Professional Documents
Culture Documents
Lap Pedi Oi Done
Lap Pedi Oi Done
Diusun Oleh :
OSTEOGENESIS IMPERFECTA
A. Definisi
Osteogenesis Imperfekta (OI), disebut juga “brittle bone disease” adalah
suatu kelainan genetik yang umumnya mengenai tulang, dimana tulang rapuh
sehingga mudah fraktur walau tanpa penyebab atau hanya karena trauma
ringan. Istilah osteogenesis imperfecta memiliki arti “imperfect bone
formation”, ketidaksempurnaan pembentukan tulang. Penderita OI memiliki
tulang yang rapuh dan mudah patah. Fraktur yang terjadi seringkali tidak
hanya satu, tetapi beberapa, bahkan pada OI yang parah, fraktur terjadi
sebelum lahir.
Penelitian mengidentifikasi adanya beberapa tipe dari osteogenesis
imperfekta. Pada tahun 1978, Silence mengklasifikasikan OI menjadi empat
tipe berdasarkan keadaan klinis. Klasifikasi ini kemudian berkembang dan
dimodifikasi. Tipe-tipe OI kemudian dibedakan secara klinis, gambaran
radiograf, dan sejarah keluarga, namun gejala klinis yang tampak seringkali
tumpang tindih antar tipe OI. Osteogenesis imperfekta tipe I-IV diturunkan
secara autosomal dominan. Dari kasus-kasus yang ditemukan, OI tipe I-IV
disebabkan oleh mutasi COLIA1 atau COLIA2 dengan keparahan penyakit
yang bervariasi. Osteogenesis Imperfekta tipe 1 merupakan bentuk kondisi OI
yang paling ringan, sedangkan OI tipe II merupakan kondisi OI yang paling
parah.
B. Gambaran Klinis
Diagnosis klinis OI berdasarkan sejarah keluarga, sejarah fraktur, dan
biasanya pada pemeriksaan fisik ditemukan kelainan pada sclera dan salah
satu karakteristik pada wajah yaitu bentuk wajah yang triangular atau
segitiga. Gambaran klinis OI secara umum antara lain: fraktur, dengan atau
tanpa trauma, bertubuh pendek atau lebih pendek dari anggota keluarga yang
tidak menderita OI, seringkali disertai dengan deformitas tulang, sklera
(sebagian putih dari mata) berwarna biru, dan beberapa penderita OI ada yang
menunjukan adanya abnormalitas pada gigi geligi baik secara klinis maupun
radiograf.
Penderita Osteogenesis imperfekta akan mengalami kehilangan
pendengaran secara progresif setelah masa pubertas. Adanya sejarah OI
didalam keluarga (diturunkan secara autosomal dominan), 70%-80%
penderita Osteogenesis imperfekta, ditemukan maloklusi kelas III dengan
insiden yang cukup tinggi terhadap terjadinya anterior dan posterior
crossbite, serta openbite
C. Prevalensi
Berdasarkan penelitian Kuurila (tahun 2002), prevalensi terjadinya
osteogenesis imperfekta mendekati 1:15.000, tipe OI yang paling ringan dan
yang paling sering ditemui, yaitu OI tipe I dan tipe IV, terhitung jumlahnya
lebih dari setengah jumlah keseluruhan penderita OI. Menurut Silence dkk,
insiden OI tipe 1 di Australia 3,5 per 100.000 sedangkan insiden OI tipe II
sekitar 1-2:100.000 serta prevalensi pada anak-anak yang hidup adalah
1:20.000, sedangkan prevalensi OI tipe III 1-2:100.000.
D. Patogenesis
Lebih dari 90% individu dengan osteogenesis imperfekta (OI) memiliki
mutasi pada satu atau dua gen, COLIA1 dan COLIA2, yang mengkodekan
rantai pro-kollagen tipe 1, protein utama pada tulang dan sebagian besar
jaringan ikat, akibat dari mutasi tersebut adalah menurunya jumlah ko-lagen
tipe 1 atau produksi beberapa molekul pro-kolagen tipe 1 yang abnormal.
Pada OI tipe 1 umumnya terjadi penurunan produksi dan pro-kolagen tipe 1.
Mayoritas, OI tipe 1 akibat dari mutasi den COLIA1 yang berakibat dengan
terminasi kodon secara prematur. Mutasi yang terjadi sebagian besar adalah
delesi atau insersi dari nukleotida pada urutan kode ekson. Pada mutasi ini,
satu kodon yang berubah menyebabkan terminasi prematur kodon dan mutasi
splice-site menyebabkan transkrip “Out-of-frame”, kedua mutasi tersebut
menyebabkan terminasi prematur kodon. Adanya terminasi prematur kodon
yang memisahkan satu atau lebih intron pada gen menyebabkan
ketidakstabilan pada mRNA yang berasal dari mutasi alel. Akibatnya, jumal
mRNA COLIA1 menurun yaitu menjadi setengah dari jumlah seharusnya.
Pro-kolagen tipe 1 merupakan trimer yang seharusnya terdiri dari 2 rantai
pro-α1(I). Penurunan mRNA COLIA1, menyebabkan penurunan produksi
pro-kolagen tipe 1, walaupun struktur protein yang terbentuk adalah normal.
