You are on page 1of 53

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Trauma toraks semakin meningkat sesuai dengan kemajuan transportasi dan


kondisi social ekonomi masyarakat.Data yang akurat mengenai trauma toraks di
Indonesia belum pernah diteliti.Ancaman kematian oleh karena trauma thoraks
sangat tinggi.Di Amerika didapatkan 180.000 kematian pertahun karena
trauma.25 % diantaranya karena trauma toraks langsung. Di Australia, 45 % dari
trauma tumpul mengenai rongga thoraks.

Semakin berkembangnya zaman maka semakin maju pula pola piker manusia
misalnya, manusia dapat menciptakan transportasi yang sangat dibutuhkan oleh
manusia dalam melakukan aktifitas sehari-hari.Tapi selain segi positif timbul pula
segi negative misalnya, dengan alat transportasi yang digunakan untuk
beraktifitas dapat menyebabkan kecelakaan, salah satunya adalah fraktur pada
tulang dan dapat pula terjadi trauma pada dada.

Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka.Kata tersebut digunakan
untuk menggambarkan situasi akibat peristiwa yang dialami seseorang.Para
psikolog menyatakan bahwa trauma dalam istilah psikologi berarti suatu benturan
atau suatu kejadian yang dialami seseorang dan meninggalkan bekas.Biasanya
bersifat negative dan dalam istilah psikologi disebut post-traumatic syndrome
disorder.

Trauma dada adalah abnormalitas rangka dada yang disebabkan oleh benturan
pada dinding dada yang mengenai tulang rangka dada, pleura paru-paru diafragma
ataupun isi mediastinal baik oleh benda tajam maupun tumpul yang dapat
menyebabkan gangguan sistem pernafasan.

1
Gejala yang dapat dirasakan oleh pasien trauma dada yaitu : Nyeri pada
tempat trauma, bertambah pada saat inspirasi, pembengkakan lokal dan krepitasi
yang sangat palpasi, pasien menahan dadanya dan bernafas pendek, dyspnea,
takipnea, takikardi, tekanan darah menurun, gelisah dan agitas, kemungkinan
sianosis, batuk mengeluarkan sputum bercak darah, hypertympani pada perkusi di
atas daerah yang sakit dan ada jelas pada thorak.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari Thoraks?
2. Apa pengertian dari Trauma Thoraks?
3. Bagaimana epidemiologi dari Trauma Thoraks?
4. Apakah etiologi dari Trauma Thoraks?
5. Bagaimana klasifikasi dari Trauma Thoraks?
6. Bagaimana tanda dan gejala dari Trauma Thoraks?
7. Bagaimana penatalaksanaan dari Trauma Thoraks?
8. Bagaimana patofisiologi dari Trauma Thoraks?
9. Bagaimana asuhan keperawatan dari Trauma Thoraks?

1.3 TUJUAN PENULISAN


1. Untuk megetahui anatomi dan fisiologi dari Thoraks.
2. Untuk mengetahui pengertian dari Trauma Thoraks.
3. Untuk mengetahui epidemiologi dari Trauma Thoraks.
4. Untuk mengetahui etiologi dari Trauma Thoraks.
5. Untuk mengetahui klasifikasi dari Trauma Thoraks.
6. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari Trauma Thoraks.
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari Trauma Thoraks.
8. Untuk mengetahui patofisiologi dari Trauma Thoraks.
9. Untuk mengetahui Asuhan keperawatan dari Trauma Thoraks.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI THORAKS


1) Anatomi
Kerangka dada di bentuk oleh susunan tulang yang melindungi rongga
dada yang terdiri dari 3 bagian, yaitu tulang dada, tulang iga dan vertebra
torakalis (Setiadi, 2007).
1. Tulang Sternum
Sternum (tulang dada) menjadi tonggak toraks dengan bentuk gepeng
dan melebar yang terdiri dari 3 bagian yaitu :
a. Manubrium sterni, yang merupakan bagian tulang dada sebelah atas
yang membentuk persendian dengan tulang selangka dan tulang iga.
b. Korpus sterni, bagian terbesar dari tulang dada dan membentuk
persendian dengan tulang iga.
c. Prosesus xipoid, bagian ujung dari tulang dada (Setiadi, 2007).
2. Tulang Iga
Ke 12 pasang tulang iga berartikulasi ke arah posterior dengan faset
tulang iga pada prosesus transversa di vertebra toraks.
a. Tujuh pasang tulang yang pertama (1 sampai 7) adalah iga sejati dan
berartikulasi dengan sternum di sisi anterior.
b. Tiga pasang kemudian (8 sampai 10) adalah iga semu. Tulang-tulang
ini berartikulasi secara tidak langsung dengan sternum melalui
penyatuan kartilago tulang tersebut dengan iga di atasnya dan
kemudian menyatu dalam suatu persendian kartilago dengan
kartilago kostal ke 7.
c. Tulang iga ke 11 dan ke 12 adalah iga melayang yang tidak memiliki
perlekatan di sisi anteriornya.

3
d. Walaupun sebagian tulang iga memiliki karakteristik tersendiri,
semua tulang memiliki beberapa ciri umum yang sama.
a) Bagian kepala dan tuberkel berartikulasi dengan faset dan
prosesus transversus dari vertebra.
b) Bagian leher memiliki permukaan kasar yang berfungsi untuk
perlekatan ligamen.
c) Bagian batang, atau badan, dari tulang iga memiliki permukaan
eksternal berbentuk konveks untuk perlekatan otot dan suatu
lintasan kostal untuk mengakomodasi saraf dan pembuluh darah
pada permukaan internal.
d) Tulang iga mengandung sumsum tulang merah, demikian pula
dengan sternum (Sloane, 2003).

4
3. Vertebra torakalis
a. Bentuk ruas tulang belakang
Terdiri dari 12 ruas yang terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu :
1) Badan ruas, merupakan bagian yang terbesar dengan bentuk
tebal dan kuat yang terletak di sebelah depan
2) Lengkung ruas, yang melingkari dan melindungi lubang ruas
tulang belakang
b. Bagian ruas tulang belakang
Bagian-bagian ruas tulang belakang terdiri dari :
1) Vertebra servikalis (tulang leher) ada 7 ruas
2) Vertebra torakalis (tulang punggung) ada 12 ruas
3) Vertebre lumbalis (tulang pinggang) ada 5 ruas
4) Vertebre sakralis (tulang kelangkang) ada 5 ruas
5) Vertebre koksigialis (tulang ekor) ada 4 ruas
4. Trakea
Trakea adalah tuba dengan panjang 10 cm sampai 12 cm dan diameter
2,5 cm serta terletak di atas permukaan anterior esofagus. Tuba ini
merentang dari laring pada area vertebra serviks keenam sampai area
vertebra toraks kelima tempatnya membelah menjadi dua bronkus utama.
a. Trakea dapat tetap terbuka karena adanya 16 sampai 20 cincin
kartilago berbentuk C. Ujung posterior mulut cincin di hubungkan
oleh jaringan ikat dan otot sehingga memungkinkan ekspansi
esofagus.
b. Trakea dilapisi epitelium respiratorik (kolumnar bertingkat dan
bersilia) yang mengandung banyak sel goblet.
c. Percabangan bronkus kanan dan kiri dikenal sebagai karina (carina)
(Sloane, 2003).

5
5. Percabangan Bronkus
a. Bronkus primer (utama) kanan berukuran lebih pendek, lebih tebal,
dan lebih lurus dibandingkan bronkus primer kiri karena arkus aorta
membelokkan trakea bawah ke kanan. Objek asing yang masuk ke
dalam trakea kemungkinan ditempatkan dalam bronkus kanan.
b. Setiap bronkus primer bercabang 9 sampai 12 kali untuk membentuk
bronki sekunder dan tersier dengan diameter yang semakin kecil.
Saat tuba semakin menyempit, batang atau lempeng kartilago
mengganti cincin kartilago.
c. Bronki disebut ekstrapulmonar sampai memasuki paru-paru, setelah
itu disebut intrapulmonar.
d. Struktur mendasar dari kedua paru-paru adalah percabangan bronkial
yang selanjutnya : bronki, bronkiolus, bronkiolus terminal,
bronkiolus respiratorik, dutus alveolar, dan alveoli. Tidak ada
kartilago dalam bronkiolus; silia tetap ada sampai bronkiolus
respiratorik terkecil (Sloane, 2003).

