You are on page 1of 23

PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH

SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 93/PUU-X/2012

A. Pendahuluan
Dalam pelaksanaan kegiatan usaha perbankan syariah tidak

menutup kemungkinan munculnya sengketa perbankan syariah,

meskipun sejak dini sudah diantisipasi, bahkan setiap pelaku

usaha perbankan syariah tidak menginginkan adanya sengketa.

Sengketa yang timbul bila tidak diselesaikan dengan baik akan

berpotensi merugikan nasabah dan/atau bank.


Upaya penyelesaian sengketa perbankan syariah telah

ditetapkan dalam Pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008 Tentang

Perbankan Syariah. Namun dalam penerapannya terjadi polemik

baik bagi para akademisi maupun bagi praktisi perbankan

syariah, karena dalam Pasal 55 tersebut terdapat dualisme

lembaga litigasi yang ditunjuk yaitu Pengadilan Agama (Pasal

55 ayat 1) dan Pengadilan Negeri (Penjelasan Pasal 55 ayat 2).


Polemik seputar kewenaangan penyelesaian sengketa

perbankan syariah sudah sering dikaji dalam berbagai diskusi,

seminar, penelitian dan jurnal. Namun sejak adanya Putusan

Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 93/PUU-X/2012 tanggal 29

Agustus 2013 tidak ada lagi dualisme penyelesaian sengketa

perbankan syariah. Mayoritas hakim MK sepakat menyatakan bahwa

penjelasan Pasal 55 ayat 2 UU No. 21/2008 bertentangan dengan

konstitusi secara keseluruhan, sehingga penjelasan tersebut

1
2

tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat sejak putusan

dijatuhkan. Maksud keseluruhan berarti penyelesaian sengketa

perbankan syariah secara non litigasi (musyawatah, mediasi

perbankan dan arbitrase syariah) dan litigasi (peradilan umum)

bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan

hukum mengikat.
Pada satu sisi, Putusan MK tersebut menguatkan kewenangan

pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan

syariah melalui jalur litigasi. Namun di sisi lain, putusan MK

tersebut telah menghapus keberadaan penyelesaian sengketa

perbankan syariah secara non litigasi melalui musyawarah,

mediasi perbankan dan arbitrase syariah sebagaimana disebutkan

dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008

tentang Perbankan Syariah.


Berdasarkan hal-hal di atas yang didapatkan penulis

melalui membaca bahan-bahan tertulis yang ada disertai dengan

mata kuliah yang pernah diambil, Penulis tertarik untuk

mengulasnya secara lebih mendalam pada makalah ini yang diberi

judul “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Setelah Putusan

Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012”.

B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dan dikaji dalam

makalah ini adalah:


1. Bagaimana pengaturan penyelesaian sengketa perbankan

syariah di Indonesia?
2. Bagaimana eksistensi Pengadilan Agama dalam

menyelesaikan sengketa perbankan syariah setelah Putusan


3

Mahkamah Konstitusi Nomor: 93/PUU-X/2012 tanggal 29

Agustus 2013?
3. Bagaimanakah upaya penyelesaian sengketa perbankan

syariah yang dilakukan di luar Pengadilan Agama setelah

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 93/PUU-X/2012 tanggal

29 Agustus 2013?

C. Pembahasan
1. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Menurut Ketentuan

Pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah


Meskipun perbankan syariah dilandasi atas dasar prinsip

syariah, namun tidak tertutup kemungkinan terjadi sengketa

antara nasabah dengan bank yang mengikatkan diri dengan akad

syariah, ditambah dengan semakin banyaknya produk-produk

syariah dengan berbagai bentuk dan ragamnya. Maka kemungkinan

munculnya suatu sengketa yang berkaitan dengan perbankan

syariah juga akan semakin beragam.


