You are on page 1of 8

3.

Hadis Dha’if
a) Pengertian Hadits Dha’if
Hadits dha’if secara bahasa berarti hadits yang lemah.1[10] Secara istilah hadits dha’if
adalah hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul (hadits shahih
atau hadits hasan). Contoh hadits dha’if:2[11]
‫من أتى حا ئضا أو امرأة من دبر أو كاهنا فقد كفر بما أنزل على مح ّمد‬
Artinya: “Barangsiapa yang mendatangi seorang wanita menstruasi (haid) atau pada
seorang wanita dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka ia telah
mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW”.
Hadist tersebut diriwayatkan oleh At Tirmidzi melalui jalan Hakim Al Atsram dari Abu
Tamimah Al Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW. Dalam sanad itu terdapat seorang
dha’if yaitu Hakim Al Atsram yang dinilai dha’if oleh para ulama.

b) Klasifikasi Hadits Dha’if


Para ulama muhadditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadits dari dua jurusan,
yakni sanad dan matan. Sebab-sebab tertolaknya hadits dari sanad:3[12]
1) Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilan atau kedhabitannya.
2) Ketidak bersambungan sanad, dikarenakan seorang rawi atau lebih yang digugurkan atau
saling tidak bertemu satu sama lain.
Adapun kecacatan rawi itu antara lain: dusta, tertuduh dusta, fasik, banyak salah, lengah
dalam menghafal, menyalahi riwayat orang kepercayaan, banyak waham (purbasangka), tidak
diketahui identitasnya, penganut bid’ah, tidak baik hafalannya.4[13]
Klasifikasi hadits dha’if berdasarkan cacat pada keadilan dan kedhabitan rawi antara
lain:5[14]
1) Hadits Maudhu’ (hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW secara palsu dan dusta)
2) Hadits Matruk (hadits yang pada sanadnya ada seorang rawi yang tertuduh dusta)
3) Hadits Munkar (hadist yang pada sanadnya terdapat rawi yang jelek kesalahan, banyak
lengah, tampak fasik)
4) Hadits Syadz (hadist yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang maqbul, yang menyalahi
riwayat orang yang lebih utama darinya baik karena jumlahnya lebih banyak ataupun yang
lebih tinggi daya hafalnya)
Sedangkan klasifikasi hadits dha’if berdasarkan gugurnya rawi, yaitu:6[15]
1) Hadits Mu’allaq (hadits yang seorang atau lebih rawinya gugur pada awal sanad secara
berurutan)
2) Hadits Mu’dhal (hadist yang putus sanadnya dua orang atau lebih secara berurutan)
3) Hadits Mursal (hadist yang gugur rawi dari sanadnya setelah tabi’in)
4) Hadits Munqathi (hadits yang gugur seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat, atau
gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berurutan)

1[10] Ibid.,hlm 163

2[11] Ibid.,hlm 164

3[12] M. Solahuddin, Ulumul Hadis (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hal 148

4[13] Ibid.,hlm 149

5[14] Ibid.,hlm 150

6[15] Ibid.,hlm 151-154


5) Hadits Mudallas (hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits
itu tidak bernoda).
E. Kehujjahan Hadits Dha’if
Para ulama berbeda pendapat tentang pengamalan hadits dha’if, yang dirangkum menjadi tiga
pendapat:7[19]
1. Menurut Abu Dawud dan Imam Ahmad, hadits dha’if bisa diamalkan secara mutlak.
Alasannya adalah hadits dha’if lebih kuat daripada akal perorangan (qiyas).
2. Menurut Ibn Hajar, hadits dha’if bisa digunakan dalam masalah fadha’il al-a’mal
(keutamaan amal), mawa’izh, atau yang sejenisnya jika memenuhi beberapa syarat, yaitu:
a) Kedha’ifannya tidak terlalu. Tidak tercakup di dalamnya seorang pendusta atau yang
tertuduh berdusta, atau terlalu sering melakukan kesalahan.
b) Hadits dha’if itu masuk dalam cakupan hadits pokok yang bisa diamalkan.
c) Ketika mengamalkannya tidak menyakini bahwa ia berstatus kuat, tetapi sekedar berhati-
hati.
3. Hadits dha’if tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadha’il maupun hukum-
hukum (ahkam). Demikian pendapat Ibn ‘Arabi, Imam Al Bukhari, Imam Muslim, Ibn Hazm,
dll.
Menurut Muhammad ‘Ajaj al-Khatib dalam bukunya M. Noor Sulaiman, pendapat ketigalah
yang paling aman. Ia memberikan alasan bahwa kita memiliki hadits-hadits shahih tentang
fadha’il, targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan)
yang merupakan sabda Nabi SAW yang sangat padat dan berjumlah besar. Hal itu
menunjukkan bahwa kita tidak perlu menggunakan dan meriwayatkan hadits dha’if mengenai
masalah fadha’il dan sejenisnya.
Contoh haditsnya sebagai berikut:8[20]
‫ فليس منّى‬،‫من كان موسرا ألن ينكح فلم ينكح‬
Artinya: “Barangsiapa yang mempunyai kemampuan untuk menikah, tetapi dia tidak mau
menikah, maka dia tidak termasuk golonganku”
Hadits tersebut diatas adalah dhaif. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al Mushannaf
(VII/I/2), ath Thabrani dalam al Ausath (I/62/1), al Baihaqi dalam as sunan (VII/78) dan
dalam Syu’abul Iman (II/134/2), dan al Wahidi dalam al Wasith (III/114/2)dari Ibnu Juraij,
dari Umair bin Mughallis, dari Abu Najih secara marfu’.
Muhammad Nashirudin Al Albani menyatakan alasan kedhaifan hadits tersebut dalam
bukunya Silsilah Hadits Dhaif dan Maudhu’, sebagai berikut:
Pertama, mursal, karena Abu Najih itu seorang tabi’in yang dapat dipercaya, namanya Yasar.
Kedua, kelemahan Umair bin Mughallis. Dia dimasukkan oleh al Uqaili dalam adh Dhu’afa
(hlm.317) seraya berkata, “Dia meriwayatkan dari hariz bin Utsman, dari Abdur Rahman bin
Jubair, dan tidak ada yang mendukungnya, dan hadits itu tidak dikenal kecuali melalui dia.
Dan dengan cacat yang di muka itulah al Baihaqi mencatat hadits ini dengan mengatakan,
“(Hadits) ini mursal”