6
6. Paru-Paru
a. Paru-paru adalah organ berbentuk piramid seperti spons dan berisi
udara, terletak dalam rongga toraks.
a) Paru kanan memiliki tiga lobus; paru kiri memiliki dua lobus.
b) Setiap paru memiliki sebuah apeks yang mencapai bagian atas
iga pertama, sebuah permukaan diafragmatik (bagian dasar)
terletak di atas diafragma, sebuah permukaan mediastinal
(medial) yang terpisah dari paru lain oleh mediastinum, dan
permukaan kostal terletak di atas kerangka iga.
c) Permukaan mediastinal memiliki hilus (akar), tempat masuk dan
keluarnya pembuluh darah bronki, pulmonar, dan bronkial dari
paru (Sloane, 2003).
b. Pleura adalah membran penutup yang membungkus setiap paru.
a) Pleura parietal melapisi rongga toraks (kerangka iga, diafragma,
mediastinum).
b) Pleura viseral melapisi paru dan bersambungan dengan pleura
parietal di bawah bagian paru.
c) Rongga pleura (ruang intrapleural) adalah ruang potensial antara
pleura parietal dan viseral yang mengandung lapisan tipis cairan
pelumas. Cairan ini diseresi oleh sel-sel pleura sehingga paru-
paru dapat mengembang tanpa melakukan friksi. Tekanan cairan
(tekanan intrapleura) agak negative di bandingkan tekanan
atmosfir (Sloane, 2003).

7
3) Fisiologi Pernafasan
Sistem pernafasan dapat disebut juga dengan system respirasi yang
berarti bernafas kembali. System ini berperan menyediakan oksigen yang
diambil dari atmosfer dan mengeluarkan karbondioksida dari sel-sel tubuh
menuju ke udara bebas. Proses bernafas berlangsung dalam beberapa langka
dan berlansung dengan dukungan system saraf pusat dan system
kardiovaskuler. Pada dasarnya system pernafasan terdiri atas rangkaian
saluran udara yang menghantarkan udara luar agar dapat bersentuhan dengan
membrane kapiler alveoli yang memisahkan antara system pernafasan dan
system kardiovaskuler (Muttaqin,2012).

Pernafasan atau respirasi adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang
mengandung oksigen ke dalam tubuh (inspirasi)serta mengeluarkan udara
yang mengandung karbondioksida sisa oksidasi keluar tubuh (ekspirasi).
Proses respirasi terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara rongga
pleura dan paru. System saraf pusat memberikan dorongan ritmis dari dalam
untuk bernafas dan secara reflex merangsang otot diafragma dan otot dada
yang akan memberikan tenaga pendorong bagi gerakan udara
(Muttaqin,2012).

8
Proses pergerakan gas ke dalam dan keluar paru di pengaruhi oleh
tekanan dan volume. Agar udara dapat mengalir ke dalam paru, tekanan
intrapleural harus menjadi negative untuk dapat menentukan batas atas
gradient tekanan antara atmosfer dan alveoli sehingga udara masuk dengan
mudah ke dalam paru (Muttaqin,2012).
Pernafasan di kenadalikan oleh sel-sel saraf dalam susunan retikularis di
batang, terutama pada medulla. Sel-sel ini mengirim implus menuruni
medulla spinalis, kemudian melalui saraf frenkus ke diafragma, dan melalui
saraf-saraf interkostalis ke otot-otot interkostalis. Jadi pusat pernafasan ialah
suatu pusat otomatik di dalam medulla oblongata yang mengeluarkan implus
eferen ke otot pernafasan implus aferen yang dirangsang oleh pemekaran
gelembung udara, yang diantarkan oleh saraf fagus ke pusat pernafasan di
dalam medulla (Setiadi, 2007)
1. Ventilasi
Ventilasi adalah proses inspirasi dan eksppirasi yang merupakan proses
aktif dan pasif yang melibatkan kontraksi otot-otot interkosta interna dan
mendorong dinding dada sedikit keluar. Akibatnya, diafragma turun dan
otot diafragma berkontraksi. Pada saat ekspirasi, diafragma dan otot-otot
interkosta eksterna berelaksasi sehingga rongga dada kembali mengecil
dan udara terdorong keluar (Muttaqin, 2012).
2. Difusi Gas
Untuk memenuhi kebutuhan oksigen di jaringan, proses difusi gas pada
saat respirasi haruslah optimal. Difusi gas adalah bergeraknya gas O2 dan
CO2 atau partikel lain dari area yang bertekanan tinggi ke arah yang
bertekanan rendah. Di dalam alveoli, O2 melintasi membrane alveoli-
kapiler dari alveoli ke darah karena adanya perbedaan tekanan PO2 yang
tinggi di alveoli (100 mmHg) dan tekanan pada kapiler yang lebih rendah
(PO2 40 mmHg), CO2 berdifusi dengan arah berlawanan akibat perbedaan
tekanan PCO2 darah 45 mmHg dan di alveoli 40 mmHg (Muttaqin,
2012).

9
3. Transportasi Gas
Transportasi gas adalah perpindahan gas dari paru ke jaringan dan dari
jaringan ke paru dengan bantuan darah (aliran darah). Masuknya O2 ke
dalam sel darah yang bergabung dengan Hemoglobin yang kemudian
membentuk oksihemoglobin sebanyak 97 % dan sisanya 3%
ditransportasikan ke dalam cairan plasma dan sel (Muttaqin, 2012).
4) Pengkajian Normal Pernafasan
1. Inspeksi
a. Pemeriksaan dada di mulai dari toraks posterior, klien pada posisi
duduk.
b. Dada di observasi dengan membandingkan satu sisi dengan yang
lainnya.
c. Tindakan di lakukan dari atas (apeks) sampai ke bawah.
d. Inspeksi toraks posterior, meliputi warna kulit dan kondisinya, skar,
lesi, massa, dan gangguan tulang belakang, seperti kifosis,
skoliosis, dan lordosis.
e. Catat jumlah, irama, kedalaman pernafasan, dan kesimetrisan
pergerakan dada.
f. Observasi tipe pernafasan, seperti pernafasan hidung, pernafasan
diafragma, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
g. Saat mengobservasi respirasi, catat durasi dari fase inspirasi (I) dan
fase ekspirasi (E). Rasio pada fase ini normalnya 1 : 2. Fase
ekspirasi yang memanjang menunjukkan adanya obstruksi pada
jalan nafas.
h. Kaji konfigurasi dada dan bandingkan diameter anteroposterior
(AP) dengan diameter lateral atau transfersal (T). rasio ini
normalnya berkisar 1 : 2 sampai 5 : 7 bergantung pada cairan tubuh
klien.

10
i. Kelainan pada bentuk dada
a) Barrel Chest
Timbul akibat terjadinya overinflation paru. Terjadi
peningkatan diameter AP : T (1 : 1), sering terjadi pada klien
Emfisema.
b) Funnel Chest
Timbul jika terjadi depresi pada bagian bawah dari sternum.
Hal ini akan menekan jantung dan pembuluh darah besar,
yang akan menimbulkan suara murmur. Kondisi ini dapat
timbul pada Ricketsia, Marfan’s syndrome atau akibat
kecelakaan kerja.
c) Pigeon Chest
Timbul sebagai akibat dari ketidaktepatan sternum, dimana
terjadi peningkatan diameter AP. Timbul pada klien dengan
kifoskoliosis berat.
d) Kifoskoliosis
Ditunjukkan dengan adanya elevasi scapula. Deformitas ini
akan mengganggu pergerakan paru-paru, dapat timbul pada
klien dengan osteoporosis dan kelainan musculoskeletal lain
yang mempengaruhi toraks.
Kifosis yaitu meningkatnya kelengkungan normal kolumna
vertebrae thorakalis menyebabkan klien tampak bungkuk.
Skoliosis yaitu melengkungnya vertebrae torakalis ke lateral,
di sertai rotasi vertebral.
j. Observasi kesimetrisan pergerakan dada. Gangguan pergerakan
atau tidak adekuatnya ekspansi dada mengindikasikan penyakit
pada paru-paru atau pleura.
k. Observasi retraksi abnormal ruang interkostal selama inspirasi,
yang dapat mengindikasikan obstruksi jalan nafas (Somantri, 2009).

11
2. Palpasi
a. Dilakukan untuk mengkaji kesimetrisan pergerakan dada dan
mengobservasi abnormalitas, mengidentifikasi keadaan kulit, dan
mengetahui vibrasi.
b. Palpasi thoraks untuk mengetahui abnormalitas yang terkaji saat
inspeksi seperti : massa, lesi, bengkak.
c. Kaji juga kelembutan kulit, terutama jika klien mengeluh nyeri.
d. Vocal premitus, yaitu getaran dinding dada yang dihasilkan ketika
berbicara (Somantri, 2009).
3. Perkusi
Perkusi adalah mengetuk struktur tubuh untuk menghasilkan suara.
Terdapat 2 teknik perkusi untuk region thoraks adalah :
a. Perkusi langsung, yakni pemeriksa memukul toraks klien dengan
bagian palmar jari tengah atau ke empat ujung jari tangannya yang
dirapatkan.
b. Perkusi tak langsung, yakni pemeriksa menempelkan suatu objek
padat yang disebut Pleksimeter (biasanya satu jari tengah ) pada
dada klien, lalu sebuah objek lain yang disebut Pleksor (jari tengah
lainnya) untuk memukul pleksimeter tadi, sehingga menimbulkan
suara.
Perawat melakukan perkusi untuk mengkaji resonansi pulmoner,
organ yang ada di sekitarnya, dan pengembangan (ekskursi)
diafragma. Berikut akan di jelaskan berbagai jenis suara perkusi.
a) Suara perkusi normal
1) Resonan (Sonor)
Bergaung, nada rendah. Dihasilkan pada jaringan paru normal
2) Dullness
Bunyi yang pendek serta lemah, di temukan di atas bagian
jantung, mamae, dan hati.

