingkungan, sehingga masing-

masing individu akan memberi arti sendiri-sendiri terhadap stimuli

yang diterimanya meskipun stimuli itu sama. Pengetahuan merupakan

aspek pokok untuk mengubah perilaku seseorang yang disengaja

(Nurhidayati, 2005)

Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai

hasil penggunaan panca inderanya, yang yang berbeda sekali dengan

kepercayaan (believe), takhayul (superstitions) dan penerangan-

penerangan yang keliru (Soekamto, 2002).

b. Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif (Notoatmojo,

2003) terbagi dalam 6 tingkat, yaitu:

1. Tahu (know)

Tahu artinya sebagai mengingat suatu materi yang dipelajari

sebelumnya. Tahu merupakan tingkatan pengetahuan yang paling

trendah karena tingkat ini hanya mengingat kembali (recall)


terhadap suatu hal yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari

atau rangsangan yang diterima.

2. Memahami (comprehension)

Memahami dapat diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat

menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Mereka yang

telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,

meramalkan dan sebagainya terhadap obyek yang dipelajari.

3. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang dipelajari pada suatu situasi atau kondisi real (kondisi

sebenarnya).

4. Analisis

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam

struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama

lain.

5. Sintesis
Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru

dan formulasi-formulasi yang ada.

6. Evaluasi

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu kriteria yang ditentukan

sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang ada.

c. Dasar-Dasar Pengetahuan

1) Pengalaman

Pengalaman adalah keseluruhan peristiwa perjumpaan dan apa

yang telah terjadi pada manusia dalam interaksinya dengan alam,

diri sendiri,

lingkungan sosial dan dengan seluruh kenyataan, termasuk Yang

Maha Esa.

2) Ingatan

Dalam kedudukannya sebagai dasar pengetahuan baik

pengalaman maupun ingatan saling berkaitan. Tanpa ingatan,

pengalaman tidak akan berkembang menjadi pengetahuan,

sementara ingatan mengandalkan pengalaman sebagai sumber

dan dasar rujukannya.


3) Kesaksian

Kesaksian adalah penegasan sesuatu yang benar oleh seorang

saksi kejadian atau peristiwa, diajukan kepada orang lain untuk

dipercaya.

4) Minat rasa ingin tahu

Hal lain yang mendasari adanya pengetahuan adalah minat rasa

ingin tahu. Minat mengarahkan perhatian terhadap hal-hal yang

dialami dan dianggap penting untuk diperhatikan. Rasa ingin

tahu erat kaitannya dengan pengalaman, kekaguman, keheranan

apa yang dialami.

5) Pikiran dan penalaran

Agar dapat memahami dan menjelaskan apa yang dialami,

manusia perlu melakukan kegiatan berpikir yang mengandalkan

pikiran. Kegiatan pokok pikiran dalam mencari pengetahuan

adalah penalaran. Penalaranmerupakan proses pemikiran untuk

menarik kesimpulan dari hal-hal yang sebelumnya diketahui.

6) Logika

Logika adalah bidang pengetahuan yang mempelajari segenap

asa, aturan dan tata cara penalaran yang betul (correct

reasoning). Logika merupakan suatu dasar yang amat perlu


untuk memperoleh pengetahuan yang benar, sebab tanpa logika

penalaran tidak mungkin dilakukan.

7) Bahasa

Bahasa merupakan salah satu hal yang mendasari dan

memungkinkan pengetahuan pada manusia. Manusia bukan

hanya dapat mengungkapkan, mengkomunikasikan pikiran,

perasaan dan sikap batinnya, tetapi juga menyimpan, mengingat

kembali, mengulas dan memperluas apa yang sampai sekarang

telah diketahuinya.

8) Kebutuhan hidup manusia

Kebutuhan hidup manusia merupakan suatu faktor yang

mendasari dan mendorong berkembangnya pengetahuan

manusia. Untuk melakukan interaksinya dengan dunia dan

lingkungan sekitarnya, manusia membutuhkan pengetahuan.

d. Cara Memperoleh Pengetahuan

1) Trial and Error

Jika seseorang menghadapi persoalan atau masalah, upaya

pemecahannya dilakukan dengan cara coba-coba, dimana

digunakan kemungkinan dalam memecahkan masalah dan apabila

ada kemungkinan lain hinga masalah tersebut dapat dipecahkan.


2) Cara kekuasaan atau otoritas

Pengetahuan diperoleh berdasarkan pada otoritas atau kekuasaan,

baik tradisi, otoritas pemimpin, agama maupun ahli ilmu

pengetahuan.

3) Berdasarkan pengalaman pribadi

Pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya memperoleh

pengetahuan.

4) Melalui jalan pikiran

Kebenaran pengetahuan dapat diperoleh manusia dengan

menggunakan jalan pikirannya, baik melalui induksi atau deduksi.

5) Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dari proses pembelajaran agar peserta didik secara

aktif mengembangkan dirinya untuk memiliki karakter spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak

mulia serta ketrampilan dirinya, masyarakat dan negara

(Depdiknas,2003).

Menurut Depdiknas (2003) pendidikan dapat dibagi menjadi:


a. Pendidikan formal yaitu jalur pendidikan yang terstruktur dan

berjenjang yang terjadi atas pendidikan dasar menengah dan

pendidikan tinggi.

b. Pendidikan non formal yaitu jalur pendidikan di luar pendidikan

formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan

berjenjang.

c. Pendidikan informal yaitu pendidikan keluarga dan lingkungan.

Menurut Depdiknas (2003) jalur pendidikan formal dibagi

menjadi:

a. Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang

melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar

berbentuk SD (Sekolah Dasar)/ MI (Madrasah Ibtidaiyah) atau

sederajat dan Sekolah Menengah Pertama (SMP)/ MTS

(Madrasah Tsanawiyah) atau yang sederajat.

b. Pendidikan Menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.

Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas

(SMA) /Madrasah Aliyah (MA) atau yang sederajat.

c. Pendidikan tinggi merupakan jenjang setelah menengah yang

mencakup pendidikan Diploma, Sarjana, Magister, Spesialis

dan dokter yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi.


Pendidikan merupakan proses pengoperasian secara urut mengenai

pengetahuan, ide-ide, opini-opini dari satu pihak ke pihak lain. Ini

membuat seseorang memiliki cakrawala yang luas. Semakin tinggi

pendidikan masyarakat, diharapkan semakin mudah masyarakat

untuk mengubah tingkah lakunya.

2. Pengawas Menelan Obat (PMO)

Pengawas Menelan Obat (PMO) adalah seseorang yang

dipercaya untuk mengawasi penderita TB Paru menelan obat sesuai

ketentuannya. (Depkes, 2001)

Sebelum pengobatan pertama kali dimulai, harus ditunjuk

seorang PMO dan PMO harus diberi pelatihan singkat tentang perlunya

pengawasan minum obat setiap hari. Beberapa hal yang perlu diketahui

oleh seorang PMO adalah gejala-gejala TB, tanda-tanda efek samping

obat dan mengetahui cara mengatasi bila ada efek samping, cara

merujuknya dan cara memberi penyuluhan tentang TB Paru.

Persyaratan PMO adalah seseorang yang dikenal, dekat dengan

penderita, bersedia dan sukarela membantu pasien untuk mencapai

kesembuhan, dipercaya dan disetujui baik oleh petugas kesehatan

maupun penderita, selain itu harus disegani dan dihormati oleh

penderita serta bersedia mengikuti pelatihan-pelatihan (Depkes, 2000).


Peran PMO diantaranya adalah mengawasi penderita TB agar

menelan obat secara teratur sampai selesainya pengobatan, memberikan

motivasi kepada penderita agar mau berobat secara teratur,

mengingatkan penderita untuk memeriksakan pemeriksaan ulang sesuai

jadwal yang telah ditentukan, memberikan penyuluhan kepada anggota

keluarga tentang masalah TB Paru, membantu dalam pengambilan obat

bagi penderita, serta membantu antar jemput dahak untuk pemeriksaan

dahak ulang (Depkes, 2000).

