You are on page 1of 22

JOURNAL READING

“Predictors of Difficult Tracheal Intubation on Adult Elective Patients in a


Teaching Hospital”

Dosen Pembimbing:
dr. Iwan Dwi Cahyono, Sp. An

Disusun Oleh:
Juwita Retnoningtyas G4A016098
Sera Rhosida Kurniawati G4A016099

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM
PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
SMF ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
RSUD. PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2017
LEMBAR PENGESAHAN
JOURNAL READING

“Predictors of Difficult Tracheal Intubation on Adult Elective Patients in a


Teaching Hospital”

Disusun Oleh:

Juwita Retnoningtyas G4A016098


Sera Rhosida Kurniawati G4A016099

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di bagian


Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui,
pada Mei 2017

Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr. Iwan Dwi Cahyono, Sp. An


I. PENDAHULUAN

Intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau
melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas. Intubasi trakhea dilakukan
dengan cara memasukkan pipa endotrakhea ke dalam trakhea sehingga jalan nafas
bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan dikendalikan (Latief Said et al.,
2001). Pipa endotrakea memiliki ukuran panjang yang dinyatakan dalam
milimeter. Ukuran rata-rata pipa endotrakea untuk wanita adalah 7 sampai 7,5 mm
sedangkan untuk pria 7,5 sampai 8 mm. Teknik intubasi dapat dilakukan dengan 2
cara yaitu intubasi orotrakea dan intubasi nasotrakea (David E.Longnecker, 2008).

Intubasi trakea melibatkan trakea sebagai organ penting dalam


pelaksanaannya. Trakea merupakan tabung membranosa dan kartilago yang dapat
bergerak. Bentuk trakea adalah tuba yang lentur. Panjang trakea berkisar antara 10
sampai 15 cm. Pada pria panjang trakea kira-kira 12 cm dan pada wanita 10 cm.
Tabung trakea diperkuat oleh 16 sampai 20 cincin kartilago. Diameter antero-
posterior rata-rata 13 mm sedangkan diameter transversa rata-rata 18 mm. Trakea
dibentuk oleh 16-20 helai kartilago yang berbentuk huruf C dan dihubungkan
dengan jaringan fibrosa sehingga struktur diatas akan menyebabkan trakea akan
terbuka pada setiap posisi kepala dan leher (Snell, 2006). Trakea dimulai dari
vertebrae cervicalis VI sampai carina yang rata-rata setinggi vertebrae thorakal V
(Moore, 2012).

Trauma jalan napas yang berat dan obstruksi yang tidak memberikan
pemasangan pipa endotrakea yang aman dapat menjadi indikasi trakeostomi.
Trakeostomi (tracheostomy) merupakan tindakan membuat lobang atau stoma
pada trakea dan kulit (Russel, 2004). Tindakan ini dapat mencederai pembuluh
darah besar sekitar dan dapat terjadi fistula a. innominata-trakea sebagai
komplikasinya. Mayoritas tindakan trakeostomi saat ini dilakukan secara elektif
atau semi-darurat. Trakeostomi elektif paling baik dilaksanakan diruang operasi
dengan bentuan dan peralatan yang adekuat (Weissler, 2006; Lore, 2005). Kanul
trakeostomi yang ideal harus cukup kaku untuk dapat mempertahankan jalan nafas namun
cukup fleksibel untuk membatasi kerusakan jaringan dan memberikan kenyamanan pada
pasien (Novialdi, 2010).
II. ISI JURNAL

Prediktor Intubasi Trakea Sulit pada Pasien Dewasa Elektif Di Rumah Sakit
Pendidikan
Dawit Tafesse dan Getu Ataro
The Anesthesiology Journal, 2016, 10, 34-39