F. Kesimpulan
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadits bergantung pada tiga hal, yaitu jumlah
rawi, keadaan (kualitas rawi), dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menentukan tinggi
rendahnya suatu hadits.

7[19] M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadis (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hal
112-113

8[20] Ibid, hlm.411


Para ulama’ hadits menentukan Kualitas Hadits ditinjau dari segi kualitas sanadnya dibagi
menjadi tiga, yaitu Hadits Shahih, Hadits Hasan, dan Hadits Dha’if. Dan hadist shahih
maupun hadits hasan terbagi menjadi dua yaitu lidzatihi dan lighairihi
Sedangkan pengklasifikasian hadits dha’if berdasarkan cacat pada keadilan dan kedhabitan
rawi antara lain: hadits maudhu’: hadits matruk, hadits munkar, hadits syadz. Dan klasifikasi
hadits dha’if berdasarkan gugurnya rawi, terbagi menjadi hadits mu’allaq, hadits mu’dhal,
hadits mursal, hadits munqathi, hadits mudallas.
A. PENGERTIAN HADIST MAUDHU’
Hadist maudhu’ adalah hadist buatan dan palsu yang dinisbatkan seakan-akan
berasal dari Nabi SAW. Hadist maudhu’ sering dimasukkan ke dalam jenis hadist dla’if yang
disebabkan oleh tidak terpenuhinnya syarat ke adilan periwayat, Sementara ada sebagian
ulama yang tidak memasukkan hadist maudhu’ kedalam jenis hadist dla’if tetap merupakan
bagian tersendiri.
Pengertian hadist maudhu’ adalah hadist yang disandarkan kepada
RasulullahSAW, dengan dusta dan tidak ada kaitanyang hakiki dengan Rasulullah.Bahkan,
sebenarnya ia bukan hadist, hanya saja paraulma menamainny hadist mngingat adanya
anggapan rawinya bahwa hal ituadalah hadist.9[1]
Indikasi ke-maudhu’ an hadist yang berkaitan dengan sanad:
1. Periwayatnya dikenal sebagai pendusta, dan tidak ada jalur lain yang periwayatnya tsiqoh
meriwayatkan hadist itu.
2. Periwayatnya mengakui sendiri membuat hadist tersebut.
3. Ditemukan indikasi yang semakna dengan pengakuan memalsukan hadist seperti seorang
periwayat yang meriwayatkan hadist dari orang yang dinyatakannya wafat sebelum ia sendiri
lahir.10[2]

B. SEJARAH MUNCULNYA HADIST MAUDHU’


Masuknya secara missal penganut agama lain ke dalam Islam, yang merupakan
akibat dari keberhasilan dakwah Islamiyah ke seluruh pelosok dunia, secara tidak langsung
menjadi factor munculnya hadist-hadist palsu. Kita tidak bisa menafikkan bahwa masuknya
mereka ke Islam, di samping ada yang benar-benar ikhlas tertarik dengan ajaran Islam yang
dibawa oleh para da’i, ada juga segolongan mereka yang menganut agama Islam hanya
karena terpaksa tunduk pada kekuasaan Islam pada waktu itu. Golongan ini kita kenal dengan
kaum munafik.
Penyebaran hadist maudhu’ pada masa pemerintahan Sayyidina Utsman bin Affan
mulai menaburkan benih-benih fitnah, tetapi pada masa ini belum begitu meluas karena
masih banyak sahabat ulama yang masih hidup dan mengetahui dengan penuh yakin akan
kepalsuan suatu hadist. Para sahabat ini mengetahui bahaya dari hadist maudhu’ karena ada

