You are on page 1of 3

LILIN MERAH di Belakang Meja Mahyong

(Oleh : Guntur Alam)

DANIEL DARMA DASA /06 (KELUARGA HUAN)


KENNITA ALVINA /14 (IBU)
ROBBY SENTYA /22 (KELUARGA JONG)
SHERLYN SEPTINA /26 (CUCU-YIYING)
VANESA WIRAMAS /31 (NENEK-POPO)

PEREMPUAN MEJA MAHYONG

SCENE 1
Narator : Saat aku melihat sebatang lilin merah yang bertuliskan nama laki-laki dan perempuan di
masing-masing ujungnya dalam wadah emas di balik meja mahyong, aku teringat pada
kejadian berpuluh puluh tahun lalu. Seharusnya, lilin itu terbakar sampai habis. Lilin yang
mampu menyegel ikatan pernikahan untuk selamanya apapun yang terjadi. Tapi, angin
kejam itu memadamkannya. Angin yang menyebabkan duka yang tak akan pernah surut.
Aku telah berusaha menyalakannya kembali, namun itu semua hanya angan. Sekarang aku
menunggu gadis kecil, anak penyebab angin itu padam, menyalakan kembali lilin merah itu
untukku.

SCENE 2
Narator : Aku berumur 6 tahun dan baru kali ini Popo menceritakan perempuan tua di balik meja
mahyong dan lilin merahnya. Jari-jemarinya yang kerut terus menusukkan jarum ke dalam
kain sulaman, membuat daun bunga lotus dan tangkai-tangkainya mekar sambil bercerita.

Yingying : (dengan penasaran yang tinggi) Apakah ia begitu mencintai suaminya?

Popo : Aku tak tahu, aku tak tahu. (berbicara pelan sambil bergeleng)

Yingying : Lalu kenapa dia begitu ingin menyalakan lilin merahnya kembali?

Popo : Mungkin karena dia ingin menjadi anak yang berbakti. Anak yang memenuhi janji kepada
kedua orang tuanya.

YingYing : Lalu, ke mana perginya dia,Po?

Popo : Anak perempuan itu sudah dibawa pergi oleh hantu. Dia pun sudah menjelma hantu.

Popo : Ying-ying, dengarkan baik-baik. Kau jangan jadi gadis pembangkang dan keras kepala. Jika tidak,
kau akan menjadi hantu. Lalu, cayma akan membelah perutmu. Kau tahu apa yang akan keluar
dari perut hantu perempuan yang keras kepala?

YingYing : (menggeleng)

Popo : (menghirup napas dengan sangat kuat) Sebutir telur naga yang besar. Telur naga yang tak
diinginkan oleh siapa pun. Bahkan tak ada orang yang mau memakannya bersama bubur beras.
Narator : Awalnya Yiying tak tahu bila telur naga yang Popo maksud adalah dirinya. Ia tahu setelah Bibi Mei
bercerita tentang ibunya. Ibunya benar-benar menjadi hantu setelah melahirkan Yiying, lalu
pergi tak tentu rimba hingga detik ini. Hantu bagi Popo adalah apa-apa yang tak boleh disebut
lagi. Jadi ibu Yiying telah menjelma hantu. Dia belum mati, tetapi sudah dianggap mati.

Popo : (mengambil tangan Yiying dan menatap Yiying dengan serius) Ying- ying, berjanjilah. Bila aku
sudah mati nanti, jangan sekali-sekali kamu menyebut nama hantu perempuan itu di rumah ini.”
YingYing : Kenapa,Po?

Popo : Mengucapkan namanya berarti kamu mengencingi makamku

YingYing : (menelan ludah lalu mengangguk)

Narator : Popo memiliki meja mahyong yang sangat indah. Dia menyebut kayu meja mahyong ini hong wu.
Yingying mengira arti kata asing itu adalah rosewood tapi kata Popo bukan. Meja ini adalah
warisan dari ibunya. Bagian yang Yiying suka dari permainan mahyong hanyalah saat Popo
mengucapkan kata Pung! dan Chr! Saat itu binar matanya begitu benderang, seakan dia
menemukan kebahagiaan yang bertahun-tahun telah dia cari.