A. ABSTRAK
Latar Belakang: Selama penilaian rutin praoperasi pasien, salah satu
pemeriksaan yang paling umum adalah memprediksi kesulitan intubasi trakea
dari berbagai macam faktor yang terdeteksi. Faktor-faktor yang dapat
diprediksi kesulitannya merupakan pokok bahasan penelitian. Penelitian ini
dilakukan untuk menilai prediktor intubasi trakea yang sulit pada pasien
dewasa.
Metode: Dalam penelitian observasional prospektif ini, kami mempelajari 120
pasien dewasa elektif yang memenuhi syarat untuk bedah umum, ginekologi
dan ortopedi. Parameter sosio-demografi dan uji variabel seperti kelas BMI,
TMD, SMD, IIG dan Mallampati dikumpulkan selama evaluasi pra operasi.
Tingkat CL dan kesulitan intubasi diamati saat ahli anestesi bertugas
Laringoskopi. Data awal diperoleh dari catatan anestesi pra operasi sedangkan
data terakhir diisi dengan kuesioner berdasarkan apa yang dilaporkan oleh ahli
anestesi selama atau setelah laringoskopi. Penelitian ini menganalisis
Prevalensi intubasi yang sulit dan sensitivitas, spesifisitas, PPV dan NPV dari
pengujian. SPSS-20 dan formula yang berbeda digunakan selama analisis. Uji
Chi square digunakan dan P <0,05 dianggap signifikan secara statistik.
Hasil: Prevalensi keseluruhan intubasi trakea yang sulit adalah 2,5%.
Sensitivitas, spesifisitas, PPV & NPV tes adalah 0%, 98,3%, 0% & 97,46%
untuk BMI; 0%, 97,5%, 0% & 100% untuk SMD; 100%, 96,64%, 20% &
100% untuk TMD; 0%, 99,17%, 0%, & 100% untuk IIG; Dan 100%, 99,14%,
75% & 100% untuk uji Mallampati.
Kesimpulan: Kejadiannya tidak terlalu kecil sehingga ahli anestesi harus
menggunakan tes yang diperlukan untuk memprediksi intubasi yang sulit.
Menggabungkan tes mungkin dapat menjadi pilihan terbaik, tes Mallampati
sendiri bisa memprediksi intubasi yang sulit pada pasien dewasa.
B. PENDAHULUAN
Jalan napas yang sulit, baik yang diantisipasi atau tidak, adalah
peristiwa mengacaukan yang dialami tim anestesi dalam perawatan preperatif.
Otak hanya mampu bertahan beberapa menit tanpa oksigen, sehingga
penundaan atau ketidakmampuan untuk mengelola jalan napas yang sulit
menyebabkan kerusakan otak atau kematian. Kegagalan untuk mengelola
saluran napas yang sulit dilaporkan mencapai sebesar 30% kematian terkait
anestesi [1, 2]. Intubasi trakea yang sulit adalah salah satu dari dua skenario
berbeda yang menentukan jalan napas yang sulit. Kejadian intubasi trakea
yang sulit setelah laringoskopi langsung pada pasien normal sebesar 5,8% [3].
Terdapat variasi antar individu dari parameter jalan nafas dan faktor
klinis. Sekitar 12% [4] dan 1,1% [5] dari populasi obesitas di seluruh dunia
dan di Ethiopia. Obesitas mempengaruhi gerakan leher selama intubasi. Pasien
dengan leher pendek juga menjadi tantangan selama pengelolaan jalan nafas
karena sulitnya ekstensi leher dan penempatan laringoskop. Pembukaan mulut
maksimal juga menentukan kemudahan pengelolaan jalan nafas dan intubasi
endotrakeal. Demikian pula, jarak dari mandibula ke tulang rawan sternum
atau tiroid juga berdampak pada kemudahan penempatan tabung endotrakea
selama laringoskopi langsung.
Evaluasi sederhana pada pasien saat pemeriksaan dapat meminimalkan
morbiditas dan mortalitas jalan nafas akibat anestesi. Alasannya, identifikasi
pasien dengan saluran napas yang sulit sangat penting dalam evaluasi
praoperasi dan perencanaan pengelolaan anestesi, sehingga intubasi
endotrakeal dan ventilasi tekanan positif dapat dicapai dengan aman
menggunakan metode alternatif intubasi trakea seperti bronchoscopy
fibreoptic. Terlepas dari sensitivitas dan spesifisitasnya, termasuk faktor
prediksi yang digunakan dalam laporan, namun tidak terbatas pada indeks
massa tubuh (BMI), jarak Sternomental (SMD), Jarak thiromental (TMD),
Interincisor gap (IIG) dan kelas Mallampati, kepala dan gerakan [6].
Kombinasi dari lebih dari dua parameter dalam memprediksi kesulitan
diharapkan lebih baik daripada menggunakan faktor tunggal. Semua tes ini
tidak ada yang sempurna sebagai indikator intubasi yang sulit [7]. Namun,
pada pasien dengan massa leher faktor tunggal dapat menjadi prediktor
signifikan untuk intubasi yang sulit [8]. Prediksi preoperatif yang akurat
tentang potensi kesulitan intubasi dapat membantu mengurangi kejadian
komplikasi katastropik dengan memperingatkan petugas anestesi untuk
melakukan tindakan pencegahan tambahan sebelum anestesi dan membuat
jalan napas buatan. Selanjutnya, prediksi yang lebih akurat tentang kesulitan
intubasi dapat mengurangi frekuensi manuver yang tidak perlu (misalnya
intubasi terjaga). Namun, masih dipertanyakan apakah prediksi yang akurat
memungkinkan dilakukan dan variabel mana yang harus digunakan untuk
evaluasi [9].
Oleh karena itu, penelitian ini menilai prevalensi dan faktor prediktor
intubasi yang sulit diantara pasien dewasa yang menjalani operasi besar
dengan anestesi umum dengan intubasi endotrakea.

