You are on page 1of 9

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

1. Latar Belakang
Gagal Ginjal Kronik / penyakit ginjal tahap akhir (ESRD / End Stage Renal Disease)
merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh
gagal dalam mempertahankan metabolisme tubuh, keseimbangan cairan dan elektrolit
sehinggga dapat menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah)
(Suryanto, 2007).
Gagal ginjal kronik adalah merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan
lambat, dimana ginjal kehilangan kemampuan untuk mempertahankan volume dan komposisi
cairan tubuh dengan nilai GFR 25%-10% dari nilai normal (Suryanto, 2007).
Salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada pasien penyakit ginjal kronik adalah anemia
(Suwitra, 2014). Anemia pada penyakit ginjal kronik dapat menimbulkan komplikasi
kardiovaskular (angina, hipertrofi ventrikel kiri (left ventricular hypertrophy / LVH), dan
memperburuk gagal jantung).
Anemia pada penyakit ginjal kronik dapat terjadi melalui berbagai mekanisme
(defisiensi besi, asam folat, vit. B12; perdarahan saluran cerna; hiperparatiroid berat;
inflamasi sistemik dan memendeknya waktu hidup eritrosit). Penyebab terpenting
terjadinya anemia pada pasien penyakit ginjal kronik adalah menurunnya produksi
eritropoietin (Thomas et al., 2009).

Berdasarkan penelitian dari National Health and Nutrition Examination Survey


(NHANES) tahun 2007-2010, prevalensi anemia pada pasien penyakit ginjal kronik
dua kali lebih banyak (15,4%) dibandingkan populasi umum (7,6%). Prevalensi
anemia meningkat pada pasien penyakit ginjal kronk dari 8,4% pada stadium 1
sampai 53,4% pada stadium 5 (Staufferet al., 2014). Menurut National Institute for
Health and Care Excellence (NICE) tahun 2011, prevalensi anemia pada pasien
penyakit ginjal kronik sebesar 12%. Menurut Suwitra, anemia terjadi pada 80% - 90%
pasien penyakit ginjal kronik.

Menurut Dmitrieva et al., anemia yang umum terjadi pada pasien penyakit ginjal
kronik adalah anemia normositik normokrom, namun dapat terjadi anemia mikrositik
hipokrom atau anemia makrositik. Prevalensi anemia normositik sedikit munurun
dengan semakin menurunnya Hb (Hb ≤ 11 g/dl = 80,5 %, Hb ≤10 g/dl = 72,7 %, Hb
≤ 9 g/dl = 67,6 %). Prevalensi anemia mikrositik meningkat dengan semakin
menurunnya Hb (Hb ≤ 11 g/dl = 13,4 %, Hb ≤ 10 g/dl = 20,8 %, Hb ≤ 9 g/dl = 24,9 %)
sementara anemia makrositik sedikit meningkat dengan semakin menurunnya Hb (Hb
≤ 11 g/dl = 6,0 %, Hb ≤ 10 g/dl = 6,5 %, Hb ≤ 9 g/dl = 7,6 %). Jenis anemia
terbanyak pada pasien penyakit ginjal kronik stadium 2-5 adalah anemia normositik
sedangkan pasien dengan stadium 1 mengalami anemia mikrositik (Dmitrieva et
al.,2013).

2. Tujuan Penulisan
 Tujuan Umum :
Setelah diberikan pendidikan kesehatan selama 10 menit, diharapkan klien
memahami mengenai anemia.

 Tujuan Khusus :
a. Mampu menyebutkan kembali pengertian dari anemia.
b. Mampu menyebutkan kembali 3 penyebab dan 3 tanda gejala dari anemia.
c. Mengetahui pemeriksaan dan penatalaksanaan yang dilakukan pada orang dengan
anemia.

3. Rencana Kegiatan
 Metode
Metode yang digunakan adalah dengan memberikan pendidikan kesehatan.
 Media dan Alat Bantu
Media dan alat bantu yang digunakan adalah PPT.
 Waktu dan Tempat
Hari/Tanggal : Jum’at, 10 November 2017
Pukul : 08.00 – 09.00 WIB
Tempat : Ruang Tunggu Hemodialisa
Materi : Chronic Kidney Disease dengan Anemia
Peserta : Pasien dan keluarga di Ruang Tunggu Hemodialisa.