Hilangnya sejumlah kolagen tipe 1 dalam tulang menyebabkan berkurangnya
tulang yang dapat dibentuk dan pada akhirnya menyebabkan kerapuhan
tulang.
E. Klasifikasi
Berdasarkan keadaan klinis, gambaran radiograf, dan sejarah keluarga
Osteogenesis Imperfekta diklasifikasikan menjadi 4 tipe:
a) OI tipe 1
Karakteristik dari OI tipe 1 adalah sclera yang berwarna biru dan
ukuran serta tinggi tubuh yang normal. OI tipe 1 ini merupakan
osteogeneis imperfekta yang paling ringan. Fraktur pertaa biasanya terjadi
saat lahir atau saat bayi, dan lebih sering terjadi pada saat individu tersebut
mulai belajar berjalan. Fraktur biasanya terjadi beberapa kali dalam
setahun, namun frekuensi meningkat pada usia lanjut (50 tahun ke atas),
terutama pada wanita paska menopause. Individu yang menderita OI tipe
1, dapat terkena fraktur pada bagian tulang manapun, mulai dari beberapa
fraktur sampai 100 fraktur, tetapi fraktur yang terjadi biasanya dapat
sembuh secara normal tanpa disertai deformitas.
b) OI tipe 2
Karalteristik abnormal pada OI tipe II sudah dapat terlihat muai
dari individu yang bersangkutan lahir, serta berat badan dan tingginya
lebih kecil dari individu lain yang seumuranya. Sklera berwarna biru gelap
dan jaringan ikat sangat rapuh. Tulang tengkorak lebih besar untuk ukuran
badanya dan terasa lunak saat dipalpasi. Terbentuknya callus pada tulang
rususk yang memungkinkan untuk dipalpasi. Ekstremitas pendek dan
pembengkokan keluar. Pinggul bengkok dan dengan posisi yang disebut
dengan “frog-leg position”. Menurut Byers dkk. Sebagian fetus dengan OI
tipe II meninggal dalam rahim atau diaborsi. Lebih dari 60% bayi dnegan
OI tipe II meninggal saat lahir, 80% meninggal pada minggu pertama, dan
yang bertahan sampai satu tahun sangat jarang. Kematian yang terjadi
akibat dari paru-paru yang tidak berfungsi dengan baik karena kecilnya
thorax dan fraktur tulang rusuk.
c) OI tipe III
Diagnosis OI tipe III bisa tampak dari lahir, yaitu terjadinya fraktur
pada awal kelahiran. Pada minggu pertama atau bulan-bulan awal
kelahiran, jumlah fraktur dan keparahan terjadinya fraktur tulang rusuk
bisa menuju ke arah kematian. Bayi yang pada akhirnya dapat bertahan,
umumnya masih memerlukan asisten untuk berjalan dan biasanya
menggunakan kursi roda untuk bergerak karena tulang yang rapuh dan
deformitas tulang. Penatalaksanaan OI tipe III adalah sulit. Tumbuh
kembang pada OI tipe III, yang tingginya kurang dari 100meter (tiga
kaki), pada usia dewasa berjalan dengan sangat lambat kemampuan
intelektual individu dengan OI tipe III adalah normal.
d) OI tipe IV
Karakteristiknya berupa tinggi tubuh yang pendek, DI, kehilangan
pendengaran pada usia dewasa, fraktur terjadi saat lahir, kemudian
berkeringat, dan sclera mulai dari normal sampai berwarna abu-abu. OI
tipe IV, yang ringan merupakan OI yang paling bervariasi. Ukuran tubuh
bervariasi dan variasinya tampak pada sejarah keluarga. Pada umumnya,
ada DI dan saat lahir terdapat sklera yang berwarna biru terang atau abu-
abu tetapi secara cepat akan menjadi terang dan mendekati normal.
F. Prognosis
Osteogenesis imperfecta merupakan kondisi kronis yang membatasi
tingkat fungsional dan lama hidup penderita. Prognosis penderita OI
bervariasi tergantung klinis dan keparahan yang dideritanya. Penyebab
kematian tersering adalah gagal nafas. Bayi dengan OI tipe II biasanya
meninggal dalam usia bulanan - 1 tahun kehidupan. Sangat jarang seorang
anak dengan gambaran radiografi tipe II dan defisiensi pertumbuhan berat
dapat hidup sampai usia remaja. Penderita OI tipe III biasanya meninggal
karena penyebab pulmonal pada masa anak-anak dini, remaja atau usia 40
tahun-an sedangkan penderita tipe I dan IV dapat hidup dengan usia yang
lebih panjang/ lama hidup penuh.
Penderita OI tipe III biasanya sangat tergantung dengan kursi roda.
Dengan rehabilitasi medis yang agresif mereka dapat memiliki ketrampilan
transfer dan melakukan ambulasi sehari-hari di rumah. Penderita OI tipe IV
biasanya dapat memiliki ketrampilan ambulasi di masyarakat juga tak
tergantung dengan sekitarnya.