C. METODE
Setelah mendapatkan surat persetujuan dari komite etik, 120 pasien
dewasa dipilih secara consecutive untuk bedah mayor, di rumah sakit
pendidikan Universitas Jimma (JUTH) merupakan inklusi dalam penelitian
ini. Desain penelitian observasional prospektif. Penelitian dilakukan dari
Januari 2012 sampai Mei 2012. Pasien dengan ASA III dan IV, kebutuhan
induksi yang cepat, kondisi patologis pada airway, dan pasien yang tidak mau
berpartisipasi merupakan eksklusi dari penelitian. Semua pasien adalah pasien
pilihan (elektif) yang dijadwalkan untuk bedah ginekologi, ortopedi dan
umum.
Selama kunjungan pra operasi di tempat tidur atau di ruang pra induksi,
karakter sosio-demografis dan faktor risiko dinilai untuk intubasi yang sulit.
Selama intubasi, kolektor data mendokumentasikan kejadian yang terjadi saat
laringoskopi dan intubasi endotrakeal berdasarkan umpan balik (feedback)
dari ahli anestesi yang bertugas. Intubasi yang sulit didefinisikan sebagai
kesulitan untuk memasukkan tabung trakea dengan benar dalam tiga kali
percobaan atau dalam waktu 10 menit dengan laringoskopi konvensional
(conventional laryngoscopy) [10]. Selama penilaian pra operasi, jenis kelamin,
usia, BMI, SMD, TMD, IIG dan Mallampati didokumentasikan.
BMI>30kg/m2 dikategorikan sebagai obesitas. SMD diukur dengan pita dan
dikategorikan SMD <12cm dan lebih besar dari 12cm. Demikian pula, TMD
dikategorikan sebagai TMD <6.5cm dan lebih besar dari 6,5 cm. IIG
dikategorikan sebagai IIG <3cm dan lebih besar dari 3cm. Kelas Malampati
juga dinilai dan diklasifikasikan sebagai berikut: kelas-I saat palatum molle
tampak, fauces, uvula, dan pilar terlihat, kelas-II saat pallatum molle, fauces,
dan uvula terlihat, kelas-III saat pallatum molle, dasar uvula terlihat, dan
kelas-IV saat pallatum molle tidak terlihat (Gambar 1). Berdasarkan
laringoskopi, kelas CL laryngoskopy adalah sebagai berikut: kelas-I ketika
bagian dari pita suara terlihat, kelas-II ketika hanya arytenoids yang terlihat,
kelas-III ketika hanya epiglotis yang terlihat, dan kelas-IV saat epiglotis tidak
terlihat (Gambar 1).
Sebelum analisis data diperiksa kembali mengenai kelengkapan dan
konsistensi. SPSS-20 digunakan untuk menganalisa data. Kecuali usia pasien
yang menggunakan uji student’s t-test, uji chi-square. P <0,05 dianggap
sebagai signifikan secara statistik. Sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi
positif dan nilai prediktif negatifnya dihitung dengan menggunakan rumus
standar:
Sensitivitas = Jumlah akurat intubasi yang sulit yang diprediksi : Jumlah
intubasi yang sulit
yang ditemui
Spesifisitas = Jumlah intubasi yang mudah yang diprediksi : Jumlah intubasi
yang mudah yang ditemukan
PPV = Jumlah akurat intubasi yang sulit yang diperkirakan : Jumlah intubasi
yang sulit yang diantisipasi
NPV = Jumlah intubasi yang mudah yang diprediksi : Jumlah intubasi yang
mudah yang diantisipasi

D. HASIL
160 pasien dewasa berturut-turut dijadwalkan menjalani operasi elektif
dengan general anestesi dengan intubasi endotrakeal yang dipilih dan 120 di
antaranya memenuhi kriteria inklusi yang digunakan dalam penelitian ini. 81
(67,5%) laki - laki dan 39 (32,5%) pasien wanita berpartisipasi dalam
penelitian ini (Tabel 1). Usia pasien di Mean + SD adalah 37,3 + 10,8 tahun
(Gambar 2).
Fig. (2). Distribution of age among patients.