Pemantauan terhadap pasien dalam pelaksanaan menelan obat

sangat penting, hal tersebut dimaksudkan untuk penderita mengalami

kesulitan dalam penyembuhan bahkan bisa resisten apabila penderita

mengkonsumsi obat tidak benar, mencegah pemborosan obat dan waktu

dan jika tidak minum OAT satu kali, maka fase awal dan seminggu

pada fase lanjutan dengan segera ketahuan, dilacak apa penyebabnya

diatasi agar pengobatan dapat dilanjutkan (Depkes, 2001).

3. Pengobatan TB Paru

Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis,

dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6 – 8 bulan, supaya semua

kuman persister dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan tahap lanjutan

ditelan sebagai dosis tunggal pada saat perut kosong. Apabila paduan

obat yang digunakan tidak adekuat (jenis,dosis dan jangka waktu

pengobatan) kuman TB akan berkembang menjadi kuman kebal obat


(resisten). Pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung oleh

seorang PMO untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat.

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, tahap awal dan tahap

Lanjutan.

a. Tahap Awal (Intensif Fase)

Pada tahap ini penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi

langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap Rifampisin.

Bila saat tahap ini diberikan secara tepat, penderita menjadi tidak

menular dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB yang

BTA positif menjadi BTA negative pada akhir tahap intensif.


b. Tahap lanjutan (Intermitten Fase)

Pada tahap lanjutan penderita mendapat obat dalam jangka waktu

yang lebih lama dan obat yang diberikan lebih sedikit untuk

mencegah terjadinya kekambuhan. Tahap lanjutan penting untuk

membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah terjadinya

kekambuhan.

Beberapa katagori pengobatan TBC:

a. Pengobatan dengan kategori 1:

Akhir bulan ke 2 pengobatan sebagian besar dari penderita dahak

yang diperiksa sudah menjadi BTA negatif (konversi). Penderita ini

dapat meneruskan pengobatan dengan tahap lanjutan. Jika


pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan ke 2 hasilnya masih BTA

positif, pengobatan diteruskan dengan OAT sisipan selama 1 bulan.

Setelah paket sisipan 1 bulan selesai, dahak diperiksa kembali.

Pengobatan tahap lanjutan tetap diberikan meskipun hasil

pemeriksaan ulang dahak dahak BTA masih tetap positif. Untuk

penderita TB yang BTA negative tetapi Rontgen positif dilakukan

Foto Rontgen Thorax ulang pada akhir bulan 2 untuk mengetahui

tingkat kerusakan paru-paru.


b. Pengobatan dengan kategori 2. Jika pemeriksaan ulang

dahak pada akhir bulan ke 3 masih positif, tahap intensif harus

diteruskan lagi selama 1 bulan dengan OAT sisipan. Setelah 1 bulan

diberi sisipan, diperiksa dahaknya kembali. Pengobatan tahap lanjutan

tetap diberikan meskipun hasil pemeriksaan dahak ulang masih BTA

masih positif. Bila memungkinkan specimen dahak penderita dikirim

untuk dilakukan biakan dan uji kepekaan obat (sensitivity test).

Sementara pemeriksaan dilakukan, penderita meneruskan pengobatan

tahap lanjutan. Bila hasil uji kepekaan obat menunjukkan bahwa

kuman sudah resisten terhadap 2 atau lebih jenis OAT, maka penderita

tersebut dirujuk ke unit pelayanan spesialistik yang dapat menangani

kasus resisten. Bila tidak mungkin, maka pengobatan dengan tahap

lanjutan diteruskan sampai selesai.


c. Pengobatan dengan kategori 3
Meskipun pengobatan kategori 3 adalah untuk penderita BTA negative,

Rontgen Positif namun pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan ke

2. Bila hasil pemeriksaan ulang dahak BTA Positif, maka ada 2


kemungkinan yaitu: pertama suatu kekeliruan pada pemeriksaan 1

(pada saat diagnosis sebenarnya adalah BTA Positif tapi dilaporkan

sebagai BTA negatif). Kedua, penderita berobat tidak teratur. Seorang

penderita yang didiagnosis sebagai penderita BTA negative dan

diobati dengan katagori 3, yang hasil pemeriksaan ulang dahak pada

akhir bulan ke 2 adalah BTA positif, harus didaftar kembali sebagai

penderita BTA positif dan mendapat pengobatan dengan kategori 2

mulai dari awal.


Pemeriksaan dahak pada sebelum akhir pengobatan (AP) bertujuan

untuk menilai hasil pengobatan (sembuh atau gagal)


4. Pemantauan Hasil Pengobatan TB Paru Pada Orang Dewasa
Pemantauan Hasil Pengobatan TB Paru pada orang dewasa dilaksanakan

dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan ulang

dahak secara mikroskopis dinilai lebih baik dibandingkan dengan

pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju

Enap Darah (LED) tidak dapat dipakai untuk memantau kemajuan

pengobatan.Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan

pemeriksaan specimen sebanyak 2 kali (Sewaktu dan Pagi). Hasil

dinyatakan negative bila kedua specimen tersebut negative. Bila salah

satu specimen positif maka hasil pemeriksaan ulang dahak dinyatakan

positif. Pemeriksaan dahak untuk memantau kemajuan pengobatan

dilakukan pada:
a. Akhir tahap Intensif dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke2

pengobatan kategori 1 atau seminggu sebelum akhir bulan ke 3

pengobatan kategori 2. Sebulan sebelum akhir pengobatan dilakukan


seminggu sebelum akhir bulan ke 5 pengobatan kategori 1 atau

seminggu sebelum akhir bulan ke 7 pengobatan kategori 2.


b. Akhir pengobatan dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 6

pengobatan kategori 1 atau seminggu sebelum akhir bulan ke 8

pengobatan kategori 2
5. Obat Anti Tuberculosis Fixed Doses Combination (OAT – FDC)
Obat Anti Tuberculosis Fixed Doses Combination (OAT – FDC) adalah

obat tablet yang isinya terdiri dari kombinasi beberapa jenis obat dengan

dosis tetap (Rahmat, 2002).


Beberapa keuntungan dari penggunaan FDC untuk pengobatan TB antara

lain:
a. Mudah pemberiannya
Satu tablet sudah mengandung beberapa jenis obat yang

diperlukan. Dengan demikian dapat mencegah pengobatan TBC

dengan obat tunggal (mencegah terjadinya kekebalan obat)


b. Mudah untuk penderita
Menelan obat dengan jumlah tablet yang lebih sedikit

(meningkatkan penerimaan penderita)


c. Mudah menyesuaikan dosis obat dengan berat badan penderita
d. Mudah pengelolaan obat
Mudah pengelolaan obat pada semua tingkat pelaksana karena

hanya beberapa jenis tablet sudah cocok untuk semua kategori dan

semua berat badan penderita


e. Mudah pembiayaannya
Harganya lebih murah dibandingkan dengan satu tablet yang

mengandung satu jenis obat seperti pada Kombipak. Tidak seperti

pengobatan dengan Kombipak, pada pengobatan dengan FDC,

penderita BTA Negatif diberikan paduan obat kategori I (bukan

kategori 3) (Depkes RI, 2002)


6. Jenis Tablet FDC
Untuk sementara ada 2 macam tablet FDC yang digunakan di Indonesia,

yaitu:
a. Tablet yang mengandung 4 macam obat dikenal sebagai tablet 4FDC.

Setiap tablet mengandung: 1. 75 mg Isoniazid (INH)


2. 150 mg Rifampicin
3. 400 mg Pirasinamid

4. 275 mg Etambutol

Tablet ini digunakan untuk pengobatan setiap hari dalam tahap

intensif dan untuk sisipan. Jumlah tablet yang digunakan disesuaikan

dengan berat badan penderita.

b. Tablet yang mengandung 2 macam obat dikenal sebagai tablet 2FDC.