4. Evaluasi
a. Struktur Kegiatan
Melakukan persiapan mengenai materi, jadwal, media, peserta, sarana dan prasarana yang
digunakan.
b. Proses
 Peserta dan keluarga mengikuti kegiatan dari awal hingga akhir,
 Peserta dan keluarga aktif mengikuti kegiatan pendidikan kesehatan.
 Peserta memberikan respon atau umpan balik berupa pertanyaan dan ketika diberi
pertanyaan.
c. Hasil
 Peserta mampu menyebutkan kembali pengertian dari anemia.
 Peserta mampu menyebutkan kembali 3 penyebab dari anemia.
 Peserta mampu menyebutkan kembali 3 tanda gejala dari anemia.

5. Lampiran
1. Materi
2. Lembar Evaluasi
3. Prosedur Penyuluhan

6. Daftar Pustaka
Corwin, E.J. 2010. Alih bahasa : Pendit, B.U. Handbook of pathophysiology. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Price, S.A. & Wilson, L.M. Alih bahasa : Anugerah, P. 2007. Pathophysiology: Clinical concept of
disease processes. 4th Edition. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Smeltzer, Suzanne C., Bare, Brenda G. 2007. Brunner & Suddarth Textbook of Medical Surgical
Nursing 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
K/DOQI. 2006. Clinical Practice Guidelines on Hypertension and Antihypertensive Agent in
Chronic Kidney Disease. In Guideline 2 In:Evaluation of Patient with CKD or
Hypertension. CKD 2006: 1-18.
KDIGO. 2013. Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney
Disease. Kid Int Supplements(3); 18-27.
Suwitra K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Lampiran 1 : Materi Penyuluhan


1.1 Pengertian Anemia
World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia dengan
konsentrasi hemoglobin < 13,0 mg/dl pada laki-laki dan wanita postmenopause
dengann < 12,0 gr/dl pada wanita lainnya. The National Kidney Foundation’s Kidney
Dialysis Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) merekomendasikan anemia pada
pasien penyakit ginjal kronik jika kadar hemoglobin < 11,0 gr/dl (hematokrit <33%)
pada wanita premenopause dan pasien prepubertas, dan < 12,0 gr/dl (hematokrit
<37%) pada laki-laki dewasa dan wanita postmenopause.

1.2 Penyebab Anemia


Faktor-faktor yang berkaitan dengan anemia pada penyakit ginjal kronik
termasuk kehilangan darah, pemendekan masa hidup sel darah merah, defisiensi
eritropoetin, defisiensi besi dan inflamasi.
1) Kehilangan Darah
Pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki risiko kehilangan darah
oleh karena terjadinya disfungsi platelet. Penyebab utama kehilangan darah pada
pasien-pasien ini adalah dari dialisis, terutama hemodialisis dan nantinya
menyebabkan defisiensi besi juga. Pasien-pasien hemodialisis dapat kehilangan 3 -5
gr besi per tahun. Normalnya, kita kehilangan besi 1-2 mg per hari sehingga
kehilangan besi pada pasien-pasien dialisis 10-20 kali lebih banyak.
2) Pemendekan masa hidup eritrosit
Masa hidup eritrosit berkurang sekitar sepertiga pasien-pasien hemodialisis
3) Defisiensi Eritropoetin
Defisiensi eritropoetin merupakan penyebab utama anemia pada pasien-
pasien penyakit ginjal kronik.
CKD menyebabkan turunnya kadar eritropoetin (EPO), hormone yang
dihasilkan oleh ginjal yang sehat untuk memproduksi sel darah merah. Apabila tubuh
kekurangan kadar oksigen maka ginjal yang sehat akan melepas hormone EPO
yang akan merangsang sumsum tulang (bone marrow) untuk memproduksi lebih
banyak sel darah merah. CKD menyebabkan anemia berat yang secara bertahap
mempengaruhi kemampuan normal, penampilan diri, dan aktivitas sosial pasien. Hal
ini akan menyebabkan turunnya kualitas hidup secara umum.
4) Defisiensi Besi
Homeostasis besi tampaknya terganggu pada penyakit ginjal kronik. Untuk
alasan yang masih belum diketahui (kemungkinan karena malnutrisi), kadar
transferin pada penyakit ginjal kronik setengah atau sepertiga dari kadar normal,
menghilangkan kapasitas sistem transport besi.
5) Inflamasi
Anemia pada inflamasi juga ditandai dengan kadar besi serum yang rendah,
saturasi transferin yang rendah dan gangguan pengeluaran cadangan besi yang
bermanifestasi dengan tingginya serum feritin.