12
3) Timpani
Musical, bernada tinggi dihasilkan diatas perut yang berisi
udara.
b) Suara perkusi abnormal
1) Hiperresonan (Hipersonor)
Bergaung lebih rendah dibandingkan dengan resonan dan
timbul pada bagian paru yang berisi udara.
2) Flatness
Sangat dullness. Oleh karena itu, nadanya lebih tinggi. Dapat
di dengar pada perkusi daerah hati, dimana areanya
seluruhnya berisi jaringan (Somantri, 2009).
4. Auskultasi
a. Merupakan pengkajian yang sangat bermakna, mencangkup
mendengarkan bunyi nafas normal, bunyi nafas tambahan
(abnormal) dan suara.
b. Suara nafas abnormal dihasilkan dari getaran udara ketika melalui
jalan nafas dari laring ke alveoli, dengan sifat bersih.
c. Suara nafas normal meliputi bronchial, bronkovesikular, dan
vesicular.
a) Bronchial sering juga disebut dengan tubular sound karena
suara ini dihasilkan oleh udara yang melalui suara tube (pipa),
suaranya terdengar keras nyaring dan dengan hembusan yang
lembut. Fase ekspirasinya lebih panjang daripada inspirasinya,
dan tidak ada henti di antara kedua fase tersebut. Normal
terdengar di atas trakea atau daerah suprasternal notch.
b) Bronkovesikular merupakan gabungan dari suara nafas
bronchial dan vesicular. Suaranya terdengar nyaring dan
dengan intensitas yang sedang. Inspirasi sama panjang dengan
ekspirasi. Suara ini terdengar di daerah toraks dimana bronki
tertutup oleh dinding dada.

13
c) Vesikular terdengar lembut, halus, seperti angin sepoi-sepoi.
Inspirasi lebih panjang dari ekspirasi, ekspirasi terdengar
seperti tiupan.
d. Suara nafas tambahan meliputi wheezing, ronchi, pleural friction
rup, dan crackles.
1) Wheezing terdengar selama inspirasi dan ekspirasi, dengan
karakter suara nyaring, musical, suara terus menerus yang
berhubungan dengan aliran udara yang melalui jalan nafas
yang menyempit.
2) Ronchi terdengar selama fase inspirasi dan ekspirasi, karakter
suara terdengar perlahan, nyaring, dan suara mengorok terus
menerus. Berhubungan dengan sekresi kental dan peningkatan
produksi sputum.
3) Pleural Friction Rup terdengar saat inspirasi dan ekspirasi.
Karakter suara kasar, beerciut, suara seperti gesekan akibat dari
inflamasi pada daerah pleura. Sering kali klien juga mengalami
nyeri saat bernafas dalam.
4) Crackles
a. Fine Crackles lebih sering terdengar saat inspirasi.
Karakter suara meletup, terpatah-patah akibat udara
melewati daerah yang lembab di alveoli atau bronkiolus.
Suara seperti rambut yang digesekkan.
b. Coarse Crackles lebih menonjol saat ekspirasi. Karakter
suara lemah, kasar, suara gesekan terpotong akibat
terdapatnya cairan atau sekresi pada jalan nafas yang besar
mungkin akan berubah ketika klien batuk (Somantri,
2009).

14
2.2 PENGERTIAN
Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional
(Dorland, 2002).Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera
fisiologis akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2001).
Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding toraks dan atau
organ intra toraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena trauma tajam.
Memahami kinematis dari trauma akan meningkatkan kemampuan deteksi dan
identifikasi awal atas trauma sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan
segera (Kukuh, 2002; David, 2005).
Trauma dada adalah trauma tajam atau tembus thoraks yang dapat
menyebabkan tamponade jantung, perdarahan, pneumothoraks, hematothoraks,
hematompneumothoraks (FKUI, 1995).Trauma thorax adalah semua ruda paksa
pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau
tumpul.(Hudak, 1999).

2.2 EPIDEMIOLOGI
WHO pada tahun 2002 mengestimasi 1,2 juta orang yang terbunuh akibat
kecelakaan lalu lintas setiap tahunnya dan 50 juta orang yang mengalami luka-
luka. Pada tahun 2001 cause specific death rate (csdr) kecelakaan lalu lintas pada
perempuan di Indonesia yaitu 18 per 100.000 penduduk dan pada laki-laki 71 per
100.000 penduduk.
Di Bagian Bedah FKUI/RSUPNCM pada tahun 1981 didapatkan 20% dari
pasien trauma mengenai trauma toraks. Di Amerika didapatkan 180.000 kematian
pertahun karena trauma.25% diantaranya karena trauma toraks langsung.
Di Australia, 45% dari trauma tumpul mengenai rongga toraks. Dengan
adanya trauma pada toraks akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien
dengan trauma. Pneumotoraks, hematotoraks, kontusio paru dan flail chest dapat
meningkatkan kematian : 38%,42%,56% dan 69% (Eggiimann, 2005; Jean,
2005).

15
2.1 ETILOGI
a. Trauma tembus
1. Luka tembak
2. Luka tikam atau tusuk
b. Trauma tumpul
1. Kecelakaan kendaraan bermotor
2. Terjatuh
3. Pukulan pada dada
Penyebab trauma toraks tersering adalah oleh karena kecelakaan kendaraan
bermotor (63-78%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis tabrakan
(impact) yang berbeda, yaitu;
1. Pada Mobil
a. Tabrakan depan/frontal
Benturan frontal adalah tabrakan atau benturan dengan benda didepan
kendaraan, yang secara tiba-tiba mengurangi kecepatan sehingga secara
tiba-tiba kecepatanya berkurang. Pada suatu tabrakan frontal dengan
penderita tanpa sabuk pengaman, penderita akan mengalami beberapa fase
sebagai berikut:
a) Fase 1
Bagian bawah penderita tergeser kedepan, biasanya lutut akan
menghantam dashboard dengan keras yang menimbulkan bekas
benturan pada dashboard tersebut.
Kemungkinan cedera yang akan
terjadi:
a. Patah tulang paha karena menahan
beban berlebihan.
b. Dislokasi sendi panggul karena
terdorong ke depan sehingga lepas
dari mangkuknya.

16
c. Dislokasi lutut atau bahkan patah tulang lutut karena benturan
keras pada dashboard.
b) Fase 2
Bagian atas penderita turut tergeser kedepan sehingga dada dan
atau perut akan menghantam setir.
Kemungkian cidera yang akan
terjadi:
a. Cidera abdomen sampai terjadi
perdarahan dalam karena
terjadinya perlukaan/rupture
pada organ seperti hati, limpa,
lambung dan usus.
b. Cedera dada seperti patah
tulang rusuk dan tulang dada.
c. Selain itu ancaman terhadap organ dalam rongga dada seperti paru-
paru, jantung, dan aorta.
c) Fase 3
Tubuh penderita akan naik, lalu
kepala membentur kaca mobil bagian
depan atau bagian samping.
Kemungkinan cedera yang akan
terjadi :
a. Cedera kepala (berat, sedang,
ringan).
b. Patah tulang leher (fraktur servikal).

17
d) Fase 4
Setelah muka membentur kaca, penderita kembali terpental
ketempat duduk. Perlu mendapat perhatian khusus apabila kursi mobil
tidak tersedia head rest karena kepalaakan melenting dibagian atas
sandaran kursi. Kondisi akan semakin parah apabila penderita
terpental keluar dari kendaraan
Kemungkinan cedera yang akan terjadi :
a. Patah tulang belakang
(servikal-koksigis) karena
proses duduk yang begitu
cepat sehingga menimbulkan
beban berlebih pada tulang
belakang.
b. Patah tulang leher karena
tidak ada head rest.
c. Multiple trauma apabila penderita terpental keluar dari kendaraan.
b. Tabrakan dari belakang (Rear Collition)
Tabrakan dari belakang mempunyai biomekanik tersendiri. Biasanya
tabrakan seperti ini terjadi ketika kendaraan berhenti atau pada kendaraan
yang kecepatannya lebih lambat. Kendaraan tersebut berikut
penumpangnya mengalami percepatan (akselerasi) kedepan oleh
perpindahan energi dari benturannya. Badan penumpang akan
terakselerasi kedepan sedangkan kepalanya seringkali tidak terakselerasi
sehingga akan mengakibatkan hiperekstensi leher. Hal ini akan diperparah
apabila sandaran kursi kendaraan tidak memiliki head rest sehingga
struktur penunjang leher mengalami peregangan yang berlebihan dan
menyebabkan terjadinya whiplash injury (gaya pecut).
Kemungkinan cedera yang akan terjadi : Fraktur Servical.