Istilah penyelesaian sengketa berasal dari terjemahan

bahasa Inggris, yaitu dispute settlement. Secara filosofis,

penyelesaian sengketa merupakan upaya untuk mengembalikan

hubungan para pihak yang bersengketa dalam keadaan seperti

semula. Pola penyelesaian sengketa merupakan suatu bentuk atau

kerangka untuk mengakhiri pertikaian atau sengketa yang

terjadi antara para pihak. Pola penyelesaian sengketa

perbankan syariah, sebagaimana sengketa lainnya di bidang

hukum perdata, dapat melalui dua macam cara, yaitu: melalui

pengadilan, dan di luar pengadilan.


Menurut Ali Yafie, indikator keberhasilan bank syariah

setidaknya ada 5 hal, yaitu: (1) peningkatan modal; (2)


4

regulasi yang memadai; (3) sosialisasi dan edukasi; (4)

kesiapan sumberdaya manusia; dan (5) komitmen umat.1 Berkaitan

dengan indikator kedua yaitu regulasi yang memadai, sejak

Tahun 2008 telah lahir Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008

Tentang Perbankan Syariah. Berdasarkan UU No. 21/2008 ini maka

kegiatan usaha berdasarkan prinsip telah memiliki peraturan

perundang-undangan sebagai payung hukum dalam operasional

perbankan syariah di Indonesia.


Sedikitnya ada 4 hal yang menjadi tujuan pengembangan

perbankan yang berdasarkan syariah yaitu:


a. Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak

dapat menerima konsep bunga;


b. Terciptanya dua banking system di Indonesia yang

mengakomodasikan baik perbankan konvensional maupun

perbankan syariah yang akan melahirkan kompetisi yang sehat

dan perilaku bisnis yang berdasarkan nilai-nilai norma;


c. Mengurangi resiko sistemik dari kegagalan sistem keuangan di

Indonesia;
d. Mendorong peran perbankan dalam menggerakkan sektor riil dan

membatasi spekulasi atau tidak produktif karena pembiayaan

ditunjuk pada usaha-usaha yang berlandaskan nilai-nilai

moral.2
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008

Tentang Perbankan Syariah penyelesaian sengketa perbankan

syariah rata-rata dilakukan melalui proses Arbitrase oleh

Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang kemudian

1
Sutan Remy Sjahdeni, Perbankan Islam Dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999), hal. x.
2
Dhani Gunawan Idhat, “Analisis Yuridis Pembentukan Undang-Undang Perbankan Syariah”, Artikel
dalam Buletin Hukum dan Perbankan dan Kebanksentralan, volume 3 (Jakarta: BI), hal. 2
5

berubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)

atau sebagian kecil melalui proses litigasi di Pengadilan

Negeri, namun sejak lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006

tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989

tentang Peradilan Agama muncul dispute settlement option

(pilihan penyelesaian sengketa yang baru dengan memberikan

tugas dan kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syariah

termasuk di dalamnya perbankan syariah kepada pengadilan dalam

lingkungan Peradilan Agama.


Sejak lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan

Syariah, penyelesaian sengketa perbankan syariah telah

ditentukan dalam Bab IX tentang Penyelesaian Sengketa Pasal 55

ayat (1), (2), dan (3) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008

tentang Perbankan Syariah, sebagai berikut:


(1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh

pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama;


(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian

sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

penyelesaian sengketa dilakukan sesuai akad;


(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah;


Dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008

disebutkan bahwa: “Yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa

dilakukan sesuai dengan isi akad adalah upaya sebagai berikut:


a. musyawarah;
b. mediasi perbankan;
c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau

lembaga arbitrase lain;dan/atau


d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.”
Ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU 21/2008 tersebut

menjelaskan bahwa lembaga yang berwenang menyelesaikan


6

sengketa perbankan syariah adalah Peradilan Agama. Tetapi,

dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU 21/2008 disebutkan bila

para pihak memperjanjikan maka penyelesaian dapat dilakukan

sesuai akad, dimana pilihan penyelesaian sengketa sesuai akad

tersebut dibatasi yaitu: melalui Musyawarah, Mediasi

perbankan, melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional

(Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain, dan/atau melalui

Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.