Setiap tablet mengandung:

1. 150 mg Isoniazid (INH)


2. 150 mg Rifampicin. Tablet ini digunakan untuk pengobatan

intermitten 3 kali seminggu dalam tahap lanjutan. Jumlah tablet yang

digunakan disesuaikan dengan berat badan penderita. Disamping itu

tersedia obat lain untuk melengkapi paduan obat kategori 2, yaitu:

1. Tablet Etambutol @ 400 mg

2. Streptomicin injeksi, vial @ 750 mg

3. Aquabidest Untuk sementara belum tersedia Tablet 3FDC dan tablet FDC anak.
7. Kategori Pengobatan
Kategori pengobatan FDC hanya terdiri dari 2 kategori, Yaitu kategori 1

dan kategori 2.
1. Kategori 1 (2HRZE/ 4H3R3)

Kategori 1 diperuntukkan pada:

a. Penderita TB Paru BTA Positif

b. Penderita TB Paru BTA negative/ Rontgen positif (ringan atau

berat)
c. Penderita TB Ekstra Paru (ringan/ berat) Meskipun kategori

pengobatan pada penderita TB Paru BTA Negatif sama dengan

BTA Positif, tapi diagnosis penderita harus ditegakkan dengan

pemeriksaan dahak, apakah penderita tersebut BTA positif atau

BTA negatif/ Rontgen positif. Pemeriksaan dahak harus dilakuka

karena penting untuk pencatatan dan pelaporan. Harus dilaporkan

berapa penderita baru BTA positif dan berapa penderita BTA

negatif/ Rontgen positif yang ditemukan dan diobati.


2. Kategori 2 (2HRZE/ HRZE/ 5H3R3E3) Kategori 2 diperuntukkan

pada:
a. Penderita TB BTA positif kambuh

b. Penderita TB BTA positif gagal

c. Penderita TB bekas defaulter yang kembali dengan BTA positif.


8. Dosis Pengobatan

Dosis pengobatan Tuberculosis dengan tablet FDC sedikit berbeda dengan

dosis kombipak. Dosis pengobatan dengan tablet FDC disesuaikan dengan


rekomendasi WHO dan IUATLD yaitu dengan memperhatikan berat badan

penderita (Lihat tabel 2.1).

Tabel 2.1: Dosis Untuk Kategori I (2HRZE/ 4H3R3)

Berat Badan Tahap Intensif tiap Tahap lanjutan 3 kali


hari selama 2 seminggu selama
bulan 4 bulan

30 - 37 kg 2 tablet 4FDC 2 tablet 2FDC

38 – 54 kg 3 tablet 4FDC 3 tablet 2FDC

55 – 70 kg 4 tablet 4FDC 4 tablet 2FDC

> 70 kg 5 tablet 4FDC 5 tablet 2FDC

Tabel 2.2: Dosis untuk Kategori 2 (2HRZE/ HRZE/ 5H3R3E3)

Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan 3


(selama3 bulan) kali seminggu
selama 5 bulan

Tiap hari Tiap hari


Selama 2 bln Selama 1 bln
30 – 37 kg 2 tab 4FDC 2 tab 4FDC 2 tab 2FDC + 2
+ Streptomicin tab Etambutol
Inj.
38 – 54 kg 3 tab 4FDC 3 tab 4FDC 3 tab 2FDC + 2
+ Streptomicin tab Etambutol2
Inj. tab 2FDC + 3 tab
Etambutol
55 – 70 kg 4 tab 4FDC 4 tab 4FDC 4 tab 2FDC + 4
+ Streptomicin tab Etambutol
Inj.
>70 kg 5 tab 4FDC 5 tab 4FDC 5 tab 2FDC + 5
+ Streptomicin tab Etambutol
Inj.
Sumber: Petunjuk Penggunaan OAT-FDC Untuk Pengobatan TBC di

UPK

4. Kepatuhan
Kepatuhan (Complience) berarti mengikuti suatu spesifikasi, standar atau

hukum yang telah diatur dengan jelas yang biasanya diterbitkan oleh suatu

lembaga/ organisasi yang berwenang dalam suatu bidang tertentu. Lingkup

suatu aturan dapat bersifat internasional seperti misalnya standar

internasional yang diterbitkan oleh ISO serta aturan-aturan nasional yang

diterbitkan oleh Bank Indonesia untuk sektor Perbankan Indonesia.

(Wikipedia, 2000)
Kepatuhan dalam berobat menggunakan OAT jenis FDC meliputi

kepatuhan dalam menelan OAT secara teratur dan terus menerus tanpa

terputus setiap hari (terutama dalam fase intensif/ awal), sesuai dengan

dosis yang dianjurkan, sesuai dengan jumlah obat yang ditelan, sesuai

dengan waktu menelan obat dan sesuai dengan jadual kunjungan berobat

di puskesmas. Ketidak patuhan (mangkir) pasien dalam menelan obat

terjadi bila pasien tidak menelan obat selama 1 sampai 14 hari walaupun

nantinya bisa ditolerir dengan melanjutkan pengobatannya yang terputus.

Mangkir juga terjadi bila pasien menelan obat tidak sesuai dengan dosis

yang dianjurkan misalnya, menelan obat OAT-FDC sehari 3 kali yang

seharusnya sehari 1 kali. Kemudian menelan obat dengan jumlah yang

lebih dari seharusnya. Selain itu, pasien dikatakan mangkir bila pasien

tidak mematuhi jadual kunjungan pengambilan OAT di Puskesmas.


Tabel 2.3: Pengobatan Pasien TB Paru BTA Positif Yang Berobat Tidak

Teratur.

Dicatat
Lama Lamanya Perlu Hasil Tindakan
Pengobatan Pengobatan Tidaknya Pemeriksaan Kembali Pengobatan
Sebelumnya Terputus Pemeriksaan Dahak Sebagai
Dahak

< 1 bulan < 2 minggu Tidak - - Lanjutkan


Kat-1

2-8 minggu Tidak - - Mulai lagi


Kat-1 dari
awal

Ya Positif - Mulai lagi


> 8 minggu Kat-1 dari
awal

Negatif - Lanjutkan
Kat-1

1-2 bulan < 2 minggu Tidak - - Lanjutkan


Kat-1

2-8 minggu Ya Positif - Tanbahkan


1 bulan
sisipan

Negatif - Lanjutkan
Kat-1
> 8 minggu Ya Positif Pengoba Mulai
tan dengan
setelah Kat-2 dari
Default awal

Negatif Pengoba Lanjutkan


tan Kat-1
setelah
Default

>2 bulan < 2 minggu Tidak -- - Lanjutkan


Kat-1

2-8 minggu Ya Positif - Mulai


dengan
Kat-2 dari
awal

Negatif - Lanjutkan
Kat-1

Ya Positif Pengoba Mulai


> 8 minggu tan dengan
setelah Kat-2 dari
Default awal

Negatif Pengoba Lanjutkan


tan Kat-1
setelah
Default

Sumber: Pedoman Nasional Penanngulangan Tuberculosis Departemen

Kesehatan RI Tahun 2002.

5. Kerangka Teori
Pengetahuan PMO tentang Pengobatan TB Paru
Peran Pemegang Progam P2TB Paru Puskesmas
Kepatuhan Pasien Berobat

Tidak Patuh
Peran Perawat
Patuh

____ : yang diteliti

----- : tidak diteliti

Sumber: Notoatmojo, 2003, Gerdunas TB,2005, Haikin Rahmat, 2002,

Wikipedia, 2000.

Skema 1

5. Kerangka Konsep Penelitian

Kepatuhan Pasien

Menelan Obat

1. Patuh

2. Tidak Patuh
Pengetahuan PMO

Tentang Pengobatan TB Paru

1. Baik

2. Cukup baik

3. Kurang baik

4. Tidak baik
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi:

1.Pengetahuan PMO

2.Pengetahuan Pasien

3.Usia PMO

4.Usia Pasien

5.Peran Perawat

6.Jarak rumah pasien dan Puskesmas

7. Keluarga Pasien

Skema 2

6. Hipotesa Penelitian

a. Hipotesa Alternatif (Ha):

Ada hubungan antara pengetahuan PMO tentang pengobatan TB

Paru jenis FDC dengan kepatuhan pasien berobat.


b. Hipotesa Nol (H0)
Tidak ada hubungan antara pengetahuan PMO tentang pengobatan

TB Paru jenis FDC dengan kepatuhan pasien berobat.


BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Yang Digunakan
Penelitian korelasional bertujuan untuk mencari atau menguji hubungan antara

variabel. Peneliti mencari, menjelaskan suatu hubungan, memperkenalkan, menguji

berdasarkan teori yang ada (Al Ummah, 2008)

Rancangan penelitian cross-sectional adalah jenis penelitian yang menekankan

pada waktu pengukuran/ observasi data variabel independen dan dependen dinilai

hanya satu kali pada satu saat. Pada jenis ini variable independen dan dependen

dinilai secara simultan pada satu saat, jadi tidak ada follow up (Al Ummah, 2008)

Penelitian yang akan dilakukan merupakan penelitian deskriptif kuantitatif bersifat

korelatif dengan pendekatan Studi Cross Sectional.

B. Populasi dan sampel

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/ subyek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2005). Populasi dalam

penelitian ini adalah PMO yang terdaftar di Puskesmas Klirong I dengan jumlah

40 orang dan pasien TB Paru di Puskesmas Klirong I yang menjalani pengobatan

OAT jenis FDC Kategori 1 dan 2 dengan jumlah 30 orang.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh suatu

populasi (Sugiyono, 2005).


Tekhnik pengambilan sampel untuk pasien TB Paru yang digunakan adalah non

probability Sampling yaitu total sampling (sampel jenuh) artinya semua populasi

diambil sebagai sampel (Sugiyono, 2005). Sedangkan untuk sampel PMO diambil

30 orang dari 40 orang PMO yang terdaftar.

3. Kriteria Sampel

a. Sampel inklusi yaitu:

1. PMO pasien TB Paru dewasa yang bersedia menjadi responden

2. Pasien TB Paru dewasa berusia 21 tahun ke atas.

3. Pasien yang tercatat sebagai pasien TB Paru BTA positif

4. Pasien yang tercatat sebagai pasien TB Paru BTA negatif, Rontgen positif.

5. Pasien yang tercatat sebagai penemuan kasus baru.

6. Pasien yang tercatat sebagai pasien pindahan/ rujukan dari Unit Pelayanan Kesehatan

yang lain, seperti: BP 4, Rumah Sakit Umum dan Puskesmas lain.

7. Pasien pendatang dari luar wilayah Klirong I yang sedang menjalani pengobatan tetapi

menetap sementara waktu di Klirong selama beberapa bulan yang hanya

tercatat di lembar status pasien.

8. Pasien TB Paru yang kambuh


b. Sampel eklusi yaitu:

1) PMO yang tidak bersedia menjadi responden.

2) PMO pasien TB Paru anak

3) Pasien TB Paru anak

4) Pasien TB Paru dewasa yang sudah sembuh.

C. Variabel Penelitian

Di dalam penelitian ini ada 2 variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Yang

menjadi variabel bebas adalah pengetahuan PMO tentang pengobatan TB Paru jenis

FDC, sedangkan yang menjadi variabel terikat adalah kepatuhan pasien berobat.
D. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah suatu definisi yang didasarkan pada karakteristik yang

dapat diobservasi dari yang sedang didefinisikan atau “mengubah konsep-konsep

yang berupa konstruk dengan kata-kata yang menggambarkan perilaku atau gejala

yang dapat diamati dan yang dapat diuji dan ditentukan kebenarannya oleh orang lain

(Young, dikutip oleh Koentjoroningrat, 1991; 23)

Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional Data
Variabel Pengetahuan Kuesioner skor >40% Ordinal
bebas: PMO tentang tertutup tentang sangat Nominal
Pengetahuan Pengobatan pengobatan TB kurang.Skor 40-
PMO tentang TB Paru jenis Paru jenis FDC 55 % kurang
Pengobatan FDC. berjumlah 13 tahu.Skor 56-
TB Paru jenis Kepatuhan soal. 75% cukup,
FDC. pasien dalam Pengambilan skor >75%
Variabel menelan OAT data dari status pengetahuan
terikat: yaitu: teratur, pasien dan baik.(Arikunto,
Kepatuhan sesuai dosis menggunakan 2003)
Pasien Dalam berdasarkan lembar Bila pasien
Berobat. berat badan, pengobatan datang
sesuai jumlah dengan jadwal mengambil obat
dan sesuai kunjungan sesuai jadual
pasien. dan
menunjukkan
bungkus obat
yang habis akan
diberi
Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional Data
waktu. tanda di
lembar
kunjungan,
menelan obat
sesuai dosis
dan tanpa
terputus
dianggap
patuh: nilai 1,
bila
sebaliknya
dianggap
tidak patuh
diberi nilai: 0

E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan yaitu format kuesioner yang berfungsi sebagai

alat bantu observasi untuk mengetahui pengetahuan PMO berjumlah 13 soal dan

lembar jadwal kunjungan pengambilan obat pasien untuk menilai kepatuhan

menelan OAT pasien TB Paru. Untuk kuesioner pengobatan FDC peneliti membuat

instrument sendiri adalah kuesioner terstruktur yaitu kuesioner dengan alternatif

jawaban yang disediakan oleh peneliti. Angket dibuat seperti lembar test (pilihan

ganda).
1. Instrumen untuk data sekunder dengan menggunakan data hasil pencatatan dan

pelaporan program P2TB Paru tahun 2008 sampai sekarang di Puskesmas

Klirong I
2. Untuk melaksanakan observasi menggunakan Kuesioner.
3. Alat-alat yang dipakai adalah buku catatan lapangan,
F. Tekhnik Pengumpulan Data
Data primer berasal dari kuesioner sedangkan data sekunder diperoleh dari

dokumen pencatatan dan pelaporan Program P2TB Paru Puskesmas tahun 2008.
Kuesioner dibagikan sendiri secara langsung ke semua PMO dan semua pasien

TB Paru di wilayah Puskesmas Klirong I pada saat pasien mengambil obat dengan

menunjukkan bungkus obat yang habis. Kemudian dilakukan recheck terhadap

keabsahan jawaban yang diberikan dan dilakukan pengecekan dokumentasi. Bila

PMO atau pasien berhalangan hadir mengambil obat, peneliti akan mendatangi

rumah PMO atau pasien tersebut.


G. Uji Validitas dan Reliabilitas
Uji Validitas merupakan uji untuk mengetahui kevalidan alat ukur, artinya ketepatan

mengukur untuk mengukur sebuah variabel (Riwidigdo, 2008).

Setelah pengujian dari ahli dan berdasarkan pengalaman empiris di lapangan

selesai maka diteruskan dengan uji coba instrument. Instrumen tersebut dicobakan
pada sampel. Jumlah anggota sampel yang digunakan minimal 30 orang (Sugiyono,

2005).

Kuesioner tentang OAT Jenis FDC bagi pasien TB Paru diuji kevalidan dan

reabilitasnya. Uji validitas dan reliabilitas diujikan pada kader yang bukan PMO dan

belum dilatih PMO di wilayah Puskesmas Klirong I pada pertemuan rutin kader

kesehatan di Aula Puskesmas Klirong I dengan jumlah 30 orang. Diujikan hanya 1

kali saja.

a. Validitas

Validitas adalah pengukuran dan pengamatan yang berarti prinsip

keandalan instrument dalam mengumpulkan data. Instrumen harus mengukur apa

yang seharusnya diukur.


Hasil penelitian yang valid bila terdapat kesamaan antara data yang terkumpul

dengan data yang sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti (Sugiyono,

2005).
Instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data

(mengukur) itu valid (Sugiyono, 2005).


Uji validitas instrument yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan rumus

Korelasi Pearson Product Moment (Nursalam, 2003; Arikunto, 1998).

Rumus:

Keterangan:

X : r : koefisien korelasi
Y :
Parameter dari hasil uji r xy adalah besarnya koefisien korelasi pearson product

moment antara 0,0 sampai 1 dikatakan valid bila besarnya r xy hitung lebih besar

dari r xy table. Atau secara lebih mudah bila koefisien korelasinya lebih besar (>)

dari 0,050. Uji korelasi dilakukan dengan cara mengkorelasikan item alat ukur

dengan jumlah keseluruhan item alat ukur yang ada (Riwidikdo, 2008).
Setelah dilakukan uji validitas menggunakan rumus Korelasi Pearson Product

Moment didapatkan 13 pertanyaan untuk pengetahuan PMO tentang pengobatan

TB Paru jenis FDC dengan nilai r hitung lebih besar daripada nilai table (0,361)

pada derajat signifikansi 5%. Kemudian dilakukan perbaikan pada jawaban (a, b, c

dan d) pada semua soal lalu diujikan kembali dengan rumus yang sama dengan

hasil 13 pertanyaan dinyatakan valid yaitu nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 11, 13, 14, 16,

17 dan 18 dengan nilai r hitung lebih besar dari r tabel (0,361). Maka selain soal

tersebut diatas dinyatakan tidak valid/ dianulir.


b. Reliabilitas Reliabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran dalam

waktu pengukuran yang berlainan. Reliabilitas menunjuk pada tingkat

keterandalan sesuatu. Reliabel artinya dapat dipercaya (Nursalam, 2003, Arikunto,

1998).
Pengujian instrument penelitian ini menggunakan internal consistency dan

akan diujikan hanya sekali.