18
Gambar : Scenario of Whiplash Injury

c. Tabrakan dari samping (Lateral Collition)


Tabrakan samping seringkali
terjadi diperempatan yang tidak
memiliki rambu-rambu lalulintas.
Benturan lateral adalah tabrakan /
benturan pada bagian samping
kendaraan, yang mengakselerasi
penumpang menjauhi titik
benturan. Benturan seperti ini
adalah penyebab kematian kedua
setelah benturan frontal. 31 % dari kematian karena tabrakan kendaraan
terjadi sebagai akibat dari tabrakan / benturan lateral. Banyak tipe trauma
yang terjadi pada tabrakan lateral sama dengan yang terjadi pada tabrakan
frontal. Selain itu trauma kompreasi pada tubuh dan felvis juga sering
terjadi. Trauma internal terjadi pada sisi yang sama dimana lokasi yang
tertabrak, seberapa dalam posisi melesaknya kabin penumpang, posisi
penumpang / pengemudi, dan lamanya. Pengemudi yang tertabrak pada
posisi pengemudi kemungkinan terbesar mengalami trauma pada sisi
kanan tubuhnya demikian juga sebaliknya pada penumpang.

19
Kemungkinan cedera yang akan terjadi :
a) Fraktur servical
b) Fraktur iga
c) Trauma paru
d) Trauma hati / limpa
e) Trauma pelvis
f) Trauma skeletal
d. Terbalik (Roll Over)
Pada kendaraan yang terbalik, penumpangnya dapat mengenai /
terbentur pada semua bagian dari kompartemen penumpang. Jenis trauma
dapat diprediksi dengan mempelajari titik benturan pada kulit penderita.
Sebagai hukum yang umum, dalam kejadian terbaliknya kendaraan maka
terjadi beberapa gerakan yang dahsyat, dapat menyebabkan trauma yang
serius. Ini lebih berat bagi penumpang yang tidak memakai sabuk
pengaman. Dalam menangani
kasus seperti ini harus lebih
berhati-hati karena semua
bagian bisa mengalami cedera
baik yang kelihatan atau tidak
kelihatan.
Kemungkinan cedera yang
akan terjadi :
a) Multiple trauma
b) Waspadai kemungkinan cedera tulang belakang dan fraktur servikal

20
e. Terlempar keluar (ejeksi)
Trauma yang dialami penumpang
dapat lebih berat bila terlempar keluar
dari kendaraan. Kemungkinan terjadinya
trauma meningkat 300 % kalau
penumpang terlempar keluar. Petugas
gawat darurat yang memeriksa penderita
yang terlempar keluar harus lebih teliti
dalam mencari trauma yang tidak
tampak.
Kemungkinan cedera yang akan terjadi :
a) Multiple trauma
b) Trauma kepala
c) Trauma organ dalam
d) Fraktur servikal

2. Pada Pejalan Kaki


Di Amerika Serikat lebih dari 7000 pejalan kaki meninggal setiap tahun
setelah tertabrak kendaraan bermotor, 110.000 korban lainnya mengalami
trauma serius setelah tabrakan tersebut.

21
Trauma yang dialami pejalan kaki pada umumnya meliputi kepala, thorak,
dan ekstremitas bawah. Terdapat 3 fase benturan yang dialami pada saat
pejalan kaki tertambrak :
a. Benturan dengan bemper
Tinggi bemper versus ketinggian penderita merupakan faktor kritis
dalam trauma yang terjadi. Pada orang dewasa dengan posisi berdiri,
benturan awal dengan bemper biasanya mengenai tungkai, lutut dan
pelvis. Anak – anak lebih mungkin terkena pada bagian abdomen dan
dada.
b. Benturan dengan kaca depan dan tutup mesin
Pada fase ini pejalan kaki melayang diatas mobil dan kemudian
membentur tutup mesin dan kaca depan kendaraan. Kejadian ini
mengakibatkan trauma dada dan kepala dengan tingkat keparahan sesuai
dengan kerasnya benturan.
c. Benturan dengan tanah / ground
Benturan dengan tanah mengakibatkan beberapa truma yaitu fraktur
servikal dan tulang belakang, trauma kepala dan kompresi organ.

3. Pada Pengendara Roda Dua


Pengendara roda dua tidak dilindungi oleh perlengkapan pengaman
sebagaimana halnya pengendara mobil. Mereka hanya dilindungi oleh pakaian
dan perlengkapan pengaman yang dipakai langsung pada badannya, helm,
sepatu, dan pakaian pelindung. Dari beberapa pengaman tersebut hanya helm
yang memiliki kemampuan untuk meredistribusi transmisi energi dan
mengurangi intensitas benturan, ini pun sangat terbatas, jelas bahwa semakin
sedikit alat pelindung semakin besar resiko terjadinya trauma. Mekanisme
trauma yang terjadi pada pengendara sepeda motor dan sepedameliputi :

22
a. Benturan frontal
Bila roda depan menabrak suatu
objek dan berhenti mendadak maka
kendaraan akan berputar kedepan,
dengan momentum mengarah
kesumbu depan. Momentum
kedepan akan tetap, sampai
pengendara dan kendaraannya
dihentikan oleh tanahatau benda lain. Pada saat gerakan kedepan ini
kepala, dada atau perut pengendara mungkin membentur stang kemudi.
Bila pengendara terlempar keatas melewati stang kemudi, maka
tungkainya mungkin yang akan membentur stang kemudi, dan dapat
terjadi fraktur femur bilateral.
b. Benturan lateral
Pada benturan samping, mungkin
akan terjadi fraktur terbuka atau
tertutup tungkai bawah. Kalau sepeda
/ motor tertabrak oleh kendaraan yang
bergerak maka akan rawan untuk
menglami tipe trauma yang sama
dengan pemakai mobil yang
mengalami tabrakan samping. Pada
tabrakan samping pengendara juga akan terpental karena kehilangan
keseimbangan sehingga akan menimbulkan cedera tambahan.

23
c. Laying the bike down
Untuk menghindari terjepit kendaraan
atau objek yang akan ditabraknya
pengendara mungkin akan menjatuhkan
kendaraannya untuk memperlambat laju
kendaraan dan memisahkannya dari
kendaraan. Cara ini dapat menimbulkan
cedera jaringan lunak yang sangat parah.
d. Helm (helmets)
Walaupun penggunaan helm untuk melindungi kepala agak terbatas
namun penggunaannya jangan diremehkan. Helm didesain untuk
mengurangi kekuatan yang mengenai kepala dengan cara mengubah
energi kinetik benturan melalui kerja deformasi dari bantalannya dan
diikuti dengan mendistribusikan kekuatan yang menimpa tersebut seluas-
luasnya. Secara umum petugas gawat darurat harus berhati-hati dalam
melepas helm korban kecelakaan roda dua, terutama pada kecurigaan
adanya fraktur servical harus tetap menjaga kestabilan kepala dan tulang
belakang dengan cara teknik fiksasi yang benar.
Secara umum keadaan yang harus dicurigai sebagai perlukaan berat
(walaupunpenderita mungkin dalam keadaan baik) adalah sebagai berikut:
a) Penderita terpental , antara lain :
a. Pengendara motor
b. Pejalan kaki ditabrak kendaraan bermotor
c. Tabrakan mobil dengan terbalik
d. Terpental keluar mobil
b) Setiap jatuh dari ketinggian > 6 meter
c) Ada penumpang mobil (yang berada didalam satu kendaraan)
meninggal.

24
4. Trauma ledakan (Blast Injury)
Ledakan terjadi sebagai hasil perubahan yang sangat cepat dari suatu
bahan dengan volume yang relatif kecil, baik padat, cairan atau gas, menjadi
produk-produk gas. Produk gas ini yang secara cepat berkembang dan
menempati suatu volume yang jauh lebih besar dari pada volume bahan
aslinya. Bilamana tidak ada rintangan, pengembangan gas yang cepat ini akan
menghasilkan suatu gelombang tekanan (shock wave). Trauma ledakan dapat
diklasifikasikan dalam 3 mekanisme kejadian trauma yaitu primer, sekunder
dan tersier.
a) Trauma ledak primer
Merupakan hasil dari efek langsung gelombang tekanan dan paling
peka terhadap organ – organ yang berisi gas. Membrana timpani adalah
yang paling peka terhadap efek primer ledak dan mungkin mengalami
ruptur bila tekanan melampaui 2 atmosfir. Jaringan paru akan menunjukan
suatu kontusi, edema dan rupture yang dapat menghasilkan
pneumothoraks. Ruptur alveoli dan vena pulmonaris dapat menyebabkan
emboli udara dan kemudian kematian mendadak. Pendarahan intraokuler
dan ablasio retina merupakan manifestasi okuler yang biasa terjadi,
demikian juga ruptur intestinal.