Penjelasan Pasal 55 ayat (2) tersebut telah mengakibatkan

dualisme dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah, karena

dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) penyelesaian sengketa

perbankan syariah juga dapat dilakukan melalui Peradilan Umum.

Sehingga ketentuan Pasal 55 UU 21/2008 tersebut berpotensi

menyebabkan kekacauan hukum, karena memunculkan dualisme

pilihan forum (choice of forum) lembaga penyelesaian perbankan

syariah melalui Peradilan Agama atau melalui Peradilan Umum.


Abdul Gani Abdullah mengatakan bahwa Pasal 55 ayat (1) UU

21/2008 merupakan pasal induk yang mengatur soal kewenangan

dan sesuai menurut hukum, sedangkan Pasal 55 ayat (2) UU

21/2008 hanyalah pasal alternatif dan pasal alternatif tidak

boleh bertentangan dengan pasal induknya. Adanya ketentuan

Pasal 55 ayat (2) UU 21/2008 merupakan faktor politik hukum,

khususnya kepada faktor yang mempengaruhi terjadinya Undang-

undang tersebut.3
Salah satu cara penyelesaian sengketa perbankan syariah

adalah melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.


3
Abdurrahman Rahim, “Analisis Hukum Terhadap Dualisme Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Pasca Berlakunya UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman”, (Tesis Universitas Gadjah Mada,
Jogjakarta: 2011), hal. 124
7

Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara

yang berlaku pada Peradilan Umum sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 54 UU Peradilan Agama (UU No. 7/1989 jo. UU No. 3/2006

jo. UU No. 50/2009) yang menentukan bahwa: “Hukum Acara yang

berlaku dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum Acara

perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur khusus dalam Undang-

undang ini”. Dengan demikian, dalam menyelesaikan sengketa

perbankan syariah di Peradilan Agama, sejak awal hingga akhir

putusan dijatuhkan majelis hakim, hukum acara yang digunakan

adalah berdasarkan RBg, HIR, RV, KUHPerdata, UU Kekuasaan

Kehakiman, UU Mahkamah Agung, PERMA No. 2 Tahun 2008 tentang

Kompilasi Hukum Islam Syariah (KHES) serta beberapa peraturan

lainnya yang berkaitan dengan itu.


Penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilakukan

oleh para pihak ketika terjadi sengketa diantaranya dapat

dilakukan dengan penyelesaian internal antara kedua belah

pihak, musyawarah, atau melalui Badan Arbitrase Syariah

Nasional (BASYARNAS).
Musyawarah internal dapat terjadi bila antara nasabah dan

bank melakukan upaya musyawarah untuk menyelesaikan sengketa

yang terjadi dengan memberikan kepada nasabah langkah-langkah

penyelesaian secara internal antara lain dengan revitalisasi

proses yaitu dengan evaluasi ulang pembiayaan apabila terdapat

indikasi bahwa usaha nasabah masih berjalan dan hasil usaha

nasaba diyakini masih mampu untuk memenuhi kewajiban angsuran


8

kepada bank. Upaya ini dilakukan dilandasi dengan itikad baik

para pihak demi tercapainya sebuah perdamaian.


BASYARNAS adalah salah satu penyelesaian sengketa di luar

pengadilan setelah kata mufakat dari hasil musyawarah tidak

tercapai. Namun penyelesaian melalui BASYARNAS dapat dilakukan

apabila terjadi kesepakatan dan dicantumkan dalam

akad/perjanjian para pihak. Dalam menyelesaikan sengketa

perbankan syariah di BASYARNAS kembali kepada bentuk

akad/perjanjian yang telah dibuat dan disepakati oleh para

pihak.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 10 UU No. 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

ditentukan bahwa “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah

lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalaui

prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di

luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,

konsiliasi atau penilaian ahli.” Penyelesaian sengketa melalui

Alternatif Penyelesaian Sengketa mempunyai beberapa keunggulan

dibandingkan dengan penyelesaian melalui pengadilan,

diantaranya: (1) penyelesaian sengketanya dapat dilakukan

dengan cepat; (2) penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan

dengan biaya murah; (3) tidak terikat dengan aturan hukum

tertentu; (4) bersifat confidential; (5) atas dasar prinsip

win-win solution; (6) lebih partisifatif; (7) dapat

mengurangi penumpukan perkara di pengadilan.