BAB II
KAJIAN TEORI
C. Kerangka Acuan
1. Kerangka Acuan Cognitive Behvioral Therapy
Pendekatan CBT (Cognitive Behavioral Therapy) merupakan
pendekatan yang bertujuan untuk merubah pola pikir seseorang untuk
mengubah perilaku sehingga dapat meningkatkan kemampuan fungsional
dan self of efficacy seseorang (Meichenbaum, 1977). Selain mengubah
perilaku, pendekatan CBT juga dapat digunkan untuk meningkatkan
kemampuan interaksi sosial. Indivdu dapat mengembangkan kemampuan
problem solving melalui pengalaman belajar sebelumnya, ketertarikan dan
nilai, serta adanya penguat dari luar atau lingkungan sekitar. Strategi yang
diterapkan pada kasus yang kami pilih adalah sebagai berikut :
1. Mendengarkan apa yang harus dikerjakan (listening for musts)
Strategi ini dilakukan dengan cara terapis mengidentifikasi apa saja
yang harus dikerjakan selama seminggu di rumah. Tujuan dari strategi
ini yaitu membantu pasien melihat bagaimana “Must” tersebut
mempunyai kontribusi terhadap perasaan pasien.
2. Pengembangan pengetahuan lewat membaca
Dengan memberikan media seperti artikel pendek, brosur, cerita,
atau yang sejenisnya kepada pasien yang bertujuan sebagai
psikoedukasional yang dilakukan oleh terapis kepada pasien tetapi
melalui media tertentu. Diharapkan terjadi pengembangan pengetahuan
dan wawasan terhadap diri pasien.
3. Modelling and physical guidance
Terapis sebagai model (memberi contoh) terlebih dahulu lalu
pasien praktek sampai dia sukses pada satu tahap aktifitas baru
meningkat ke tahapan berikutnya.
4. Problem solving
Terapis memberikan suatu aktifitas tertentu dan meminta pasien
untuk menyelesaikanya. Teknik Creative Problem Solving diharapkan
pasien mampu untuk mengidentifikasi masalahnya, dan terjadi
peningkatan kepercayaan diri apabila aktfitas yang dilakukan dapat
diselesaikan dengan baik. Untuk teknik Interactive Problem Solving,
teknik ini menggunakan aturan sosial dari keluarga atau masyarakat
untuk berpartisipasi pada interaksi sosial. Tujuanya adalah untuk pasien
belajar perilaku sosial dengan orang lain serta mengetahui bagaimana
memberi atau menerima feedback dari orang lain.
2. Kerangka Acuan Rehabilitatif
Pendekatan rehabilitatif merupakan pendekatan kompensatori untuk
pasien yang akan diperlukan untuk kehidupanya dengan disabilitas
temporer atau permanent. Tujuan dari kerangka acuan ini sendiri adalah
untuk melatih pasien mengkompensasi keterbatasan yang tidak dapat
diperbaiki (remediasi). Beberapa asumsi-asumsi dari beberapa pihak yang
mengungkapkan bahwa, seseorang dapat meraih kembali kemandirian
melalui kompensasi, motivasi untuk mandiri tidak dapat dipisahkan
dengan volition dan habituation, motivasi untuk mandiri tidak dapat
dipisahkan dengan konteks lingkungan (penataan, status finansial,
keluarga) serta emosi dan kognitif yang sangat dibutuhkan untuk
mewujudkan kemandirian. Pendekatan top-down digunakan dalam
mengidentifikasi modifikasi lingkungan yang dibutuhkan, identifikasi
kemampuan yang dimiliki, identifikasi aktifitas yang tidak dapat
dilakukan, identifikasi metode yang sesuai dan identifikasi modalitas yang
spesifik. Beberapa prinsip kerangka acuang rehabilitatif yang digunakan
terapis pada intervensi ini adalah :
1. Energy Conservation
Konsep ini paling efisien untuk membantu seseorang
meningkatkan kemampuan fungsionalnya. Dengan mengevaluasi alat
dan lingkungan yang mungkin dibutuhkan agar bisa menyelesaikan
tugas tanpa kelelahan yang berlebihan. Menempatkan barang-barang
yang dibutuhkan di satu tempat dan dalam jangkauan, meletakan
keranjang atau tas pada kursi roda, walker atau kruk dapat
memungkinkan penderita OI membawa barang dari kamar ke kamar.
2. Joint Protection
Membantu untuk menghindari overstretching dan injury dengan
memberikan edukasi kepada penderita OI untuk menggunakan otot
terkuat mereka dalam menyelesaikan tugas.
3. Mobilitas
Kebanyakan anak dengan OI menggunakan bantuan mobilitas
dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Beberapa dari mereka hanya
membutuhkan bantuan untuk mempelajari keterampilan baru setelah
fraktur atau oprasi, sementara yang lain akan menggunakan alat bantu
jalan, kruk, kursi roda atau bantuan lainnya sepanjang waktu.