Kuesioner

Untuk kuesioner hasil yang diperoleh akan dianalisis menggunakan metode Alpa

Cronbach. Dengan instrument dikatakan reliable apabila nilai (a) hitung lebih
besar dari nilai (a) table (0,361) pada derajat signifikansi 5%. Rumus yang

digunakan dalam penelitian ini menggunakan rumus Alpha Cronbach.

Rumus:

Dengan keterangan:

r11 : reliabilitas instrument.

k : banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal

∑σb² : jumlah varians butir.

σt² : varians total.

Hasil dari uji reliabilitas dengan Alpha Cronbach menghasilkan a sebesar 0,7399.

Hal ini menunjukkan nilai a lebih besar dari a tabel (0,631) dengan derajat

Signifikansi 5%. Sehingga dengan demikian kuesioner dapat digunakan dan

penelitian.
H. Tekhnik Analisa Data
Analisa data yang digunakan yaitu dengan cara:
a. Pengetahuan PMO tentang pengobatan TB Paru jenis FDC
1. Menghitung jumlah angket yang kembali
2. Memeriksa kelengkapan jawaban dari responden
3. Melakukan tabulasi data untuk masing-masing soal.
4. Menentukan skor tertinggi dari tiap soal
5. Menghitung presentase jawaban dengan skor tertinggi
6. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan PMO tentang pengobatan TB Paru jenis

FDC yaitu data dianalisis secara manual.

Yaitu dengan rumus:

Jumlah benar
Nilai :_____________________x 100%
Jumlah nilai soal
7. Menentukan kedudukan presentase jawaban dengan kategori menurut Arikunto (1998),

dengan kriteria:

≤ 40% : pengetahuan sangat kurang

40-55% : pengetahuan kurang

56-75% : pengetahuan cukup

>75% : pengetahuan baik

b. Kepatuhan pasien berobat


1. Melihat lembar kunjungan pengobatan pasien, Bila pasie datang mengambil obat dan

menunjukkan bungkus obat yang habis diberi nilai (1), bila sebaliknya diberi

nilai (0).
2. Melakukan tabulasi data untuk masing-masing soal:
c. Korelasi/ hubungan pengetahuan PMO tentang pengobatan TB Paru jenis FDC dengan

kepatuhan pasien menelan obat.


Untuk mengetahui Korelasi/ hubungan pengetahuan PMO tentang Pengobatan TB Paru

jenis FDC dengan kepatuhan pasien menelan Obat yaitu dengan menggunakan

analisis korelasi bivariat untuk menganalisis korelasi dari keduanya. Korelasi

bivariat yang akan digunakan oleh peneliti untuk menerangkan keeratan hubungan
antara kedua variabel yang diteliti yaitu menggunakan uji statistik korelasi Chi

Kuadrat.

Rumus:

Keterangan:

: Chi Square
o : frekuensi yang diperoleh dari hasil pengamatan sampel
: frekuensi yang diharapkan dalam sampel sebagai pencerminan dari frekuensi yang

diharapkan dari populasi.


I. Personil yang melakukan
Personil yang melakukan penelitian ini yaitu mahasiswa semester II Prodi S1

Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Muhammadiyah Gombong.


J. Analisa Data
Catatan lapangan yang dikumpulkan selama penelitian merupakan laporan yang rinci

dan deskriptif yang selanjutnya dilakukan penerjemahan data untuk menalar situasi,

peristiwa dan interaksi yang diamati. Kemudian data dianalisa secara manual dan

dikelompokkan sesuai dengan karakteristik data tersebut menggunakan Korelasi

bivariat dengan SPSS Versi 11,5.


K. Jalannya Penelitian
Penelitian dilakukan pada tanggal 25 Agustus 2009 sampai dengan 4 Oktober 2009.

Pengumpulan data dilaksanakan oleh peneliti dibantu oleh 1 orang asisten dan

teman-teman perawat di Puskesmas Klirong I dengan cara menjadwalkan PMO dan

pasien untuk mengambil obat dan memperlihatkan bungkus obat yang habis. Setelah

PMO dan pasien datang, peneliti membagikan langsung kuesioner kepada PMO
untuk kemudian diisi. Sebelum PMO dan pasien mengisi, terlebih dahulu dijelaskan

cara pengisian kuesioner dan ceklist. Peneliti juga mengisi lembar TB. 01 dan TB. 05

untuk mengecek kepatuhan pasien menelan obat.


Kuesioner yang dibagikan bersifat pertanyaan tertutup dengan memilih salah satu

jawaban dari 4 jawaban yang tersedia pada setiap soalnya dengan memberi tanda

silang (X). Soal berjumlah 13 soal yang berisi tentang pengobatan TB Paru jenis

FDC.
Kemudian dilakukan recheck terhadap keabsahan jawaban yang diberikan dan dilakukan

pengecekan dokumentasi. Bila PMO atau pasien berhalangan hadir mengambil obat,

peneliti akan mendatangi rumah PMO atau pasien tersebut. Bila pasien datang

mengambil obat sesuai jadwal akan diberi dianggap patuh dan diberi nilai 1, bila

sebaliknya akan dianggap tidak patuh dan diberi nilai 0.


Setelah kedua instrument penelitian diisi, kemudian dikumpulkan dan di cek

kelengkapannya lalu ditabulasi dengan memberikan skor pada data-data yang masuk.

Setelah data diperoleh maka dilakukan pengolahan data dengan pendekatan penelitian

yang telah ditentukan peneliti pada rencana analisa data. Hasil dari pengolahan data

kemudian dipergunakan untuk penyusunan laporan penelitian.


L. Keterbatasan penelitian
Penelitian ini hanya ditujukan untuk membuktikan bahwa adanya hubungan antara

pengetahuan Pengawas Menelan obat (PMO) tentang pengobatan TB Paru jenis Fixed

Dose Combination (FDC) dengan kepatuhan pasien berobat. Padahal kepatuhan

pasien tidak hanya tergantung dari peran PMO saja tetapi dipengaruhi oleh peran

perawat, pemegang program di Puskesmas Klirong I dan tingkat pengetahuan pasien

itu sendiri.
M.Kesulitan Penelitian
Kesulitan yang dirasakan oleh peneliti yaitu waktu yang terbatas untuk penelitian

disamping tugas-tugas kedinasan peneliti dan asisten peneliti di Puskesmas Klirong I.