9

2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 93/PUU-X/2012 tanggal

29 Agustus 2013
Perkara ini bermula ketika Ir. H. Dadang Achmad (Direktur

CV. Benua Enginering Consultant) selaku nasabah Bank Muamalat

yang telah melakukan akad pembiayaan AL-Musyarakah dengan Bank

Muamalat pada 8 Maret 2010. Kemudian terjadi sengketa dengan

antara Ir. H. Dadang Achmad dengan Bank Muamalat, tetapi

proses penyelesaian sengketa tersebut tidak secara tegas

menentukan peradilan mana yang ditunjuk untuk menyelesaikan

sengketa tersebut. Dengan adanya kebebasan untuk memilih

lembaga peradilan mana dalam penyelesaian sengketa yang timbul

(choice of forum) telah menimbulkan berbagai penafsiran hingga

menimbulkan adanya ketidak-pastian hukum.


Berdasarkan hal tersebut diatas, kemudian Ir. H. Dadang

Achmad mengajukan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi

mengenai pengujian konstitusional Pasal 55 ayat (2) dan ayat

(3) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah, sebagaimana tercatat dalam perkara Nomor: 93/PUU-

X/2012. Kemudian Mahkamah Konstitusi dalam putusannya pada

pokoknya menyatakan bahwa: “(1) Penjelasan Pasal 55 ayat (2)

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945; dan (2)

Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008

tentang Perbankan Syariah tidak memiliki kekuatan hukum

mengikat”.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi pada

pokoknya berpendapat bahwa adalah hak nasabah dan juga unit


10

usaha syariah untuk mendapatkan kepastian hukum. Mhakamah

menilai ketentuan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU 21/2008

tidak memberi kepastian hukum. Berdasarkan kenyataan yang

demikian, walaupun Mahkamah tidak mengadili perkara konkrit,

telah cukup bukti bahwa ketentuan Penjelasan Pasal 55 ayat (2)

UU 21/2008 telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil

dan hilangnya hak konstitusional nasabah untuk mendapatkan

kepastian hukum yang adil dalam penyelesaian sengketa

perbankan syariah.
Mayoritas hakim MK sepakat menyatakan bahwa penjelasan

Pasal 55 ayat 2 UU No. 21/2008 bertentangan dengan konstitusi

secara keseluruhan, sehingga penjelasan tersebut tidak lagi

memiliki kekuatan hukum mengikat sejak putusan dijatuhkan.

Maksud keseluruhan berarti penyelesaian sengketa perbankan

syariah secara non litigasi (musyawatah, mediasi perbankan dan

arbitrase syariah) dan litigasi (peradilan umum) bertentangan

dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Pada satu sisi, Putusan MK tersebut menguatkan kewenangan

pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan

syariah melalui jalur litigasi. Namun di sisi lain, putusan MK

tersebut telah menghapus keberadaan penyelesaian sengketa

perbankan syariah secara non litigasi melalui musyawarah,

mediasi perbankan dan arbitrase syariah sebagaimana disebutkan

dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008

tentang Perbankan Syariah.