25
b) Trauma ledak sekunder
Merupakan hasil dari objek-objek yang melayang dan kemudian
menmbentur orang disekitarnya.

c) Trauma ledak tersier


Terjadi bila orang disekitar ledakan terlempar dan kemudian
membentur suatu objek atau tanah. Trauma ledak sekuder dan tertier dapat
mengakibatkan trauma baik tembus maupun tumpul secara bersamaan.

26
5. Trauma Tembus (Penetrating Injury)
a. Senjata dengan energi rendah (Low Energy)
Contoh senjata dengan energi rendah adalah pisau dan alat pemecah
es.Alat ini menyebabkan kerusakan hanya karena ujung tajamnya. Karena
energi rendah, biasanya hanya sedikit menyebabkan cidera sekunder.
Cedera pada penderita dapat diperkirakan dengan mengikuti alur senjata
pada tubuh. Pada luka tusuk, wanita mempunyai kebiasaan menusuk
kebawah, sedangkan pria menusuk keatas karena kebiasaan mengepal.
Saat menilai penderita dengan luka tusuk, jangan diabaikan kemungkinan
luka tusuk multipel. Inspeksi dapat dilakukan dilokasi, dalam perjalanan
ke rumah sakit atai saat tiba di rumah sakit, tergantung pada keadaan
disekitar lokasi dan kondisi pasien.
b. Senjata dengan energi menengah dan tinggi (medium and high energy)
Senjata dengan energi menengah contohnya adalah pistol, sedangkan
senjata dengan energi tinggi seperti senjata militer dan senjata untuk
berburu. Semakin banyak jumlah mesiu, maka akan semakin meningkat
kecepatan peluru dan energi kinetiknya. Kerusakan jaringan tidak hanya
daerah yang dilalui peluru tetapi juga pada daerah disekitar alurnya akibat
tekanan dan regangan jaringan yang dilalui peluru. Peluru akibat senjata
energi tinggi dan menengah juga menyebabkan kavitasi / rongga yang
lebih besar dari lubang masuknya. Untuk senjata dengan energi menengah
biasanya menyebabkan kavitasi 3-6 kali dari ukuran frontal peluru,
sedangkan untuk energi tinggi akan lebih besar lagi demikian juga
kerusakan jaringan yang ditimbulkannya akan lebih besar lagi.

27
Hal-hal lain yang mempengaruhi keparahan cidera adalah hambatan
udara dan jarak. Tahanan udara akan memperlambat kecepatan peluru.
Semakin jauh jarak tembak, akan semakin mengurangi kecepatan peluru,
sehingga kerusakan yang ditimbulkannya akan berkurang. Sebagian kasus
penembakan dilakukan dari jarak dekat dengan pistol, sehingga
memungkinkan cedera serius cukup besar.
Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang
lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab
trauma toraks oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3, berdasarkan tingkat
energinya yaitu: trauma tusuk atau tembak dengan energi rendah, berenergi
sedang dengan kecepatan kurang dari 1500 kaki per detik (seperti pistol) dan
trauma toraks oleh karena proyektil berenergi tinggi (senjata militer) dengan
kecepatan melebihi 3000 kaki per detik. Penyebab trauma toraks yang lain oleh
karena adanya tekanan yang berlebihan pada paru-paru bisa menimbulkan pecah
atau pneumotoraks (seperti pada scuba) (David.A, 2005; Sjamsoehidajat, 2003).

2.5 KLASIFIKASI, TANDA GEJALA, DAN PENATALAKSANAAN

MEDIS
Cedera pada dada secara luas di klasifikasikan menjadi dua kelompok : cedera
penetrasi dan tumpul
1. Cidera penetrasi yang mengganggu integritas dinding dada dan
mengakibatkan perubahan dalam tekanan intrathoraks, misalnya :
a. Pneumothoraks terbuka
Pneumothoraks terbuka adalah suatu pembukaan dalam dinding dada
yang cukup besar untuk memungkinkan udara masuk dan keluar dengan
bebas dari rongga thoraks pada setiap kali pernafasan (luka menghisap).
Paru mengalami kolaps; jantung dan pembuluh darah besar berpindah
kearah dada yang tidak mengalami cedera dan pada arah yang berlawanan
dengan ekspirasi (flutter mediastinal). Terbukanya rongga dada yang
memungkinkan udara masuk ke rongga pleura menyebabkan paru kolaps

28
akibat peningkatan tekanan dalam rongga pleura menyebabkan
hipoventilasi sehingga menyebabkan hipoksia ( Davey, 2005).
Meskipun terjadi trauma tembus pada dinding dada, sebagia besar
udara masuk ke rongga pleura melalaui jaringan paru yang rusak di
bandingkan melalui defek dinding dada. Apabila defek dinding dada
cukup besar, udara dapat masuk dan keluar dari ruang pleura pada setiap
pernapasan, sehingga terjadi kolaps paradoks pada paru yang terkena
selama inspirasi dan ekspansi. Defek yang besar mempunyai resistensi
yang kecil dibandinkan aliran udara melalui mulut dan hidung,
menyebabkan ventilasi ruang pleura lebih banyak melalui diding dada
dibandingkan ventilasi paru melalui jalan nafas bagian atas. Defek
diniding dada 2/3 dari diameter trakea dapat menghalangi ventilasi paru
yang efektif. Suatu pneumotoraks terbuka dapat cepat menjadi fatal,
kecuali dikoreksi dengan segera (Eliastam, 1998).
Tanda dan gejala
a) Dispnea
b) Mendadak nyeri tajam
c) Emfisema subkutan
d) Penurunan suara paru pada sisi
yang terkena
e) Gelembung merah pada saat
ekspirasi pada luka (sucking
chest wound)
f) Bunyi mendesis yang karakteristik dapat terdenga saat udara melalui
defek dinding dada.

29
Penatalaksanaan
1) Intervensi kedaruratan : untuk menghentikan aliran udara melalui
pembukaan pada dinding dada
a) Gunakan apa saja yang cukup besar untuk menutupi lubang
(handscoen, handuk, sapu tangan, tumit telapak tangan)
b) Tutup plester tiga sisi
c) Jika memungkinkan pembukaan disumbat dengan menutupnya
menggunakan kasa petroleum-impreganet
d) Pasang chest tube
2) Intervensi medical
a) Selang dada dalam drainase water seal untuk mengeluarkan
udara dan cairan
b) Antibiotic untuk melawan infeksi akibat kontaminasi( Davey,
2005).

b. Hemothoraks
Hemothoraks adalah akumulasi darah dalam rongga pleura sering kali
timbul pada trauma dada yang hebat dan sering tetapi tidak selalu di sertai
dengan pnumothoraks. Hemothoraks dapat disebabkan oleh cedera dari
vascular dinding dada, pembuluh-pembuluh darah besar atau organ-organ
intra-thoraks seperti paru, jantung atau esophagus. Hemothoraks yang

30
besar dapat menimbulkan : Syok hipovolemik dan Hipoksia akibat
terganggunya ekspansi dari paru.
Diagnosis dari hemothoraks
dapat dilihat dari tanda gejala
seperti :
Gejala-gejala :
a) Nyeri dada pleuritik
b) Dispnea
Pemeriksaan Fisik :
a) Bunyi nafas yang berkurang
b) Pada perkusi terdengar redup
kecuali di sertai pneumothoraks yang bermakna
Rontgen dada :
a) Cairan jelas terlihat di bagian bawah dari paru pada foto film tegak
b) Hemothoraks mngkin samar-samar pada foto berbaring dan hanya
menimbulkan redup yang kurang jelas pada sisi yang terkena
Penatalaksanaan dari hemothorak diantaranya adalah :
a) Hemothoraks yang sangat kecil dapat ditangani dengan observasi
b) Setiap hemothoraks yang bermakna di drainase dengan thorakostomi
pipa dan di hubungkan dengan suatu water seal
c) Darah harus dikeluarkan dan paru harus direekspansi
d) Drainase melalui pipa dada harus mencerminkan besarnya perdarahan.
e) Restorasi volume darah dengan cairan IV atau darah harus di mulai
dengan segera
f) Thorakostomi dalam ruang oprasi harus dipertimbangkan dengan
seksama apabila pasien gagal berespon terhadap tindakan-tindakan
yang disebutkan diatas