Masih banyaknya beban tugas akademik yang harus dijalani oleh peneliti sehingga

agak mengganggu jalannya penelitian.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 11 Agustus 2009 sampai dengan Oktober 2009

di Puskesmas Klirong I. Responden dalam penelitian adalah Pengawas Menelan

Obat (PMO) Puskesmas Klirong I sebanyak 30 orang dan Pasien TB Paru dewasa

sejumlah 30 orang.
B. Hasil Penelitian
1. Karakteristik Responden
a. Karakteristik PMO
Jumlah terbesar responden PMO berumur 31 – 40 tahun yaitu sebanyak

12 orang (40 %). Jenis kelamin responden PMO terbesar yaitu laki-laki 18

orang (60 %). Pendidikan terakhir PMO paling banyak adalah 20 orang (66,7

%). Lama menjadi PMO sebagian besar selama 2 – 4 tahun sebanyak 21 orang

(70 %), seperti pada tabel di bawah:


Tabel 4.1:

Karakteristik Pengawas Menelan Obat (PMO) di Puskesmas Klirong I Bulan


Agustus – Oktober Tahun 2009 n(30)

Karakteristik Frekuensi Prosentase

Umur 21 – 30 Tahun 7 23,3 31 – 40 Tahun


12 40

> 41 Tahun 11 36,7

Jenis kelamin Laki-laki 18 60


Perempuan 12 40

Pendidikan SMP 20 66,7 terakhir SMA


10 33,3

D III 0 0

S1 0 0 Lama jadi < 1 tahun


3 10

PMO 2 – 4 tahun 21 70

> 5 tahun 6 20

Pelatihan Sudah Pernah 7 23,3

PMO Belum pernah 23 76,7

Sumber: data primer

c. Karakteristik Pasien TB Paru

Dari tabel didapat data bahwa terbanyak 17 orang pasien TB Paru

(56,66 %) berumur 21 – 30 tahun. Jenis kelamin Pasien TB Paru yang

terbanyak adalah perempuan. Pendidikan pasien TB terakhir sebagian besar

adalah SMA yaitu 20 orang (66,7 %). Lama pasien menderita TB Paru yang

terbanyak adalah < 5 tahun yaitu 28 orang (93,3 %)

Tabel 4.2:

Karakteristik Pasien TB Paru Puskesmas Klirong I


Bulan Agustus – Oktober Tahun 2009 n (30)
Karakteristik Frekuensi Prosentase

Umur 21 – 30 Tahun 17 56,67

31 – 40 Tahun 10 33,33

> 41 Tahun 3 10

Jenis Laki-laki 5 16,67

Kelamin Perempuan 25 83,33

Pendidikan SMP 7 23,3

terakhir SMA 20 66,7

D III 3 10

S1 0 0

Lama < 1 tahun 28 93,3

Menderita 2–4 tahun 2 6,7

TB Paru > 5 tahun 0 0

Sumber: data primer

2. Analisis Univariat

a. Pengetahuan PMO Tentang Pengobatan TB Paru Jenis FDC Pengetahuan

tentang pengobatan TB Paru jenis FDC yang dimiliki oleh PMO di

Puskesmas Klirong I dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut ini:

Tabel 4.3:
Pengetahuan PMO Tentang Pengobatan TB Paru Jenis FDC Puskesmas Klirong I

Bulan Agustus – Oktober Tahun 2009 n (30)

Pengetahuan PMO Jumlah Prosentase

Baik 29 96,7

Cukup 1 3,3

Total 30 100

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa 29 orang PMO (96,7 %) dari 30

orang PMO mempunyai pengetahuan yang baik tentang pengobatan TB Paru

jenis FDC dan 1 orang PMO (3,3 %) mempunyai pengetahuan yang cukup

tentang pengobatan TB Paru jenis FDC.

b. Kepatuhan Pasien berobat

Dalam pelaksanaannya kepatuhan menelan obat menggunakan lembar

ceklist yang sudah dibagikan dan diisi oleh pasien serta menggunakan lembar

kunjungan pengobatan pasien (TB.01 dan TB.03). Secara keseluruhan

kepatuhan pasien menelan obat adalah sebagai berikut:

Tabel 4.4:

Kepatuhan Pasien Berobat Puskesmas Klirong I Bulan

Agustus – Oktober Tahun 2009 n (30)

Kepatuhan Pasien Jumlah Prosentase


Patuh 17 orang 56,7 %

Tidak Patuh 13 orang 43,3 %

Total 30 orang 100

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa 17 orang (56,7 %) dari 30 orang

pasien telah mematuhi program pengobatan TB Paru dengan berobat di

Puskesmas dan menelan obat FDC. Sedangkan 13 orang (43,3 %) tidak

mematuhi program pengobatan dengan tidak berobat dan menelan obat FDC

dibuktikan dengan pasien tidak datang ke Puskesmas untuk mengambil obat

sesuai jadwal dan kesepakatan, pasien juga tidak menginformasikan alasan

tidak bisa datang ke Puskesmas.

3. Analisis Bivariat

a. Hubungan Pengetahuan PMO Tentang Pengobatan TB Paru Jenis FDC Dengan

Kepatuhan Pasien Berobat.

Untuk mengetahui adanya hubungan antara pengetahuan PMO tentang

pengobatan TB Paru jenis FDC dengan kepatuhan pasien berobat, peneliti

menggunakan perhitungan chi square dan hasilnya dapat dijelaskan pada

tabel 4.5 berikut ini:

Tabel 4.5:

Hubungan Pengetahuan PMO Tentang Pengobatan TB Paru


Jenis FDC Dengan Kepatuhan Pasien Berobat Puskesmas

Klirong I Bulan Agustus – Oktober Tahun 2009 n (30)

Variabel Kepatuhan Pasien Berobat p value

Pengetahuan Patuh Tidak Patuh Jumlah

n % n % n% Baik 16 53,4

13 43,3 29 96,7

Cukup 1 3,3 0 0 1 3,3 0,374

Jumlah 17 56,7 13 43,3 30 100 Sumber: Data Terolah, 2009

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui tidak ada hubungan antara

pengetahuan PMO tentang pengobatan TB Paru jenis FDC dengan kepatuhan

pasien berobat di wilayah kerja Puskesmas Klirong I yaitu 16 orang (53,4 %)

pasien TB Paru yang patuh berobat memiliki PMO dengan pengetahuan yang

baik, sedangkan sebanyak 13 orang (43,3 %) pasien TB Paru tidak patuh

berobat dan memiliki PMO dengan pengetahuan baik. Sebanyak 1 orang (3,3

%) pasien TB Paru yang patuh berobat dan memiliki PMO dengan

pengetahuan yang cukup sedangkan tidak ada pasien (0 %) yang tidak patuh

berobat dan memiliki PMO dengan pengetahuan yang cukup.


b. Hasil Uji Statistik Hubungan Pengetahuan PMO Tentang Pengobatan TB Paru

Jenis FDC Dengan Kepatuhan Pasien Berobat Di Wilayah Kerja Puskesmas

Klirong I.

Dari hasil uji statistik dapat dilihat bahwa menggunakan chi square

dengan hasil approx signifikansi sebesar 0.374. Dengan signifikansi < 0,005

maka Ha ditolak dan Ho diterima yang artinya tidak ada hubungan yang

signifikan dari hubungan antara pengetahuan PMO tentang pengobatan TB

Paru jenis FDC dengan kepatuhan pasien berobat di wilayah kerja Puskesmas

Klirong I. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Riwidikdo (2008) yang

menerangkan bahwa bila hasil p > 0,05 artinya tidak ada hubungan yang

signifikan antara dua variabel yang diujikan.

C. Pembahasan

1. Karakteristik responden

Gambaran umum responden menunjukkan bahwa sebagian besar

responden PMO berumur 31 – 40 tahun yaitu sebanyak 12 orang (40 %), kelompok

umur PMO berusia 21 – 30 tahun sebanyak 7 orang (23,3 %) dan kelompok umut

berusia > 40 tahun sebanyak 11 orang (36,7 %). Hal ini sama dengan penelitian

yang dilakukan oleh Basuki (2005) bahwa PMO dengan usia 32 – 40 tahun di

Puskesmas mecapai 41,18 %, sedangkan usia < 30 tahun hanya 35,29 % dan usia >

40 tahun juga hanya 23,53 %. Pada interval umur tersebut merupakan umur yang

produktif identik dengan idealisme yang tinggi, semangat kerja yang meningkat dan
penuh optimisme. Pada kategori ini seorang PMO memiliki kinerja atau semangat

pengabdian yang tinggi, mudah diajak kerjasama dengan tenaga kesehatan setempat

untuk mendapatkan pelatihan-pelatihan tentang Pengawas Menelan Obat agar PMO

bisa memberikan penyuluhan kepada masyarakat secara umum dan khususnya

kepada pasien TB Paru.

Gambaran jenis kelamin PMO adalah sebagian besar PMO berjenis

kelamin laki-laki yaitu 18 orang (60 %) sedangkan lainnya 12 orang (40 %)

berjenis kelamin perempuan. Hal ini sesuai dengan pendapat Basuki (2005) bahwa

sebagian besar PMO adalah pasangan dari pasien TB sendiri suami atau istrinya

dan kader kesehatan setempat. Pendapat dari Depkes (2001) yaitu semua orang

dapat menjadi PMO antara lain keluarga penderita, kader kesehatan, petugas

kesehatan, tokoh agama, tokoh masyarakat dan lain-lain dengan syarat bersedia

disetujui serta dapat meyakinkan penderita. Penunjukan PMO yang pertama kali

dilihat adalah kesanggupan keluarga (suami atau istri, anak, orang tua dan lain-lain)

untuk menjadi PMO bagi anggota keluarganya sendiri. Bila tidak ada yang bersedia

menjadi PMO barulah kita mencari dari tetangga sekitar atau kader kesehatan dan

seterusnya.