4. Aksesibilitas
Lingkungan fisik (rumah, sekolah, atau tempat kerja) dapat
dimodifikasi untuk memungkinkan kemandirian maksimal. Sementara
perubahan struktural yang ekstentif kadang-kadang dibutuhkan untuk
(seoerti ramp tangga, penurunan permukaan dapur, dan kamar mandi).
Beberapa masalah aksesibilitas dapat ditangani dengan penggunaan alat
bantu yang kreatif.
A. Identitas Pasien
Pasien berinisial An. St berjenis kelamin perempuan berumur 10
tahun, bertempat tinggal di Colomadu, KabupatenKaranganyar,Jawa Tengah.
Pasien An. St merupakan pasien dengan diagnosis medis Osteogenesis
Imperfecta dan Diagnosis Kausatif yang diduga sejak di dalam kandungan.
Occupation pasien saat ini adalah belajar atau bersekolah di SLB kota
Surakarta.
B. Data Subjektif
1. Data hasil observasi
Berdasarkan hasil observasi pada tanggal 18 September 2017,
penampilan pasien rapi dan bersih, bentuk wajah pasien triangular dengan
ukuran kepala yang terbilang lebih besar dari anak pada umumnya. Pasien
sedang bermain gadgets ketika kami datang pertama kali. Pasien pemalu dan
cenderung diam saat diajak berbicara. Pasien belum mampu berjalan. Kaki
pasien melengkung seperti huruf O membentuk bow leg. Posisi kedua kaki
tidak simetris. Kaki kiri terlihat lebih menonjol dan sendi hip keluar dari
kapsul sendi. Pasien belum mampu berjalan. Mobilitas dengan gerakan
substitusi yaitu menggunakan pantat dengan bantuan ditopang atau
stabilisasi kedua lengan. Mobilitas di luar ruangan dengan bantuan penuh
yaitu digendong. Pasien skeleosis kiri. Terdapat tonjolan pada dada pasien
ke arah anterior. Kondisi tesebut membuat membuat kontrol postural pasien
kurang baik.
2. Data screening
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan pasien dan orang
tua pasien pada tanggal 18 September 2017, pasien mengaku bahwa ia
sudah mampu melakukan sebagian aktivitas sehari-hari seperti makan,
berpakaian, dan berdandan secara mandiri. Ketika mandi dan toileting pun
pasien mampu mandiri, namun bantuan sedang ketika mobilitas menuju dan
meninggalkan toilet. Berdasarkan keterangan dari orang tua pasien, pasien
didiagnosis tulang rapuh oleh dokter. Pada awalnya pasien diduga
hydrocepallus, lalu pasien menjalani pemeriksaan beruntut berupa CT Scan
dan yang lainnya selama dua tahun awal masa perkembangan untuk
menegakkan diagnosis. Pasien pernah menjalani dua kali operasi
pemasangan pen pada area yang sama yaitu regio hip kaki kiri karena
fraktur. Hingga saat ini hip kiri pasien masih dipasang pen. Pasien
dilahirkan dengan cara operasi caesar. Ibu pasien pernah mengkonsumsi
obat-obatan ketika mengandung pasien. Kegiatan sehari-hari pasien adalah
belajar di SLB Surakarta. Ketika di rumah, pasien bermain bersama teman-
teman yang datang ke rumahnya, namun pasien cenderung lebih sering
duduk pasif menonton televisi dan bermain gadget. Ketika diberi pertanyaan
yang sedikit sensitif, orang tua pasien merendahkan suaranya, karena takut
kalau pasien akan marah.
Pada tanggal 8 Oktober kami melakukan wawancara lebih
mendalam dengan orangtua pasien. Berdasarkan wawancara tersebut, dapat
diketahui bahwa perilaku pasien maladaptif. Pasien cenderung egois dan
kadang suka marah-marah. Pasien sedikit keras kepala terutama kepada
saudara nya apabila keinginan nya tidak di penuhi. Berdasarkan keterangan
ayah pasien, pola asuh keluarga cenderung memanjakan. Pasien kurang
motivasi untuk sembuh, padahal sering melakukan terapi namun malas
latihan seperti meranggkak ataupun di streching ketika di rumah. Pasien
sudah mulai minder dengan kondisi tubuhnya.
C. Data Objektif
Berdasarkan hasil pemeriksaan FIM pada tanggal 8 Oktober 2017,
total skor 93 yang berarti pasien membutuhkan set-up setiap kegiatan Activity
Daily Living (ADL). Pada area mobilitas, skor yang diperoleh adalah 3 pada
aktivitas mobilitas toileting dan mandi. Area locomation memperoleh skor 2,
pasien membutuhkan bantuan maksimal dalam berjalan dan menaiki tangga.
Pada area interaksi sosial pasien memperoleh skor 3 yakni pasien membuat
bantuan sedang.