9[1] Nurrudin, Ulumul Hadis, Bandung, PT Remaja Rosdakarya,2012,hlm. 308

10[2] Kasman, Hadist Dalam Pandangan Muhammadiyah. Yogyakarta: Penerbit Mitra Pustaka.
2012, hlm.43
ancaman yang keras dikeluarkan olen Nabi SAW terhadap orang yang memalsukan
hadist,11[3].
Faktor-faktor Penyebab Munculnya Hadist Maudhu’:
1. Pertentangan Politik dalam Soal Pemilihan Khalifah
Pertentangan di antara umat islam timbul setelah terjadinya pembunuhan terhadap
khalifah Utsman bin Affan oleh para pemberontak dan kekhalifahan digantikan oleh Ali bin
Abi Thalib.
Umat islam pada masa itu terpecah-belah menjadi beberapa golongan, seperti
golongan yang ingin menuntut bela terhadap kematian khalifah Utsman dan golongan yang
mendukung kekhalifahan Sayyidina Ali (Syi’ah). Setelah perang Siffin, muncul pula
beberapa golongan lainnya, seperti Khawarij dan golongan pendukung Muawiyyah.
Di antara golongan-golongan tersebut, untuk mendukung golongannya masing-masing,
mereka membuat hadist palsu. Yang pertama dan yang paling banyak membuat hadist
maudhu’ adalah dari golongan Syi’ah dan Rafidhah.12[4]
2. Asanya Kesengajaan dari Pihak Lain untuk Merusak Ajaran Islam
Golongan ini adalah terdiri dari golongan Zindiq, Yahudi, Majusi, dan Nasrani yang
senantiasa menyimpan dendam terhadap agama islam. Mereka tidak mampu untuk melawan
kekuatan islam secara terbuka maka mereka mengambil jalan yang buruk ini. Mereka
menciptakan sejumlah besar hadist maudhu’ dengan tujuan merusak ajaran islam.
Faktor ini merupakan factor awal munculnya hadist maudhu’. Hal ini berdasarkan
peristiwa Abdullah bin Saba’ yang mencoba memecah-belah umat Islam dengan mengaku
kecintaannya kepada Ahli Bait. Sejarah mencatatbahwa ia adalah seorang Yahudi yang
berpura-pura memeluk agama Islam. Oleh sebab itu, ia berani menciptakan hadist maudhu’
pada saat masih banyak sahabat ulama masih hidup.
Tokoh-tokoh terkenal yang membuat hadist maudhu’ dari kalangan orang zindiq ini,
adalah:
a. Abdul Karim bin Abi Al-Auja, telah membuat sekitar 4000 hadist maudhu’ tentang hukum
halal-haram. Akhirnya, ia dihukum mati olen Muhammad bin Sulaiman, Walikota Bashrah.
b. Muhammad bin Sa’id Al-Mashlub, yang akhirnya dibunuh oleh Abu Ja’far Al-Mashur.
c. Bayan bin Sam’an Al-Mahdy, yang akhirnya dihukum mati oleh Khalid bin Abdillah.13[5]