1.3 Manifestasi klinis Anemia


Anemia mulai muncul stage ke 3 CKD ketika GFR < 60 ml/menit, jauh sebelum
dialysis dibutuhkan. Anemia semakin memburuk seiring dengan progesivitas CKD.
1) Onset anemia pada CKD merasakan kelelahan dan kelemahan atau merasa kurang
tidur. Pasien dengan anemia krang memiliki energy dan antusiasme
2) Tekanan darah pada anemia biasanya rendah dengan tanda awal tekanan darah
menurun ketika pasien berdiri, dan relative normal ketika pasien duduk atau berbaring.
3) Konjungtiva anemis
4) Pusing khususnya ketika berdiri
5) Sulit untuk focus dan berkonsentrasi
6) Pada pasien gagal jantung, nafas pendek dan kelebihan cairan mungkin akan tampak.
Gagal jantung awal dapat berhubungan dengan batuk kering, kesulitan berbaring
dengan posisi datar, atau nafas pendek.

1.4 Pemeriksaan Diagnostik Anemia


Pemeriksaan awal berupa anamnesa yang cermat, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
darah rutin dan hapusan darah selalu harus dilakukan. Pada pemeriksaan darah ditemukan
anemia normositik, normokrom, dan terdapat sel burr pada anemia berat, leukosit dan
trombosit masih dalam batas normal, retikulosit biasanya menurun. Evaluasi anemia dimulai
Hb < 10 g/dl, Ht < 30%. Diagnosis laboratorium anemia yaitu
a) Hemoglobin, hematrokrit
b) Status besi : saturasi transferin : saturasi transferin menujukkan jumlah beredar dalam
sirkulasi. Nilai normal saturasi transferin adalah >20%.

1.5 Penatalaksanaan Anemia


a. Terapi Besi dan Pemantauan Status Besi
Bila status besi kurang, maka harus diberikan terapi besi terlebih dahulu
sebelum diberikan terapi EPO
1) Terapi besi intravena
Merupakan cara pemberian besi yang paling baik. Stimulasi
eritropoiesis yang kuat pada terapi EPO menyebabkan kebutuhan besi
meningkat dengan cepat yang tidak tercukupi oleh asupan besi oral. Contoh
preparat besi untuk suntikan intravena : iron Dextran, Sodium ferric gluconate
complex, iron hydroxysaccharate.
b. Terapi besi oral
Preparat oral masih bermanfaat terutama pada anemia defisiensi besi yang
tidak mendapat terapi EPO. Akan tetapi sering hasilnya tidak seperti yang
diharapkan karena berbagai hal seperti absorpsi besi yang tidak adekwat pada
pasien hemodialisis dan kurangnya kepatuhan minum obat akibat rasa mual.
Banyak penelitian yang menunjukan bahwa terapi besi oral tidak memadai pada
pasien yang mendapat EPO, namun demikian tetap saja dapat diberikan bila
preparat IV dan IM tidak tersedia. Dosis minimal 200 mg besi elemental perhari,
dalam dosis terbagi 2-3x/hari.
Efek samping terapi besi intravena dan intramuskuler adalah reaksi alergi dan
syok anafilaktik. Obat-obat emergensi untuk mengatasi keadaan ini harus
disediakan sebelum terapi dimulai. Kontraindikasi terapi besi antara lain bila
terdapat hipersensitivitas, gangguan fungsi hati berat dan kandungan besi tubuh
berlebih (iron overload).
c. Terapi Eritropoietin
Indikasi terapi EPO bila Hb >10 ug/L dan ST > 20%) dan tidak ada infeksi
berat. Kontraindikasi terapi bila terdapat reaksi hipersensitivitas terhadap EPO
dan pada keadaan hipertensi berat. Hati- hati pada keadaan hipertensi yang
tidak terkendali, hiperkoagulasi dan keadaan overload cairan.
Terapi induksi EPO. Mulai dengan 2000-4000 IU/xhemodialisis subkutan,
selama 4 minggu, Target respons yang diharapkan adalah Ht naik 2-4% dalam
2-4 minggu atau Hb naik 1-2g/dL dalam 4 minggu. Kadar Hb dan Ht dipantau
setiap 4 minggu. Bila target respons tercapai, pertahankan dosis EPO sampai
target Hb tercapai (> 10 g/dL). Bila target belum tercapai naikkan dosis EPO 50
%. Namun bila Hb naik terlalu cepat, 8 g/dL dalam 4 minggu turunkan dosis EPO
25 %. Selama terapi induksi EPO ini status besi di pantau setiap bulan.
Terapi pemeliharaan EPO. Diberikan bila target Hb sudah tercapai > 10 g/dL
atau Ht > 30%. Angka ini lebih rendah dibanding panduan DOQI (Dialysis
Outcomes Quality Initiative) yang menargetkan Hb 11-12 g/dL dan Ht 3336%.
Dosis pemeliharaan EPO yang dianjurkan 1-2 kali 2000 IU/minggu. Selama
terapi pemeliharaan Hb/Ht diperiksa setiap bulan dan status besi setiap 3 bulan.
Bila dengan terapi pemeliharaan EPO Hb mencapai >12 g/dL , dosis EPO
diturunkan sebanyak 25%.