Berdasarkan hasil pemeriksaan Interest Cheklist pasien memiliki
beberapa minat seperti menonton tv, mendengarkan musik, memasak, jalan-
jalan, menyanyi, menggambar, dan mewarnai. Aktivas yang paling diminati
pasien namun jarang dilakukan karena keterbatasan adalah jalan-jalan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan GMFM, diketahui bahwa Pasien
tidak dapat inisiasi keseluruhan dari sub test dimensi berdiri, dimensi
berjalan, berlari dan melompat. Pada dimensi tengkurap dan terlentang
mendapatkan hasil 92.1%, Dimensi duduk mendapatkan 85%, Dimensi
merangkak dan berlutut mendapatkan 80.9%, Dimensi Berdiri mendapatkan
7.6%, dan pada dimensi berjalan, Berlari, dan melompat memperoleh hasil 0.
Total prosentase pada 5 dimensi yaitu 53.12%. Mempertimbangkan kondisi
pasien yg belum memungkinkan, maka goal dipilih pada 3 area dimensi yaitu
tengkurap, duduk, merangkak dan berlutut dengan total prosentase 88.53%.
F. Prognosis:
a. Prognosis klinis
Penderita Osteogenesis Imperfecta tipe III biasanya meninggal
karena penyebab pulmonal pada masa anak-anak dini, remaja atau usia
40 tahun-an sedangkan penderita tipe I dan IV dapat hidup dengan usia
yang lebih panjang atau lama hidup penuh. Penderita Osteogenesis
Imperfecta tipe III biasanya sangat tergantung dengan kursi roda. Dengan
rehabilitasi medis yang agresif mereka dapat memiliki ketrampilan
transfer dan melakukan ambulasi sehari-hari di rumah. Penderita
Osteogenesis Imperfecta tipe IV biasanya dapat memiliki ketrampilan
ambulasi di masyarakat juga tak tergantung dengan sekitarnya.
(Blogdetik, 2008)
b. Prognosis fungsional
Prognosis untuk orang dengan OI sangat bervariasi tergantung pada
jumlah dan tingkat keparahan gejala. Kegagalan pernafasan adalah
penyebab kematian yang paling sering terjadi pada orang dengan OI,
diikuti oleh trauma yang tidak disengaja. Meskipun beberapa kasus
mengalami patah tulang, aktivitas fisik terbatas, dan perawakan pendek,
kebanyakan orang dewasa dan anak-anak dengan OI dapat menjalani
kehidupan produktif. Mereka dapat beradaptasi dengan lingkungan
sosial, bersekolah, memiliki karir, dan memiliki keluarga. (OI
Foundation, 2015). Oleh karena itu, dengan pemberian intervensi dini
dan dukungan dari lingkungan sekitar pada anak dengan kondisi OI dapat
membantu kemampuan pasien agar dapat beradaptasi, lebih fungsional,
dan mencapai kemandirian.
G. KerangkaAcuan/model/pendekatan
Kerangka acuan atau pendekatan yang dipakai adalah CBT (Cognitive
Behavioral Approach) dan Rehabilitatif. Penggunaan kerangka acuan CBT
karena memanfaatkan kognitif pasien yang baik untuk mengubah perilaku
pasien yang maladaptif. Berdasarkan buku “Therapeutik Strategies For OI”
yang diterbitkan oleh OI Foundation, anak dengan kondisi OI rata-rata
memiliki perlaku yang penakut, merasa terisolasi, tidak mandiri, dan sulit
beradaptasi di lingkungan sosial. Hal tersebut merupakan dampak dari
kondisi keterbatasan yang dimilikinya. Karena impairment yang dimiliki oleh
anak OI, maka sebagian besar anak mempelajari cara-cara baru dalam
melakukan aktivitas dengan strategi creative problem solving. Untuk
mendukung hal tersebut upaya yang dilakukan oleh orang di sekitarnya
adalah dengan pemberian contoh, pengarahan, pemecahan tahap aktivitas, dan
pemberian motivasi dan dorongan. Metode-metode tersebut merupakan
strategi yang digunakan dalam KA CBT yaitu Problem Solving, Modelling
and Physical Guidance, dan Reinforcement. Oleh karena itu, penggunakan
pendekatan CBT tepat digunakan untuk kondisi OI.
Sedangkan kerangka acuan Rehabilitatif digunakan untuk membuat
pasien lebih mandiri dalam mobilitas dengan mengoptimalkan kemampuan
fungsional yang telah dimiliki pasien. Tujuan dari kerangka acuan ini sendiri
adalah untuk melatih pasien mengkompensasi keterbatasan yang tidak dapat
diperbaiki (remediasi). Beberapa asumsi dari beberapa pihak mengungkapkan
bahwa, seseorang dapat meraih kembali kemandirian melalui kompensasi.
Pendekatan top-down digunakan dalam mengidentifikasi modifikasi
lingkungan yang dibutuhkan, identifikasi kemampuan yang dimiliki,
identifikasi aktifitas yang tidak dapat dilakukan, identifikasi metode yang
sesuai dan identifikasi modalitas yang spesifik (Marini and Gerber, 1997).
Strategi yang digunakan pada kerangka acuan Rehabilititif adalah Energy
Conservation, Joint Protection, Mobilitas, dan pembuatan Adaptive
Equipment yaitu sepeda modifikasi dengan memberikan sandaran busa pada
punggung pasien. Berdasarkan buku panduan Therapeutic Strategies for
Osteogenesis Imperfecta, sepeda modifikasi dapat mngurangi resiko jatuh dan
cidera anak kondisi OI dan sebagai salah satu strategi dalam Energy
Conservation.