Bahwa pada tanggal 28 Maret 2013 yang lalu terhadap

permohonan uji materi Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) Undang-
11

Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terhadap

Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tersebut,

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi telah menjatuhkan putusannya

nomor 93/PUU-X/2012 yang dibacakan oleh Majelis Hakim Mahkamah

Konstitusi pada tanggal 29 Agustus 2013 yang amarnya berbunyi:


MENGADILI
Menyatakan :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
1.1 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor

21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008

Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4867) bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;
1.2 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor

21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008

Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4867) tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita

Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;


3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan

selebihnya;

Dalam putusan MK ini, ada alasan yang berbeda (concurring

opinion) yang diajukan oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva dan

Ahmad Fadhil Sumadi. Selain itu juga ada pendapat berbeda

(dissenting opinion) dari Hakim Konstitusi Muhammad Alim.


12

Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva dan Ahmad Fadhil Sumadi

memiliki alasan berbeda (concurring opinion) yang pada

pokoknya adalah bahwa persoalan konstitusional utama yang

dipermasalahkan Pemohon adalah adanya ketidakpastian hukum

mengenai forum penyelesaian sengketa perbankan syariah

berdasarkan ketentuan Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU

21/2008 tentang Perbankan Syariah. Disatu sisi, UU 21/2008

menetapkan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama sebagai

forum penyelesaian sengketa perbankan syariah. Namun disisi

lain, UU 21/2008 itu sendiri juga memungkinkan penyelesaian

sengketa di luar Pengadilan Agama sesuai isi akad yang

diperjanjian para pihak, yaitu antara lain penyelesaian

melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.


Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945,

kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung dibagi dan

dipisahkan berdasarkan kompetensi atau yuridiksi (separation

court system based on jurisdiction) masing-masing badan

peradilan yaitu: lingkungan peradilan umum, peradilan agama,

peradilan militer, peradilan tata usaha negara. Peradilan

Agama, berdasarkan Pasal 49 huruf i UU No. 3 Tahun 2006

tentang Peradilan Agama, berwenang memeriksa, memutus dan

menyelesaikan perkara ekonomi syariah. Selanjutnya, pengaturan

tentang kewenangan absolut pengadian agama untuk menangani

perkara ekonomi syariah khususnya di bidang perbankan syariah

juga dinyatakan secara tegas dalam Pasal 55 ayat (1) UU No. 21

Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.


13

Dengan demikian, kewenaangan untuk memeriksa, memutus dan

menyelesaikan sengketa perbankan syariah merupakan kewenangan

absolut dari pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama yang

tidak dapat diselesaikan oleh peradilan lain karena akan

melanggar prinsip yuridiksi absolut. Mengenai penyelesaian di

luar pengadilan, hal itu dapat dilakukan melalui perjanjian

atau kesepakatan tertulis yang disepakati oleh para pihak,

baik sebelum terjadinya sengketa (pactum de compromittendo)

maupun setelah terjadinya snegketa (akta kompromis) sesuai

dengan prinsip pacta sunt servanda. Pilihan penyelesaian

sengketa perbankan syariah sesuai isi perjanjian atau aka oleh

para pihak di luar Pengadilan Agama hanya dapat dilakukan

melalui musyawarah, mediasi, penyelesaian arbitrase, atau

alternatif penyelesaian sengketa.


Sementara Hakim Konstitusi Muhammad Alim menyampaikan

pendapat berbeda (dissenting opinion) yang pada pokoknya bahwa

kewenangan peradilan agama sudah tegas diatur dalam ketentuan

perundang-undangan, namun masih saja ada orang tertentu,

paling tidak pembentuk undang-undang yang bermaksud mengebiri

kewenangan Peradilan Agama, seperti Penjelasan Pasal 55 ayat

(2) huruf d UU 21/2008. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf d

UU 21/2008 yang menentukan “melalui pengadilan dalam

lingkungan Peradilan Umum” harus dinyatakan bertentangan

dengan UUD 1945 dan karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat. Adapun Penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf a, huruf

b, dan huruf c UU 21/2008 dapat dibenarkan sepanjang tidak


14

melanggar ketentuan undang-undang dan sejalan dengan ketentuan

syariah.

3. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor: 93/PUU-X/2012 Tanggal 29

Agustus 2013
Sebagaimana telah diuraikan di atas, Putusan MK No.