31
c. Rupture diafragma
Rupture diafragma sering ditemukan sesudah trauma tumpul pada
dada atau abdomen. Tanda-tanda rupture dapat timbul segera atau dapat
tertunda beberapa bulan. Apabila defeknya besar, isi abdomen akan
mengalami herniasi ke dalam rongga dada. Robekan biasanya pada sisi
kiri. Perubahan pada fisiologi pernafasan sebagian besar menyerupai apa
yang di dapatkan pada pneumothoraks. Dengan herniasi akut, keluhan
pertama kali adalah dipnea dan nyeri dada sisi kiri, yang dapat menjalar ke
bahu. Diagnosis dibuat dengan rongent dada, yang akan memperlihatkan
suatu segmen usus di dalam rongga toraks (Eliastam,1998).
Tanda dan gejala menurut (Jones, 2009)
1. Nyeri abdominal
2. Acute respiratory distress
3. Penurunan suara nafas
4. Emfisema subkutan
5. Penetrasi jelas diperut
6. Perut cekung dan/atau perut yang muncul kosong
Manajement rupture diafragma menurut (Jones, 2009)
1. Bantuan ventilasi
2. Pemberian oksigen
3. Pemasangan selang nasogastric atau orogasrtik untuk dekompensasi
lambung

32
2. Cedera tumpul (non penetrasi) merusak struktur di dalam rongga dada tanpa
mengganggu integritas dinding dada, misalnya :
a. Pneumothoraks tertutup (simple pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka
pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar.
Tekanan didalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat
laun berubah menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru
disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum mengalami reekspansi,
sehingga masih ada rongga plura, meskipun tekanan didalamnya sudah
kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara
didalam rongga pleura tetap negatif. Misal terdapat robekan pada pleura
viseralis dan paru atau jalan nafas atau esophagus, sehingga masuk kavum
pleura karena tekanan kavum pleura negatif (Alsagaff, 2009).
Diagnosis
a) Gejala-gejala : Dispnea dan nyeri dada pluritik
b) Pemeriksaan fisik
1. Bunyi napas yang berkurang pada auskultasi sisi dada yang
terkena.
2. Pada perkusi dapat ditemukan bunyi timpani.
3. Emfisiema subkutan dapat ditemukan, dapat juga tidak.
4. Tanda-tanda ini tidak jelas apabila pneumutoraksnya kecil
5. Paru pada sisi yang terkena akan terjadi kolaps
6. Pengembangan dada menurun
Penatalaksanaan:
1. Pemasangan WSD (water sealed drainage)
Fungsi WSD sebagai alat:
a. Diagnostic
b. Terapeutik
c. Follow-up

33
Tujuan :
a. Evakuasi darah/udara
b. Pengembangan paru maksimal
c. Monitoring
Indikasi pemasangan:
a. Pneumotoraks
b. Hematoraks
c. Empyema
d. Efusi pleura lainnya

b. Tension pneumothoraks
Apabila udara yang masuk keruang pleura selama inspirasi lebih
banyak dari pada yang dikeluarkan selama ekspirasi, berarti terjadi efek
pentil. Tekanan intrapleura terus meningkat meskipun parunya sudah
kolaps semua. Akhirnya tekanan ini menjadi begitu tinggi, sehingga
mediasternum kesisi yang berlawanan menyebabkan konpresi pada paru
kontralateral juga. Hipoksia yang hebat dapat terjadi. Jika tekanan
intrapleura terus meningkat dan kedua paru mengalami kompresi, aliran
balik vena kejantung menurun secara bermakna, akhirnya menimbulkan
hipotensi arterial dan shock. Pneumothoraks tension merupakan keadaan
yang sangat gawat dan rurat. Dapat berakibat fatal dalam waktu beberapa
menit, jika tidak dikoreksi dengan segera (Eliastam,1998).
Pneumotorak dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin lama
makin bertambah besar karena adanya fisel didalam pleura viseralis yang
bersifat ventil. Pada waktu bernafas udara masuk melalui bronkus serta
percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang
terbuka. Waktu ekspirasi udara didalam rongga pleura tidak dapat keluar.
Akibatnya udara didalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan
melebihi teakanan atmosfer. Udara yang terkumpul ini dapat menekan
paru sehingga sering menimbulkan gagal nafas ( Alsagaff, 2009)

34
Tanda dan gejala:
1. Gelisah dan cemas
2. Sesak nafas berat
3. Suara nafas hilang pada sisi yang terkena
4. Takipnea
5. Takikardi
6. Pucat
7. Penggunaan otot bantu nafas
8. JVD- kecuali terdapat kehilangan darah yang bermakna
9. Pulse pressure sempit
10. Hipotensi
11. Devisiasi trakea ke sisi berlawanan yang dapat dideteksi
dengan palpasi leher
12. Pergeseran letak jantung kearah yang berlawana yang dapat
dideteksi dengan perkusi dan aulkustasi
13. Syock dengan distensi vena leher merupakan petunjuk kuat
kearah pneumotoraks tension apabila bunyi nafas berkurang
atau asimetri, atau tanponade perikard jika bunyi nafas normal.
Syock kehilangan darah seharusnya menyebabkan vena leher
kolaps (Eliastam,1998).

35
Penatalaksanaan:
a. Udara dalam keadaan tegang harus dikeluarkan secepatnya
b. Jarum berukuran besar (min 16 max 14) di pakai untuk
menghilangkan ketegangan (udara) tersebut
c. Hal ini dapat dikerjakan secara aman melalui sela iga ke 2 pada garis
midklavikularis
d. Suatu pipa dada diinsersikan dan di hubungkan dengan water seal
dan penghisapan (Eliastam,1998).

36
c. Cereda tracheobronkial
Cedera tracheobronchial jarang terjadi, tetapi sering mengancam
kehidupanini terjadi dalam waktu kurang dari 3% dari cedera dada tumpul
dan tajam, tetapi dapat memiliki hingga tingkat kematian 30% lebih sering
disebabkan oleh penetrasi cedera, kebanyakan cedera terjadi dalam satu
inci dan setengah dari carina tetapi dapat terjadi dimana saja di sepanjang
pohon trakeobronkial ( Jones, 2009).
Tanda dan gejala menurut (Jones, 2009)
1. Gangguan pernapasan parah
2. Hipoksia
3. Takikardi
4. Empisema subkutan
5. Hemoptysis (batuk berdarah berasal dari paru-paru)
6. Distensi vena jugular
7. Devisiasi trakea
Manajement:
1. Pemberian oksigen
2. Menyediakan ventilasi tekana positif, kecuali keadaan pasien
memburuk
3. Melakukan dekompresi jarum jika perlu
4. Menggunakan tabung dada ( chest tube) jika perlu

37
d. Flail chest
1. Gambaran umum:
a. Apabila beberapa iga dan/atau sternum mengalami fraktur pada
kedua sisi pada titik trauma, suatu flail chest atau unstable chest
dapat timbul.
b. Segmen dinding dada yang tidak disokong bergerak secara
paradox, bergerak kedalam dengan tekanan intratoraks negtif
selama inspirasi dan bergerak keluar selama ekspirasi.
c. Pergerakan paradoks ini
menimbulkan penurunan
volume tidal, yang akan
menyebabkan shunt kanan
ke kiri dan hipoksia.
2. Tanda dan gejala
a. Nyeri hebat
b. Auskultasi: suara nafas
redup pada sisi yang terkena
c. Palpasi: krepitasi
d. Memar didaerah yang cedera
3. Manajement flail chest adalah sebagai berikut;
a. Pertahankan jalan nafas terbuka: berikan oksigen dengan aliran
tinggi.
b. Membantu ventilasi dengan tekanan udara positif secara terus
menerus dan persiapan intubasi
c. Segera dibawah ke RS
d. Beri cairan IV untuk mempertahankan perfusi perifer
e. Monitor saturasi oksigen, tanda-tanda vital, jantung
f. Waspada adanya pengembangan ketegangan pneumotoraks,
hemotoraks ( shock), atau kegagalan pernapasan sekunder.

38
g. The gold standar treatment untuk flail chest adalah mekanisme
ventilasi (di kenal sebagai fiksasi internal) dan pemberian obat
penenang untuk menghilangkan rasa nyeri dan pemberian oksigen
saja.
h. Penggunaan belat (fiksasi eksternal) atau bungkus dada, tapi tidak
terbukti efektif dan sudah ditinggalkan.
Pengobatan
a. Segmen yang flail (bebas) harus distabilkan. Posisi dari segmen
tidaklah penting sejauh tidak terjadi pergerakan paradoks.
b. Dilapangan, para medis dapat meletakan pasien pada posisi terlentang
atau posisi dekubitus sehingga segmen yang flail terletak berlawanan
dengan tandu.
c. Di unit gawat darurat, stabilisasi internal merupakan pendekatan yang
terbaik untuk kasus-kasus flail chest yang jelas, terutama jika dari
analisa gas darah didapatkan adanya ventilasi dan/atau ventilasi
dengan tekanan positif.
d. Cedera yang berhubungan seperti pneomotoraks dan hemotoraks
diterapi dengan torakostomi pipa. Karena ventilasi dengan tekanan
positif dapat menginduksi timbulnya pneumotaraks pada paru yang
cedera, maka sering kali dimasukan pipa dada profilaksis
e. Kontusio paru tidak jarang disertai dengan flail chest.
f. Penghambatan interkostal terutama membantu untuk nyeri yang berat
(Eliastam, 1998).