H. Menyusun Program terapi
A. TujuanJangkaPanjang :
Pasien mampu bermain sepeda bersama teman sebaya di lingkungan
sekitar rumah dalam 6 kali sesi terapi
a. Tujuan Jangka Pendek 1 :
Pasien mampu bermain sepeda bersama terapis di halaman rumah
dalam 3 kali sesi terapi
b. Tujuan Jangka Pendek 2 :
Pasien mampu bermain sepeda di lingkungan luar rumah bersama
teman sebaya secara mandiri dalam 3 kali sesi terapi
B. Strategi pelaksanaan terapi
Untuk mencapai Tujuan Jangka Pendek 1.1
1. Adjunctive
Pada tahap ini, terapis melakukan pendekatan dengan menyapa,
memberikan salam, bertanya tentang kabar pasien hari ini,
perkenalan, menanyakan aktivitas apa yang telah dilakukan hari ini,
mengajak pasien untuk tos dengan satu tangan kearah kanan dan kiri,
lalu tos dengan kedua tangan kearah atas, dan mengajak bermain
bersama.
Pada sesi kedua, terapis memberikan pasien sebuah cerita
berjudul “Anak laki-laki dan sebuah kepompong” dalam selembar
kertas yang dilipat berbentuk hati. Terapis meminta pasien untuk
membaca cerita tersebut saat waktu luang.
2. Enabling
a. Media terapi:
Uno Stacko, pensil warna, kertas bergambar, bola elastis, meja
dan kursi belajar.
b. Uraian tentang bagaimana aktivitas dilakukan, frekuensi,
durasi, tempat terapi, pertimbangan faktor keselematan diri
dan klien
Pada sesi pertama, terapis mengajakpasien untuk bermain di
halaman rumah. Terapis menyiapkan permainan, kursi dan meja
belajar serta meletakan karpet di halaman rumah sebagai safety
precaution. Setelah itu, pasien diinstruksikan untuk naik ke kursi
meja belajar kemudian terapis memberikan pensil warna dan
kertas bergambar diatas meja. Terapis mengobservasi dan
memperbaiki postur pasien saat melakukan aktivitas mewarnai
dengan cara memberikan bantal di belakang pasien serta
modelling dan verbalisasi dari terapis. Reinforcement berupa
pujian diberikan setiap pasien mampu mewarnai dengan rapi
dan diberi tepuk tangan saat pasien menyelesaikan tugas.
Setelah pasien melakukan aktivitas, terapis memberikan edukasi
kepada pasien dengan prinsip joint protection
untukmenggunakan otot yang paling kuat terlebih dahulu saat
menaiki kursi.Terapi ini dilakukan di luar rumah pasien selama
20 menit.
Pada sesi kedua, aktivitas terapi dilakukan dengan cara
bermain menendang bola pada posisi tidur terlentang di dalam
rumah. Dua orang terapis berada di sisi kiri dan kanan pasien
untuk bermain bersama. Pasien diberikan kesempatan lebih
untuk menendang bola yang dilempar oleh terapis lainya.
Kemudian pasien diinstruksikan ke halaman rumah untuk
bermain bersama temanya di halaman rumah pasien. Terapis
menginstruksikan pasien dan temannya untuk memposisikan
tubuh pada posisi duduk. Kemudian terapis melemparkan bola
elastis secara bergantian. Reinforcement tepuk tangan diberikaan
saat pasien berhasil menendang bola. Terapi ini dilakukan di
dalam dan luar rumah pasien selama 6 menit.
Pada sesi ketiga, terapis mengajak satu orang teman pasien
untuk bermain bersama pasien di halaman rumah. Pasien
bersama temanya diinstruksikan untuk memindahkan uno stacko
secara satu persatu dengan cara merangkak. Uno stacko
diletakan dengan jarak 2,5 meter. Kemudian, Pasien bersama
temanya diinstruksikan lagi untuk menyusun Uno Stacko
berdasarkan warna diatas kursi pendek dengan cara berlutut.
Terapis berada di samping pasien sebagai supervisi dan pemberi
semangat. Reinforcement tepuk tangan dan consumable
reinforcement diberikan saat pasien berhasil menyusun Uno
Stacko sesuai perintah yang diberikan terapis. Terapi ini
dilakukan selama 15 menit.
3. Purposeful
a. Media terapi
Sepeda modifikasi, dan kursi
b. Uraian tentang bagaimana aktivitas dilakukan, frekuensi,
durasi, tempat terapi, pertimbangan faktor keselematan diri
dan klien)
Pada tahap ini, terapis menggunakan strategi dan teknik
joint protection techniques, penggunaan adaptasi alat dan
problem solving dengan memberikan edukasi kepada pasien
tentang tahapan menaiki sepeda modifikasi. Terapis memastikan
safety precaution sepeda modifikasi pasien dan lingkungan
dalam rumah terlebih dahulu agar pasien merasa aman ketika
melakukan aktivitas. Pasien diminta untuk mengikuti gerakan
yang diinstruksikan oleh terapis secara berurutan. Kemudian
pasien bermain sepeda di luar rumah dengan supervisi dari
terapis. Reinforcement diberikan saat pasien mampu
menyelesaikan tahapan menaiki sepeda modifikasi dengan baik.