Gambaran pendidikan sebagian besar responden PMO berpendidikan SMP

yaitu sebanyak 20 orang (66,7 %) sedangkan yang berpendidikan SMA hanya 10

orang (33,3 %). Green cit Notoatmojo (1993) berpendapat bahwa pendidikan

merupakan salah satu faktor yang menjadi dasar untuk melaksanakan

tindakan.Wajib belajar sembilan tahun (6 tahun SD dan 3 tahun SMP) yang


dicanangkan pemerintah sudah diterapkan di wilayah kerja Puskesmas Klirong I

sehingga tidak menjadi halangan bagi seorang PMO untuk memberikan motivasi

dan pengawasan kepada pasien TB Paru. Untuk metode program pengobatan TB

Paru, PMO mendapat pelatihan singkat dari pemegang program TB Paru atau

tenaga kesehatan yang ada di puskesmas.

Gambaran lama menjadi PMO adalah sebagian besar PMO memiliki lama

waktu menjadi seorang PMO yaitu 2 – 4 tahun sebanyak 21 orang (70 %)

sedangkan lama menjadi PMO < 1 tahun hanya 3 orang (10 %) dan lama menjadi

PMO > 5 tahun hanya 6 orang (20 %). Hal ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Sumarwanto (2008) bahwa lama waktu menjadi PMO sesuai dengan

lama waktu menjadi kader kesehatan di Puskesmas yang sekaligus menjadi lama

waktu menjadi PMO. PMO yang berasal dari kader kesehatan sekaligus menjadi

seorang PMO bagi pasien TB di sekitar tempat tinggalnya, selain itu ada beberapa

wilayah desa yang menjadi kantong-kantong dominasi Pasien TB Paru sehingga

dimungkinkan seseorang beberapa kali menjadi PMO bagi pasien TB Paru yang

berbeda di wilayah desanya.

Gambaran pernah mengikuti pelatihan PMO adalah sebanyak 7 orang

PMO (23,3 %) sudah pernah dilatih menjadi PMO sedangkan 23 orang (76,7 %)

belum pernah mengikuti pelatihan PMO. Hal ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Sumarwanto (2008) bahwa PMO yang berasal dari kader kesehatan

sudah pasti mendapat pelatihan PMO dari Puskesmas setempat. Selain itu bagi

PMO yang belum pernah mendapat pelatihan PMO mendapat penyuluhan singkat
(short course) tentang PMO oleh petugas kesehatan yang menjadi pemegang

progam di Puskesmas setempat.

Gambaran responden dari pasien TB Paru sebagian besar berumur 21 – 30

tahun berjumlah 17 orang (56,67 %) sedangkan yang berumur 31 – 40 tahun

berjumlah 10 orang (33,33 %) dan yang berumur > 40 tahun berjumlah 3 orang (10

%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Depkes (2001) bahwa

mayoritas penderita TB Paru adalah dengan usia produktif yaitu 21 – 30 tahun.

Peneliti berasumsi selain penderita dengan usia produktif juga penderita biasanya

mudah kelelahan akibat aktifitas sehari-harinya, sehingga daya tahan tubuhnya

menjadi menurun. Selain itu, lokasi tempat kerja penderita memicu terjadinya TB

Paru.

Gambaran jenis kelamin pasien TB Paru sebagian besar adalah perempuan

berjumlah 25 orang (83,33 %) sedangkan laki-laki hanya berjumlah 5 orang

(16,67). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Basuki (2005) bahwa

perempuan mendominasi jumlah penderita TB Paru. Peneliti berasumsi bahwa

perempuan lebih mudah kelelahan dibandingkan laki-laki sehingga daya tahan

mudah sekali menurun dan mudah terkena TB Paru.

Gambaran tingkat pendidikan pasien TB Paru sebagian besar memiliki

tingkat pendidikan SMA yaitu berjumlah 20 orang (66,7 %) sedangkan pasien yang

memiliki tingkat pendidikan SMP berjumlah 7 orang (23,3 %), pendidikan DIII

berjumlah 3 orang (10 %). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Basuki

(2005) bahwa tingkat pendidikan SMA lebih banyak terkena TB Paru dikarenakan
pengetahuan mereka tentang pencegahan TB Paru masih kurang. Peneliti berasumsi

pasien dengan tingkat pendidikan SMA lebih mudah bergaul dengan orang-orang

yang perokok aktif, bekerja di lokasi dengan asap, debu dan bahan-bahan yang

merusak saluran pernapasan.

Gambaran pasien dengan lama menderita TB Paru sebagian besar < 1

tahun yaitu berjumlah 28 orang (93,3 %) sedangkan pasien yang menderita 6 – 10

tahun berjumlah hanya 2 orang (6,7 %). Hal ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan Sumarwanto (2008), Basuki (2005) dan Frida Noor (2008) bahwa

sebagian besar pasien TB Paru adalah kasus penemuan baru dengan lama menderita

< 1 tahun. Peneliti berasumsi pasien TB Paru dengan lama menderita lebih dari 1

tahun termasuk pasien TB paru yang kambuh, gagal berobat dan mangkir atau tidak

patuh berobat.

2. Analisis Univariat

a. Pengetahuan PMO Tentang Pengobatan TB Paru Jenis FDC Pengetahuan tentang

pengobatan TB Paru jenis FDC yang dimiliki oleh PMO di Puskesmas Klirong

I.

Pada penelitian ini seluruh PMO 30 orang (100 %) yang menjadi

responden mempunyai pengetahuan yang baik (96,7 %) dan cukup (3,3 %)

tentang pengobatan TB Paru jenis FDC dengan 17 orang pasien (56,7 %)

mematuhi program pengobatan TB Paru dan 13 orang pasien (43,3 %) tidak

mematuhi pengobatan. Pengetahuan dapat memberikan bekal kognitif atau


sebagai dasar bagi seseorang dalam melakukan suatu tindakan. Hal ini sesuai

dengan tingkat domain kognitif yaitu aplikasi seseorang mengaplikasikan

sesuatu yang ia ketahui dalam mengetahui suatu kondisi (Notoatmojo, 1997).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Basuki

(2005) bahwa peran PMO sangat penting dalam mengawasi pasien

menkonsumsi obat anti TBC terutama PMO yang tidak tinggal serumah dengan

pasien harus selalu rutin memantau pengobatannya. Hasil penelitian ini juga

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumarwanto (2008) bahwa

pengetahuan tentang TB Paru terutama pengobatannya harus dimiliki oleh

seorang PMO khususnya PMO yang berasal dari kader. Hal ini dimaksudkan

supaya pasien lebih banyak mendapatkan informasi tentang TB Paru dan

pengobatannya dari PMO, karena PMO adalah orang yang terdekat dengan

pasien.

b. Kepatuhan Pasien berobat

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan hasil bahwa

ada 17 orang pasien (56,7 %) mematuhi program pengobatan dan 13 orang

pasien (43,3 %) tidak mematuhi pengobatan. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa

faktor, salah satunya adalah peran PMO dalam mendampingi dan memotivasi

pasien untuk selalu mematuhi pengobatan TB Paru. Diantara 30 orang PMO

yang berpendidikan SMA adalah 10 orang (33,3 %) dan berpendidikan SMP 20

orang (66,7 %). Hal ini berpengaruh kepada pasien yang berpendidikan D III

sejumlah 3 orang (10 %), SMA sejumlah 20 orang (66,7 %) dan SMP berjumlah
7 orang (23,3 %) terutama dalam proses penyampaian komunikasi, informasi,

edukasi dan motivasi kepada pasien. Diantara ketidakpatuhan pasien yang diteliti

ada beberapa yang tidak dipenuhi oleh pasien dalam pengobatan misal: jumlah

obat yang ditelan, seharusnya jumlah obat yang ditelan 3 tablet tetapi yang

diminum cuma 2 tablet, tidak berkunjung ke Puskesmas untuk mengambil obat,

tidak menunjukkan pembungkus bekas obat yang diminum dan tidak menelan

obat sesuai aturan pengobatan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan Basuki (2005) bahwa tingkat pendidikan PMO berpengaruh terhadap

kepatuhan pasien TB Paru dalam program pengobatannya. Peneliti berasumsi

selain tingkat pendidikan atau pengetahuan PMO, pengetahuan pasien, keluarga

pasien, peran perawat di Puskesmas dan jarak lokasi tempat tinggal dengan

Puskesmas juga sangat mempengaruhi kepatuhan pasien berobat.