YingYing : (menatap Popo) Popo selalu duduk di meja mahyong sudut timur. Kenapa harus di timur,Po?
Popo : (tersenyum) Timur adalah awal segala sesuatu, kata ibumu. Timur tempat matahari terbit, juga
arah datangnya angin.
Popo : (sibuk memutar biji mahyong) Duduklah Ying. Mari bermain.
YingYing : Aku tak mau. Tak berminat. Aku selalu kalah. Bahkan, Bibi dan Nenek Yu juga tak pernah menang
melawanmu. Seakan kau punya mata lain yang dapat mengetahui semua biji kartu kami. Kau
juga seakan mampu membaca pikiran lawan-lawanmu.
Popo : (cemberut) Bagaimana bisa kami main bertiga? Sebuah meja tak akan berdiri dengan tiga kaki.
Harus ada masing-masing kaki di setiap sudutnya.
Yingying : (duduk lalu bermain)
Popo : Permainan ini mengajarimu strategi. Bagaimana harus bersikap saat terpuruk. Bagaimana
memanfaatkan kesempatan untuk menyerang. Bagaimana caramu untuk bertahan. Bermain
mahyong sama seperti kamu menghadapi hidupmu.
Popo : (berkaca-kaca)

SCENE 3
Popo : FengYing kemarilah. (mengelus-ngelus kepala) Kamu diibaratkan lilin merah. Lilin selalu menerima
perlakuan apapun sekalian dibakar.
FengYing : Maksudnya, Ma?
Popo : Kau akan tahu setelah dewasa nanti.

SCENE PACARAN--------

FengYing : (berjalan depresi) kenapa kenapa kenapa hidupku harus seperti ini? Aku tak ingin hidupku
ditentukan. Mama tak tahu apa yang baik untukku. Mama hanya memikirkan tentang kasta dan derajat.
Besok, takdirku akan dimulai.
FengYing : (menyapu, menyulam, mengelap) Apakah aku sedang belajar menjadi istri yang baik atau justru
menjadi pembantu yang baik di rumah ini? Aku harus menghentikan semua ini.

(FengYing kabur dari keluarga Huan, cek cok dengan ibunya, terjadi perselisihan antara Huan Bingjie dan Jong
Tong Mu)

YingYing : Bagaimana bisa lilin merah itu padam, Po?


Popo : (mendongak) (menghela napas) (menatapku dengan berkaca-kaca) Aku salah memberi nama
perempuan itu, Feng Ying yang artinya Pintar dan cerdik, namun dia justru memperlakukan
nama keluarga.
YingYing : (tercekat) Apakah ada cara bagi perempuan itu untuk mengubah takdirnya?
Popo : (mendesis) Kontrak sudah dibuat. Perempuan itu harus menikah dengan anak laki-laki keluarga
Jong. Walau pun dia mencintai laki-laki lain. Anak tetangga yang membuat dadanya berdebar.
YingYing : Lalu kenapa lilin merahnya bisa padam?
Popo : (perlahan-lahan menangis) Lilin merah itu merupakan ikatan perkawinan. Lilin merah itu
menyegelnya untuk mengabdi kepada suami dan keluarganya untuk selama-lamanya, tanpa
kompromi.
Popo : Dia terlalu muda, jadi dia dibutakan pada cinta pertamanya. Dia….(suara Popo bergetar). Dia
meniup ujung lilin yang bertuliskan nama suaminya, berharap agar lilin itu mati yang berarti
matinya pernikahan mereka. Sayangnya, dia lupa ucapanku. Sejak itu dia menelan kesedihan
sepanjang hidupnya.

Popo : (berusaha tersenyum, mengambil tangan YingYing dan menggenggamnya erat) Ying-ying, bisakah
kamu menyalakan lilin merah itu untukku? Sebab ibumu tak pernah mau melakukannya.

Narator : Angin kesunyian berembus dari sudut timur meja mahyong Popo, menggelitik mata dan menampar
dada hingga lebam. Dari sudut itu segala sesuatunya berawal, termasuk takdir YingYing untuk
lilin merah.

You might also like