Dari 120 pasien; 20 menjalani bedah ortopedi, 18 bedah ginekologis,


dan 82 bedah umum. 118 pasien memiliki BMI<25kg/m2 yang mana 3
diantaranya intubasi yang sulit namun tidak memiliki signifikansi statistik
dan 2 pasien memiliki BMI> 25kg/m2 tetapi keduanya mudah diintubasi. 5
(4,2%) pasien memiliki TMD <6,5 cm yang mana 4 mudah dan 1 orang
intubasi yang sulit (p <0,05), sedangkan sisanya 115(95,8%) memiliki
TMD>6,5 cm dan hanya dua di antaranya sulit dilakukan. 117(97,5%) dan 3
(2,5%) pasien memiliki SMD>12cm dan SMD<12cm, namun tiga pasien
dengan intubasi yang sulit berasal dari kelompok SMD>12cm. 119(99,2%)
dan 1(0,8%) pasien memiliki IIG> 3cm dan IIG<3cm, masing-masing dan
semua kelompok yang terakhir mudah diintubasi. Dari 116 (96,7%) pasien
Mallampati kelas-I dan Mallapati kelas-II hanya 1 (0,8%), kasus yang
intubasi yang sulit diamati tidak lebih dari 4 (3,3%) pasien Mallampati kelas-
III dan Mallapati kelas-IV, kesulitan intubasi ditemui pada 3 pasien yaitu CL
laryngoscope kelas-III dan IV yang sangat signifikan dalam kelompok (p
<0,05).
E. PEMBAHASAN
Dalam penelitian saat ini kami menemukan bahwa kejadian intubasi
trakea yang sulit setelah laringoskopi langsung adalah 2,5% yang hampir
mirip dengan laporan oleh Aftab S et al. dimana kejadiannya adalah 2,6%
[11]. Ada kemungkinan kejadian intubasi sulit yang lebih tinggi pada pasien
serupa sesuai dengan variasi penelitian sebelumnya. Dalam tinjauan
sistematis dari tiga puluh lima penelitian, Shiga T et al. melaporkan
keseluruhan kejadian intubasi yang sulit pada pasien yang tampaknya sehat
sebesar 5,8% [3]. Dengan banyaknya kejadian ini, siapapun yang berada di
bidang anestesiologi harus memprediksi sulitnya jalan nafas karena intubasi
trakea yang sulit, sehingga bisa mempersiapkan teknik alternatif. Ada
beberapa strategi dan algoritma untuk mengelola jalan napas sehingga
kesulitan dapat diantisipasi [12 - 14]. Dari semua intubasi yang sulit ditemui,
tidak satupun dari mereka telah gagal intubasi.
Diantara lima uji coba intubasi sulit di meja pemeriksaan sederhana
yang kami gunakan untuk penelitian ini, hanya jarak tiromental (TMD
<6.5cm) dan klasifikasi Mallampati (kelas III & IV) menunjukkan nilai
prediktif yang signifikan. Temuan ini bertentangan dengan sebuah laporan
oleh Savva D et al. dimana kelas Mallampati, jika digunakan sebagai uji
tunggal, ternyata bukan prediktor intubasi yang sulit [15]. Baik SMD maupun
IIG memiliki sensitivitas yang tidak terdefinisi, spesifisitasnya relatif tinggi
namun tidak ada PPV. Namun, pengeecualian untuk BMI, nilai NPV dari
semua tes adalah 100%. Dalam penelitian kami, BMI yang lebih besar dari
25kg / m2 ditemukan sebagai prediktor sulit untuk intubasi yang sulit
terutama dalam mendeteksi positif sejati. Sensitivitas, spesifisitas, PPV dan
NPV BMI masing-masing adalah 0, 98,30%, 0 dan 97,46%. Nilai ini hampir
sama dengan studi sebelumnya di mana masing-masing sensitivitas,
spesifisitas, PPV dan NPV adalah 7%, 94%, 6% dan 95% [16].
Sensitivitas, spesifisitas, PPV dan NPV skor Mallampati adalah
100%, 99,12%, 75% dan, 100%. Tes ini merupakan indikator yang baik
tentang intubasi yang sulit dalam penelitian kami. Temuan ini hampir sejalan
dengan temuan dalam sebuah studi di populasi Kashmir. AK Gupta et al.
melakukan studi populasi Kashmir mengenai prediktor intubasi yang sulit
dan melaporkan sensitivitas, spesifisitas, PPV dan NPV kelas Mallampati
masing-masing 77,3%, 98,2%, 48,7% dan 99,5% [17]. Apalagi, George dan
Jacob melaporkan kepekaan kelas Mallampati 54,5% sebagai prediktor trakea
yang sulit intubasi [18]. TMD, walaupun memiliki sensitivitas, spesifitas dan
NPV yang baik (Tabel 2), PPV-nya sangat rendah (20%). Rendahnya PPV
menunjukkan kegagalan tes untuk menjawab pertanyaan ahli anestesi tentang
seberapa besar kemungkinan intubasi yang sulit mengingat hasil tesnya
positif.