39
e. Fraktur rusuk (Asih & Yasmi, 2003).
Fraktur rusuk adalah cedera tumpul yang paling umum. Rusuk ketiga
sampai rusuk kesepuluh adalah rusuk-rusuk yang paling sering mengalami
fraktur karena mereka paling sedikit terlindungi oleh otot-otot dada.
Rusuk 1 – 3 dicurigai cedera kepala-leher, curigai kerusakan pembuluh
aorta, pleksus brakhialis. Rusuk 4-9 paling sering, berakibat
pneumothoraks, hematothoraks, kontusio paru. Rusuk 10-12 dicurigai
truma hepar-lien. Rusuk umumnya mengalami fraktur pada titik tumbukan
maksimal, tetapi dapat juga pada tempat yang jauh dari titik tumbukan.
Fraktur rusuk disebabkan oleh pukulan, kecelakaan hebat, atau regangan
yang di sebabkan oleh batuk atau bersin yang sangat kuat. Jika fraktunya
menimbulkan serpihan atau fraktur berpindah tempat, maka fragmen tajam
yang dihasilkan dalam fraktur tersebut dapat menusuk pleura dan paru
(cedera penetrasi), sehingga mengakibatkan hemothoraks atau
pneumothoraks.
Tanda dan gejala umum dari fraktur rusuk termasuk :
a. Nyeri pada tempat cedera, yang meningkat saat inspirasi
b. Nyeri tekan setempat dan krepitus saat palpasi, dan
c. Nafas dangkal dan keberadaan fraktur rusuk dibuktikan oleh hasil
temuan foto-ronsen (Asih & Yasmi, 2003).
Diagnosis
a. Pasien dengan fraktur iga simple merasa nyeri pada palpasi dan
mengeluh nyeri bertambah hebat pada saat batuk, menarik nafas
dalam atau pergerakan.
b. Rongten dada, termasuk iga secara detail, mengkonfirmasi
diagnosis dan membantu menyingkirkan adanya pneumotoraks
atau hemotoraks.

40
c. Sebagian besar dinding dada anterior terdiri dari tulang rawan yang
non klasifikasi, oleh karena itu suatu fraktur tulang rawan iga tidak
tampak secara radiografi, tetapi secara klinis menyerupai fraktur
iga.
Pengobatan
a. Nyeri biasanya dapat ditanggulangi dengan analgesic oral seperti
kodein 60 mg dengan aspirin 600 mg setiap 4 jam.
b. Anastesi block intercostal dapat dipakai untuk menangani nyeri
hebat dari fraktur iga.
1. Bupivacain (marcaine) 0.5% di infiltrasikan di setiap nervus
intercostalis dari iga yang fraktur, demikian juga untuk sela
iga di atas (dan bila memungkinkan 2 sela iga ) diatas dan
dibawah
2. Tempat suntikan adalah dibawah tepi bawah dari iga, diantara
frakturnya dan prosesus spinosus harus hati hati, hindrai
terkena pembulu darah intercosal dan parenkim paru.
c. Pembalutan yang kencang tidak diperbolehkan karena dapat
membatasi pernapasan. Ban iga yang mudah di lepas,
dikencangkan dengan Velcro dapat dipakai dengan gampang,
tetapi pasien harus diingatkan akan pentingnya inspirasi dalam
secara periodic untuk mencegah hipolaserasi, retensi secret dan
pneumonia.
d. Factor-faktor yang perlu dipertimbangkan untuk perawatan rumah
sakit adalah umur, penyakit kardiorespirasi yang ada, cedera-
cedera lain yang bermakna, fraktur multiple, analisa gas darah
abnormal atau komplikasi seperti pneumotoraks ( Eliastam 1998).

41
f. Kontusion pulmonal
Kontusio pulmonal adalah memarya parenkin paru yang sering
disebabkan oleh trauma tumpul. Kelainan ini dapat tidak terdiagnosa saat
pemeriksaan ronsen dada pertama, namun dalam keadaan fraktur scapula,
fraktur rusuk, atau flail-chest, perawat harus mewaspadai terhadap
kemungkinan adanya kontusio pulmonary.
Tanda dan gejala klinis yang
tampak termasuk :
a. Dispnea
b. Rales
c. Hemoptisis
d. Takipnea
Kontusio hebat dapat juga
mengakibatkan peningkatan
puncak tekanan jalan nafas,
hipoksemia, respirasi asidosis. Kontusio pulmonal dapat menyerupai
ARDS, dimana keduanya berespon buruk terhadap fraksi oksigen inspirasi
yang tinggi (F1O2) (Asih & Yasmi, 2003).
Penatalaksanaa keperawatan kontusio pulmonal menurut (Niluh,2002);
a. Berikan analgesic sesuai dosis setiap 3 jam
b. Pantau terhadap kelebihan cairan.
1. Pertahankan semua catatan masukan dan pengeluaran dengan
akurat
2. Pantau tanda-tanda vital setiap 30 menit. Frekuensi nadi dan
pernapasan dapat diperkirakan meningkat pada keadaan kelebihan
cairan.
3. Pantau bunyi nafas setiap 30 menit

42
c. Pantau status ventilator setiap 30 menit
1. Periksa terhadap tanda gawat napas: dyspnea, peningkatan
frekuensi nafas, dan perubahan dalam bunyi nafas
2. Periksa hasil pemeriksaan hasil AGD.
d. Pantau terhadap tanda dan gejala flail-chest, yang umumnya menyertai
kontusio pulmonal
e. Dukung klien untuk tetap tirah baring sampai status fisik stabil.

43
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN
1. PENGKAJIAN UMUM
a. Identitas pasien
1) Nama :
2) Umur :
3) Jenis kelamis :
4) Status perkawinan:
5) Agama :
6) Suku :
b. Keluhan utama
Klien mengeluh sakit pada daerah dadanya
c. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Penyebab dari traumanya dikarenakan benda tumpul atau tajam.
Kalau penyebabnya jatuh, ketinggiannya berapa dan bagaimana
posisinya saat jatuh. Kapan kejadian dan jam berapa kejadiannya
Berapa berat keluhan yang dirasakan bila nyeri, bagaimana
sifatnya pada kuadran mana yang dirasakan paling nyeri atau sakit
sekali.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Apakah ada riwayat penyakit pada paru-paru dan saluran
pernafasan sebelumnya.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji apakah di antara keluarga klien ada yang mengalami
penyakit menular atau keturunan atau tidak.

44
2. PENGKAJIAN PRIMER
a. Pengkajian primer
a) Airway
Observasi jalan nafas, pastikan jalan nafas paten.
b) Breathing
Adanya nafas spontan, dengan gerakan dada asimetris (pada pasien
tension pneumotoraks), nafas cepat, dispnea, takipnea, suara nafas
kusmaul, nafas pendek, nafas dangkal.
c) Circulation
Terjadi hipotensi, nadi lemah, pucat, sianosis, takikardi
d) Disability
Penurunan kesadaran (apabila terjadi penanganan yang terlambat)
b. Pengkajian sekunder
a) Eksposure
Adanya kontusio atau jejas pada bagian dada. Adanya penetrasi
penyebab trauma pada dinding dada
b) Five intervention/ Full set of vital sign
1. Tanda-tanda vital : RR meningkat, HR meningkat, terjadi hipotensi
2. Pulse oksimetri : mungkin terjadi hipoksemia
3. Aritmia jantung
4. Pemeriksaan Lab :
1) Kontusio paru : bintik-bintik infiltrate
2) Pneumothoraks : batas pleura yang tipis, hilangnya batas paru
(sulit mendiagnosa pada foto dengan posisi supinasi)
3) Rupture diafragma :herniasi organ abdomen ke dada, kenaikan
hemidiafragma
4) Terdapat fraktur tulang rusuk, sternum, klavikula, scapula dan
dislokasi sternoklavikula