93/PUU-X/2012 di satu sisi telah memberikan kepastian hukum

bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah

melalui jalur Pengadilan dengan menetapkan kewenangan

penyelesaian sengketa perbankan syariah berada di lingkungan

Peradilan Agama. Namun, disisi lain Putusan MK No. 93/PUU-

X/2012 tersebut juga menimbulkan problematika hukum baru

berupa hilangnya bentuk-bentuk penyelesaian sengketa perbankan

syariah melalui non-litigasi (di luar pengadilan) sebagaimana

dimaksud dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU 21/2008.

Keadaan ini menjadikan norma utama dalam Pasal 55 ayat (2) UU

21/2008 menjadi kabur sehingga mengakibatkan kekosongan hukum.


Untuk mengisi kekosongan hukum dan menjelaskan norma yang

kabur pada Pasal 55 ayat (2) UU 21/2008 pasca Putusan MK No.

93/PUU-X/2012, dapat digunakan ketentuan dalam UU No. 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Dalam hal ini, Pasal 55 ayat (2) UU 21/2008 dapat dikaitkan

dengan penafsiran sistematis dengan melihat UU 30/1999 yang

memberikan kemungkinan penyelesaian sengketa melalui jalur

non-litigasi (di luar pengadilan).


Penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian

sengketa atau Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah


15

penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang

disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan

dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau

penilaian ahli. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka

10Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa (“UU Alternatif

Penyelesaian Sengketa”)terdapat 5 (lima) cara penyelesaian

sengketa di luar Pengadilan, yaitu:

1. Konsultasi

Tidak ada suatu rumusan ataupun penjelasan yang

diberikan dalam UU Alternatif Penyelesaian Sengketa

mengenai makna maupun arti dari konsultasi. Jika

melihat pada Black's Law Dictionary dapat diketahui

bahwa yang dimaksud dengan konsultasi (consultation)

adalah:

“Act of consulting or conferring: e.g. patient


with doctor, client with lawyer.Deliberation of
persons on some subject.4”

Dari rumusan yang diberikan dalam Black's Law

Dictionary tersebut dapat diketahui, bahwa pada

prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang

bersifat personal antara suatu pihak tertentu, yang

disebut dengan klien dengan pihak lain yang

merupakan pihak konsultan, yang memberikan

4
Black's Law Dictionary
16

pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi

keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut.

Didalam konsultasi, klien adalah bebas untuk

menentukan sendiri keputusan yang akan ia ambil

untuk kepentingannya sendiri, walau demikian tidak

menutup kemungkinan klien akan dapat mempergunakan

pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan

tersebut. Ini berarti dalam konsultasi, sebagai

suatu bentuk pranata alternative penyelesaian

sengketa, peran dari konsultan dalam menyelesaikan

perselisihan atau sengketa yang ada tidak dominan

sama sekali, konsultan hanyalah memberikan pendapat

(hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya, yang

untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian

sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para

pihak, meskipun adakalanya pihak konsultan juga

diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk

penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para

pihak yang bersengketa tersebut.

2. Negosiasi
Negosiasi merupakan bagian dari proses penyelesaian

sengketa secara kompromi (kooperatif antar pihak)

dengan tujuan pemecahan masalah bersama. Alternatif


17

penyelesaian sengketa melalui negosiasi ini memiliki

beberapa kelebihan, yakni diantaranya adalah:

a. negosiasi memberi peluang yang sangat luas bagi

para pihak untuk menentukan pilihan-pilihannya;

b. Tidak bergantung pada norma hukum tertulis;

c. Dapat memberikan ruang bagi para pihak untuk

bisa menang secara bersama-sama; dan

d. semua pihak memperoleh kesempatan untuk

menjelaskan berbagai persoalan dalam proses

negosiasi.