F. KETERBATASAN PENELITIAN
Penelitian ini melibatkan semua pasien bedah elektif berurutan yang
memenuhi kriteria inklusi tanpa pengacakan. Penelitian ini juga tidak
menggunakan rumus kekuatan untuk penentuan ukuran sampel atau subjek
acak dengan perbandingan yang berbeda kelompok. Kami tidak menganalisis
korelasi antara kelas CL laryngoskopi dan intubasi yang sulit. Hal tersebut
bisa jadi dianggap sebagai keterbatasan.

G. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil tersebut, kami menyimpulkan bahwa kejadian
intubasi yang sulit tidak begitu kecil sehingga ahli anestesi seharusnya
menguasahi penanganan airrway yang sulit pada pasien yang tampaknya
normal. Lagipula, tidak semua tes skrining pra operasi dapat diandalkan untuk
mengindikasikan intubasi yang sulit bila digunakan sendiri. Kombinasi
beberapa tes mungkin memiliki efek yang menguntungkan dalam
memprediksi kesulitan sebenarnya. Namun, Mallampati kelas III dan IV
sendiri bisa memprediksi probabilitas intubasi endotrakeal yang sulit pada
pasien dewasa.
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Trakea
Trakea merupakan tabung membranosa dan kartilago yang dapat
bergerak. Bentuk trakea adalah tuba yang lentur, Panjang trakea kira-kira 12
cm pada pria dan 10 cm pada wanita. Diameter antero-posterior rata-rata 13
mm sedangkan diameter transversa rata-rata 18 mm. Trakea dibentuk oleh 16-
20 helai kartilago yang berbentuk huruf C dan dihubungkan dengan jaringan
fibrosa sehingga struktur diatas akan menyebabkan trakea akan terbuka pada
setiap posisi kepala dan leher (Snell, 2006).
Holotopi trakea berpangkal dari leher dan meluas ke bawah hingga
mediastinum. Skeletopi trakea yaitu mulai dari batas bawah kartilago
krikoidea laring setinggi corpus vertebrae cervicalis VI meluas ke bawah
sampai dalam thorax setinggi corpus vertebrae thoracica V, kemudian
membelah menjadi bronkus principalis dextra et sinistra (bifurcatio trachea).
Bifurcatio trachea ini disebut carina (reseptor reflek batuk). Pada inspirasi
dalam carina turun sampai setinggi corpus vertebrae thoracica VI (Moore,
2012).

Gambar 2.1 Anatomi Trakea (Moore, 2012).

Vaskularisasi trakea yaitu dua per tiga atas oleh a.thyroidea inferior dan
satu per tiga bawah divaskularisasi oleh a.bronchialis. Trakea diinervasi oleh
nervus yang bersifat parasimpatis dan simpatis. Nervus yang bersifat
parasimpatis yaitu nervus vagus dan nervus laryngeus reccurens, sedangkan
nervus yang bersifat simpatis yaitu plexus truncus simpaticus. Salah satu
aplikasi klinis pada trakea yaitu trakeostomi dan intubasi endotracheal
(Moore, 2012).

B. Trakeostomi

Tracheotomy berasal dari bahasa Yunani, dari kata trachea dan tome
(memotong). Istilah trakeotomi (tracheotomy) lebih mengacu kepada tindakan
pembedahan pada trakea untuk fungsi ventilasi. Tracheostomy juga berasal
dari bahasa Yunani, stome (membuka atau mulut) jadi istilah trakeostomi
(tracheostomy) menunjukkan lobang atau stoma permanen yang dibuat pada
trakea dan kulit tersebut (Russel, 2004).