3. Analisis Bivariat

Dari hasil uji statistik dapat dilihat bahwa menggunakan chi square

dengan hasil approx signifikansi sebesar 0.374. Dengan signifikansi > 0,005 maka

Ho diterima dan Ha ditolak yang artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara

pengetahuan PMO tentang pengobatan TB Paru jenis FDC dengan kepatuhan

pasien berobat di wilayah kerja Puskesmas Klirong I. Hal ini sesuai dengan

pendapat dari Riwidikdo (2008) yang menerangkan bahwa bila hasil p > 0,05

artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara dua variabel yang diujikan.

Penelitian yang dilakukan oleh Noor (2008) mengatakan bahwa ada hubungan

antara pengetahuan PMO terutama yang berasal dari keluarga pasien dengan
kepatuhan pasien menelan obat. PMO yang berasal dari keluarga terbukti sangat

efektif dalam membantu mendukung kepatuhan pasien berobat. Hubungan

kedekatan atau kekeluargaan, kepercayaan dan ketelatenan PMO dari sangat

mempengaruhi kepatuhan pasien berobat. Anggota keluarga pasien yang ditunjuk

sebagai PMO harus benar-benar mengetahui informasi tentang pengobatan TB Paru

dan benar-benar memantau pengobatannya. Tetapi PMO yang berasal bukan dari

keluarga pasien belum tentu membantu pasien untuk patuh berobat.

Hasil ini sesuai dengan asumsi peneliti, bahwa tidak ada hubungan antara

pengetahuan PMO tentang pengobatan TB Paru jenis FDC ini dengan kepatuhan

pasien berobat, sehingga walaupun pengetahuan PMO tentang pengobatan TB Paru

baik tetapi tidak menjamin pasien patuh berobat di Puskesmas. Hal ini dipengaruhi

beberapa faktor diantaranya adalah pengetahuan pasien, pengetahuan keluarga,

peran perawat Puskesmas, usia PMO dan pasien serta jarak tempuh lokasi tempat

tinggal pasien dengan Puskesmas. Pengetahuan pasien yang kurang menimbulkan

kesadaran untuk berobat menjadi kurang. Pasien tidak mengetahui alasan berobat

dan akan berhenti berobat bila keadaan tubuhnya dirasa membaik. Pasien yang

berobat ke Puskesmas akan menjadi tidak patuh bila keluarga pasien tidak

mendukung anggota keluarganya yang sakit untuk berobat. Jadi, keluarga harus

selalu memotivasi pasien untuk berobat dan menjadi sembuh. Peran perawat di

Puskesmas juga harus selalu memotivasi PMO dan pasien. Perawat juga harus

memberikan informasi yang lengkap dan jelas kepada PMO dan pasien. Usia pasien

yang terlalu tua akan menghambat kepatuhan pasien berobat. Kelemahan tubuhnya

akan sulit dan lupa menerima informasi dari PMO dan perawat, sehingga dosis
pengobatan,cara minum obat, saat minum obat menjadi tidak sesuai dengan

informasi yang telah diberikan. Jarak tempuh lokasi tempat tinggal pasien dengan

Puskesmas juga menjadi hambatan pasien untuk patuh berobat. Alasan jauh,

ekonomi dan sulitnya mendapatkan kendaraan umum atau tumpangan menjadi

sulitnya pasien berkunjung ke Puskesmas untuk mengambil obat.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti dapat diambil kesimpulan bahwa

tidak ada hubungan antara pengetahuan Pengawas Menelan Obat (PMO) tentang

pengobatan TB Paru jenis Fixed dose Combination (FDC) dengan kepatuhan pasien

berobat setelah dianalisis menggunakan chi square yaitu dengan nilai signifikansinya

0.374. Pengetahuan PMO tentang pengobatan TB Paru yang baik tidak menjamin

pasien patuh berobat di Puskesmas. Hal ini dipengaruhi beberapa faktor diantaranya

adalah pengetahuan pasien, pengetahuan keluarga, peran perawat Puskesmas, usia

PMO dan pasien serta jarak tempuh lokasi tempat tinggal pasien dengan Puskesmas.

B. Saran

Saran yang dapat peneliti sampaikan adalah:


1. Agar Pengawas menelan Obat (PMO) selalu memperbanyak informasi tentang

penyakit TB Paru terutama pengobatannya dan selalu aktif bertanya kepada

petugas kesehatan terutama pemegang program TB Paru di Puskesmas setempat.

2. Agar perawat atau tenaga kesehatan terutama bidan pemegang wilayah di

Puskesmas selalu memberikan promosi kesehatan secara aktif tentang TB Paru

kepada PMO, pasien dan keluarganya.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

ketidakpatuhan pasien TB Paru dalam menelan obat.

4. Untuk pengambil kebijakan agar selalu memprioritaskan penyakit TB Paru yaitu

memasukkan program penanggulangan TB Paru dalam anggaran pusat maupun

daerah selain anggaran dari WHO/ Global Fund terutama dalam pengadaan

logistic obat Fixed Dose Combination (FDC).

DAFTAR PUSTAKA

Basuki, 2007, Peran PMO Pada Penderita TBC Dalam Mengkonsumsi Obat Anti

Tuberculosis di Wilayah Puskesmas Sempor I dan II, Kebumen, STIKES

Muhammadiyah Gombong.

Departemen Kesehatan RI, 2002, Pedoman Program Penanggulangan Tuberculosis,

Jakarta, Depkes RI.

Departemen Kesehatan RI, 2008, Pedoman Program Penanggulangan Tuberculosis

(Edisi 2, Cetakan kedua), Jakarta, Depkes RI.


Hartanto, dr, Laporan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah pada Rakerkesda

Propinsi Jawa Tengah di Salatiga 30 – 31 Oktober tahun 2007

Irawan,Prasetya, Dr, M.Sc, 2003, Logika Dan Prosedur Penelitian Pengantar Teori dan

Panduan Praktis Penelitian Sosial Bagi Mahasiswa dan Peneliti Pemula,

Lembaga Administrasi Negara Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Press

Noor, Frida Ani, 2008, Hubungan PMO Keluarga dengan Kepatuhan Menelan Obat

Pada Penderita yang Mendapat Program DOTS di Puskesmas Mojo,

Surabaya, Surabaya, Universitas Airlangga Surabaya,

Phapros, 2007, Pedoman Pengobatan OAT FDC Kategori ! dan II, Jakarta, Phapros.

Qosim, Ahmad, 2007, Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Prinsip Lima

Benar dan penerapannya di RSU PKU Muhammadiyah Gombong,

Kebumen, STIKES Muhammadiyah Gombong.

Riwidikdo, Handoko, SKp, 2008,Statistika Terapan DenganProgram R Versi 2.5.1 (Open

Source) Bidang Kesehatan dan Umum, Jogjakarta, Mitra Cindikia Press.

Rahmat, Haikin,dr, 2000, Petunjuk Penggunaan Obat Anti Tuberculosis Fixed Dose

Combination (FDC) Untuk Pengobatan Tuberculosis di Unit Pelayanan

Kesehatan, Jakarta, Depkes RI.

Sumarwanto, 2008, Tingkat Pengetahuan Kader Tentang Penyakit TBC di Puskesmas

Klirong II, Kebumen, STIKES Muhammadiyah Gombong.


Sugiyono, Prof, DR, 2005, Metode Penelitian Administrasi, Bandung, Alfabeta Bandung.

(www.dinkesjateng.org/rakerkesda07/laporan_kl pdf.accessed 2 April 2009, 17.15)

You might also like