Sedangkan yang menjadi kelemahan dari alternatif

penyelesaian sengketa melalui lembaga negosiasi ini,

yakni diantaranya adalah tidak ada kepercayaaan

antara para pihak yang bersengketa dalam

menyelesaiakan suatu sengketa tertentu; dandi dalam

negosiasi seringkali yang terjadi adalah tidak ada

satu upaya pun untuk mencoba saling mendengarkan

kehendak dan keinginan masing-masing pihak yang

sedang pihak.

3. Mediasi
Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan konflik

atau sengketa di mana pihak luar atau pihak

ketiga yang tidak memihak (impartial) bekerja sama

dengan pihak yang bersengketa atau konflik untuk

membantu memperoleh kesepakatan perjanjian dengan

memuaskan. Alternatif penyelesaian sengketa melalui


18

negosiasi ini memiliki beberapa kelebihan, yakni

diantaranya adalah:

a. Keputusan yang hemat

b. Penyelesaian secara cepat

c. Hasil yang memuaskan bagi seluruh pihak

d. Kesepakatan yang komprehensif

e. Keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan

f. Keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu.

Sedangkan yang menjadi kelemahan satu-satunya yang

ada pada proses mediasi terletak pada kekuatan

eksekusi para pihak setelah mencapai kesepakatan.

Karena kesepakatan dicapai dengan cara suka rela,

maka eksekusi atas kesepakatan itu pun juga dengan

kondisi yang suka rela pula. Oleh karena itu proses

mediasi hanya akan efektif diterapkan pada para

pihak yang benar-benar secara suka rela menghendaki

perselisihan diselesaikan secara mediasi. Dengan

demikian, mengandung konsekuensi bahwa mediator

serta hal-hal lain selama proses mediasi pun tetap

secara suka rela harus diterima oleh kedua belah

pihak yang bersengketa.

4. Konsoliasi

UU Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak memberikan

suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian


19

konsiliasi.Bahkan tidak dapat ditemui satu ketentuan

pun dalam UU Alternatif Penyelesaian Sengketa ini

mengatur mengenai konsiliasi. Perkataan konsiliasi

sebagai salah satu lembaga alternatif penyelesaian

sengketa dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1

angka 10 dan Alenia ke-9 Penjelasan Umum UU

Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut.

Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua

cara ini adalah melibatkan pihak ketiga untuk

menyelesaikan sengketa secara damai. Namun terdapat

perbedaan antara kedua istilah ini, yaitu konsiliasi

lebih formal daripada mediasi.Konsiliasi bisa juga

diselesaikan oleh seorang individu atau suatu badan

yang atau komisi konsiliasi.Persidangan suatu komisi

konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap, yaitu

tahap tertulis dan tahap lisan.Dalam tahap pertama,

sengketa diuraikan secara tertulis dan kemudian

diserahkan kepada badan konsiliasi.Selanjutnya badan

konsiliasiakan mendengarkan keterangan lisan dari

para pihak.

Kelebihan dari alternatif penyelesaian sengketa

melalui konsiliasi ini hampir sama dengan mediasi

yakni prosesnya cepat, murah, dan dapat diperoleh

hasil yang efektif. Sedangkan yang menjadi kelemahan


20

alternatif penyelesaian sengketa melalui konsiliasi

ini adalah bahwa putusan dari lembaga konsiliasi ini

tidak mengikat, sehingga sangat tergantung

sepenuhnya pada para pihak yang bersengketa.

5. Arbitrase

Pasal 1 angka 1 UU Alternatif Penyelesaian Sengketa

menyatakan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian

sengketa perdata di luar peradilan umum yang

didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat

secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Kelebihan dari alternatif penyelesaian sengketa

melalui lembaga arbitrase ini adalah diantaranya

adanya jaminan kerahasiaan sengketa para pihak, dapat

dihindarkan keterlambatan yang diakibatkan kerena hal

procedural dan administratif dan para pihak dapat

memilih hukum apa yang akan diterapkan untuk

penyelesaian masalahnya serta proses dan tampat

penyelenggaraan arbitrase.Sedangkan yang menjadi

kelemahanlembaga arbitrase ini adalah bahwa lembaga

arbitrase tidak memiliki kekuatan eksekutorial dan

kepastian hukum terhadap kesepakatan yang telah

dihasilkan.