1. Indikasi
Indikasi trakeostomi secara garis besar adalah (Weissler, 2006;
Lore, 2005):
a. Pintas (bypass)
b. Obstruksi jalan nafas atas
c. Membantu respirasi untuk periode yang lama
d. Membantu bersihan sekret dari saluran nafas bawah
e. Proteksi traktus trakeobronkhial pada pasien dengan resiko aspirasi
f. Trakeostomi elektif, misalnya pada operasi bedah kepala leher
sehingga memudahkan akses dan fasilitas ventilasi.
g. Untuk elektif, misalnya pada operasi bedah kepala leher
h. Untuk mengurangi kemungkinan timbulnya stenosis subglotis.
2. Komplikasi trakeostomi
Komplikasi trakeostomi adalah (Russel, 2004):

a. Intraoperatif: Perdarahan, cedera pembuluh darah besar, kerusakan


trakea dan laring, kerusakan struktur paratrakea, cedera dinding
belakang trakea, emboli udara, apnoea dan henti jantung
b. Komplikasi segera (hari 1-14): emfisema subkutis, Perubahan posisi
kanul, pneumothorak atau pneumomediastinum, sumbatan kanul,
nekrosis trakea, perdarahan sekunder, gangguan menelan, edema paru
dan infeksi
c. Komplikasi lambat (> 14 hari): Perdarahan, adanya granuloma,
kesulitan dekanulasi, fistula trakeo-esofageal, adanya fistula
trakeokutan, adanya stenosis laryngotrakea, jaringan parut dan fistula
a. innominata-trakea.
3. Teknik trakeostomi
a. Trakeostomi emergensi
Trakeostomi emergensi relatif jarang dilakukan , dan penyebab
yang sering adalah obstruksi jalan nafas atas yang tidak bisa diintubasi.
Anoksia pada obstruksi jalan nafas akan meyebabkan kematian dalam
waktu 4-5 menit dan tindakan trakeostomi harus dilakukan dalam 2-3
menit. Teknik insisi yang paling baik pada trakeostomi emergensi
adalah insisi kulit vertikal dan insisi vertikal pada cincin trakea kedua
dan ketiga. Insisi vertikal ini lebih baik karena lebih mudah dilakukan
dan lebih cepat, dimana insisi kulit vertikal dapat langsung diteruskan
dengan cepat menuju jaringan lemak subkutan, fasia servikal dalam
pada garis tengah yang relatif avaskuler (Ellis, 2009).
b. Trakeostomi elektif
Saat ini mayoritas tindakan trakeostomi dilakukan secara
elektif atau semi-darurat. Trakeostomi elektif paling baik dilaksanakan
diruang operasi dengan bentuan dan peralatan yang adekuat (Weissler,
2006; Lore, 2005).
c. Trakeostomi Dilatasi Perkutaneus
Trakeostomi dilatasi perkutaneus adalah suatu teknik trakeostomi
minimal invasif sebagai alternatif terhadap teknik konvensional.
Trakeostomi dilatasi perkutaneus (TDP) dilakukan dengan cara
menempatkan kanul trakeostomi dengan bantuan serangkaian dilator
dibawah panduan endoskopi (Lawson, 2010; De Leyn, 2007; Weissler,
2006).
4. Incisi trakeostomi
Insisi pada trakea berpengaruh terhadap pertumbuhan dan patensi
trakea. Ada beberapa cara insisi yang diperkenalkan : (1) insisi vertikal (2)
insisi U atau U terbalik, (3) insisi palang (4) insisi horizontal (5) insisi
bulat (Novialdi, 2010):
a. Insisi vertikal
Insisi ini merupakan insisi standar yang paling banyak digunakan.
Teknik ini digunakan bila tindakan trakeostomi hanya dipertahankan
selama beberapa minggu. Jahitan penahan trakea akan mempermudah
identifikasi lumen bila kanul terlepas (accidental decanulation).

Gambar 2.2. Insisi vertical trakeostomi

b. Inferiorly based flap/ U terbalik/ Falp Bjork


Insisi horizontal dibuat pada dinding anterior trakea yaitu pada
cincin trakea ke 2-3, ke 3-4 atau 5-6. Jabir dibentuk dengan cara
membuat dua buah insisi vertikal yang kemudian bertemu pada ujung
insisi horizontal dan melewati 2 buah cincin. Lebar jabir sama dengan
lebar kanul. Jabir kemudian dijahitkan pada jaringan subkutan dan
dermis di bagian inferior.
Teknik ini digunakan untuk jangka waktu yang lama (beberapa
bulan – beberapa tahun) dan menurut penelitian dapat ditoleransi baik
oleh penderita.
Gambar 2.3. Insisi U terbalik
c. Insisi palang (starplasty)
Insisi ini dibuat berdasarkan geometri Z plasty 3 dimensi. Pertama
dibuat insisi berbentuk huruf X pada kulit dan kemudian dilanjutkan
dengan insisi berbentuk + pada trakea diikuti dengan pejahitan jabir ke
sekelilingnya. Cara ini diindikasikan pada trakeostomi jangka panjang
(untuk pasien dengan kelainan neurologis) dan permanen. Penelitian
menunjukkan bahwa teknik ini dapat mencegah stenosis trakea dan
kolaps pada dinding anterior trakea.