Aktivitas ini diberikan dengan frekuensi berulang kali pada
setiap sesi terapi, dengan gradasi supervisi yang semakin
dikurangi.
4. Occupational
Uraian tentang bagaimana aktivitas dilakukan, frekuensi,
durasi, tempat terapi, pertimbangan faktor keselematan diri dan
klien).
Pasien mampu bermain sepeda modifikasi di luar rumah secara
mandiri selama tiga kali seminggu dalam waktu 5 menit setiap kali
bersepeda. Aktivitas tersebut diawasi oleh orang tua pasien.
2. Enabling
a. Media terapi:
Motor, sepeda modifikasi, pos kamling dan tempat duduk pinggir
jalan.
b. Uraian tentang bagaimana aktivitas dilakukan, frekuensi,
durasi, tempat terapi, pertimbangan faktor keselematan diri
dan klien
Pada sesi pertama dan kedua, terapis mengajak pasien
berjalan-jalan di sekitar colomadu dengan menggunakan motor.
Ketika diperjalanan, terapis menanyakan perasaan pasien dan
ketertarikan pasien terhadap aktivitas yang lainya. Ketika pasien
duduk diatas motor, terapis memberikan supervisi kepada pasien
untuk menghindari posisi deformitas. Aktivitas dilakukan selama
10 menit. Setelah itu, terapis bersama pasien berkunjung ke
rumah teman pasien dan mengajak temannya bermain tebak-
tebakan bersama di tempat duduk pinggir jalan. Terapis berada di
sisi pasien sebagai safety precaution. Aktivitas ini dilakukan
selama 15 menit.
Pada sesi ketiga, terapis menginstruksikan pasien
menggunakan sepeda untuk berkunjung ke rumah teman pasien
dan mengajak teman-temannya bermain bersama. Pasien bersama
teman-temanya bermain do-mi-ka-do di atas kursi pos kamling.
Terapis sesekali memberi supervisi kepada pasien untuk
memperbaiki kontrol posturalnya. Aktivitas dilakukan selama 15
menit.
3. Purposeful
a. Media terapi
Sepeda Modifikasi dan kursi
b. Uraian tentang bagaimana aktivitas dilakukan, frekuensi,
durasi, tempat terapi, pertimbangan faktor keselematan diri
dan klien
Pada sesi ini, terapis mengistruksikan pasien dan teman sebaya
untuk lomba sepeda di lingkungan sekitar rumah. Sebelum
aktivitas dilakukan, terapis telah meminta teman pasien untuk
memenangkan pasien tanpa diketahui oleh pasien. Terapis
memastikan safety precaution di lingkungan luar rumah agar
pasien merasa aman ketika melakukan aktivitas. Selain itu,
aktivitas ini dapat memfasilitasi pergerakan ekstremitas bawah
pasien agar lebih fungsional.
4. Occupational
Uraian tentang bagaimana aktivitas dilakukan, frekuensi,
durasi, tempat terapi, pertimbangan faktor keselematan diri dan
klien
Pasien mampu mobilitas di luar rumah secara mandiri dengan
menggunakan sepeda ketika mengunjungi teman, bermain, dan pergi
untuk mengaji di mesjid terdekat.
I. Re-evaluasi
1) Data Subjektif hasil re-evaluasi
Setelah pemberian 6 kali sesi, dapat diketahui adanya kemajuan
pada sikap atau perilaku pasien. Pasien lebih kooperatif dan komunikatif
dengan terapis. Ketika intervensi, pasien mampu menuruti perintah atau
intruksi terapis dengan mudah dan cepat, seperti mewarnai dan
melakukan permainan yang telah disiapkan terapis. Sebelumnya perlu
dorongan yang kuat agar pasien mau mengikuti perintah terapis.
Berdasarkan keterangan dari orang tua pasien, sikap pasien sehari-hari
sudah lebih ramah dan ceria. Akhir-akhir ini pasien dapat lebih
mengendalikan emosinya dan jarang marah. Waktu yang digunakan
pasien untuk bermain gadgets dan menonton tv sudah berkurang.
Sesekali, ketika waktu luang, pasien diajak untuk ikut ibunya bekerja.
Kegiatan lain yang dilakukan pasien saat ini adalah pergi mengaji di
masjid.
Mobilitas di luar rumah masih butuh bantuan penuh yaitu
digendong. Lalu kami mengedukasi pasien agar menggunakan sepeda
untuk mobilitas di luar rumah. Pada awal-awal intervensi pasien menolak
untuk menggunakan sepeda. Namun setelah beberapa kali sesi terapi,
pasien mau dan mampu menggunakan sepeda untuk mobilitas ke luar
ruangan yaitu bermain bersama teman-teman sebaya. Pasien terlihat
senang ketika diajak jalan-jalan ke luar rumah menggunakan sepeda.