4. Peraturan OJK
Pada tanggal 23 Januari 2014 terbit Peraturan Otoritas

Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif


21

Penyelesaian Sengeketa di Sektor Jasa Keuangan, dimana dalam

Peraturan OJK tersebut diamanatkan pentingnya dibentuk Lembaga

Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) karena dibutuhkan

External Dispute Resolution yang kredibel, reliable, dan

berstandar internasional dalam menyelesaikan sengketa antara

nasabah dengan bank (lembaga jasa keuangan). Dibutuhkan LAPS yang

mempunyai prinsip: Aksesibilitas, Independensi, Fairness,

Efisiensi dan Efektifitas.


Sejak Desember 2015 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah

menetapkan dua lembaga alternatif penyelesaian sengketa di

sektor jasa keuangan. Yakni, Badan Mediasi dan Arbitrase

Asuransi Indonesia (BMAI) dan Badan Arbitrase Pasar Modal

Indonesia (BAPMI). Keduanya akan menangani sengketa di sektor

asuransi dan pasar modal. Dalam perkembangan berikutnya,

menurut hemat Penulis, juga diperlukan dibentuk/ditetapkan

oleh OJK suatu Badan Mediasi/Arbitrase khusus di bidang

Perbankan syariah.

D. Penutup
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas dapat ditarik

simpulan sebagai berikut :


1. Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang

Perbankan Syariah penyelesaian sengketa perbankan syariah

rata-rata dilakukan melalui proses Arbitrase oleh Badan

Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang kemudian berubah

menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) atau

sebagian kecil melalui proses litigasi di Pengadilan

Negeri, namun sejak lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun


22

2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun

1989 tentang Peradilan Agama muncul dispute settlement

option (pilihan penyelesaian sengketa yang baru dengan

memberikan tugas dan kewenangan penyelesaian sengketa

ekonomi syariah termasuk di dalamnya perbankan syariah

kepada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.


2. Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang

Perbankan Syariah, penyelsaian sengketa perbankan syariah

diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang ini yang menyatakan

selain sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan

dalam lingkungan Peradilan Agama penyelesaian sengketa

perbankan syariah juga dapat dilakukan sesuai dengan isi

akad, maksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai

dengan isi akad adalah upaya sebagai berikut :


(a) Musyawarah,
(b) mediasi perbankan,
(c) melalui BASYARNAS atau lembaga arbitrase lain dan atau
(d) melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum
3. Setelah terbit Putusan MK No. 93/PUU-X/2012, penyelesaian

sengketa perbankan syariah melalui jalur Pengadilan

merupakan kewenangan absolut peradilan yang berada di

lingkungan Peradilan Agama. Namun, Putusan MK No. 93/PUU-

X/2012 juga menimbulkan problematika hukum baru berupa

hilangnya bentuk-bentuk penyelesaian sengketa perbankan

syariah melalui non-litigasi (di luar pengadilan)

sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU

21/2008.
Untuk mengisi kekosongan hukum dan menjelaskan norma yang

kabur pada Pasal 55 ayat (2) UU 21/2008 pasca Putusan MK


23

No. 93/PUU-X/2012, dapat digunakan ketentuan dalam UU No.

30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa. Dalam hal ini, Pasal 55 ayat (2) UU 21/2008 dapat

dikaitkan dengan penafsiran sistematis dengan melihat UU

30/1999 yang memberikan kemungkinan penyelesaian sengketa

melalui jalur non-litigasi (di luar pengadilan).

Penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian

sengketa atau Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah

penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur

yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar

pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,

konsiliasi, atau penilaian ahli.

You might also like