Gambar 2.4. Insisi palang


d. Insisi horizontal
Pada tipe insisi ini tidak terbentuk banyak jaringan parut pada masa
penyembuhan. Teknik ini menyulitkan pemasangan kanul (rekanulasi),
selain itu angka kolaps suprastomal cukup tinggi.
e. Insisi bulat
Jendela bulat dibuat dengan cara mengeksisi sebagian kartilago
pada dinding trakea depan untuk memudahkan pemasangan kanul
kembali.

5. Kanul Trakeostomi
Kanul trakeostomi yang ideal harus cukup kaku untuk dapat
mempertahankan jalan nafas namun cukup fleksibel untuk membatasi
kerusakan jaringan dan memberikan kenyamanan pada pasien. Kanul
trakeostomi tersedia dalam berbagai macam ukuran panjang dan diameter.
Stadar panjang kanul trakeostomi berdasarkan Jackson 60-90 mm
(dewasa), 39-56 mm (anak-anak) dan 30-36 mm (neonatus). Kanul
trakeostomi dapat terbuat dari metal (silver atau stainless steel) atau
plastik (polyvinyl chloride atau silicone), kanul dengan atau tanpa cuff,
unfenestrated atau fenestrated. 13 Pemilihan kanul tergantung pada usia,
kondisi anatomis pasien dan kebutuhan medis pasien. Diameter luar dari
kanul tidak melebihi 2/3 – 3/4 dari diameter lumen trakea, hal ini dapat
menghindari kontak kanul dengan dinding trakea yang dapat menyebabkan
kerusakan pada dinding trakea. Dalamnya kulit dan jaringan trakea juga
menentukan ukuran kanul yang akan digunakan sehinnga pada kasus-
kasus tertentu seperti pembesaran kelenjar tiroid dan obesitas memerlukan
kanul yang lebih panjang. Macam-macam kanul trakeostomi (Novialdi,
2010):
a. Kanul dengan Cuff
Kanul ini diindikasikan suction Tekanan uadara dalam cuff
dipertahankan 20-25 mmHg, jika tekanan cuff lebih tinggi dapat
menekan kapiler, menyebabkan iskemia mukosa dan stenosis trakea.
Jika tekanan cuff lebih rendah dapat menyebabkan mikroaspirasi dan
meningkatkan pneuomonia nosokomial. Kanul ini relatif
dikontraindikasikan pada anak-anak usia kurang dari 12 tahun karena
adanya resiko kerusakan perkembangan membran trakea, memiliki
cincin trakea yang sempit terutama sekitar cincin krikoid sehingga
kebocoran udaranya minimal. Kanul ini memberikan jalan nafas yang
aman sampai pasien bisa dilepaskan dari ventilator dan sudah dapat
mengeluarkan sekretnya sendiri. Sebagian besar balon yang
digunakakn berbentuk barel dengan volume yang tinggi dan tekanan
yag rendah untuk mendistribusikan tekanan dalam balon sehingga
dapat mengurangi ulserasi trakea, nekrosis dan atau stenosis.
Komplikasi dari kanul tipe ini adalah adanya gangguan menelan
karena balon akan menghalangi elevasi laring saat proses menelan
sehingga tidak ada proteksi dari aspirasi sekret.
b. Kanul tanpa cuff
Tipe ini biasanya digunakan untuk pasien yang tidak
membutuhkan ventilasi tekanan positif jangka lama, tidak adanya
resiko aspirasi seperti pada pasien yang mengalami kelumpuhan pita
suara, tumor kepala dan leher, gangguan neuromuskular, anak-anak
dan neonatus.
c. Fenestrated tubes
Kanul ini mempunyai lobang tunggal atau multiple pada
lengkungan kanul. Kanul ini tersedia dengan atau tanpa balon
d. Extended tube tracheostomy
Kanul ini lebih panjang. Biasanya digunakan pada pasien
dengan pembesaran kelenjar tyroid atau pasien yang mengalami
penebalan jaringan lunak leher, trakeomalasia, stenosis trakea pada
level yang rendah, khypoidosis. Kanul ini tersedia dengan atau tanpa
anak kanul.