Berdasarkan keterangan orang tua dan pasien, pasien sudah lama tidak
pernah ke luar rumah menggunakan sepeda karena bingung tidak ada
teman yang diajak main. Namun saat ini, pasien mulai berani
menggunakan sepeda untuk ke luar rumah seperti ketika berangkat
mengaji meskipun masih perlu supervisi dan pengawasan orang lain.
Sepeda yang digunakan adalah sepeda modifikasi, yaitu dengan
memberikan sandaran empuk untuk energy conservation. Kami
mengedukasi pasien cara naik sepeda dari samping. Sebelumnya pasien
naik sepeda dengan kompensasi yaitu dari sadel boncengan belakang.
Saat ini pasien sudah mampu naik dari samping, meskipun dengan
supervisi stabilisasi sepeda oleh terapis. Ketika berada di halaman rumah,
pasien mampu naik dan turun sepeda secara mandiri dari samping.
Permukaan aspal lebih kasar dibandingkan dengan lantai, sehingga
membuat sepeda berdiri lebih stabil dan tidak mudah bergeser ketika
dinaiki. Selanjutnya, pasien sudah mampu mengayuh sepeda full ROM
dengan lebih konsisten.
A. Kesimpulan
Osteogenesis Imperfecta (OI) adalah kelainan genetik yang umumnya
mengenai tulang, sehingga menyebabkan mudah fraktur tanpa adanya
penyebab atau hanya karena trauma ringan. Fraktur yang terjadi seringkali
tidak hanya satu tapi beberapa bagian, bahkan pada OI yang parah fraktur
terjadi sebelum lahir. Penderita OI kebanyakan mengalami ketidakmampuan
dalam berjalan. Akan tetapi, pasien OI mampu mobilitas mandiri di dalam
ruangan dengan kompensasi yaitu dengan bantuan kedua tangan.
Pada kondisi pasien yang kami tangani, prioritas masalah yang dipilih
adalah area ADL yaitu mobilitas di luar ruangan, interaksi sosial dengan
teman sebaya di lingkungan rumah, dan manajemen perilaku.
Berdasarkan re-evaluasi yang telah dilakukan, An. St mengalami
Osteogenesis Imperfecta dan setelah menjalani 6 kali sesi terapi, pasien mulai
dapat mengontrol emosi dan lebih ceria untuk melakukan aktivitas sehari-
hari. Kebiasaan untuk bermain gadget sudah mulai berkurang, pasien lebih
memilih untuk bermain bersama temannya diluar rumah. Selain itu perilaku
pasien lebih baik daripada sebelumnya terlihat ketika terapis memberikan
intruksi pasien melakukannya dengan bersemangat. Dalam mobilitas diluar
rumah pasien menggunakan sepeda modifikasi untuk pergi mengaji ke masjid
dan bermain diluar bersama teman sebaya. Terjadi peningkatan dalam
blangko FIM yaitu peningkatan pada area mobilitas, locomotion menaiki
tangga, dan interaksi sosial. Meskipun pada kemampuan ADL pasien masih
“membutuhkan set-up setiap kegiatan”.
B. Saran
Saran bagi pasien dan keluarga yaitu agar pasien lebih sering untuk
melakukan aktivitas diluar rumah agar pasien dapat beradaptasi dilingkungan
sekitarnya seperti anak normal lainnya. Untuk keluarga yaitu orangtua harus
mengetahui teknik penanganan yang aman sesuai dengan perkembangan
anak. Dukungan sosial dan support dari keluarga sangat berpengaruh terhadap
keinginan pasien untuk dapat melakukan aktivitas secara mandiri. Selain itu
anak membutuhkan informasi yang sesuai dengan usia perkembangannya dan
masalah apa saja yang dihadapi saat memasuki usia remaja dan dewasa. Serta,
kesiapan mental untuk menghadapi masalah yang akan datang perlu
diperhatikan dengan memberikan edukasi kepada anak tentang strategi
problem solving.
REFERENSI
Dollar, Ellen Painter (ed.). 2001. Growing Up with OI: A Guide for Families and
Caregivers. Gaithersburg, Md.: Osteogenesis Imperfecta Foundation. This
15-chapter volume is the OI Foundation’s most comprehensive resource to
date on the medical, social, family, and emotional issues faced by families
living with OI. It is an excellent resource for any professional seeking
more information on OI. Chapters of particular interest to physical and
occupational therapists are individually cited below.
The NIH Osteoporosis and Related Bone Diseases. (2007). Guide to Osteogenesis
Imperfecta For Pediatricians and Family Practice Physicians. National
Institutes of Health Osteoporosis and Related Bone Diseases ~ National
Resource Center in cooperation with the Osteogenesis Imperfecta
Foundation.
Neville, Laura (2005). The Fundamental Principles of Seating and Positioning in
Children and Young People with Physical Disabilities. BSc (Hons)
Occupational Therapy Student University of Ulster. Retrieved from :
http://www.leckey.com/pdfs/The_fundamental_principles_of_seating_and
_positioning_in_children_and_young_people_with_physical_disabilities.p
df (diakses pada tanggal 12 Oktober 2017)