d. Transfusi Darah
Transfusi darah memiliki risiko terjadinya reaksi transfusi dan penularan
penyakit seperti Hepatitis virus B dan C, Malaria, HIV dan potensi terjadinya
kelebihan cairan (overload). Disamping itu transfusi yang dilakukan berulangkali
menyebabkan penimbunan besi pada organ tubuh. Karena itu transfusi hanya
diberikan pada keadaan khusus, yaitu:
1) Perdarahan akut dengan gejala hemodinamik
2) Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO atau yang
telah dapat terapi EPO tapi respons belum adekuat, sementara preparat besi
IV/IM belum tersedia. Untuk tujuan mencapai status besi yang cukup sebagai
syarat terapi EPO, transfusi darah dapat diberikan dengan hati-hati. Target
pencapaian Hb dengan transfusi 7-9 g/dL, jadi tidak sama dengan target
pencapaian Hb pada terapi EPO. Bukti klinis menunjukkan bahwa pemberian
transfusi sampai Hb 10-12 g/dL tidak terbukti bermanfaat dan menimbulkan
peningkatan mortalitas.

Lampiran 2 : Lembar Evaluasi

No Pertanyaan Bisa / Kurang Tidak Bisa /


Paham Paham Tidak Paham

1. Sebutkan kembali apa yang dimaksud


dengan anemia !

2. Sebutkan 3 penyebab bisa terjadi anemia !

3. Sebutkan tanda dan gejala pada orang


dengan anemia !

Lampiran 3 : Prosedur Penyuluhan

No Waktu Kegiatan Penyuluhan Kegiatan Klien Metode


1. 2 Pembukaan : Menjawab salam, Ceramah
Menit mendengarkan serta
 Mengucapkan salam dan menyetujui terkait
memperkenalkan diri pemberian materi
 Menjelaskan materi dan tujuan dari dan kontrak waktu
kegiatan penyuluhan yang akan oleh penyaji.
disampaikan.
 Kontrak waktu dengan klien dan
keluarga.
2. 4 Penyajian Materi : Mendengarkan, Ceramah
Menit  Menjelaskan pengertian dari memperhatikan apa dan Tutorial
anemia. yang di paparkan
 Menjelaskan penyebab dan tanda oleh penyaji.
gejala dari anemia
 Menjelaskan mengenai
pemeriksaan penunjang dan
penatalaksanaan pada orang
dengan anemia.
3. 4 Penutup :  Menjawab Tanya
Menit  Memberi kesempatan kepada pertanyaan dari Jawab
keluarga untuk bertanya. penyaji.
 Menanyakan kembali kepada  Mempraktekkan
keluarga terkait materi yang sudah ulang teknik
disampaikan. batuk efektif.
 Kontrak waktu sudah selesai.  Mendengarkan,
 Mengucapkan terimakasih dan mengucapkan
salam penutup. terimakasih
kembali dan
menjawab
salam.

You might also like