C. Intubasi Trachea
1. Pengertian
Intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut
atau melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas. Intubasi
trakhea dilakukan dengan cara memasukkan pipa endotrakhea ke dalam
trakhea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan
dikendalikan (Latief Said et al., 2001).
2. Tujuan
Tujuan intubasi endotrakhea adalah (Morgan Mikhail, 2013):
a. Mempermudah pemberian anestesia.
a. Pemberian nafas buatan dengan bag dan mask
b. Pemberian nafas buatan secara mekanik (ventilator)
c. Memungkinkan penghisapan secret trakheobronchial secara adekuat
d. Mencegah aspirasi asam lambung ( adanya baoln yang dikembangkan )
e. Mencegah distensi lambung
f. Pemberian oksigen dosis tinggi
g. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernafasan,
h. Pada keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks
batuk, sehingga intubasi mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi
isi lambung dan nencegah distensi lambung.
3. Indikasi
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut David E.
Longnecker (2008) dan Gisele (2002):
a. Ada obstruksi jalan nafas bagian atas
b. Pasien memerlukan bantuan nafas dengan ventilator
c. Menjaga jalan nafas tetap bebas
d. Pemberian anestesi seperti operasi kepala, leher, mulut,
hidung, tenggorokan, operasiabdominal dengan relaksasi penuh dan
operasi thoracotomy
e. Terdapat banyak sputum (pasien tidak dapat mengeluarkan sendiri)
f. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan
oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan
pemberian suplai oksigen melalui masker nasal.
g. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
h. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau
sebagai bronchial toilet.
i. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang
gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
4. Indikasi Intubasi Non Surgical
a. Asfiksia neonatorum berat
b. Resusitasi penderita
c. Obstruksi laring berat
d. Penderita tidak sadar lebih dari 24 jam
e. Penderita dengan atelektasis paru
f. Post operasi respiratory insufiensi
5. Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi yang absolute untuk intubasi endotrakhea,
namun terdapat beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang
tidak memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus
dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus. Trauma servikal
yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga
sangat sulit untuk dilakukan intubasi (Morgan Mikhail, 2013).
6. Jenis Intubasi
Ada 2 macam jenis itubasi trachea menurut letak pemasangannya
(David E.Longnecker, 2008):
a. Intubasi oral (orotracheal)
b. Intubasi nasal (nasotracheal)

Gambar 3.4. Intubasi Oral


Gambar 3.4. Intubasi Nasal

7. Komplikasi
Komplikasi dari intubasi trachea dapat berupa komplikasi ringan
sampai berat (Morgan Mikhail, 2013) :
a. Ringan
1) Tenggorokan serak
2) Kerusakan pharyng
3) Muntah
4) Aspirasi
5) Gigi copot / rusak
b. Berat
1) Laringeal edem
2) Obstruksi jalan nafas
3) Ruptur trachea perdarahan hidung
4) Fistula tracheoesofagal granuloma
5) Memar
6) Laserasi akan terjadi dysponia
DAFTAR PUSTAKA
David E.Longnecker, David L.Brown. 2008. Airway Management, In :
Anesthesiology, McGraw-Hill Companies, Inc.

De Leyn, P. 2007. Tracheotomy: clinical review and guidelines. Eur J


Cardiothorac Surg. 32: 412-421.

Ellis, H. 2009. Applied anatomy of cricothyrotomy and tracheostomy British


Journal of Hospital Medicine ; 70: 148-149.

Gisele de Azevedo Prazeres, MD., (2002), Orotracheal Intubation. Churchil


Livingstone, New York.

Latief, Said A, Kartini A. Suryadi dan M. Ruswan Dachlan. 2001. Petunjuk


Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI:
Jakarta.

Lawson L.G. Tracheotomy in Surgery of larynx and trachea. Springer-Verlag


Berlin Heidelberg 2010 ;159-169.

Lore J.M., Medina J.E. 2005. An atlas of head and neck surgery.elsevier Inc. 4:
1015-24.

Morgan, Mikhail. 2013. Airway Management. In: Clinical Anesthesiology,5 th ed.


McGraw- Hill Education.

Novialdi, Azani S. 2010. Trakeostomi dan Krikotirotomi. Bagian Telinga Hidung


Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)

Russel C, Matta B. Tracheostomy a multiprofesional handbook. Cambridge


University Press. 2004.

Snell, R.S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran; alih bahasa
Liliana Sugiharto; Ed 6. EGC : Jakarta.

Weissler, C. M., Couch, M.E. 2006. Head & Neck Surgery - Otolaryngology
Lippincott Williams & Wilkins.4: 786-795.

You might also like