45
5) CT scan dapat ditemukan gambaran hemotoraks,
pneumothoraks, kontusi paru atau laserasi, dan injury
diafragma
6) EKG akan memperlihatkan adanya iskemik, aritmia
berhubungan dengan miokardia kontusio atau iskemi yang
berhubungan dengan cedera pada arteri koronaria
c) Give comfort/Kenyamanan
Adanya nyeri pada dada yang hebat, seperti tertusuk atau tertekan,
terjadi pada saat bernafas, nyeri menyebar hingga abdomen
d) Head to toe
Lakukan pemeriksaan fisik terfokus pada :
- Daerah kepala dan leher : mukosa pucat, konjungtiva pucat, DVJ
- Daerah dada :
Inspeksi : penggunaan otot bantu nafas, pernafasan kusmaul,
terdapat jejas, kontusio, penetrasi penyebab trauma pada daerah
dada
Palpasi : adanya ketidakseimbangan taktil fremitus, adanya nyeri
tekan
Perkusi : adanya hipersonor
Auskultasi : suara nafas krekcls, suara jantung abnormal.
Terkadang terjadi penurunan bising napas
- Daerah abdomen : herniasi organ abdomen
- Daerah ekstremitas : pada palpasi ditemukan penurunan nadi
femoralis
e) Inspect the posterior surface

46
3.2 ANALISA DATA

NO SYMPTOM ETIOLOGI PROBLEM


1. DS : Pasien mengeluh sesak Terdapat udara di rongga Pola nafas tidak
dan sakit saat bernafas pleura efektif
DO :
1. Klien tampak kesulitan Volume ruang pleura
bernafas meningkat
2. Terdapat pernafasan
cuping hidung Ekspansi paru tidak
3. Dispnea maksimal
4. Bunyi perkusi yang
berkurang pada sisi yang Hipoventilasi
terkena
5. Takipnea Takikardi
6. Rales
7. RR diatas normal yaitu
24x/menit
2. DS : Pasien mengeluh sesak Perdarahan pada rongga Gangguan
dan sakit saat bernafas pleura pertukaran gas
DO :
1. Klien tampak kesulitan Paru kolaps
bernafas
2. Pasien tampak keletihan Penurunan fungsi alveoli
3. Warna kulit pucat
4. Dari pemeriksaan BGA Difusi O2 dan CO2 menurun
terdapat hipoksia dan pada membrane alveoli
hipoksemia
3. DS : Pasien mengeluh Perlukaan pada kulit dan Nyeri akut
dadnya sakit dengan skala jaringan

47
nyeri
DO : Terputusnya saraf perifer
1. Posisi untuk menahan
nyeri Memicu implus nyeri
2. Tingkah laku berhati-hati
3. Tingkah laku ekspresif
(gelisah, merintih,
menangis)

3.3 DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan fungsi alveolar
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury (fisik)

3.4 INTERVENSI KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA KRITERIA HASIL INTERVENSI


1. Pola nafas tidak Setelah dilakukan tindakan 1. Pertahankan jalan nafas
efektif berhubungan keperawatan pasien yang paten
dengan penurunan mampu menunjukkan 2. Auskultasi suara nafas,
ekspansi paru keefektifan pola nafas, catat adanya suara
dibuktikan dengan kriteria tambahan
hasil: 3. Monitor pola nafas
a. Menunjukkan jalan 4. Monitor respirasi dan
nafas yang paten (klien status O2
tidak merasa tercekik, 5. Monitor vital sign
irama nafas, frekuensi 6. Pemberian oksigenasi
pernafasan dalam (jika terjadi open
rentang normal, tidak pneumotoraks, rupture

48
ada suara nafas diafragma, cedera
abnormal) trakeobronkial, dan flail
b. Tanda Tanda vital chest)
dalam rentang normal 7. Keluarkan udara dengan
(tekanan darah, nadi, cara menggunakan jarum
pernafasan) berukuran besar min 16
max 14 (jika terjadi
tension pneumothoraks)
8. Lakukan penutupan
dengan hanscoen,
handuk, tumit telapak
tangan dengan tiga sisi
(jika terjadi open
pneumotoraks)
9. Kolaborasi pemasangan
Chest Tube (jika terjadi
open pneumothoraks dan
cedera trakeobronkial)
10. Kolaborasi pemasangan
WSD (jika terjadi open
pneumotoraks,
hemotoraks,
pneumooraks tertutup,
tension pneumotoraks)
2. Gangguan Setelah dilakukan tindakan 1. Auskultasi suara nafas,
pertukaran gas keperawatan Gangguan catat area penurunan /
berhubungan pertukaran pasien teratasi tidak adanya ventilasi dan
dengan penurunan dengan kriteria hasi: suara tambahan
fungsi alveolar a. Mendemonstrasikan 2. Monitor TTV dan AGD

49
peningkatan ventilasi 3. Observasi sianosis
dan oksigenasi yang khususnya membrane
adekuat mukosa
b. Memelihara kebersihan 4. Jelaskan pada pasien dan
paru paru dan bebas keluarga tentang persiapan
dari tanda tanda tindakan dan tujuan
distress pernafasan penggunaan alat tambahan
c. Tanda tanda vital (O2, Suction, Inhalasi)
dalam rentang normal 5. Auskultasi bunyi jantung,
d. AGD dalam batas jumlah, irama dan denyut
normal jantung
6. Pemberian cairan per IV
(Infus)
7. Pemberian transfuse darah
(jika terjadi hemotoraks)
3. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan 1. Lakukan pengkajian nyeri
berhubungan Keperawatan Pasien tidak secara komprehensif
dengan agen injury mengalami nyeri, dengan termasuk lokasi,
(fisik) kriteria hasil: karakteristik, durasi,
a. Mampu mengontrol frekuensi, kualitas dan
nyeri (tahu penyebab faktor presipitasi
nyeri, mampu 2. Observasi reaksi
menggunakan tehnik nonverbal dari
nonfarmakologi untuk ketidaknyamanan
mengurangi nyeri, 3. Bantu pasien dan keluarga
mencari bantuan) untuk mencari dan
b. Melaporkan bahwa menemukan dukungan
nyeri berkurang dengan 4. Kontrol lingkungan yang
menggunakan dapat mempengaruhi nyeri

50
manajemen nyeri seperti suhu ruangan,
c. Mampu mengenali pencahayaan dan
nyeri (skala, intensitas, kebisingan
frekuensi dan tanda 5. Kurangi faktor presipitasi
nyeri) nyeri
d. Menyatakan rasa 6. Kaji tipe dan sumber nyeri
nyaman setelah nyeri untuk menentukan
berkurang intervensi
e. Tanda vital dalam 7. Ajarkan tentang teknik
rentang normal non farmakologi: relaksasi
f. Tidak mengalami dan distraksi
gangguan tidur 8. Tingkatkan istirahat
9. Kolaborasi dalam
pemberian analgetik untuk
mengurangi nyeri

51
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding toraks dan atau
organ intra toraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena trauma tajam.
Memahami kinematis dari trauma akan meningkatkan kemampuan deteksi dan
identifikasi awal atas trauma sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan
segera (Kukuh, 2002; David, 2005).
WHO pada tahun 2002 mengestimasi 1,2 juta orang yang terbunuh akibat
kecelakaan lalu lintas setiap tahunnya dan 50 juta orang yang mengalami luka-
luka. Pada tahun 2001 cause specific death rate (csdr) kecelakaan lalu lintas pada
perempuan di Indonesia yaitu 18 per 100.000 penduduk dan pada laki-laki 71 per
100.000 penduduk.
Penyebab trauma toraks tersering adalah oleh karena kecelakaan kendaraan bermotor
(63-78%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis tabrakan (impact) yang
berbeda Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang
lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma toraks
oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3, berdasarkan tingkat energinya yaitu:
trauma tusuk atau tembak dengan energi rendah, berenergi sedang dengan kecepatan
kurang dari 1500 kaki per detik (seperti pistol) dan trauma toraks oleh karena proyektil
berenergi tinggi (senjata militer) dengan kecepatan melebihi 3000 kaki per detik.
Penyebab trauma toraks yang lain oleh karena adanya tekanan yang berlebihan pada
paru-paru bisa menimbulkan pecah atau pneumotoraks (seperti pada scuba) (David.A,
2005; Sjamsoehidajat, 2003).

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Asih, n. g., Efenndy, c. 2002. Keperawatan Medical Bedah : Klien Dengan


Gangguan Sistem Pernapasan, Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
2. Eliastam, m., Strenbach, l.,Bresler, j,m. 1998. Penuntun Kedaruratan Medis,
Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
3. Andrew, n. Pollak, MD . 2009. Critical Care Transport. American Academy Of
Orthopaedic Surgeons .320-336.
4. Wiley, 2014 ,Nursing Diagnoses Definitions and Classification, USA , NANDA
Internasional , inc.
5. Setiadi. 2007. Anatomi & Fisiologi Manusia, Yogyakarta : Graha Ilmu.
6. Muttaqin, Arif. 2012. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan, Jakarta : Salemba Medika.
7. Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula, Jakarta : EGC.

53

You might also like