11[3] Agus Solahudin, Ulumul Hadist. Bandung: CV. Pustaka Setia. Hlm172-173

12[4] Ibid, hlm178


3. Membangkitkan Gairah Beribadah untuk Mendekatkan Diri Kepada Allah
Mereka membuat hadist-hadist palsu dengan tujuan menarik orang untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah, melalui amalan-amalan yang mereka ciptakan, atau
dorongan-dorongan untuk meningkatkan amal, melalui hadist tarhib wa targhib (anjuran-
anjuran untuk meninggalkan yang tidak baik dan untuk mengerjakan yang dipandangnya
baik) dengan cara berlebihan.14[6]
4. Menjilat Para Penguasa untuk Mencari Kedudukan atau Hadiah
Ulama-ulama membuat hadist palsu ini untuk membenarkan perbuatan-perbuatan para
penguasa sehingga dari perbuatannya tersebut, mereka mendapat upah dengan diberi
kedudukan atau harta.
Sebab-sebab Pemalsuan Hadist dan kelompok-kelompok Pemalsuannya;
1. Sebab pemalsuan hadis yang pertama kali muncul adalah adanya prselisihan yang melanda
kaum Muslimin yang bersumber pada fitnah dan kasus-kasus yang mengikutinya yakni umat
Islam menjdi beberapa kelompok.
2. Permusuhan terhadap Islam dan untuk menjelek-jelekkannya. Yaitu upaya yang ditempuh
oleh orang-orang zindik, lebih-lebih oleh keturunan bangsa-bangsa yang terkalahkan oleh
umat Islam.
3. Upaya untuk memperoleh fasilitas duniawi, seperti pendekatan kepada pemerintah atau
upayamengumpulkan manusia ke dalam majelis,seperti yang dilakukan oleh para juru cerita
dan para peminta-minta. Dampak negative kelompok ini sangat besar.
Kepalsuan yang terjadi pada hadis seorang rawi tanpa disengaja, seperti
kesalahannya menyandarkan kepada Nabi SAW.15[7]
a) Pemberantasan Hadis Palsu dan MediaTerpenting untuk Memberantasnya
Para ulama mengambil langkah untuk memerangi pemalsu hadis dan menghindarkan bahaya
para pemalsu. Untuk itu, merekamenggunakan berbagai metodologi yang cukup untuk
kesimpulannya sebagai berikut:
Meneliti karakteristik para rawi dengan mengamati tingkah laku dan riwayat mereka.
b) Memberi peringatan keras kepada para pendusta dan mengungkap-ungkap kejelekan mereka,
mengumumkan kedustaan mereka kepada para pemuka masyarakat.

13[5] Ibid, hlm 178-179

14[6] Ibid, hlm 181

15[7] Nurrudin, Ulumul Hadis.op cit. hlm 309-316


c) Pencarian sanad hadis, sehingga mereka tidak menerima hadis yang tidak bersanad, bahkan
hadis yang demikian mereka anggap sebagai hadis yang batil.
d) Menguji kebenaran hadis dengan membandingkannya dengan riwayat yang melalui jalur lain
dan hadi-hadis yang telah diakui keberadaannya.
e) Menetapkan pedoman-pedomanuntuk mengungkapkan hadis maudhu’.
f) Menyusun kitab himpunan hadis-hadismaudhu’ untuk member penerangan dan peringatan
kepada masyarakt tentang keberadaan hadis-hadis tersebut.16[8]
CIRI-CIRI HADIS MAUDHU’
1. Ciri-ciri yang Terdapat pada Sanad
a. Rawi tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta).
b. Pengakuan dari si pembuat sendiri.
c. Kenyataan sejarah mereka tidak mungkin bertemu, misalnya ada pengakuan dari seorang
rawi bahwa ia menerima hadist dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan
guru tersebut, atau lahir sesudah guru tersebut meninggal.
d. Keadaan rawi dan factor-faktor yang mendorongnya membuat hadist maudhu’.
2. Ciri-ciri yang Terdapat pada Matan
a. Keburukan susunan lafazhnya
b. Kerusakan maknanya.
Ciri-ciri Hadis Maudhu’ pada rawinya
1. Mengakui telah memalsukan hadis, seprti Abu ‘Ishmah Nuh bin Abu Maryam dan Maisarah
bin ‘Abdi Rabbih.
2. Tidak sesuai dengan fakta sejarah, sperti yang terjadi pada al-Ma’mun bin Ahmad yang
menyatakan bahwa al-Hasan menerima hadis dari Abu Hurairah sehubungan dengan adanya
perbedaan pendapat dalam masalah-masalahini.
3. Ada gejala-gejala para rawi bahwa ia berdusta dengan hadis yang besangkutan.
Ciri-ciri Hadis Maudhu’ pada Matan.
a) Kerancuan redaksi atau makna hadis.
b) Setelah diadakan penelitian terhdap suatu hadis ternyata menurut ahli hadis tidak terdapat
dalam hafalan para rawidan tidak terdapat dalam kitab-kitab hadis, setelah penelitiandan
pembukuan hadis sempurna.
c) Hadisnya menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.
d) Hadisnya bertentangan dengn petunjuk Al-Quran yang pasti.17[9]

16[8] Ibid. hlm 317-319


KITAB-KITAB YANG MEMUAT HADIST MAUDHU’
1. Al-Maudhu’ ‘Al-Kubra, karya Ibn Al-Jausy (Ulama yang paling awal menulis dalam ilmu
ini)
2. Al-La’ali Al-Mashnu’ah fi Al-Ahadist Al-Maudhu’ah, karya As-Suyuthi.
3. Tanzihu Asy-Syari’ah Al-Marfu’ah ‘an Al-Ahadits Asy-Syani’ah Al-Maudhu’ah, karya Ibnu
‘Iraq Al-Kittani.
4. Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, karya Al-Albani.18[10]

17[9] ibid, hlm 322-327

18[10] Agus Solahudin, Ulumul Hadist, hlm 181-187

You might also like